“Positive Thinking” Menurut Saya Tidak Sekedar Berpikir Positif, Tetapi…

Tetapi pertama-tama, jauh sebelum “berpikir positif” kita harus dengan sadar dan bila perlu harus memaksakan diri untuk “tidak melihat semua hal dari sisi negatif“. Dengan cara pertama-tama menghindarkan diri dari melihat hal-hal dari sisi negatif, maka kita sebenarnya sudah memungkinkan diri untuk melihat semua hal dari sisi positif. Dengan melihat semua hal dari sisi positif, maka kita akan berpikir positif.

Melihat sesuatu hal, mendengar sesuatu hal, mencium sesuatu hal, biarpun kelihatannya tidak baik, biarpun kedengarannya tidak bagus, biarpun baunya tidak sedap, kita harus belajar untuk tidak bertanya dalam pikiran

  • Apa yang salah?

dan

  • Siapa yang salah?

Sebagai penggantinya, kita harus bertanya

  • Apa artinya buat saya?
  • Apa yang harus saya lakukan terhadap ini untuk mendatangkan keuntungan buat saya?

Keuntungan apapun: rohani, jasmani, ekonomi, politik, …..apa saja.

Berpikir positif tidak berarti dengan emmbabi-buta melihat semua hal sebagai baik dan diterima. Berpikir positif menurut saya berarti selalu melihat semua hal dari sisi pelajaran yang dapat kita petik untuk dijadikan bahan pelajaran dalam melangkah ke depan. Kita tidak dapat mengatakan sebuah “bau busuk” sebagai “bau harum”, atau sebuah “kerugian” sebagai “keuntungan” atau sebuah “pencurian/ pembunuhan” sebagai sesuatu yang baik. Semuanya kita tempatkan kepada porsinya masing-masing.

Tetapi intinya kita tidak hanyut dan terus tenggelam ke dapam hal-hal yang kita lihat sebagai masalah, bau tidak baik, kendengaran salah, kelihatan salah, dan sebagainya.

Berpikir positif menurut saya dalam versi budaya Jawa kita kenal istilah “Ngalir saja!!”

***

Kebiasaan beberapa budaya masyarakat tradisional di dunia sering terbalik. Sudah sering masyarakat adat mengkritik dan memarahi hal-hal yang dianggap salah. Tetapi giliran ada hal-hal yang baik dan benar, tidak pernah dipuji dan jarang disyukuri. Dengan cara berpikir dan budaya seperti ini, maka lahirlah generasi terdidik modern yang setiap saat melihat apa saja selalu secara otomatis melihatnya dari sisi negatif, dari sisi kelemahan, dari sisi kesalahan, dan berpikir selalu untuk mengkritik apa saja yang dianggapnya salah, kurang baik, salah dan sebagainya.

Tentu saja, berpikir positif tidak membabi-buta, tetapi yang terpenting berpikiran negatif setiap saat adalah penyakit yang harus dihindari manusia siapa saja yang ingin maju dan menang dalam perjuangan hidup ini.

“Fear Factor”: Mentalitas Budak, Pertanda Orang Tidak Tahu Diri

“Fear Factor” adalah judul sebuah permainan di Televisi, yang menguji nyali para peserta dalam permainan. Saya tidak bermaksud itu.

Yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah hubungan antara manusia bermentalitas budak dan “rasa takut” atau faktor ketakutan biasanya berhubungan erat. Dengan kata lain, manusia di dunia memiliki rasa takut, takut apa saja, adalah pertanda dia memiliki bibit-bibit mental budak.

Katakanlah takut api, takut gelap, takut naik pesawat, takut lihat tentara, takut lihat polisi, takut bicara kebenaran, takut mengungkapkan apa adanya, takut bicara. Semua rasa takut ini saya sebut sebagai “faktor ketakutan” yang merupakan pertanda orang tidak tahu diri. Orang tidak tahu diri karena dia tidak punya identitas, karena identitas dia ditentukan oleh tuan-nya, dia hanyalah seorang hamba, seorang budak yang tidak punya identifikasi dan identitas diri sendiri.

Di dunia modern, rasa takut bisa dikategorikan ke dalam “phobia” dan “trauma”. Dan pendekatan yang digunakan ialah lewat analisis dan terapi psikologis, hipno-terapis, psiko-terapis, psikologi transformasional, dan banyak cabang ilmu psikologi yang dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi yang dikembangkan di Eropa.

Intinya mereka katakan apa saja yang kita rasakan hari ini bisa berasal dari segala hal yang kita alami pada masa-masa ini:

  1. Diwariskan dalam DNA dari ayah-buda, dan dari nenek-moyang kita, sehingga kondisi psikologis kita adalah warisan orang tua dan nenek-moyang, terekam dan tercatat dalam DNA kita.
  2. Kita warisi dalam hidup kita sendiri, dari apa yang pernah kita lakukan sebelum kita lahir. Ada lagi yang percaya teori inkarnasi, sehingga mereka katakan apa yang ada hari ini adalah warisan dari apa yang kita miliki sebelum kita berinkarnasi sebagai “self” hari ini.
  3. Kita warisi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak di dalam kandungan, dan terutama di waktu kita dilahirkan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit kita lahir ke Bumi. Saya sudah sebutkan dalam artikel dalam blog lain “Breathwork dan Trauma Saat Kelahiran di Tumah Bersalin (Rumah Sakit)
  4. Apa yang kita alami sepanjang kita hidup juga bisa menjadi penyebab kita menjadi penakut, rakut lahir, takut hidup, takut mati, takut dalam banyak hal dalam hidup ini.

Fear Factor dan OAP

Saya secara khusus tertarik  bicara kita orang Papua karena “rasa takut” ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Papua.

  1. Pertama, semua orang Papua, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pokoknya semua orang Papua memiliki “rasa takut tanpa alasan terhadap orang Amberi“, yang dalam bahasa politik disebut orang pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT yang meraja-lela di Tanah Papua. Saya pernah bertanya kepada diri sendiri, “Apa alasan rasa takut ini?” Seara logika sebenarnya tidak ada alasan, tidak dapat saya sebutkan dengan mudah. Saya bisa sebutkan interpretasi apa artinya rasa takut itu, tetapi secara serta-merta saya tidak sanggup menyebutkan penyebab rasa takut itu. Saya harus mengaku, rasa takut itu baru hilang pada tahun 2017 lalu.

    Saya harus terus-terang kasih tahu, siapa-pun kita orang Papua, kita Gubernur, Bupati, Anggota atau Ketua Dewan, Anggota TNI atau Polri, apapun pekerjaan kita, kita orang Barisan Merah Putih atau Barisan Bintang Kejora, pengusaha atau petani atau berburu di hutan, guru atau Pendeta, Haji, Kristen, Islam, kita semua sebagai orang Papua, pasti memiliki “rasa takut tanpa alasan” ini terhadap orang Pendatang.

  2. Kedua, semua orang Papua memiliki rasa takut terhadap TNI dan Poliri. Walaupun kita sendiri tentara, kita sendiri anggota Polri, atau mungkin komandan di dalam satu pleton sekalipun, entah kita pejabat yang selalu mendapatkan pengawalan siang-malam, atau kita yang hidup tanpa sentuhan TNI/Polri di hutan-hutan dan kampung-kampung, “rasa takut terhadap TNI dan Poliri selalu hadir dan ada“Semua orang Papua tahu, mendengar cerita dari berita maupun dari teman, tetangga dan kerabat sendiri, bahkan banyak yang mengalami sendiri, di mana anggota TNI dan Polri pernah membentak, memaki, menakut-nakuti, menangkap semena-mena, memukul, memenjarakan, bahkan membunuh sesama orang Papua. Sampai hari ini berita-berita itu terus tersiar dan dibaca, didengar oleh orang Papua. Memang ada bervariasi kadar dan frekuensinya, tetapi “rasa takut terhadap aparat TNI/Polri itu tetap ada, pasti ada, dan dia ada di semua lapisan masyarakat orang Papua. Bahkan anggota TNI/Polri orang Papua-pun pasti punya rasa takut ini.
  3. Semua manusia punya rasa takut karena rasa takut adalah emosi yang normal. Malahan kita harus mempertanyakan manusia yang tidak punya rasa takut sebagai manusia abnormal, di luar kebiasaan manusia. Orang tidak takut kita bisa sebut dengan mudah sebagai “orang gila”.Akan tetapi, ada orang yang tidak punya rasa takut, bukan karena mereka gila, tetapi mereka abnormal secara positif, yang orang yang telah menghadapi dan mengalahkan “rasa takut” itu sendiri.

Langkah Saya untuk Mengalahkan “Fear Factor”

Saya tidak bicara atas dasar imaginasi atau harapan atau setelah membaca buku psikologi tentang rasa takut dan membeli obat pil untuk menghilangkan rasa takut, tetapi saya bicara dari pengalaman saya pribadi, sepanjang setengah abad hidup saya, bahwa “rasa takut” dapat dihilangkan, atau lebih tepat “dapat dikalahkan”. Dan kedua bahwa menghilangkan rasa takut tidak berarti menjadi gila, tetapi menjadi tercerahkan dan terbarukan.

  1. Langkah pertama, seperti anda sudah bayangkan, adalah “mengakui secara jujur” bahwa saya benar-benar memiliki “rasa takut” dalam diri saya sendiri. Dan bahwa “rasa takut” saya itu tidak rasional, karena itu saya tidak dapat memetakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya rasakan dan mengapa saya merasakannya, apalagi bagaimana menyelesaikannya.
  2. Langkah kedua, mengambil sikap dan keputusan untuk berupaya dan memastikan harus mengalahkan rasa takut dimaksud. Banyak orang mengakui atau menyadari atau merasakan ada rasa takut di dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mamu mengakui, apalagi tidak punya sikap untuk mengalahkannya, dan karena itu tidak ada usaha untuk mengalahkannya.
  3. Ketiga, ada sejumlah usaha yang dapat kita lakukan, yang harus kita pilih untuk membawa diri keluar dari kandang atau penjara atau kurungan “rasa takut”.
    1. Pengalaman saya adalah pertama-tama saya melakukan “Inner Smile” secara teratur membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Bukti pertama dan utama yang saya alami ialah rasa takut untuk terbang dengan pesawat, langsung serta-merta hilang total. Sudah banyak tiket penerbangan dengan total biaya ratusan juta saya rugi karena sering membatalkan penerbangan. Sekarang penerbangan sampai ke bulan-pun saya siap.
    2. Pengalaman kedua saya ialah melakukan meditasi dan doa-doa. Saya beragama Kristen secara keturunan sejak ayah-ibu saya, jadi saya berdoa menurut agama Kristen. Kita berdoa tidak sekedar sebagai seorang hamba memohon dan meminta, tetapi menjadikan Tuhan sebagai kerabat, sahabat dan pelindung yang siap membantu. Bukan menjadikan Dia sebagai pembantu tetapi sebagai pelindung dan penolong yang sejati. Pergi ke geraja dan pulang, menghadiri ibadah secara ritual biasa tidak sama dengan memandang Tuhan sebagai pelindung dan teman sejati.

      Dalam meditasi dan doa, ada banyak hal terjadi. Contohnya menurut  Muktananda dalam bukunya “Play of Consciousness” by Swami Muktananda, b.1908, South India mengatakan dunia ini hanyalah sebuah ilusi, sebuah gambaran dari apa yang ada sesungguhnya di dalam tubuh, di dalma badan kita. Oleh karena itu, kita harus bermeditasi sampai ke dalam sum-sum dan unsur-unsur kehidupan kita, sampai kepada titik “maut”. Sama dengan Yesus disalibkan dan mati, lalu bangkit dari antara orang mati, demikianlah seharusnya kita bermeditasi dan akhirnya mematikan semua yang bersifat duniawi, dan bangkit mengalahkan maut. Dengan demikian kita menjadi “merdeka”, dan dengan demikian rasa takut “lenyap”.

    3. Yang ketiga ialah menghadiri dan mempratekkan Breathwork. Perihal breathwork ini sudah banyak saya kisahkan dalam www.kisah.us (Kisah ku-Kisah mu, Kisah Kita Semua).
    4. Kalau Anda punya uang, tentu saja saya tidak, maka saya sarankan Anda mengikuti terapi psikologis, terutama Transformational Psychology secara rutin untuk keluar dari rasa takut. Pendekatan lain yang malah mengurangi pengeluaran uang ialah banyak berdoa dan berpuasa karena berdoa dan berpuasa sudah terbukti di seluruh dunia dalam sejarah semua manusia bahwa doa-puasa memiliki kekuatan pembebasan yang sangat besar.

Catatan Penutup: Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Membantu Kita Bebas dari “Rasa Takut”

Sebanarnya saya harus katakan, bukan dari “rasa takut” saja, tetapi dari semua emosi-emosi negatif yang ada dalam tubuh kita dapat kita hilangkan, dan menjadi sehat.

Saya sudah belajar selama beberapa lama dengan GrandMaster Mantak Chia dan sekarang saya adalah Associate Instructor dari Universal Healing Tao System  yang saat ini berada di Indonesia dan Melanesia. Saya dapat memberikan workshop untuk kelompok Tahanan Politik, Polisi, Tentara, Pejabat Pemerintah, Mahasiswa, Ibu dan Anak, Lelaki, Perempuan, Tua, mua, di manapun Anda berada di seluruh Indonesia dan Melanesia.

Saya juga adalah Fasilitator dari Breath of Bliss setelah menyelesaikan pendidikan untuk fasilitator. Saya bisa memfasilitasi kegiatan Breathwork di mana saja.

Breathwork yang saya kembangkan didasarkan atas tarian adat dan ritual bangsa Papua dikombinasi dengan musik tradisional, popular Papua dan musik modern lainnya.

Info lebih lanjut: info@healingjourney.love

Honai Rumah Tradisional dan Pusat Pendidikan Mental

Kita harus akui dengan jujur dan terbuka bahwa semua anak-anak Papua yang pernah dibesarkan / bertumbuh di dalam konteks “Honai Adat” dan anak-anak yang lahir dan bertumbuh TANPA “honai adat” kalau kita bandingkan keduanya sama-sekali menjadi dua suku-bangsa yang berbeda.

Walaupun secara fisik sama, secara mental dan rohani sama sekali berbeda, bahkan banyak yang bertolak-belakang.

  1. http://shantywetapo.blogspot.co.id/2015/07/rumah-adat-lembah-baliem.html
  2. https://limbarup.wordpress.com/2016/09/20/rumah-adat-honai-asal-daerah-wamena-papua/

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.

“Aspire and Act Small!” NOT “Talk, Talk, Talk!”

Ego Is the Enemy, Ryan Holiday
Ego Is the Enemy, Ryan Holiday

Ada dua macam manusia yang dijelaskan oleh  Ryan Holiday dalam bukunya “EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent” (Profile Books, 2016). Yang pertama ialah orang yang “Aspire! and Act Small!” dan kedua ialah orang yang “Talk, Talk, Talk!” Dua perilaku ini ada dengan dua macam mentalitas yang berbeda. Yang pertama punya “aspirasi” dan dengan dasar aspirasi itu, ia tidak muluk-muluk, ia tidak bermimpi siang bolong, ia tidak banyak berkhotbah, tetapi ia “melangkah dari apa yang dia bisa lakukan, dari tempatnya, dengan apa yang dia miliki.

Sementara yang satunya, punya cita-cita juga, tetapi kerjanya “bicara, bicara dan bicara”, bicara tentang apa yang dia cita-citakan, bicara tentang apa yang dia lakukan, dan mungkin juga bicara tentang apa yang dia tidak lakukan dan malahan ada juga bicara tentang apa yang tidak dilakukan orang lain.

Sangat tepat waktu, hari ini 28 Maret 2018, minggu di mana di Tanah Papua sedang berlangsung kampanye-kampanye politik untuk pemilihan sejumlah Bupati dan Gubernur Provinsi Papua. Banyak kampaye berisi janji dan laporan atas apa yang sudah dilakukan disampaikan dalam kampanye politik. Dalam dunia politik dikenal dengan istilah “social-contract”, yaitu janji-janji yang disampaikan para politisi untuk mempengaruhi opini calon pemilih agar memilih mereka. Juga berisi hal-hal yang sudah dilakukan dan akan ditingkatkan kalau dipilih kembali. Di sini ada “Talk! Talk! Talk!”

Iklan di koran, media online, TV dan radio, baliho, banner, leaflet, sampai orasi-orasi disampaikan, semuuanya berisi “talk, talk, talk”.

Ryan Holiday mengutip satu hal yang menarik buat saya, dan patut saya catat sebagai orang yang selalu bersuara di media online:

Those who know do not speak;
Those who speak do not know.

LAO TZU (ibid.:20)

[Terjemahan: Mereka yang tidak tahu berbicara; Mereka yang bicara tidak tahu.], yang dalam terjemahan pepatah Indonesia disebut “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Dalam ulasannya Holiday menyebutkan, di blog, di facebook, di twitter, di semua media saat ini selalu saja ada kolom, ada undangan, ada pertanyaan, ada ulasan yang mengundang pembaca untuk memberikan reaksi. Seolah dunia ini memaksa Anda harus berkata, harus berpendapat, harus bertutur.

Di facebook ada status dengan pertanyaan “What on your mind?”, di artikel blog diakhiri dengan “Comment”, di setiap Twitter dan Facebook ada tombol “Comment”, ada tombol “Like” “Love”, “Favorite”, yang mengundang kita tidak harus pasif tetapi menjadi aktif.

Artikel saya sebelumnya saya beri judul “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan” Beberapa bulan kemudian saya temukan buku ini yang ditulis oleh Holiday yang menuntut saya untuk bertanya kepada diri sendiri apa yang sudah saya lakukan daripada berkata-kata apa yang saya mau lakukan, daripada berjanji tentang apa yang akan saya lakukan kalau dipilih.

Dalam suasana kampanye politik ini, saya berdoa agar bagi mereka yang berkampanye tidak berbicara, berbicara dan berbicara tentang apa yang mereka akan lakukan. Saya lebih berharap agar mereka BERBICARA TIDAK tentang apa yang tidak dilakukan oleh lawan politik mereka. Mereka TIDAK BICARA TENTANG apa yang mereka akan lakukan, tetapi tentang “Apa yang mereka sudah lakukan dan yang mereka sedang lakukan”.

Bagi kita yang tidak berpolitik juga terlebih penting untuk tidak mengkritik para politisi. Ingat, saya sudah kutip apa yang ditulis Doopak Chopra, yaitu bahwa “Self” ini harus kita disiplinkan sehingga dia harus menjalani hidup ini “non-judgmental”, tidak menghakimi apapun, siapapun selama beberapa detik, menit, hari, minggu, tahun, dan bila perlu seumur hidup.

Judul tulisan ini saya bermaksud agar kita “bercita-cita itu penting”, tetapi selain kita bercita-cita, kita haruslah melangkah/ bertindak melakukan apa yang kita inginkan, sehingga kontribusi kecil kita dalam jangka panjang dapat mewujudkan apa yang kita aspirasikan. Jangan pernah menuntut sebuah aspirasi untuk terwujud hari ini. Jangan membiasakan diri membicarakan aspirasi, agar kita tidak banyak bicara tanpa berbuat apa-apa. Jangan mengkritik orang lain! Jangan mencari kambing-hitam.

Soekarno punya kata mutiara “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Itulah aspirasi! Tetapi cita-cita di langit dan mimpi yang melangit tidak harus disertai banyak bicara. Kalau banyak bicara siapa yang mengerjakannya? Kalau mengharapkan orang lain mengerjakannya siapa yang harus mengerjakannya. Kalau menunggu, kapan baru dimulai? “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Klalau bukan saya/ kita, siapa lagi?” (Prabowo Subianto)

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, oleh karena itu, cita-cita yang setinggi langit, pasti bisa dicapai dengan langkah kita sendiri seorang diri yang kita lakukan sedikit demi sedikit, karena lama-lama akan mencapai langit.

Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam dua artikel sebelumnya, saya Jhon Yonathan Kwano bersaksi tentang apa yang saya dengar dari Nelson Mandela, salah satu manusia hebat yang pernah hadir di muka Bumi berbicara tentang “kerandahan hati” sebagai tanda kebesaran seorang pemimpin dunia. Saya juga sudah menyampaikan isi hati tentang betapa orang Papua berharap kepada Jakarta untuk berbuat banyak hal, sementara orang Papua itu sendiri duduk murung, selalu mencaritahu kesalahan dan mengeluh Jakarta tidak buat ini dan Jakarta tidak buat itu.

Adalah Deepak Chopra, seorang yang berbicara dalam bukunya “Seven Spiritual Laws of Success: A Practial Guide to the Fulfillment of Your Dreams” (Amber-Alen Publishing, 1994) bahwa hukum pertama yang harus diperhatikan ialah hukum tentang “ego”. Huku pertama ialah “Pure Potentiality” (Potensialitas Murni), yaitu bahwa

  • sumber penciptaan semuanya adalah kemurnian
  • kesadaraan… ialah murni
  • ekspresi dari yang tidak termanifestasi ke manifestasi adalah murni
  • ketika ita menyadari bahwa kebenaran eksistensi kita adalah satu” potensialitas, lalu dihubungkan dengan potensialitas jagatraya

maka inilah yang dimaksud dengan “potensialitas murni”.

Pertama, kami hadir ke bumi sebagai seorang insan manusia, kita sadar kita ada, kita hadir ke dalam diri kita, keluarga kita, marga, suku, bangsa kita, sebagai manusia, sebagai orang terpelajar, sebagai pejabat, sebagai petani, sebagai orang beragama, sebagai orang adat, apapun juga yang dapat kita sadari saat ini. Kesadar ini, kesadaran tentang kehadiran dan ketidak-hadiran, keadaan dan ketidak-adaan ini merupakan sebuah intisari kerohanian kita.

Itulah kehidupan yang bersahaja, sederhana dan bahagia.

Dengan kesadaran-kesaradan atas fakta absolut ini, maka seorang manusia menjadi manusia sejati, manusia tanpa embel-embel, manusia tanpa asosiasi, manusia murni, murni sebagai manusia, hanya sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kita menyadari diri kita murni seorang manusia, maka dengan demikian kita menjadi manusia murni. Nelson Mandela menyebutnya manusia yang “rendah hati”, yang menyadari dirinya sesungguh-nya hanyalah manusia, lahir, hidup, besar, tua, mati. Tidak lebih dari itu.

Inilah kesadaran “Self”, kesadaran akan diri sendiri (self-referal). Ada kesadaran lain, yang saya sebut di atas sebagai kesadaran dengan embel-embel: (1) sosial, (2) budaya, (3) pendidikan, (4) jabatan, (5) pangkat, (6) status ekonomi dan kekayaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini disebut “self-referal” oleh Deepak Chopra (ibid.14)

Self-referral means that our internal reference point to our own spirit, and not the objects of our experience. The opposite of self-referral is object-referral. In the object-referral, we are always influenced by objects outside the Self. Our thinking and our behaviour are always in anticipation of a response, it is therefore, fear-based.

[Terjemahan: “Self-referral berarti bahwa referensi internal kita ditujukan kepada roh kita, dan tidak kepada obyek lain dari pengalaman kita. Lawannya daripada self-referral adalah “object-referral”. Dalam “object-referral”, kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut]
  • Apakah anda pernah merasa bahwa tanpa Anda dunia ini akan runtuh berantakan?
  • Apakah Anda pernah merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha yang selama ini Anda bangun akan rugi besar?
  • Pernahkan Anda temukan diri bahwa tanpa Anda semuanya tidak pernah akan terjadi seperti yang sudah terjadi?
  • Pernahkan Anda merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha apapun yang dilakukan orang lain tidak akan berhasil?
  • Pernahkan Anda lakukan sesuatu karena rasa takut pesaing Anda akan menang, karena orang lain sedang melakukan sesuatu yang bisa merugikan usaha Anda, karena Anda menonton atau mendengar laporan tentang apa yang dilakukan orang lain?

Perhatikanlah, ini cara berpikir “object-referral” yang didasarkan pada “rasa-takut” (fear-based).

Menurut Deepak Chopra, “Your true Self, which is your spirit, your soul, is completely free of these things” (ibid.) [Terjemahan: Diri Anda yang sesungguhnya, yaitu roh, jiwa Anda sesungguhnya bebas dari semuanya ini]

Bebas dari semuanya ini artinya terlepas, tidak ada hubungannya, dan oleh karena itu, tidak usah dihubung-hubungkan dengan semuanya ini. Baik kesuksesan, baik kegagalan, semuanya haruslah dihbungkan dengan “Self”, bukan “Object” (atau apa yang ada dan terjadi di luar).

Deepak Chopra menyarankan tiga cara untuk membantu kita berdiri kepada prinsip “Self”, dan terlepas dari hidup berdasarkan rasa takut.

  1. Pertama: Ambil-lah waktu setiap hari, pagi dan malam, selama waktu tertentu, untuk melakukan meditasi, mengambil waktu untuk berdiam diri dengan diri sendiri, tanpa suara, tanpa pikiran, dan bila perlu tanpa cahaya. Sekitar 30 menit pagi dan 30 menit malam sudah dapat dikatakan awal yang baik untuk bermeditasi.
  2. Kedua, katakan kepada diri sendiri untuk mengambil waktu setiap hari selama beberapa menit, atau jam berkomunikasi dengan alam, yaitu kehidupan yang punya inteligensia yang ada di alam-semesta: bunyi, warna, bentuk, bau, ukuran, rasa, apa saja yang ada di alam. Alami-lah, nikmatilah.
  3. Ketiga, praktekkanlah “non-judgement”, yaitu katakan kepada diri sendiri, “Pada detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ini, saya tidak akan menghakimi apapun yang terjadi di hadapanku!

Dengan bermeditasi diri kita akan mengenal dirinya sendiri dan memposisikan diri sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang. Dengan bersahabat dengan alam, kita akan berkuminikasi dengan makhluk selain manusia. Dengan tidak menghakimi, kita membawa energi positif yang  membangun dan menghidupkan.

Dengan berdiam diri, dengan bersahabat dengan alam dan dengan tidak menghakimi, kita menjadi manusia sejati sebagai manusia. Kita melapaskan diri dari embel-embel sosial, budaya, ekonomi yang melekat.

Inilah kemurnian, kehidupan sebagaimana adanya. Tidak berlebihan.

Pernahkan anda temukan orang Papua yang selama ini bangga-banggakan diri dan bertepuk dada memuji apa yang telah mereka lakukan untuk Tanah Papua dan orang Papua?

Apalagi dengan musim Pilkada saat ini, semua politisi muncul dengan memunculkan apa yang mereka telah lakukan lebih daripada yang dilakukan orang lain. Ada yang menjanjikan untuk melakukan lebih daripada yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.

Yang mereka lakukan ini ialah “fear-based”, yaitu TAKUT KALAH dalam Pilkada.

Tidak hanya dalma Pilkada, dalam urusan Papua Merdeka juga para pejuang Papua Merdeka hari ini muncul menuntut yang lain, membela diri, menyalahkan yang lain.

Praktek menyalahlah yang lain adalah cara kerja manusia yang tidak tahu diri, yang Chapra sebut “Self”. Orang Papua yang selalu berusaha membela diri dengan cara menyalahkan orang lain harus bertobat dan mengaku, bahwa apa yang dia lakukan selama ini ialah tanda kelemahan, bukti perilaku manusia yang “fear-based” yang selalu berfikir berdasarkan apa yang ada, terjadi, dilakukan dan dikatakan di luar dirinya.

Mari kita mengenal diri, merendahkan diri, mengakui diri dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati. Kerendahan hati dalam artikel ini artinya (1) belajar dan tekun bermeditasi; (2) belajar dan terus-menerus belajar dari alam-sekitar; dan (3) secara terus-menerus memaksa dan mendisiplin diri pribadi untuk TIDAK MENGHAKIMI siapapun.

Itulah kekuatan yang sesungguhnya. Nelson Mandela katakan “kerendahan hati” ialah kekuatan yang sesungguhnya. Chopra katakan inilah hukum rohani pertama untuk menuju keberhasilan. Saya, Jhon Kwano menegaskan bahwa kerendahan hati tidak berarti kehinaan, tetapi sebaliknya adalah kekuatan yang menyerupai kekuatan ilahi.

Anda Makhluk Luar Biasa

Mulai hari ini:

Perhatikan pikiran anda sebelum berubah menjadi konsentrasi.
Perhatikan konsentrasi anda sebelum berubah menjadi perasaan.
Perhatikan perasaan anda sebelum berubah menjadi perilaku.
Perhatikan perilaku anda sebelum berubah menjadi hasil.
Perhatikan hasil yang anda dapat sebelum menentukan jalan hidup anda.

Anda bukan label yang disandangkan oleh anda sendiri, bukan label yang disandangkan oleh orang lain.
Anda bukan kesedihan,kecemasan,kekhawatiran,frustasi atau kegagalan.
Anda buka usia,berat badan,bentuk tubuh atau warna kulit anda.
Anda bukan masa lalu,saat ini dan masa yang akan datang.

Anda adalah makhluk paling baik yang diciptakan Allah.
Jika ada orang yang mampu mewujudkan sesuatu didunia, Anda pasti bisa mewujudkannya,bahkan bisa lebih baik.
Ingatlah malam adalah awal bagi siang.
Musim kemarau adalah awal bagi musim hujan.
Penderitaan adalah awal bagii ketenangan.
Kesulitan adalah awal bagi kebaikan.
Sikap optimis pada kebaikan adalah awal kekuatan diri.

Karena itu,nikmati setiap waktu anda.
Anggaplah sebagai babak akhir kehidupan anda.
Hiduplah dengan cinta kepada Allah.
Hiduplah dengan meneladani Sang Tokoh Revolusioner
Hiduplah dengan cita cita.
Hiduplah dengan perjuangan.
Hiduplah dengan kesabaran.
Hiduplah dengan cinta.
Hargailah kehidupan.

dikutip dari Dr. Ibrahim Elfiky

Sumber: https://www.facebook.com/

Revolusi Mental Pengusaha Papua: Seluruh Dunia Tahu Papua Kaya, tetapi….

Tetapi orang Papua tidak tahu kalau dia dianggap dunia “kaya”. Dilema besar buat saya saat saya melhat banyak orang Papua merasa diri miskin, menganggap diri tidak berdaya, dan selalu berpikir untuk orang luar membantu-nya. Ini yang selalu saya sebut sebagai mentalitas budak, dan Pdt. Dr. Benny Giay bahwa orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah. Alasannya jelas, orang Papua sendiri tidak percaya diri, tidak pernah sadar, dan tidak mau sadar, bahwa dia sudah kaya, dan yang harus dia lakukan adalah menyambut pengakuan itu dan menjadikannya bagian dan pengalaman dalam hidupnya.

Padahal dalam kita suci maupun dalam berbagai pernyataan tokoh, ilmuwan dan motivator kita sering sadar betul bahwa “Dunia ini diciptakan oleh Firman, karena Firman itu ada bersama-sama dengan Allah”. Firman itu ialah kata-kata, apa yang Tuhan katakan, apa yang dunia katakan, apa yang sesama katakan. Kalau Firman Tuhan berdaya-cipta, maka perkataan dari kita manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah memiliki kata-kata yang berdaya-cipta pula.

Untuk menikmati pengakuan dunia itu, maka orang Papua harus-lah pertama-tama turut mengiyakan, lalu kedua meyakini, dan ketiga, menjalani kehidupan sebagai orang kaya, berpikir sebagai orang kaya, berkata-kata sebagai orang kaya, dan berperilaku sebagai orang kaya.

Kalau itu yang terjadi, saya yakin, tanah Papua yang kaya-raya ini juga akan mendukung kita dalam upaya mewujudkan perkataan orang di dunia itu.

Setelah mengakui realitas dan perkataan orang, menjadikannya bagian dalam hidup, maka kita berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Tidak ada cerita di mana-manapun, orang yang kaya menjadi kaya karena tinggal di negeri kaya-raya. Yang ada ialah, mereka yang berjuang dan mengeluarkan keringat-lah yang pernah menjadi kaya. Karena sudah banyak diceritakan, ada juga tikus-tikus mati di lumbung padi. Nasib bangsa Papua sama dengan itu. Walaupun sudah diakui dunia, walaupun sudah diberikan banyak uang lewat Otsus, walaupun ada tindakan afirmatif dalam kebijakan demi Orang Asli Papua (OAP), selalu saja menganggap semua ini cukup, maka kita akan menjadi bagian dari bangsa-bangsa termiskin di dunia, hidup di salah satu negeri terkaya di dunia.

Salah siapa?

Dekolonisasi Pemikiran Pengusaha Papua: Menjadi Kaya adalah Pilihan Saya!

“Menjadi kaya adalah pilihan saya!”, artinya saya menjadi kaya bukan karena nasib, bukan juga sebab takdir, apalagi disebabkan oleh pihak lain. NKRI tidak menjadikan saya kaya. Orang Jawa tidak menjadikan kaya. Apalagi misionaris bule tidak menjadikan saya. Saya menjadi kaya karena itu pilihan saya. Pilihan saya itu saya wujudkan lewat perjuangan dengan langkah-langkah yang jelas untuk menjadikan saya kaya.

Sama halnya dengan itu, menjadi miskin juga adalah pilihan saya. Oleh karena itu, jangan salahkan NKRI, tidak  usah salahkan orang Jawa, malu kalau kita salahkan orang Makassar. Mereka menjadi kaya karena mereka mau menjadi kaya. Mereka menjadi kaya karena mereka berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Alam Papua yang kaya-raya tidak otomatis berarti orang yang tinggal di atas tanah Papua juga kaya-raya. Prinsip ajaran agama dan adat mengatakan “ora et labora” alias “Kenggi Abolok Kambe Abolok”.

Uang Otsus yang melimpah-ruah datang ke Tanah Papua tidak otomatis berarti orang Papua akan menjadi kaya-raya secara mendadak. Karena uang-uang Otsus itu harus dikelola oleh orang-orang Papua, entah di pemerintahan maupun di dunia usaha menjadi bermanfaat bagi kita orang Papua.

Konyol kalau kita memakai cara berpikir dan bermentalitas tukang sulap, karena semua hal kita anggap semudah membalikkan telapak tangan.

Orang Papua yang mandiri, dan yang akan membangkitkan dan mensejahterakan tanah dan bangsa Papua ialah orang-orang Papua yang punya keputusan dan komitmen jelas untuk menjadi kaya, bukan karena dikayakan, tidak karena diperbantukan, tetapi karena dia memiliki keinginan dan disusul kerja-keras untuk menjadi kaya.

Apakah Anda salah satu di antara orang-orang Papua yang sudah melakukan dekolonisasi pemikiran untuk menjadi kaya, ataukah anda masih terjajah dalam pemikiran dan berpikir semua kebaikan harus datang dari Jakarta?

Hanya Anda yang tahu jawabannya! Semoga membantu kita berpikir sejenak! Wa, Wa, Wa!

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]