Pembuka
Kita sering mendengar atau mengucapkan dua kalimat berikut ini,
- Orang Papua itu pasti bisa
- Anak-anak Papua itu pasti bisa
asal dikasih kesempatan sedikit, kita/ mereka pasti bisa.
Artinya, karena tidak ada kesempatan, maka orang Papua/ anak-anak Papua ada dalam kondisi seperti yang ada saat ini.
Media Kalimat dalam Konteks Kondisi Empirik dan Psikologis
Kita perlu memahami “konteks” dari sisi apa yang ada dalam pikiran, dan konteks apa saja yang ada dalam realitas kehidupan, yang melahirkan pernyataan di atas.
Kalau kita telusuri faktanya, mąka yang pertama, konteks yang ada di luar, yaitu dalam realitas kehidupan orang Papua di West Papua dan di Indonesia kita ketahui misalnya orang Papua tidak memiliki kios atau toko besar, orang Papua kelihatan tinggal miskin dan sepertinya menderita dan sebaliknya kaum pendatang terlihat jelas kaya-raya dan menikmati kehidupan di dalam negara Indonesia yang merdeka.
Kondisi ini selalu memicu rasa cemburu, atau rasa tidak senang, yang mengakibatkan Orang Asli Papua (OAP) merasa “marah” bahkan “dengki” terhadap orang Indonesia yang ada di Tanah Papua. Sikap ini juga muncul terhadap orang Indonesia dan negara Indonesia pada umumnya. Sikap orang Papua jelas-jelas tidak bersahabat, tidak menerima baik, tidak bahagia melihat orang Indonesia ada di Tanah Papua.
Kemudian, aspek yang kedua ialah konteks psikologis di dalam diri orang Papua sendiri bermasalah. Sudah lama orang Papua dicap bermacam-macam oleh orang luar, orang non-Papua:
- orang kafir,
- orang zaman batu,
- orang pemabuk,
- orang pemalas,
- orang tidak bisa apa-apa dan sebagainya
Artinya orang luar menggambar dan mencap OAP dengan julukan-julukan ini. Gambar-gambar dengan nama-nama yang merendahkan martabat bangsa Papua ini diucapkan oleh berbagai pihak: pertama-tama oleh gereja mencap OAP orang kafir, zaman batu dan bahkan kanibal. Gambar-gambar ini kemudian diberikan kepada OAP untuk dipakai dan mengatakan, “Ini gambar diri kami!”
Kemudian, oleh orang LSM mengatakan Orang Papua miskin, tidak berdaya, selalu dibunuh, oleh orang Indonesia, termarjinalkan oleh negara, dan oleh karena itu harus dibela dan ditolong. LSM menggambar orang Papua di pihak korban, pihak lemah, pihak tidak dapat berbuat apa-apa tanpa bantuan dari luar, terutama oleh LSM yang hadir sebagai pembala masyarakat sipil. Gambar ini juga diberikan kapada OAP, dan OAP memegangnya dan menunjukkan kepada dunia betapa lemah dan perlu ditolong oleh orang luar.
Janganlah heran bahwa mata orang Papua sella keluar Negeri. Minta makan, minta mandi, minta tidur, minta otonomi minta merdeka, semua melihat keluar, di luar Negeri sana, di mana ada orang barat sana, di mana ada orang Jawa sana. OAP jarang melihat kekuatan dan modal yang dia miliki sendiri.
Yang terakhir, oleh berbagai aparatur pemerintah, baik sipil, polisi maupun tentara, yang memberikan nama-nama anek-aneh: bodoh, kolot, zaman batu, teroris, KKB, suku-suku terasing, OPM, dan berbagai nama yang bersifat membedakan Orang Papua dari orang Indonesia.
Dampaknya
Dampaknya orang Papua mendapatkan gambaran diri bahwa ia tidak bisa! Tidak bisa jadi kaya, tidak bisa jadi pintar, tidak bisa mengelola hidup dan kehidupan. Pokoknya tidak bisa apa-apa. Ia pemberontak. Ia terrorns, Ia separatis. Ia OPM, dan oleh karena itu layak dikejar-kejar dan dibunuh.
OAP-pun terindimidasi, terendahkan martabatnya, melihat dirinya tidak berdaya di Tanah leluhurnya sendiri.
Reaksinya
Reaksinya kita telah katakan sebelumnya, keluarlah kalimat-kalimat seperti diuraikan dalam pembukaan di atas, yaitu
Orang Papua juga bisa. Anak-anak Papua juga bisa. Asal diberikan bimbingan, dorongan, pendanaan dan dukungan sedikit saja, pasti bisa.
Menggunakan kata “juga” dan “pasti” menunjukkan ada komplikasi dalam nalar orang yang mengucapkannya. Berarti ia sedan membandingkannya dengan orang lain, dan pada saat yang sama mengkleim yang satu harus diperhatikan, harus ditolong, harus…..karena pada saat ini tidak ada pada posisi sebagai tuan atas Tanah leluhurnya.
Penutup: Oleh karena itu maka….
Ada masalah mendasar dalam pola pikir orang yang mengucapkan kalimat-kalimat ini.
- Pertama, bahwa orang Papua yang mengatakan kalimat-kalimat ini sendiri jelas-jelas berada pada posisi lemah. Kalau yang masih kuta tidak mungkin mengeluarkan kalimat ini.
- Kedua, bahwa orang Papua yang mengatakan kalimat-kalimat ini pasti selau mencari-cari kesalahan orang atas kekurangan dan kelemahan, kondisi yang dialaminya. Oleh karena itu, belajarlah bertindak, bukan menunjuk jari kepada orang lain, akan tetapi mengintrospeksi diri dan memacu diri.
- Ketiga, yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah kesempatan, dukungan, dorongan, pendanaan dan lain-lain, akan tetapi mentalitas budak yang mengeluarkan kata-kata seperti ini-lah yang bermasalah. Oleh karena itu, paculah diri, bersainglah dan maju. Jangan menoleh kiri atau kanan, depan atau belakang. Tunduklah ke bawah, dan angkatlah hati ke atas, dan melaju ke depan. Niscaya tercapai cita-cita kita bersama.