Pembuka
Hari ini saya menonton sebuah podcast di Youtube.com yang berbicara mewawancarai seorang Tokoh Adat bernama Hendrik dari Suku Auwyu, marga Worop, Tanah Merah, bagian Selatan West Papua.
Ada sejumlah dampak yang disebutkan, yaitu orientasi dan kebahagiaan hidup hilang, keheningan hidup memudar, keselamatan dan kesejahteraan juga dihapuskan begitu saja dengan operasi. Hal-hal ini kami sebutkan dalam artikel lain, akan tetapi dalam artikel ini kami ulas tentang apa yang disebutkan dalam percakapan ini terkait “MADAT Gadungan” dan “Kepala Adat Gadungan”, “atribut adat gadungan” dan “Lembaga Adat Gadungan”.
Ada dua hal yang perlu dicatat terkait adat dan yang gadungan, yaitu ada Kepala AdaT Gadungan dan ada pemakaian atribut adat yang tidak sesuai dengan aturan adat.
Kepala Adat Gadungan
Kepala Adat Gadungan dipraktekkan oleh orang asli Papua (OAP) dan orang Amberi (non-Papua). Selain itu, ada fenomena pengangkatan menjadi “Anak Adat” oleh satu suku terhadap pejabat negara lain. Dulu ada Gubernur Papua Lukas Enembe diangkat menjadi Anak Adat Byak, dan suku-suku lain di Tanah Papua. Padahal beliau sejak lahirnya, dari turunannya sudah Kepala Klen dari marganya sendiri, yang tidak perlu diangkat oleh suku lain. Ditambah lain terakhir oleh Dewan Adat Papua (DAP) Gubernur Lukas Enembe diangkat menjadi Kepala Suku Besar bangsa Papua.
Pada waktu yang lain, kita saksikan Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri orang Indonesia datang dari pulau-pulau di Indonesia malahan diberikan Mahkota Cenderawasih, bahkan didaulat sebagai Anak Adat dari suku-suku di Tanah Papua. Tidak hanya orang Indonesia, seperti disebutkan di atas, orang Papua sendiri juga ikut senang dan bangga-bangga kalau didaulat dan dikenakan pakaian adat dari suku-suku lain, padahal mereka sendiri adalah tokoh adat dari suku mereka sendiri.
- Khusus untuk para tokoh orang Papua, apakah ini bentuk naik pangkat karena diangkat juga oleh suku lain, ataukah ini bentuk pelecehan terhadap tatanan adat bangsa Papua di West Papua?
Orang Papua Gadungan (OPG)
Tidak hanya Kepala Suku Gadungan, akan tetapi sebelum itu telah muncuk Orang Papua Gadungan. Istilah yang telah menjadi baku dalam sosio-linguistik dan bahasa hukum Papua, yaitu Orang Asli Papua (OAP) muncul justru dalam rangka operasi memberantas OPG (Orang Papua Gadungan).
OPG ini muncul pada saat pemerintah Indonesia mulai terpaksa mengambil tindakan untuk memberlakukan Otonomi Khusus di Tanah Papua, dengan perlakuan khusus dari sisi pengelolaan pemerintahan, pendanaan dan keuangan daerah. Dan banyak orang Indonesia yang tadinya mengatakan, “Saya orang Indonesia” tiba-tiba menjadi OPG, dalam rangka menikmati paket Otsus.
Itulah sebabnya, mereka mengambil marga-marga dari orang Papua, ada yang mereka beli, ada yang mereka sulap, ada yang mereka memutar-balikkan dan menggunakan marga orang Papua. Ada juga yang menggunakan pendekatan jual-beli hak kesulungan OAP.
Kami dapat dengan mudah menyebutkan nama-nama, akan tetapi itu tidaklah beretika. Mereka pasti membaca artikel ini. Sadarlah bahwa anda bukan OAP, akan tetapi OPG.
Lembaga Adat Gadungan
Di Tanah Papua saat ini terdapat Dua Lembaga Adat yang perlu dipertanyakan apakah mereka memang benar-benar mewakili adat atau mewakili kepentingan orang luar: yaitu pertama Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan Dewan Adat Papua (DAP).
LMA
Ketua LMA pertama dan terlama, yaitu Alm. Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, yang menjabat sebagai perwakilan suku-suku di Tanah Papua waktu itu di era Orde Baru. Jabatannya ini tidak pernah tergantikan sampai beliau dibunuh pada tanggal 10 November 2001 di Koya Barat, Port Numbay, West Papua oleh Kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI berbasis di Hamadi.
Kini Ketua LMA dijabat oleh Lenis Kogoya. Sejak era reformasi jabatan ini tidak begitu jelas, akhirnya di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko Widodo ditugaskan kepada Lenis Kogoya untuk menjabat Ketua LMA.
Dari cerita ini tergambar jelas bahwa LMA adalah lembaga miliki NKRI, yang berfungsi sebagai pemadam kebakaran di Tanah Papua, untuk meredakan situasi, untuk menegosiasikan tuntutan rakyat. Posisinya bukan perpanjangan tangan masyarakat adat Papua, akan tetapi adalah kaki-tangan NKRI untuk mengendalikan tanah dan manusia Papua.
DAP
Semacam tandingan dari LMA ialah Dewan Adat Papua, yaitu sebuah dewan yang pertama-tama dibentuk oleh Forum Rekonsiliasi Rakyat Papua (FORERI), dalam rangka memasukkan masyarakat adat masuk dalam dialogu rekonsiliasi antara rakat Irian Jaya dengan pemerintah Indonesia.
Dalam perkembangannya, terbentuklah Presidium Dewan Papupa (PDP) yang diketuai oleh Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, yang adalah Ketua LMA. Sehingga Kepala Suku Amungme Thom Beanal sebagai Ketua Dewan Adat Papua waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua PDP.
Di samping PDP, juga dibentuk Panel-Panel dan unsur lainnya.
Dilihat dengan jelas sampai di sini bahwa LMA dibentuk oleh NKRI untuk kepentingan Indonesia tetap jaya di Tanah Papua, dan sebaliknya DPA dibentuk oleh PDP untuk melepaskan bangsa dan tanah Papua dari pendudukan dan penjajahan NKRI.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga adat ini didirikan oleh dan untuk kepentingan politik, baik bangsa Indonesia dan NKRI maupun bangsa Papua dan NRWP (Negara Republik West Papua).
Atribut Gadungan
Atribut gadungan ini lebih rusak, dalam artinya paling hancur-hancuran karena banyak salah-pakai justru dilakukan oleh orang Papua sendiri, dan bahkan justru oleh orang yang menyebut dirinya tokoh adat dan masyarakat adat sendiri.
Inilah sekedar daftar fenomena atribut gadungan sekarang ini:
- Atribut Mahkota Cenderawasih dikenakan oleh semua orang, lelaki dan perempuan, anak kecil dan orang tua, OAP (Komin) dan Amberi.
- Atribut Mahkota Cenderawasih dikenakan dalam cara Pilkada, kampanye politik, di gereja, di acara nikah, acara pesta ulang tahun, dan saat penyambutan tamu dan undangan dari dalam West Papua maupun dari luar, terhadap OAP sendiri ataupun dengan kaum Amberi.
- Atribut Noken dijadikan sebagai fashion pakaian, bukan lagi sebagai tempat untuk mengisi makanan, menidurkan anak kecil dan sebagainya. Bahkan fungsi noken telah dikacaukan dengan menjadikan noken sebagai fashion pakaian adat orang Papua. Noken bukan pakaian adat, tetapi kini menjadi pakaian adat.
- Atribut lain seperti noken, kapak bati, mahkota burung sekarang sudah menjadi bagian dari perhiasan di ruang tamu. Koteka tidak dikenakan, kampak batu tidak dipakai, noken tidak mengisi apa-apa, tetapi mereka menjadi hiasan dinding.
Musik, Lagu dan Tarian Gadungan
Bukan hanya atribut material, akan tetapi atribut lagu-lagu dan tarian adat Papua juga sudah mula dipraktekkan secara salah. Tarian seperti Wisi-Wisi dicampur dengan musik modern telah merusak tarian orang Papua, alat musik orang Papua. Inilah yang kita sebut “musik gadungan”, dan “tarian gadungan”. Biar itu dinyanyikan oleh OAP, biar itu orang Papua sendiri menyanyi dalam bahasa daerahnya sendiri, akan tetapi alat musiknya sudah gadungan, dan lagu-lagunya apalagi dialeknya sudah gadungan.
Tarian gadungan seperti Wisi-Wisi model baru telah menodai tarian asli orang Papua.
Penyimpulan dan Komentar
Padahal kalau saya mengenakan seragam Jenderal TNI Angkatan Darat saat disambut oleh anggota TNI bisa terkena kasus hukum.
Padahal ada banyak peristiwa di Indonesia ada polisi gadungan dan tentara gadungan. Padahal kalau misalnya Joko Widodo mengenakan seragam tentara-pun, tidak akan pernah mungkin diizinkan mengenakan pangkat-pangkat berapapun yang ada dalam militer Indonesia, dari semua angkatan.
Padahal membawa alat negara seperti tongkat komando, senjata api yang adalah milik tentara dan polisi harus menggunakan izin yang jelas.
Hal-hal ini tidak terjadi kalau menyangkut Masyarakat Adat. Semua orang merasa tidak berdosa, bahkan merasa bangga kalau dikenakan atribut adat. Kalaupun para tua-tua adat memberikannya, maka para pejabat negara Indoensia yang mengenal adat, yang tahu adat pasti akan menolak. Tetapi itu tidak terjadi.
Selanjutnya
Padahal kalau saya menggunakan alat musik modern dan menganggap saya melestarian budaya dan musik Papua adalah sebuah pelecehan jatidiri oleh OAP sendiri. Padahal lebih bagus orang asing menyanyikan lagu-lagu Papua dengan alat musik mereka, daripada kita OAP yang menyanyikan lagu kita dengan alat musik mereka dan dengan melodi dan nada menyerupai mereka.
Padahal kalau noken, lu’nggik kapak batu, dan busur-panah itu selama puluhan ribu tahun telah memainkan peran dan fungsinya dengan baik dan benar. Itulah sebabnya kami masih dapat menyebut diri dan disebut OAP. Kalau tidak, kami sudah menjadi orang lain, bukan OAP lagi.
- Nah, kalau begitu, tahukah kita akan dampak dari manipulasi dan salah-guna bersifat gadungan yang kita OAP sendiri lakukan hari ini bagi kehidupan anak dan cucu kita?
- Nah, karena begitu haruslah ada Operasi Adat dan MADAT Gadungan dan OPG besar-besaran dilakukan di Tanah Papua.
- Nah, akhirnya, mengapa tidak ada operasi adat gadungan, MADAT Gadungan, OPG yang memperkosa dan merendahkan martabat orang Papua sebagai bagian dari MADAT Melanesia dan sedunia?