116224607_587391271959475_3566758750425425882_n

Hello World – Merdeka Dulu Baru Bicara Teori dari Belakang: Artinya apa?

Merdeka dulu baru bicara teori dari belakang mengandung artinya banyak sekali. Ini mengandung banyak arti yang perlu diepetakan.

Pertama, secara leterlek maksudnya bahwa sebelum Papua Merdeka tidak usah banyak bicara mengenai apa yang aan terjadi setelah merdeka, system pemerintahan, sistem ekonomi dan politik, berbagai macam ajaran dan dinamika setelah merdeka seharusnya dibicarakan setelah merdeka.

Terhadap pernyataan atau jalan pikiran ini, kita soroti dari dua pihak: pertama orang luar dan kedua para pejuang sendiri. Yang pertama orang barat, terutama mereka yang menjelankan negara-negara seperti Papua New Guinea, Vanuatu, Inodnesia, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan sebagainya akan kebingungan, apa “maksud dari merdeka” yang disampaikan oleh Orang Asli Papua (OAP) di West Papua. Yang kedua, OAP yang berteriak Papua Merdeka sendiri akan kebigungan “kemerdekaan” yang dimaksudnya itu apakah kemerdekaan dari Indonesia atau kemerdekaan untuk hidup berdaulat dan bebas dari penjajahan.

Yang jelas dunia internasional tidak memberhitungkan berapa orang Papua mati setiap hari. Mereka juga tidak perdulu kalau Pepera 1969 itu terjadi bebar atau melanggar hukum. Mereka tidak terlalu berkepentingan dengan perusakan alam dan pembunuhan manusia. Yang mereka perduli ialah pertanyaan ini, “Berapa keuntungan duit dari kemerdekaan West Papua?”

Nah, sekarang cara menghitung keuntungannya bagaimana?

Caranya bukan dengan mengirimkan update status di facebook, atau mengeluarkan pernyataan di lapangan saat demo atau pidato politik. Negara diatur dan diurus di kantor-kantor, oleh departemen dan lembaga dengan pejabat yang beralamat jelas, bukan di media sosial. Kenyataanya hampir semua pidato politik yang biasa disampaikan di lapangan-lapangan Papua Merdeka tidak memilik konsep yang jelas. Konsep pidato tidak jelas dan tidak pasti. Oleh karena itu, masing-masing orang berpidato menurut bisikan rohnya sendiri-sendiri, menurut karunia dan telenta alamiahnya. Apalagi “Concept Note” dari isi pidato tidak pernah kita baca. Itulah sebabnya, para wartawan atau negara-negara tidak mendapatkan oncept note terkirim sebelum demonstrasi atau pada saat barusan selesai demonstrasi atau pidato dimaksud. Teladan terbaik ialah Presiden Benny Wenda, sebelum pidatonya, ia selalu menyampaikan Concept Note kepada semua pemerintah di dunia, dan beberapa hari kemudian diposkan di website www.ulmwp.org

Dari Concept Note atau isu pidato penuh itulah akan diketahui bangsa-bangsa dan negara-negara bangsa di dunia apa saja kebijakan-kebijakan yang diambil bangsa Papua setelah West Papua merdeka, dan apa saja menjadi keuntungan-keuntungan yang bisa dipetik dari kemerdekaan West Papua. Dari situlah, maka masing-masing pribadi atau kelompok akan mengambil sikap dan langkah-langkah.

Jangan menyangka bahwa Perdana Menteri Papua New Guinea mengunjungi Indonesia tanpa biaya. Jangan pikir negara-negara d dunia mendukung Indonesia tanpa uang. Jangan pernah berpikir Indonesia itu selalu salah dan salah, dan karena itu dunia pasti membela West Papua karena OAP selalu dibunuh. Itu mitos! Itu ilusi. Itu tidak pernah terjadi dalam fakta politik dan kemanusiaan dunia.

Jadi, Papua Merdeka untungnya apa untuk Indonesia, untuk PNG, untuk Australia, untuk USA, dan sebagainya? Untung-ruginya dapat dilihat di mana kalau tidak ada teori dan konsep dasar atau konsep lengkap yang menyertai atua mendahului perjuangan kita?

[Bersambung…]

 

Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan

Adalah John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-36 yang dikenal dengan ungkapannya: “ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diperbuat oleh negara untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat anda kerjakan untuk negerimu). Hari ini saya Jhon Yonathan Kwano menyodorkan pernyataan ini: “Tanyakan apa yang harus saya lakukan saat Ini, di sini, bukan mengkritisi apa yang mereka belum lakukan atau tidak lakukan!”

Sejak orang Papua didatangi oleh bangsa-bangsa lain, orang Papua sudah mulai menjadi korban terutama karena waktu interaksi budaya asing dengan budaya Papua itu terjadi dengan begitu cepat, tak terantisipasi. Terjadilah sebuah “culture shock” yang cukup mengguncang eksistensi dan interaksi orang Papua dengan dirinya dan dengan dunianya, serta dengan sesamanya. Guncangan demi guncangan itu menjadi semakin dahsyat begitu diwarnai oleh pemikiran dan retorika politik modern.

Sebab kedua karena orang Papua sejak awal mulai belajar untuk mencari-tahu apa yang salah dan siapa yang salah kalau ada sesuatu terjadi terhadap dirinya secara pribadi maupun kolektif. Terutama sekali sejarah Belanda dan Indonesia masuk ke tanah Papua menjadi seperti sebuah virus mematikan logika sehat dan mentalitas membangun dari orang Papua. Hampir semua orang Papua tahu dan katakan seolah-olah Belanda sebagai sebuah negara penjajah adalah lebih baik daripada pemerintahan NKRI, yang dilihat sebagai penjajah neo-kolonial.

Dengan pandangan ini, orang Papua menjadi ahli menceritakan kebaikan-kebaikan Belanda, dan pakar juga dalam  menceritakan kejahatan, keburukan dan kekurangan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua. Kalau kita berpapasan, apalagi bertanya kepada orang Papua dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda tentang keberadaan orang Indonesia di Tanah Papua?” maka Anda tidak akan kehilangan bahan dan akal. Anda akan mendapatkan jawaban panjang-lebar, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun tidak akan kehabisan diceritakan tentang apa yang salah dengan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua, mulai dari sejarah, Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi, TNI, pemerintah, Polri, semuanya punya kesalahan di Tanah Papua, terhadap orang Papua dan tanah Papua.

Masalahnya bukan karena kesalahan-kesalahan itu tidak ada. Memang apa yang dikritik itu benar adanya, dan berulang-ulang terjadi sampai hari ini tanggal 29 Januari 2018. Masalahnya ialah bahwa lama-kelamaan, begitu makan tahun, setelah setengah abad kemudian perilaku ini menjadi semacam budaya Orang Asli Papua (OAP): yaitu budaya sering mengeluh dan sering menyalahkan. Yang dikeluhkan ialah sejarah West Papua masuk ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah sejarah Contract of Work (CoW) antara Freeport McMoran Copper & Gold Inc. dengan Suharto (bukan dengan NKRI). Yang disalahkan ialah Soekarno yang mencaplok Nederlandsch Niuew Guinea ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah kekejaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menyebabkan semua OAP pasti punya salah satu anggota keluarga yang sudah dibunuh NKRI. Yang disalahkan ialah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay (Ketua PDP) atas perintah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden NKRI yang dieksekusi oleh Komando Pasukan Khusus 9Kopassus) NKRI. Yang disalahkan ialah implementasi UU Otsus No.  21/2001 yang jauh dari harapan dan tujuan sebagaimana termaktub di dalam undang-undang Otsus dan aturan-aturan turunannya.

Semua yang dikeluhkan dan pihak-pihak yang disalahkan tak terbantahkan. Semuanya benar. Tetapi persoalannya ialah “Mengapa kok orang Papua senangnya mencari-tahu dan menunjukkan jari siapa yang bersalah atas tanah leluhurnya dan atas bangsanya.” Masalahnya ialah “Mengapa orang Papua selalu bermuka dan bernada suara kesal atas realitas kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di Tanah Papua?

Lalu kita bertanya, “Apa seharusnya kita lakukan agar kondisi ini tidak merusak dan memusnahkan bangsa Papua?

Jawabannya ialah “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan“. Jangan bicara banyak tentang apa yang salah dengan NKRI, apa yang benar dengan Belanda, apa yang salah dengan TNI/Polri, apa yang salah dengan Lukas Enembe, apa yang salah dengan Bupati ini dan itu, apa yang salah terkait dengan kondisi di Tanah Papua. Hentikan! Stop! Akhiri!

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri, kepada saya, kepada aku, kepada ego ini, “Apa yang harus saya lakukan saat ini?” Bukan apa yang saya gagal lakukan! Bukan juga apa yang saya harap bisa lakukan! Akan tetapi, apa yang dapat saya lakukan saat ini, di sini, saya sendiri.

Mengetahui dan membahas masalah bukan sebuah dosa. Itu sesuatu yang masuk akal. Tetapi mengharapkan orang yang bersalah untuk “bertobat” dan “mengaku dosa”, lalu “memperbaikinya” ialah sebuah kesalahan fatal. Ditambah lagi, mengeluh dan menceritakannya berulang-ulang di mana-mana ialah sebuah kebodohan yang mematikan diri kita sendiri.

Walaupun kelihatannys sederhana dan tidak ada artinya. Misalnya hanya berdoa saja di kamar tanpa orang melihat atau mendengar-mu sudah-lah cukup. Kalau itu yang dapat anda lakukan saat ini d sini, lakukanlah itu, daripada mengeluh dan menceritakan kesalahan-kesalahan orang lain. Kalau anda bisa memberikan sumbangan, berikanlah sumbangan untuk merubah kondisi yang ada di Tanah Papua.

Jangan berharap untuk menjadi gubernur, bupati, anggota parlemen baru melakukan hal-hal baik untuk tanah dan bangsamu. Jangan selalu mengharapkan orang lain berbuat sesuatu tetapi diri-mu sendiri menyangkal untuk berbuat dengan alasan tak punya jabatan, tak punya kuasa, dan sejenisnya.

Untuk merubah nasib bangsa dan tanah Papua tidak butuh gubernur, bupati, anggota dewan. Dia butuh Anda dan saya, orang-orang biasa, yang selalu berpikir dan bertanya, “Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini untuk tanah dan bangsaku?