Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (2)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

Selalu Berharap kepada pihak lain (berlanjut…)

Selalu menyalahkan pihak lain (lanjutan…)

Berlanjut dari ciri sebelumnya, yang kedua, orang Papua yang memenuhi syarat dijajah ialah orang Papua yang selalu menyalahkan pihak lain atas segala-sesuatu yang menimpa dirinya, kelompoknya, pribadinya, suku-bangsanya, kampungnya, kabupatennya, provinsinya, pulaunya, rasnya.

  • Kalau Pepera 1969 Gagal, orang Indonesia, Belanda, Amerika Serikat yang salah, PBB yang salah
  • Kalau orang Papua mati, maka Jawa yang salah
  • Kalau orang Papua miskin, maka Indonesia yang salah
  • Kalau Otsus gagal, NKRI yang salah,
  • Kalau PNG tidak mendukung, Perdana Menteri yang salah
  • Kalau tidak ada negara di dunia yang mendukung, itu karena MSG dan PIF yang tidak cukup bicara untuk bangsa Papua

LALU PERTANYAAN-nya

  • APAKAH ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERSALAH?
  • Masalah ini soal bangsa mana? Lalu salah ini salah siapa?

Pribadi lepas pribadi, bangsa demi bangsa yang tidak pernah mengaku bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi pada dirinya oleh karena dirinya sendiri yang harus berubah adalah bangsa yang layak dijajah, karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, karena dia hanya melihat pertolongan datang dari luar, dan karena itu kalau ada kesalahan-pun itu karena kesalahan pihak lain pula.

Maka tanggapanya, memang ini orang layak dijajah.

Selain tidak percaya diri, dia juga tidak bertanggung-jawab menerima realitas dan mengakui diri sebagai subyek dari realitas kehidupan yang dijalani dan tidak selalu berada sebagai obyek passive.

Oleh karena tidak bertanggung-jawab atas apa yang menimpa dirinya, maka solusinya-pun dicarinya dengan mengharapkan pihak lain pula yang berubah, pihak lain yang bersikap, pihak lain yang bersmpati dan berempati, pihak lain yang mengambil langkah.

Mentalitas pengemis seperti ini menunjukkan bangsa itu memenuhi syarat untuk dijajah. Sebuah bangsa yang selalu berharap kepada bangsa lain, dan selalu menuduh bangsa lain memenuhi syarat 100% untuk dijajah. Oleh karena itu, kalau bangsa seperti ini memperjuangkan kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai sampai bangsa ini, pejuang yang ada di dalamnya berubah dan percaya bahwa yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri dan atas bangsanya, entah untuk kebaikan atau atas masalah, adalah diri sendiri, bangsa sendiri, pihak sendiri.

Sampai titik itu, maka kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, karena pribadi atau bangsa itu masih memenuhi syarat untuk dijajah.

 

 

 

Kerja, Kutukan atau Tujuan Hidup? Merusak Masa Depan Papua

Dulu orang pegunggan terkenal karena paling hebat kerja. Tapi sekarang budaya asli dan ajaran Firman mulai hilang walaupun orang bicara “mandiri” terus menurus. Di budaya dulu kalau laki laki belum tau bikin pagar, kebun, honai dan berburu dan berperang tidak mungkin dia bisa “mandiri” karena dia masi status anak, tukang minta minta….

Benjamin Wisley

Click di Sini untuk Video Lengkap

Prinsip “kerja” atau “bekerja” yang disampaikan di sini mengandung pemikiran konseptual, menggambarkan cara melihat apa yang kita lakukan dari sisi manfaat bagi peri kehidupan daripada sebatas manfaat ekonomi pribadi atau keluarga sendiri.

Aspek lain yang disinggung di sini ialah bekerja dan makan hasil keringat sendiri, bukan hasil tunggu-tunggu tiap bulan tanpa kerja apa-apa. Menjadi guru di Bokondini tetapi setiap hari tinggal di Jayapura, terima gaji dan habiskan gaji di Jayapura, misalnya.

Hal ketiga yang disinggung oleh pembicara di sini ialah slogan Papua Mandiri, bahwa Papua tidak bisa mandiri dengan paradigma berpikir sekarang, segala sesuatu harus dibantu oleh orang luar, oleh LSM luar, oleh gereja, oleh Pemerintah baru Papua bisa maju. Sementara pembicara sudah puluhan tahun berupaya mendidik dan membangun OAP untuk kemudian memimpin sekolah-sekolah yang didirikannya, tetapi beliau merasa ini gagal.

Katanya menurut rencana dulu ada 6 kampus yang mau dibangun, tetapi sebagian besar kampus saat ini tidak ada tenaga yang cukup dari OAP sendiri, terpaksa harus menyewa tenaga non-OAP dan bekerja di sekolah yang didirikannya, yaitu “Op Anggen”, yang dalam bahasa Indonesia artinya “Buah yang Baik”.

Penutup

Terlibat fokus pembicaraan di sini ialah bahwa orang gunung Papua yang dulunya terkenal rajin, ulet dan bertanggungjawab dan mampu mandiri itu tidak dapat diandalkan lagi.

Faktor pendidikan dan pengaruh dari luar dan faktor cara OAP sendiri menapis dan memilah dalam interaksi dengan dunia luar atau dengan perkembangan yang sedang terjadi menjadi faktor penentu.

Kalau seandainya OAP memiliki paradigma dan konsepsi tentang diri sendiri yang jelas dan mantap, maka apapun yang datang dari luar tidak akan merubah sendi-sendiri kehidupan, pola pikir dan konsep dasar kehidupan, sehingga interaksi oleh dunia luar tidak akan menghancurkan banyak, tetapi akan membantu meningkatkan dan memperkuat posisinya di dalam interaksi dimaksud.

Mari kita belajar dan terus belajar. Terutama belajar dari orang-orang yang telah berkarja di Tanah Papua dengan setulus hati, tanpa pamrih, dan bahkan yang mereka dapatkan ialah amarah, curiga dan caci-maki dari OAP sendiri.

Cari Nama Merusak Masa Depan Papua

Dalam Video ini salah satu orang Amerika Serikat yang sudah lama mengabdi di Tanah Papua, lebih mengabdi daripada orang yang menamakan diri OAP (Orang Asli Papua) dan lebih berdedikasi dan lebih menunjukkan kerja di lapangan di Tanah Papua, terutama sekali di pegunungan tengah.

Pendapat Pak Wisely tentang apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Papua saat ini, terutama selama 25 tahun belakangan perlu disimak dan dipelajari dalam rangka membangun “paradigma berpikir” dan “konsep” tentang diri sendiri dan tentang dunia semesta yang lebih baik, lebih jelas, lebih obyektif dan lebih komprehensif menyeluruh sehingga konsep tentang diri kita menjadi lebih utuh dan lebih membantu kita dalam mengembangkan diri ke depan.

Dengarkan Kesan Pesan Pak Wisely di sini

Menurutnya pengalaman pribadi Pak Wisely dengan nyata beliau melihat pertama-tama perubahan perilaku OAP begitu cepat, dulunya OAP selalu tersenyum, selalu ramah, selalu menerima sesama, sekarang OAP menjadi muka murah, penuh dengan curiga, penuh dengan dendam dan selalu berusaha untuk menyalahkan dan bersaing dengan orang lain dengan cara menghalang-halangi apa yang dikerjakan oleh sesama.

Dengan kata lain persaingan yang terjadi di Tanah Papua sangat tidak sehat.

Pak Wisely melihat masing-masing Bupati, Gubernur dan semua pejabat pemerintahan dan politik sedang “cari nama” sehingga dengan mudah mereka mengorbankan kepentingan-kepentingan umum. Masing-masing pihak berusaha membangun reputasi mereka sehingga mereka tidak perduli dan bahkan menghalangi apa yang dikerjakan oleh orang lain.

Kesimpulan

Kalau mau berbuat untuk Tanah dan bangsa Papua, berbuatlah tanpa pamrih, tidak usah mengharapkan pujian dari siapapun. Berbuatlah dengan sepenuh hati.

Kalau mau berbuat untuk tanah dan bangsa Papua, jangan dengan cara menghalang-halangi atau membatasi atau merusak apa yang dikerjakan oleh orang lain, atau bangsa lain.

Kita harus berlajar menerima setiap orang dengan kelebihan dan kekurangannya dan kita harus berani menerima apa saja yang dikerjakan oleh orang lain dan harus berani mengakui karya-karya, serta mendukung masing-masing menurut fungsi, peran, jabatan dan kelebihan serta kekurangan yang kita miliki.

Karena pada dasarnya manusia itu terbatas, terbatas dari berbagai sisi.