“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”
[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]
Buku Ryan Holiday “EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent” (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.
Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.
Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.
Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.
Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.
Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.
Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.
Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us
Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego
Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”. “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.
Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya
kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut
Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.
“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.
Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.
Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.
Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”
Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.
Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.
Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.
Suasana ini yang disebut dalam bahasa lain sebagai "aura". Dalam bahasa Lani disebut "ogum obari" atau bisa diterjemahkan juga sebagai "Agima".