Realitas menciptakan persepsi artinya apa yang kita hadapi, entah itu secara pribadi kita alami, diceritakan orang lain secara lisan ataupun tertulis, kalau realitas itu terjadi berulang-ulang, maka lama-kelamaan ia menjadi persepsi. Persepsi membentuk emosi dan pikiran kita terhadap realitas dimaksud.
Sama halnya dengan itu, persepsi juga dapat menciptakan realitas, kalau persepsi itu secara berulang-kali kita alami dan persepsikan, maka lama-kelamaan ia menjadi realitas.
Kita singgung dalam tulisan sebelumnya terkait topik yang sama, yaitu emosi (emotion), pikiran (thought) dan api neuro (neuro fire) dan kimia tubuh (body chemical). Kita ceritakan contoh kasus polisi lewat dengan mobil patroli sewaktu masyarakat kampung minum kopi dan minum bir, reaksi dari pencuri dan ketua RT/RW terhadap mobil patroli yang lewat berbeda. Kita juga telah singgung ada demonstrasi orang dengan santai berjalan-jalan dan merokok di atas nyala api yang membakar dengan besear.
Yang membedakan kita bukanlah realitas dan kondisi yang ada dalam kehidupan kita ini, akan tetapi bagamana dan apa tanggapan kita terhadap realitas kehidupan-lah yang membedakan kita masing-masing.
Kalau saya melihat api menyala-nyala dan menganggap itu berbahaya karena dapat membakar saya, maka pasti api itu membakar saya. Kalau saya menganggap nyala api itu sama dengan kain merah-orange yang digantung di tembok, dan saya dapat bersantai di sana, maka saya dapat melakukannya juga.
Dan kalau saya menganggap dan memperlakukan api seperti ini secara berulang kali, maka “programming” ini akan masuk ke dalam alam bawah sadar, dan dari alam bawah sadar ini akan keluar reaksi spontan kita terhadap kondisi-kondisi yang ada.
Ada orang biasanya kalau ditegur atas permasalahan, atau disebutkan permasalahan yang ada, dia dengan cepat-cepat mencari alasan dan selalu berusaha menyalahkan pihak-pihak yang dirasanya bersalah dan menyebabkannya seperti itu. Ada juga orang yang akan meminta maaf dan mengaku akan memperbaikinya, walaupun dia sdar dia sendiri tidak melakukannya. Kalau masalah atau kendala muncul dalam bisnis, maka “apa reaksi kita?”, atau “apa persepsi kita” terhadap realitas yang kita hadapi? Akan kita cari kesalahan siapa ini? Ataukah akan bertanya kepada diri sendiri,
“Apa yang harus saya lakukan untuk tidak terulang kesalahan yang sama?”
Ya, benar eskali. Realitas itu membentuk persepsi kita. Dan sama dengan itu, persepsi kita juga dapat membentuk realitas. Ini sesuai dengan hukum alam, yaitu hukum keseimbangan, antara siang dan malam, kiri dan kanan, dan seterusnya.
Tips untuk Mengolah Realitas Menjadi Persepsi dan Persepsi menjadi realitas
Kita memiliki daya-cipta yang cukup untuk mengubah persepsi kita terhadap realitas kehidupan. Kita dapat mengolah persepsi kita menjadi realitas. Untuk itu, tips pertama masih sama dengan tips sebelumnya, yaitu selalu memandang semua permasalahan dari sisi peluang, dan selanjutnya apa keuntungan dari peluang yang tersedia.
Dengan memandang realitas seperti ini, maka lama-kelamaan, kita menjadi terbiasa memanfaatkan, bahkan tanpa kita sadari-pun, akan kita nikmati kehidupan yang bersahaja dan bahagia.
Tips kedua, kita harus tekun melakukannya, yaitu secara berulang-ulang, sampai kebiasaan ini menjadi bagian dari alam bawah sadar. Kalau ada kecemasan, kegelisaan, dan berusaha mencari-cari siapa yang salah, tanpa bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang harus saya lakukan unutk mendapatkan keuntungan dari realitas ini?”, maka saya harus secara berulang-ulang mempratekkan cara berpikir seperti ini, sampai cara perpikir ini menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kalau realitas sudah menjadi persepsi, maka persepsi itu sendiri akan menciptakan realitas bagi kita, yaitu realitas menjadi kaya-raya di atas tanah leluhur yang kaya-raya ini.
"RASA TAKUT" diciptakan oleh banyak pihak. Kunjungi papua.church dan baca bahwa agama, dalam hal ini "Gereja" sengaja menciptakan "Neraka" untuk menakut-nakuti manusia sehingga manusia secara mental terpenjara oleh nya dan dengan demikian mudah dikendalikan oleh para penguasa.
Pemerintah modern juga selalu menggunakan "FEAR" sebagai senjata utama untuk menjajah dan menduduki bangsa-bangsa di dunia. Di dalam demokrasi termaju di dunia-pun, "FEAR" harus dikelola dengan baik oleh para politisi untuk menguasai dan memerihtah.
Mari ktia lakukan, apa yang dapat kita lakukan DI SINI, SAAT ini! Jauhkan berpikir yang tidak-tidak dan yang bukan-bukan, karena kita akan mati dalam kondisi emosi yang tidak baik