Kalau manusia lain, seperti orang China, orang Makassar, orang Jawa bisa menjadi kaya-raya, walaupun bukan di tanah-leluhur mereka sendiri, walaupun mereka hidup merantau, berarti saya juga bisa. Itu prinsip dasar pemikiran yang harus kita camkan.
Saya menolak istilah, sikap dan keyakinan tentang “kodrat” dalam kaitannya dengan bisnis dan hubungannya dengan kaya-miskin. Kita menjadi kaya atau miskin saya anggap itu BUKAN KODRAT. Itu karena kita sendiri tidak berjuang, kita tidak merubah pola pikir, kita tidak berakar, kita tidak bekerja sesuai petunjuk Tuhan. Kaya-miskin juga bukan karena agama, tidak ada hubungannya dengan kepercayaan atau ilmu-ilmu gaib.
Kaya-miskin lebih disebabkan oleh saya sendiri. Pertama, saya sendiri tidak memiliki mentalitas dan hati, persepsi dan pikiran tidak berakar secara mendalam ke dalam diri saya sendiri. Ini faktor utama dan pertama yang sedang saya soroti dalam beberapa artikel pertama dalam blog ini. Itulah sebabnya saya menghabhiskan beberapa artikel khusus untuk berbicara tentang pohon, akar-akarnya, daun yang lebat dan berbuah dan daun yang lebat tetapi tidak berbuah, pohon yang tidak sehat tapi berbuah dan pohon yang tidak sehat ditambah tidak berbuah pula, apa alasannya dan apa nasib mereka.
Judul tulisan ini,
“Kalau manusialain bisa, manusia Papua juga bisa” di sini tidak berarti sama dengan prinsip seperti “Kalau laki-laki bisa kawin dua, perempuan juga bisa kawin dua. Kalau perempuan masak, laki-laki juga masak. Ini menyangkut kodrat. Saya orang Papua, Anda orang Jawa, itu kodrat. Kodrat sebagai manusia, tetapi juga sebagai suku-bangsa yang berbeda,”
Yang dimaksudkan dengan judul ini lebih dalam dari itu, pada tingkatan dan hakiki mereka dan kita sebagai manusia, yang dilahirkan sebagai pembuahan dari seorang ayah dan ibu, dari kandungan seorang mama, dibesarkan, dan menjadi kaya-miskin, lalu mati. Jadi, kita sama-sama manusia.
Yang membedakan kita, selain embel-embel kerja-keras, tekad bulat, dukungan keluarga dan sebagainya, pertama dan terutama ialah sikap dan mentalitas saya sendiri sebagai seorang manusia. Apakah saya menerima keadaan saya apa adanya sebagai “kodrat”? Ataukah saya berdoa kepada Tuhan, mengundang Dia turun campur-tangan dalam merubah nasib saya, untuk menjadi kaya-raya?
Ada “cuma..”, dalam judul tulisan kali ini.
Maksud saya bukan terlalu sulit. Cuma orang Papua selalu meng-kambing-hitam-kan pihak lain atas apa saja yang menimpa dirinya, tidak pernah mengambil tanggung-jawab di tangan sendiri atas apa yang sedang terjadi dalam hidup ini. Itu pertama. Lalu kedua, karena sering mencari kesalahan orang lain, akibatnya diri sendiri tidak punya sikap yang jelas, teguh dan ditopang oleh pernyataan sikap dan langkah-langkah yang jelas, yaitu berkorban untuk menjadi kaya-raya di negeri leluhur yang dikenal di seluruh dunia sebagai Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi!
Orang Papua menjadikan “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu sebagai negara besar yang timbul dari bawah. Cuma itu saja yang harus kita rombak. SETUJU?