Senang Tampilkan Foto vs Senang Tulis-Tulis di Media Sosial

Pembuka

Ada dua kelompok manusia saat ini hadir di media sosial. Yang pertama, silakan ke Facebook.com, dan perhatikan dengan mudah saja anda akan temukan ada saja orang Papua yang selalu berganti foto setiap hari, bahkan foto profil-pun digonta-ganti. Setiap apapun yang dilakukannya, pasti difoto dan ditampilkan di Facebook atau Instagram atau Twitter.

Kelompok kedua ialah orang-orang yang selalu berkomentar, memberikan catatan dan menyatakan pendapat terhadap berbagai hal dalam kehidupan. Akan tetapi, lebih cenderung ialah menyoroti berbagai persoalan yang muncul secara hukum, sosial dan politik. Walaupun di Melanesia belum nampak, banyak juga yang berbicara tentang agama, iman dan moralitas.

Fokus Pikiran

Kelompok pertama memfokuskan diri kepada diri sendiri. Apa yang ada di dalam dirinya, yang ada di luar dirinya, di sekitarnya, dan bahkan di luar di dunia maya sana menjadi perhatian dia. Saya baru saja menanyakan salah satu orang yang selalu mengeluarkan foto-foto setiap hari ini halaman facebook.com nya, “Apa dasar yang mendorong di dalam hati, sehingga semacam terdesak menaikkan foto-foto diri sendiri?” Menarik, ia menjawab, “Saya mau orang melihat saya cantik, saya menarik, saya masih bisa diandalkan”. Dalam hal ini perempuan yang menyatakan hal ini, sehingga, dengan mudah kita mengatakan dengan singkat, “Ia sedang mencari perhatian!” Dan dalam hal ini perhatian dari lawan jenis. Tujuan dari mencari perhatian bisa bermacam-macam, dari yang paling sederhana, hanya supaya orang bangga melihat dirinya sampai merasa tertarik dengannya.

Sedangkan kelompok kedua memfokuskan dirinya kepada hal-hal yang dilihat salah atau keliru di pihak orang lain di luar sana. Contoh yang paling mudah, ialah orang Papua melihat NKRI salah, orang Indonesia salah, PBB salah, Papua New Guinea salah, pemerintah salah. Dengan dasar pemikiran ini, sama seperti saya sendiri, karena saya sendiri masuk dalam kelompok ini, maka tuilsan-tulisan yang kami sampaikan ialah untuk paling tidak menegur, dan kalau untuk merubah pola pikir dan kemudian perilaku orang-orang yang kita lihat dan anggap keliru atau bersalah.

Jadi, kelompok pertama dan kelompok kedua sebenarnya didorong oleh sesuatu yang sama, yaitu bahwa ada sesuatu yang dianggap belum ada di dalam dirinya, sehingga ia sedang mencari perhatian dari pihak lain di luar sana, terutama di dunia maya. Tujuannya agar pihak lain yang diharapkan itu dapat menanggapinya. Tanggapan untuk kelompok pertama ialah menyukai gambar-gambar yang dikeluarkan, dan bila perlu “jatuh hati”, dan selanjutnya berpikir untuk menjalin hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara tanggapan yang diharapkan oleh para penulis di dinding facebook.com ialah perubahan pemikiran dan kemudian diwujudkan dengan perubahan perilaku. Akan tetapi tujaun jarak-dekat ialah untuk membuat si pembicara atau pelaku yang disorot supaya merasa malu.

Contohnya saya tulis catatan singkat ini, agar supaya kedua belah pihak merasa sadar, dan menyatakan, “Ah, begini e!” adoh, kalau bagitu bagaimana?”

Simpulan

Yang jelas tujuan saya menulis catatan ini bukan untuk memperbaiki siapa-siapa, akan tetapi supaya kita berdialog dengan diri kita sendiri sebelum kita menulis dan sebelum kita mengupload video, audio atau gambar, sehingga tantara tujuan kita dan apa yang kita lakukan tepat, sehingga orang lain tidak salah sangka, dan supaya kita sendiri tidak salah langkah.

Tidak ada yang salah dan benar, tidak ada yang dosa dan kudus. Yang disoroti di sini ialah agar kita semua sadar akan apa yang sedang kita lakukan, dan juga bisa mengukur sejauh mana tujuan kita tercapai dengan apa yang kita lakukan selama ini.

Paling tidak ada perubahan, dari waktu ke waktu segala sesuatu berubah… dan oleh karena itu perilaku media sosial kita juga perlu disesuaikan dengan kondisi bathin dan mental kita, disesuaikan dengan tujuan hidup, tujuan tindakan kita dalam bentuk foto-foto, video, audio dan tulisan.

[Salam waras…..!]

 

116224607_587391271959475_3566758750425425882_n

Hello World – Merdeka Dulu Baru Bicara Teori dari Belakang: Artinya apa?

Merdeka dulu baru bicara teori dari belakang mengandung artinya banyak sekali. Ini mengandung banyak arti yang perlu diepetakan.

Pertama, secara leterlek maksudnya bahwa sebelum Papua Merdeka tidak usah banyak bicara mengenai apa yang aan terjadi setelah merdeka, system pemerintahan, sistem ekonomi dan politik, berbagai macam ajaran dan dinamika setelah merdeka seharusnya dibicarakan setelah merdeka.

Terhadap pernyataan atau jalan pikiran ini, kita soroti dari dua pihak: pertama orang luar dan kedua para pejuang sendiri. Yang pertama orang barat, terutama mereka yang menjelankan negara-negara seperti Papua New Guinea, Vanuatu, Inodnesia, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan sebagainya akan kebingungan, apa “maksud dari merdeka” yang disampaikan oleh Orang Asli Papua (OAP) di West Papua. Yang kedua, OAP yang berteriak Papua Merdeka sendiri akan kebigungan “kemerdekaan” yang dimaksudnya itu apakah kemerdekaan dari Indonesia atau kemerdekaan untuk hidup berdaulat dan bebas dari penjajahan.

Yang jelas dunia internasional tidak memberhitungkan berapa orang Papua mati setiap hari. Mereka juga tidak perdulu kalau Pepera 1969 itu terjadi bebar atau melanggar hukum. Mereka tidak terlalu berkepentingan dengan perusakan alam dan pembunuhan manusia. Yang mereka perduli ialah pertanyaan ini, “Berapa keuntungan duit dari kemerdekaan West Papua?”

Nah, sekarang cara menghitung keuntungannya bagaimana?

Caranya bukan dengan mengirimkan update status di facebook, atau mengeluarkan pernyataan di lapangan saat demo atau pidato politik. Negara diatur dan diurus di kantor-kantor, oleh departemen dan lembaga dengan pejabat yang beralamat jelas, bukan di media sosial. Kenyataanya hampir semua pidato politik yang biasa disampaikan di lapangan-lapangan Papua Merdeka tidak memilik konsep yang jelas. Konsep pidato tidak jelas dan tidak pasti. Oleh karena itu, masing-masing orang berpidato menurut bisikan rohnya sendiri-sendiri, menurut karunia dan telenta alamiahnya. Apalagi “Concept Note” dari isi pidato tidak pernah kita baca. Itulah sebabnya, para wartawan atau negara-negara tidak mendapatkan oncept note terkirim sebelum demonstrasi atau pada saat barusan selesai demonstrasi atau pidato dimaksud. Teladan terbaik ialah Presiden Benny Wenda, sebelum pidatonya, ia selalu menyampaikan Concept Note kepada semua pemerintah di dunia, dan beberapa hari kemudian diposkan di website www.ulmwp.org

Dari Concept Note atau isu pidato penuh itulah akan diketahui bangsa-bangsa dan negara-negara bangsa di dunia apa saja kebijakan-kebijakan yang diambil bangsa Papua setelah West Papua merdeka, dan apa saja menjadi keuntungan-keuntungan yang bisa dipetik dari kemerdekaan West Papua. Dari situlah, maka masing-masing pribadi atau kelompok akan mengambil sikap dan langkah-langkah.

Jangan menyangka bahwa Perdana Menteri Papua New Guinea mengunjungi Indonesia tanpa biaya. Jangan pikir negara-negara d dunia mendukung Indonesia tanpa uang. Jangan pernah berpikir Indonesia itu selalu salah dan salah, dan karena itu dunia pasti membela West Papua karena OAP selalu dibunuh. Itu mitos! Itu ilusi. Itu tidak pernah terjadi dalam fakta politik dan kemanusiaan dunia.

Jadi, Papua Merdeka untungnya apa untuk Indonesia, untuk PNG, untuk Australia, untuk USA, dan sebagainya? Untung-ruginya dapat dilihat di mana kalau tidak ada teori dan konsep dasar atau konsep lengkap yang menyertai atua mendahului perjuangan kita?

[Bersambung…]

 

Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup

Itu yang saya katakan hari ini saat saya merenungkan berbagai hal yang melilit dalam kehidupan ini, terutama terkait dengan kepergian sejumlah orang yang sangat saya kasihi dalam waktu beberapa bulan ini, sejak bulan Juni 2020 sampai bulan Januari 2021 ini.

Alasan paling sederhana dan otomatis karena saya tidak sanggup menerima kepergian orang-orang yang sangat saya kasih. Tahun 2019, 2020 dan 2021 adalah tiga tahun terburuk dalam riwayat Suku saya, karena saya harus terpaksa menerima kepergian banyak tokoh adat dalam Masyarakat Adat (MADAT) Suku saya, dan saya juga harus tertunduk menerima kepergian sanak-keluarga, anak-cucu saya sendiri.

Saya berdoa kepada Tuhan begini,

Saya tidak terima atas keputusan-Mu! Tuhan tidak adil! Tuhan tidak punya perasaan! Tuhan tidak perduli dengan apa yang kami rasakan sebagai individu, keluarga, marga, klen, bangsa dan ras! Kami sudah tertindas setiap hari, mengapa engkau mengabulkan doa para penjajah, penjarah, peneror, pembunuh dan menindsa kami?

Dalam nama Yesus saya tolak keputusan-Mu ini.

Saya tolak! Saya tolak! Saya tolak!

http://yikwanak.com/kole/

Saya bandingkan dengan apa yang saya alami saat anak perempuan saya meninggal beberapa tahun lalu sangat berbeda. Saya juga mengalami meninggalnya kaka saya dan anak laki-laki saya. Saat ini saya langsug ditegur Tuhan dengan ayat-ayat Alkitab yang berkata sebagai berikut:

Pengkhotbah 3:1-8 TB

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.1-8.TB

Saat itu saya mendengar berita duka, saya masuk ke dalam rumah, mata saya langsung tertuju kepada sebuah buku yang ditulis di Jakarta, tentang menanam emas, bagaimana cara menabung emas dan menggadaikan emas dan menabung lagi. Saya langsung buka kata pengantar si penulis, ternyata dia katakan, “Segala sesuatu indah pada waktunya…”

Pengkhotbah 3:11 TB

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.11.TB

Tetapi kali ini saya tidak menerima, karena saya menganggap keputusan ini tidak adil, keputusan ini tidak benar pada waktunya. Saat ini saya butuh dia, saat ini saya mempersiapkan tempat untuk dia, saat ini saya siap memanggilnya datang dan tinggal bersama saya.

Saya berdiri di antara kedua

Di antara keduanya, yaitu menerima apapun yang terjadi sebagai kehendak Allah, yang indah pada waktunya, dan mengakui kenyataan bahwa apa yang terjadi tidak menguntungkan kehidupan ini. Saya harus memilih untuk berpihak.

Saya memulai artikel ini dengan keputusan untuk menolak keputusan Allah. Tetapi setelah sampai kepada kalimat ini, saat menulis judul “Saya berdiri di antara kedua…”, maka saya harus akui, saya menyerah.

  • Menyerah kepada menyataan bahwa saya pernah dilahirkan, sama dengan mereka yang pernah dilahirkan.
  • Menyerah kepada realitas mutlak bahwa saya akan mati, sama dengan mereka yang telah meninggalkan saya.

Alm. Bapelina Yikwa: Kita berserah, dan bersiap untuk pergi

Di titik ini saya teringat pada kata-kata mama saya, Bapelina Yikwa. Waktu itu om saya di Makassar meninggal dunia, adik saya di Sentani juga meninggal dunia. Saya hanya tertinggal mengeluh dan patah semangat. Saya telepon mama saya dan menyampaikan keluhan saya.

“Mama, saya tidak terima dengan apa yang om dia lakukan. Padahal kami dua sudah rencana baik-baik. Baru adik dia lagi sudah pergi, … dua orang yang paling saya cintai.”

Mama dia tidak pikir satu menit, dalam sedetik dia menjawab,

Aiiiiii, anak, Yikwanak wae, nir apit norak mban aret ogorik me, ina’nduk nagarak mber yororak lek o. Nawi mba’nuk aret nogwe me, nit niniki tee’luk aret Ala mban wa yogwe logowok e, an togop aret mbake agarik.

Yikwanak Kole dan mama Bapelina Yikwa per telepon

Tiga minggu kemudian, Mama Bapelina Yikwa-pun meninggal dunia. Dia pernah meminta saya mengirimkan uang untuk kuburan adik saya yang telah beliau kuburkan. Dan saya mengirimkan buat dia.

Lalu dia juga menusulnya pergi untuk selamanya.

Rencana saya untuk mengirimkan dia uang untuk memperbaiki rumah-pun gagal.

  • Rencana saya yang lain semuanya gugur!
  • Saya tinggal menganga!
  • Tinggal duduk diam! Mau sedih tidak!
  • Mau heran tidak! Mau marah tidak!
  • Mau kesal tidak!
  • Semuanya tidak!
  • Dan tidak! dan Tidak!

Apakah saya harus katakan, “Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup?”

TIDAK!

Saya sudah terlanjur dilahirkan!

Karena itu saya harus siap menerima apa-pun resiko kelahiran! Dan resiko terakhir dan resiko lunas dari kelahiran ialah kematian: baik kematian saya, maupun kematian semua yang saya cintai dan saya sayangi.

Lebih Enak dan Nyaman Rasanya Kalau Beli di Orang Indonesia (1)

Saya sudah menyaksikan banyak orang Papua belanja di pasar ataupun kios, lebih memilih untuk beli barang jualan para pendatang daripada membelinya dari orang Papua sendiri. Ada beberapa kali saya tanyakan kepada mereka (tentu saja secara tindak langsung kepadanya saat membeli dar pendatang).  Jawaban mereka yang pertama datang dari para aktivis Hak Asasi Manusia yang memperjuangkan Papua Merdeka.

Mereka bilang begini, “Lebih aman beli di pendatang karena mereka tidak akan kasihtahu orang Papua lain bahwa saya ada di sini!”

Dari sini saya melihat “ada rasa takut terhadap sesama orang Papua karena mulut orang Papua bocor, entah bocor karena dibocorkan atau karena memang orang Papua tidak tahu diri”, akibatnya para pejuang Papua Merdeka dan para ektivis Hak Asasi Manusia Papua merasa keberatan berbelanja di orang Papua sendiri.

Solusinya yang saya berikan dalam catatan singkat ini ialah supaya Orang Asli Papua (OAP) yang pengusaha toko, kios atau pasar tidak usah terlalu banyak bicara tentang orang Papua, khususnya orang Papua pejuang Papua Merdeka. Tidak usah kaget dan beri salam! Tidak usah beri salam macam-macam. Biarkan mereka berjalan, berbelanja dan melanjutkan kegiatan. Lakukan tugas anda berjualan! Biarkan semua berjalan menurut relnya. Jangan tiba-tiba penjual toko, warung, kios, pasar menjadi warwawan menceritakan siapa saja, apalagi bicara tentang para pejuang HAM Papua.

Analisis komparatif teori solidaritas Emile Durkheim dan Covid-19

Oleh: Fr. Charles Matly (JUBI)

Sejak diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Maret 2020 bahwa dua warga negara Indonesia terjangkit virus corona (Covid-19), jumlah pasien terpapar Covid-19 meningkat tajam. Setiap hari pun jumlah pasien berpeluang untuk bertambah.

Jika penanganannya tidak maksimal dan masyarakat belum sepenuhnya mematuhi anjuran keras untuk stay at home atau work from home (WFH) dan menjaga jarak sosial (social distancing), virus corona akan terus meluas.

Pandemi virus corona sudah sangat mengkhawatirkan karena semakin meluas, dan belum dapat diprediksi sampai kapan virus ini hilang. Artinya, pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan satu negara, melainkan persoalan dunia, yang semakin memporakporandakan kehidupan normal dalam berbagai bidang, terutama kesehatan dan ekonomi.

 

Hampir semua negara melakukan lockdown atau social distancing untuk menghindari semakin meluasnya penyebaran virus corona. Bagaimanapun hampir semua pihak terjangkit wabah Covid-19.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menggap remeh dan bersikap seolah-olah virus ini tidak berbahaya. Faktanya Covid-19 meluas dengan cepat menjadi epidemi yang sangat mudah terjangkit ke masyarakat Indonesia.

Dalam upaya penanggulangan virus ini, tentu membutuhkan kesiapan dan ketegasan pemerintah dari pusat maupun daerah. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap keselamatan, pelayanan kesehatan masyarakat, dokter dan paramedis, serta masyarakat umum.

Terlebih hal ini untuk menciptakan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah hadir dan menjaga kepentingan mereka sebagai rakyat Indonesia. Kepercayaan rakyat kepada pemerintah dapat meningkatkan solidaritas di antara mereka, yang dapat bermanfaat dalam mewujudkan kerja sama atau kolaborasi, sehingga penanggulangan virus corona akan lebih mudah, terarah, dan terukur.

Merujuk Emile Durkheim (Ritzer, 2003) solidaritas sosial dilihat sebagai suatu gejala moral. Maka dalam situasi ini, penulis menggunakan teori Emile Durkheim tentang solidaritas untuk menganalisis realitas masyarakat Indonesia di tengah pandemi ini, guna menggalakkan perubahan dan membangun solidaritas dalam menghadapi virus corona.

Pengertian solidaritas menurut Emile Durkheim

Menurut Emile Durkheim solidaritas adalah perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau orang saling percaya, maka mereka akan menjadi satu atau menjadi persahabatan, menjadi saling hormat-menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan sesamanya (Soedijati, 1999: 25).

Dari pengertian di atas, maka solidaritas dapat dimengerti sebagai adanya rasa saling percaya, (punya) cita-cita bersama, kesetiakawanan, dan memiliki rasa sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok, karena adanya perasaan emosional dan moral yang dianut bersama, yang dapat membuat individu merasa nyaman dengan kelompok atau komunitas dalam masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi, keakraban hubungan antara kelompok masyarakat tidak hanya merupakan alat untuk mencapai atau mewujudkan cita-citanya, tetapi keakraban hubungan sosial tersebut juga merupakan salah satu tujuan utama dari kehidupan kelompok masyarakat yang ada. Keadaan kelompok yang semakin kokoh selanjutnya akan menimbulkan rasa saling memiliki dan emosional yang kuat di antara anggotanya.

Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi perhatian Durkheim adalah bentuk solidaritasnya. Durkheim membagi dua bentuk solidaritas, yaitu solidaritas mekanik (mechanical solidarity) dan solidaritas organik (organic solidarity).

Solidaritas mekanik

Solidaritas mekanik adalah rasa solidaritas yang didasarkan pada suatu kesadaran kolektif yang menunjuk kepada totalitas kepercayaan yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama, yaitu mempunyai pekerjaan yang sama, pengalaman yang sama, sehingga banyak pula norma-norma yang dianut bersama (Johnson, 1994: 183).

Demikian juga Indonesia, mempunyai kekuatan solidaritas mekanik yang diikat oleh kesamaan dalam bentuk kesadaran kolektif. Artinya, sebagai sebuah bangsa yang sedang menghadapi wabah, Indonesia harus menyadari bahwa rakyat mempunyai kekuatan dalam bekerja sama. Kekuatan tersebut dibantengi oleh ideologi yang sama yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Emile Durkheim juga memberikan contoh terhadap kelompok masyarakat yang berkumpul atas keinginan bersama, yaitu adanya ikatan sosial yang mengikat individu itu dengan kelompoknya, tentu bukan karena paksaan fisik, melainkan ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral.

Orang yang sama-sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mereka mestinya bersama-sama karena mereka berpikiran serupa.

Dengan demikian, suatu masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik adalah bersatu, karena merasa semua orang yang ada di sekitarnya adalah sama. Yang menjadi ikatan atau pengikat di antara orang-orang itu adalah karena mereka semua terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang hampir sama antara satu dengan yang lain.

Solidaritas organik

Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi.

Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dan pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan menggairahkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu.

Munculnya perbedaan di kalangan individu yang diakibatkan oleh pembagian kerja yang begitu kuat, dapat mengubah kesadaran kolektif yang ada pada masyarakat sederhana. Seperti dikatakan Emile Durkheim, itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif.

Menurut George Ritzer, solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda (Ritzer, 2012: 145). Karena dalam masyarakat organik melaksanakan setiap pekerjaan yang relatif sempit, mereka banyak membutuhkan tenaga dari orang lain agar dapat memenuhi kelangsungan hidupnya.

Oleh karena itu, masyarakat organik dalam pandangan Durkheim “dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang lain”.

Dengan demikian, sudah waktunya untuk melupakan perbedaan organik di tengah pandemi ini. Ada beragam suku, etnis, bahasa, nilai etika dan moral, adat istiadat, partai politik dan agama. Hendaknya semua ini merupakan kekuatan alamiah yang dapat membangun solidaritas organik, untuk saling bergantung satu dengan yang lainnya. Dalam semangat yang sama kita bersinergi menghadapi tantangan Covid-19 ini.

Kesimpulan

Dalam kajian teori telah dijelaskan secara panjang lebar mengenai solidaritas. Selanjutnya, penulis membuat komparasi menggunakan teori solidaritas mekanik dan solidaritas organik Emile Durkheim untuk mengkaji solidaritas masyarakat Indonesia, dalam upaya membangun solidaritas melawan virus corona sesuai dengan tema tulisan ini.

Teori solidaritas yang dikemukakan oleh Emile Durkheim menjelaskan tentang perilaku solidaritas yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah virus corona. Sikap dan interaksi yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah, baik pusat, maupun daerah merupakan suatu proses solidaritas yang terjadi dalam konteks pekerjaan, terutama penanggulangan Covid-19 yang terus mengancam kehidupan masyarakat Indonesia setiap harinya.

Fenomena Covid-19 yang melanda dunia, khususnya Indonesia termasuk Papua, sesungguhnya memiliki sebuah arti yang dapat menjelaskan fenomena pluralitas, baik yang mekanik, maupun organik.

Solidaritas mekanik

Solidaritas mekanik yang tercermin dalam perilaku masyarakat dan pemerintah dapat dilihat pada upaya menggalang kerja sama dan tolong-menolong atau gotong royong di tengah masyarakat. Seperti pada awal imbauan untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak, tidak berada di ruang publik, keramaian atau tidak mengadakan pesta/rapat atau perkumpulan orang lainnya karena akan menjadi sarana penularan virus, selalu menjaga kesehatan dengan mencuci tangan, dan tidak bersalaman atau bentuk kontak fisik lainnya dengan anggota masyarakat.

Adapun tindakan pemerintah dalam mengambil kebijakan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama mereka yang secara ekonomi pekerja harian, mereka yang terinfeksi Covid-19, dokter dan paramedis, serta berbagai profesi yang terkait penanggulangan bencana wabah ini.

Dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai solidaritas mekanik karena beberapa alasan.

Pertama, kerja sama mematuhi anjuran merupakan cerminan dasar dari solidaritas mekanik yaitu menyandarkan pada sentimen bersama;

Kedua, sikap tolong-menolong yang dilakukan tidak mengenal waktu dan tidak mengenal orang. Siapa saja yang mengalami dampak dari Covid-19 menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilayani oleh tenaga medis.

Berdasarkan teori solidaritas Emile Durkheim mengenai sikap atau solidaritas yang terjadi, baik antara pemerintah, maupun masyarakat dalam penanggulangan wabah ini merupakan bentuk solidaritas mekanik. Hal ini dikarenakan sikap tolong-menolong atau solidaritas yang dilakukan antara sesama masyarakat merupakan sikap yang tidak individualis dan justru bergantung pada tiap-tiap individu.

Sikap tolong-menolong merupakan konsekuensi dari kondisi yang tengah dialami yang mendorong setiap orang untuk saling menolong dengan menimbang-nimbang bahwa jika terjadi hal yang sama akan ditolong.

Solidaritas organik 

Realitas kemajemukan bangsa Indonesia sesungguhnya telah menampilkan perbedaan organik dan seringkali perbedaan tersebut menjadi alasan untuk terpecah belah dan berkonflik.

Namun dengan kekuatan dan semangat yang menyatukan perbedaan, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara akan mempunyai kekuatan besar, sehingga mampu bertahan dan menghadapi pandemi ini.

Adanya solidaritas organik dalam realitas pandemi ini dilihat pada saat warga yang ada di tengah perang melawan Covid-19 masih berperilaku tidak simpatik dan tidak berperikemanusiaan. Seorang perawat berinisial NK, ditolak untuk dimakamkan di kampung halamannya karena terpapar Corona. Dia meninggal karena berjuang menyembuhkan pasien corona di RS Kariadi Semarang, Jawa Tengah.

Tindakan segelintir warga ini menuai badai kecaman dari berbagai pihak. Publik mengutuk dan mempertanyakan, dimana nurani dan rasa solidaritas mereka? Covid seolah mengikis rasa empati dan perikemanusiaan kita (harianjogja.com, 27 April 2020).

Dalam teorinya, Emile Durkheim menyebut tindakan tersebut di atas sebagai sikap atau perilaku individualis.

Artinya, tidak ada lagi kesadaran kolektif antarsesama yang sedang mengalami pandemi. Mereka seolah tidak peduli terhadap orang lain karena bertanggung jawab terhadap keluarganya masing-masing. Akibatnya orang seperti membatasi diri terhadap orang lain karena ketakutan yang berlebih.

Dengan kata lain, ketakutan dan penularan membuat kita lebih konformis, penilaian moral kita menjadi lebih keras, dan menjadikan kita lebih konservatif. Jadi, persoalan Covid-19 turut mempengaruhi perilaku masyarakat yang mencerminkan solidaritas organik. (*)

Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Merauke, Papua, sedang studi S2 di Ambon, Maluku

Editor: Timoteus Marten

10 Ciri orang Papua yang tahu Diri

Pengaruh penjajahan Belanda, missionaris barat dan kemudian pendudukan dan penjajahan NKRI menyebabkan goncangan yang besar buat identitas bangsa Papua. Oleh karena itu artikel ini kami salin kembali dengan tambahan dan komentar dari epapua.com

Kalau Anda orang Papua yang TAHU DIRI, maka berikut 10 cirinya:

  1. Mengunakan nama marga Besar atau marga kecil (jangan menggunakan Marga untuk membunuh marganya sendiri seperti Felix Wainggai dan lain-lainnya)
  2. Mengetahui Silsilah Keturunan Suku/ Marganya dan asalnya, (antisipasi karena tra kenalan baik-baik…celanan jatuh lalu sodara-baku makan dengan sodari sendiri)
  3. Mengetahui dan menggunakan Bahasa Suku/ Marganya (Kalo tidak tahu bahasa berarti anda bukan orang Papua) pergi tinggal dengan orang Indonesia saja)
  4. Memiliki Istri Orang Asli Papua (jangan Kawin Campur : Istri orang Non Papua, bangga dengan paha putih yang tidak tahu adat seperti Octovianus Motte dan Benny Giay)
  5.  Memastikan Wilayah atau Tanah Adat (Kalo kamu yang merantau jangan pulang kampung lalu tanam patok sekarang…karena kalau anda tahu itu anda punya tanah maka harus saling menjaga tanah air warisan leluhur kita masing-masing)
  6. Mengetahui Perbedaan Kulitnya dan Rambutnya (Rambut itu jangan direbonding seperti sapu ijuk)
  7. Mengetahui dan mengakui bahwa Indonesia bukan Pemerintah tetapi penjajah, yang datang untuk menjajah, meneror, menyiksa, memenjarakan, menjarah, dan membunuh Orang Asli Papua (OAP)
  8. Tidak mau dan berusaha mengembalikan uang dari tanah adat-nya yang sudah dijual oleh orang lain sehingga tanah adat-nya tidak diperjual-belikan.
  9. Mengetahui West Papua adalah Negara Merdeka dengan tribut dan simbol Negara seperti: Bendera Bintang Fajar, Lagu Kebangsaaan Hai Tanahku Papua, Lambang Negara Burung Mambruk, Undang-Undang Dasar Sementara Negara West Papua, mengetahui bahasa nasional dan bahasa pergaulan dan sebagainya).
  10. Mempercayai dan menyatakan bahwa paket kolonial bernama Otonomi Khusus ialah anak haram, yang lahir di luar sepengetahuan siapapun, yang telah wafat dan tidak ada gunanya bagi bangsa Papua dan oleh karena itu harus ditolak.

sumber: Umaginews dan lalu diedit dan dimodifikasi epapua.com

Kapitalisme, Sosialisme versus Trias Melanesia

“Menjadi Manusia di Melanesia” mengikuti cobaan berat cerita dua pemuda yang tinggal di kepulauan terpisah. Dan meskipun mereka tidak akan pernah bertemu satu sama lain, mereka memiliki tujuan yang sama dan itu tunggal: untuk membuat jalan yang sulit menjadi kedewasaan. Masing-masing akan menghadapi ritual inisiasi yang melelahkan. Untuk mencapai status dewasa ini di Melanesia, Junior dari pulau Kontu di Papua harus menangkap hiu yang hanya bersenjatakan laso dan baling-baling, sedangkan Wabak dari pulau Pentakosta di Vanuatu harus melompat dari menara kayu, pergelangan kakinya diikat dengan tanaman merambat tebal.Dua cobaan, masing-masing dengan tujuan yang sama: menjadi seorang pria! (Becoming a Man in Melanesia (by Jérôme Ségur))

Oleh: Ibrahim Peyon)*

Pengantar Tulisan ini dikaji dengan pendekatan antropologi mengenai dua maktab besar menjadi ideologi politik dunia dan kaca mata kedua maktab itu melihat konteks West Papua kini dan masa depan.

Kapitalisme dan sosialisme lahir dilatari oleh tiga situasi sosial-politik dalam masyarakat Eropa kuno. Dalam kondisi sosial-politik itu mendorong kedua teori itu terkonstruksi didasarkan kultur orang Eropa pada masa itu. Sedang, trias Melanesia asas filsafat dan pengetahuan berbasis pada struktur kultur dan struktur psikologi kolektif bangsa Melanesia. Ketiga tema itu akan dibahas dalam tulisan ini.

Kapitalisme

Kapitalisme produk asimilasi dari tiga kekuatan besar dalam masyarakat Eropa Kuno yaitu: kultur Yunani kuno, kultur feodalis dan sistem kerajaan, dan kekuatan agama kristen. Tiga kekuatan itu juga sekaligus menjadi dasar terkonstruksi sosialisme merupakan anti tesis kapitalisme. Tiga kekuatan utama itu menjadi basis dari kedua ideologi itu.

Pertama, budaya Yunani kuno yang memiliki seni, arstitektur dan keindahan yang tinggi dalam peradabatan masyarakat Yunani kuno (Smith 1988; Anderson 1996; Woods 2007). Karena itu muncul istilah culture dan civilisation. Civilitation berarti masyarakat dengan tingkat keberadaban tinggi, seni, arstitektur, keindahan, ilmu pengetahuan dan budaya menulis lebih lebih maju, dan lebih tinggi. Term civilization itu dari term latin civis, citizen, civitas, negara kota dan civitabilis, perkotaan. Sedang culture adalah budaya dari masyarakat dengan tingkat keberadaban lebih rendah, masyarakat di luar dari kategori pertama tersebut (Kroeber and Klucichohn 1952). Dibedakan dua kategori masyarakat dan kebudayaan mereka dimunculkan dengan terminologi tertentu sebagai kode klasifikasi seperti savagery, babarism, islander dan civilisation.

Kedua, budaya feodalis dalam sistem feodalisme kuno Eropa. Tanah-tanah di Eropa dikuasai oleh para feodalis yang menjalankan sistem feodalisme dalam kerajaan-kerajaan kuno. Para feodalis secara otomatis adalah raja di wilayah kekuasaannya. Di sini masyarakat Eropa sudah terbentuk secara struktur dan kelas-kelas hirarki. Pada lapisan teratas adalah para feodalis dan juga sekaligus raja dalam suatu kerajaan, sedang lapisan paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak mempunyai akses langsung pada tanah dan sumber daya dalam sistem feodalisme atau kerajaan itu. Ada kelas-kelas lain di bagian tengah. Kelas yang paling bawah inilah digerakan sebagai mesin produksi kapital dan sosial-politik untuk feodalis dan golongan raja.

Ketiga, Agama kristen sebagai sebuah sistem hirarki baru dalam masyarakar Eropa. Agama Kristen menciptakan struktur hirarki baru dengan memposisikan orang-orang dalam jabatan-jabatan dengan status sosial-politik baru dalam masyarakat. Dengan cara itu melahirkan kelas-kelas sosial baru dalam hirarki gereja dengan hukum kasih dan kesetaraan martabat manusia. Para pastor dan ahli-ahli biblika menterjemahkan buku-buku dari Roma dan Yunani kuno, diterbitkan secara masal dan dimobilisasi secara luas. Mereka merangkul masyarakat kelas bawah dalam sistem feodalisme, mengajar mereka membaca, menulis dan menghitung. Mereka diperkenalkan dengan seni, arstitektur, drama, kelola pertanian, sistem produksi dan distribusi. Proses-proses inilah disebut civilisation atau peradaban.

Struktur sosial-politik baru ini berhadapan dengan mesin politik feodalis lama dan menciptakan konflik-konflik sosial-politik di mana-mana. Hal ini menjadi tantangan baru para ilmuwan, cendikiawan, birokrat di lingkungan sistem feodalisme dan para pemimpin agama untuk mencari solusi dan solusinya adalah menciptakan suatu sistem baru disebut negara bangsa (lihat Smith 1998). Dalam rangka menciptakan sistem baru itu diperlukan sebuah kerangka yang menjadi dasar dari sistem baru itu. Dalam kerangka itu dibangun kesadaran mengenai ide-ide, gagasan dan konsep-konsep dalam struktur psikologi manusia dan dimobilisasi melalui seperangkat suprastruktur dan infrastruktur dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat terstrukturisasi dalam sistem negara bangsa yang baru itu. Ide, gagasan dan konsep-konsep terkonstruksi secara terustruktur, sistematis dan masif dalam supra-struktur dan infra-struktur itu menjadi dasar dan keyakinan kolektif masyarakat itu disebut ideologi. Ideologi itulah menjadi landasan dari suatu negara bangsa itu. Ideologi politik itu terkonstruksi produk asimilasi dari tiga kekuatan utama kultural itu. Maka terlahir ideologi politik kapitalisme modern.

Dilihat dari tiga kultural utama itu mempunyai prinsip dasar yang sama dalam struktur basis kultural dan psikologi yaitu kapital. Kapital adalah akumulasi keuntungan modal, alat dan sumber daya. Dalam sistem sibilisasi, feodalisme dan kekristenan masyarakat terstruktur secara hirarki dan kelas-kelas sosial. Kelas-kelas atas dapat terakumulasi modal dan sumber daya sebagai kapital. Kelas-kelas sosial atas dapat kendalikan kapital melalui suprastruktur dan infrastruktur sebagai mesin-mesin produksi sistem. Kapital adalah modal produksi dan distribusi, uang, mesin, alat, cendekiawan, teknokrat, seniman dan kelompok terdidik, dll. Semua itu dikategori sebagai akumulasi kapital. Elemen-elemen ini dapat menggerakan dan mobilisasi masyarakat kelas bawah sebagai mesin produksi kapital, mereka sebagai mesin produksi maka tidak terakumulasi kapital. Kapital tetap terakumulasi kembali kepada kelas atas pada kelompok kapitalis.

Sesudah negara terbentuk sistem ini dapat terekonstruksi dengan proses modifikasi dan modernisasi yang kemudian diterapkan dalam sistem negara bangsa yang baru. Pemilik kapital mengembangkan diri dalam sistem negara bangsa dengan membangun industri-industri, tambang, pabrik dan berbagai proyek-proyek raksasa. Demi mengamankan itu, kapitalis terakses secara bebas dalam mesin-mesin politik dan struktur kekuasaan. Dengan itu, mereka bebas kendalikan sistem politik dan kekuasaan. Kekuasaan produksi hukum-hukum sebagai suprastruktur negara bangsa dan infrastruktur dapat berlibat gandakan secara luas untuk melindungi dan mengamankan pemilik kapital dan aset-aset produksi mereka. Demi kepentingan aset vital atau aset negara. Perusahaan-perusahaan itu rekrut dan mobilisasi masyarakat kelas-kelas bawah dan dipekerjakan secara masal, kelompok kerja ini disebut buruh.

Di titik ini diantara kapitalis saling bersaing untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, maka kapital itu tertumpuk pada struktur atas, di kalangan kelompok kapitalis. Kapital itu tidak terdistribusi secara merata pada kelas-kelas menengah dan kelas bawah. Kapitalis juga tidak diperhatikan hak-hak buruh terutama upah, waktu dan distribusi sumber daya secara maksimal. Kondisi ini menciptakan jarak kesenjangan sosial antara buru dan pemilik kapital, buruh diposisikan sebagai mesin produksi kapital. Realita ini terdorong Karl Max menulis das Kapital dan menlahirkan teori sosialisme ilmiah.

Sosialisme

Konteks dasar menentukan arah pemikiran Karl Marx, sesudah ia menyelesaikan gymnasium. Situasi politik refresif di Prussia menghapus semua kebebasan yang diperjuangkan rakyat melawan perang Napoleon. Di Universitas Berlin, segera Marx terpesona dengan filsafat Hegel. Marx semakin berkembang setelah perkenalan dengan filsafat Feuerbach. Sesudahnya, Marx mengartikan ciri reaksioner di Prussia sebagai ungkapan sebuah keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris sesudah pengasingannya dari Jerman adalah jawaban atas pertanyaan Marx, mengenai sumber keterasingan yang dicarinya (Suseno 2001).

Pusat perhatiannya pada syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi dan diklaim sosialisme ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat. Dengan tesis ini, pendekatan Marx berubah dari filosofis murni menjadi semakin sosiologis. Sosialisme ilmiah itu disebut Marx sebagai paham sejarah materialistik. Sejarah dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan bidang ekonomi disatu pihak dan struktur kelas-kelas sosial dipihak lain. Menurut Marx ajaran inti sosialisme ilmiah itu ialah betul dan definitive (Marx 1846).

Marx dan Engels temanya analisa materialisme histori dalam masyarakat prakapitalis berbasis kajian etnologi. Mereka diilhami etnologi Amerika, Lewis Henry Morgan; Ancient Society sebagai sumber ulasan studi asal-usul tiga lembaga utama masyarakat modern (Maurice 1983). Hal ini diketahui dalam F. Engels (1892): Der Ursprung der Familie, des Privateigenthums und des Staats im Anschluss an Lewis H. Morgans Forschungen. Engels menulis asal usul keluarga, kepemilikan pribadi dan negara berbasis dari studi Morgan. Karl Marx sendiri mengenai studi etnologi Morgan, Conspectus on Lewis Morgans Ancient Society. Karya etnologi klasik ini menggugah gagasan-gagasan materialis dan evolusionis dalam studi masyarakat dan kebudayaan. Terutama mengenai sejarah tahap-tahap perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bertumpu pada landasan material seperti api, busur, panah, tulisan dan hewan jinakan. Dalam kerangka teoritis evolusi Morgan, sebagian besar sejarah manusia bisa dipahami dengan lebih baik lewat analisis atas kondisi materialnya.

Marx juga diilhami studi dari beberapa etnolog lain semisal John Budd Phrat tentang kampung masyarakat Arya. Henry Summer Meine mengenai sejarah institusi-institusi dan John Lubbock mengenai asal-usul civilisasi (Krader 1974). Marx dan Engels analisis kembali masyarakat pra-kapitalis Eropa kuno dan masyarakat Asiatik. Analisis mereka mengenai sejarah evolusi manusia dan kebudayaan dikategorikan dalam tiga tahapan: tahap savagery, babarism dan civilisation, sedangkan model evaluasi keluarga dibagi menjadi tujuh tahap (Clammer 2003).

Materialisme historis inilah menjadi basis teori sosialisme ilmiah mengenai suprastruktur dan infrastruktur. Infrastruktur terdiri atas mode produksi dan mode reproduksi. Mode produksi ialah teknologi dan praktik yang mengembangkan atau membatasi basis produksi subsistensi, khususnya produksi makanan dan berbagai bentuk energi, diberi batasan-batasan dan kesempatan yang disediakan oleh interaksi teknologi spesifik dengan habitat spesifik. Sedangkan mode reproduksi ialah teknologi dan praktik yang digunakan untuk mengembangkan, membatasi dan memelihara ukuran populasi. Demikian juga, struktur memiliki dua mode yaitu ekonomi domestik dan ekonomi politik. Pengorganisasi reproduksi dan basis produksi, tukar menukar dan konsumsi dalam camp, rumah tangga, apartemen, atau tatanan domestik lainnya. Kemudian mode ekonomi politik ialah pengorganisasian reproduksi dan basis produksi, tukar menukar dan konsumsi diantara band, desa-desa, chiefdoms, negara dan kerajaan (Harris1979: 52-53). Suprastruktur memiliki unsur-unsur seperti hukum, seni, musik, ritual dan ilmu pengetahuan yang tidak berhubungan langsung dengan mode produksi dan reproduksi. Di sini Harris masukan terminologi struktur diantara suprastruktur dan infrastruktur yang tidak ada dalam teori sosialisme Karl Marx.

Pendekatan Harris ditekakan pada kajian infrastruktur, struktur dan suprastruktur. Sedang Marxis menekankan kajian infrastruktur, kesadaran kelas dalam produksi, dan peranan historis dalam kelas-kelas manusia. Berbedaan lain antara sosialisme Marxis dan materialisme kultural adalah ketidaksepakatan mengenai metode dialektika.
Prinsip dasar materialisme historis adalah keadaan sosial sebagai determinan kesadaran manusia dan bukan sebaliknya. Menurut Marx manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi ditentukan oleh kondisi-kondisi yang dihadapinya, berasal dan ditransmisikan dari masa lampau. Kemudian mode produksi dan reproduksi infrastruktur dalam teori materialis adalah determinan tetapi menurut Marx bukan konsep penentu satu-satunya. Menurut Frederick Engels “konsep materialis unsur penentu dalam sejarah akhirnya adalah produksi dan reproduksi dalam kehidupan nyata. Namun, lebih dari itu baik Marx maupun saya tidak pernah mengemukakan pandangan bahwa produksi dan reproduksi ialah satu-satunya penentu. Karena itu, andai kata ada orang mengubah pernyataan itu, bahwa unsur ekonomi satu-satunya penentu, maka niscaya orang itu mengubah pendekatan kami menjadi tidak bermakna, abstrak, dan tak masuk akal” (Engels 1963: 204).

Marx mengatakan cara suatu masyarakat mengorganisasi produksi mereka adalah kunci untuk memahami keseluruhan struktur sosial. Produksi sarana subsistensi membentuk landasan yang di atasnya institusi negara, konsepsi hukum, seni dan bahkan gagasan tentang agama, dari orang-orang yang bersangkutan berevolusi. Struktur sosial tidak tercipta secara acak. Segenap masyarakat di berbagai tempat terdapat pola-pola yang pasti pada berbagai masa dalam sejarah mengorganisasi produksi benda-benda material mode produksi. Di sini, Marx membagi dalam lima episode mode produksi pada segenap masyarakat yakni komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis. Setiap masa itu didominasi oleh mode produksi tertentu dengan hubungan kelas khas tertentu. Produksi ekonomi adalah arsitek yang merangcang segenap aspek lain dalam masyarakat itu. Di mana cara suatu masyarakat mengorganisir itu disebut basis ekonomi atau infrastruktur. Infrastruktur ditentukan oleh faktor tenaga produktif dan relasi produktif. Tenaga produktif terkait segenap sumber daya yang digunakan masyarakat dalam produksi, semisal alat-alat produksi, kecakapan manusia dan pengalaman produksi. Sedang, relasi produktif ialah struktur pengorganisasian sosial produksi. Sistem relasi produksi ini ditentukan oleh tingkat perkembangan logika internal manusia dan tenaga-tenaga produksi materi. Di sini Marx tergerak pada institusi dalam struktur sosial selayak institusi keluarga dan sistem pendidikan. Di mana keluarga mereproduksi tenaga kerja atas dasar generasi, dan sistem pendidikan mencerminkan organisasi produksi dalam masyarakat kapitalis (Marx. 1867; Marx and Engels 1888). Di sinilah terjadi sistem integrasi sosial segenap aspek dalam fungsionalitas.

Teori sosialisme ilmiah Marx ini dikonstruksi menjadi ideologi politik oleh Lenin dan diterapkan di dalam mesin politik melalui partai politik kemudian menjadi ideologi politik resmi Unisoviet dan di negara-negara sosialis lain. Ideologi politik ini disebut komunisme.

Sosialisme-komunisme tidak murni dari teori Marxis, melainkan proses akulturasi dari unsur-unsur marxis dan unsur-unsur kultural berbasis terminologi tradisional Unisoviet: „narod, natsiia, narodnost’, natsional’nost. Terminologi ini menjadi konsep kunci nation dan nationalitas berbasis pada fenomena alam (Bassin, 2007: 147). Fenomena alam itu terkonstruksi pada dataran human organisasi dan nation, negara bangsa. Terminologi organisasi alam dibawa ke human organisasi dalam indep struktur kultural dan indep struktur spikologi dalam sejarah negara bangsa.

Terminologi ethnos dan nation terkait dengan elemen-elemen: mite dan asal-usul leluhur bersama; saling bagi memori; elemen-elemen kultur bersama;. akses dan kekuasaan teritori; tindakan solidaritas; dan status sosial dan politik. Semua ini elemen-elemen dasar dari nation atau bangsa menjadi basis etno-nasionalisme (Smith 2009).
Identitas nasionalisme Rusia modern pasca Unisoviet dikonstruksi dari basis ideologi etno-nasionalisme mereka. Dalam suatu kebijakan disebut „homeland as an ecological niche“ ialah basis teritorial sebagai asal-usul dan rumah kelompok etnik-etnik asli. Alam dan ekologi adalah rumah dan tempat duduk bangsa, dengan konsep itu lebih ditekankan penguatan pada level kelompok psikologis, diakui dan dihormati ekologi sebagai nativ, asal, kampung halaman dan tanah warisan leluhur. Semua bangsa mempunyai kampung halaman sendiri dan itu dikombinasi dengan keindahan landscap dalam sebuah sistem baru. Semua bangsa mempunyai wilayah asal-usul sendiri, dan itu dikombinasikan oleh elemen-elemen landscap. Di mana kampung halaman adalah representasi-representasi dari bagian-bagian sistem kita disebut ethno atau bangsa. Bangsa harus berbasis secara ekologis dan spritual untuk memberikan penghormatan kepada region sebagai asal, rumah dan suvivel manusia. Manusia berasal dari alam dan alam rumah bagi manusia (Bassin 2007: 147-149).

Natural dan ekologi rumah ethnos hidup, terlindung dan berkembang. Pengakuan dan penghormatan pada natural dan ekologi adalah level psikologis dan spritual tertinggi secara etno-nasionalisme. Dalam etno-ideologi diyakini bahwa manusia asal dari natural ini dicentralisasi pada level ideologi komunis yang mengatakan kepemilikan komunal dan tidak ada Tuhan. Ideologi ini kemudian dikombinasi dengan sosialisme ilmiah Karl Marx terkonstruksi menjadi komunisme-sosialisme.

Kapitalisme, Sosialisme versus Asas Melanesia

Teori sosialisme adalah anti tesis dari kapitalisme. Kedua teori itu menjadi ideologi politik saling teroposisi dan tercipta dua ideologi politik dunia. Kapitalisme menjadi representasi ideologi Eropa barat, sedang sosialisme-komunisme representasi ideologi Eropa timur. Dua teori itu lahir di dunia barat dan terkonstruksi dalam kultur dan ideologi politik barat. Kapitalisme ditanamkan kaki pada kapital, kepemilikan modal pribadi dan individualisme. Sedang, sosialisme ditanamkan kakinya pada kepemilikan komunal, penghapusan kepemilikan pribadi dan sosialistik.

Objek utama tesis dan anti tesis kedua maktab ini sama yaitu kelas bawah, kaum buruh dan tani, sebagai mesin produksi kapital bagi kapitalisme dan mesin produksi revolusi jalan menuju sosialisme-komunisme. Dalam menghadapai gerakan sosialisme, kapitalisme reorgisasi dan restrukturisasi diri untuk memberkuat dan mempertahankan posisinya. Negara-negara berideologi kapitalis reproduksi hukum sebagai suprastruktur negara bangsa. Produk-produk hukum itu restrukturisasi sistem negara bangsa dengan prosedur-prosedur dan aturan-aturan baru. Restrukturisasi suprastruktur ini dapat memberikan jaminan kebebasan, kesamaan hak dan demokrasi setiap warga negara. Meningkatkan kapasitas sumber daya melalui layanan-layanan publik semisal pendidikan, kesehatan, perumahan, komunikasi, pendapatan dan jaminan sosial. Kapitalis sediakan jabatan-jebatan sesuai kapasitas individu, meningkatkan hak, menambah hadiah dan jaminan liburan para pekerja. Kondisi-kondisi ini menciptakan keadilan, demokrasi, kebebasan, kesamaan martabat dan kemakmuran ekonomi.

Berbeda dengan sosialisme-komunisme dengan ideologi revolusi yang menghapus sistem kapilatisme dan konstruksi sistem negara bangsa yang baru. Sosialisme-komunisme pun produksi hukum-hukum dan prosedur-prosedur yang menghapus kapital dan kepemilikan individu. Sistem politik, kekuasaan, produksi hukum, sumber-sumber ekonomi, layanan-layanan publik semua dikendalikan oleh negara. Negara hadir sebagai representasi kekuasaan dan kepemilikan bersama atau kepemilikan komunal. Keadilan hukum, sosial dan ekonomi dimiliki oleh negara, diatur, dikendalikan dan distribusikan kepada masyarakat. Ciri khas lain negara sosialis adalah insklusif, tidak demokratis dan proteksionis. Negara mobilisasi rakyat untuk kerja sosial atas nama kepentingan komunal, hak individu, kebebasan dan demokrasi tiap warga negara distandarisasi dan tiap warga negara tidak boleh memiliki kekayaan melebihi orang lain.

Dalam sistem ini negara-negara sosialis tidak membangun ekonomi warga negara dan tidak diberikan kebebasan untuk berkreatif bagi pembangunan ekonomi rasyarakat. Sistem ini menciptakan kemiskinan ekonomi pada rakyat dan hal itu berdampak pada eksistensi kedaulatan negara. Kondisi ini berkonstribusi banyak negara-negara sosialis sudah runtuh dan bubar seperti Unisoviet, Jerman Timur, negara-negara di Eropa Timur dan beberapa negara di Amerika Latin. Hingga pasca perang dunia terdapat lebih dari 30 negara penganut ideologi sosialisme dan kini tersisa hanya enam negara sosialis. Cina negara terbesar penganut paham sosialisme-komunisme tetapi sistem ekonominya telah rekonstruksi ke dalam sistem ekonomi kapitalisme modern dan kini menjadi satu kekuatan ekonomi besar dunia. Kuba pasca Fidel Castrol menjadi negara terbuka dan menjalin kerja sama ekonomi dengan negara kapitalis, terakhir Venezuela jatuh krisis ekonomi dan politik berdampak jutaan warga negara eksodus keluar negeri.

Kedua ideologi, kapitalisme dan sosialisme itu lahir dari Eropa Barat dari basis kultural dan idelogi politik yang sama. Keduanya menjadikan masyarakat kelas bawah sebagai objek untuk kapitalisasi kepentingan masing-masing. Bila kedua ideologi politik diadopsi dan diterapkan dalam konteks ideologi politik dalam perjuangan Papua Merdeka tidak tepat. Atau salah satu dari kedua ideologi itu diadopsi, dikembangkan dan diterapkan dalam masyarakat Papua pun tidak tepat. Karena orang Papua sudah memiliki sistem kapitalisme dan sosialisme sendiri dalam etnokultural mereka. Sistem kapitalisme tradisional dan sosialisme tradisonal orang Papua berbeda dengan kedua ideologi ala Eropa itu [Kapitalisme dan Sosialisme]. Masyarakat dengan etnoideologi yang berorientasi pada kapitalis tradisional tersebut ialah orang Mee (Pospisil 1963), Maybrat (Miedema 1986) dan Muyu (Schoorl 1976). Sistem kapitalis tradisional dalam etnik-etnik ini sangat unik dan berbeda dari Kapitalis ala Eropa.

Akumulasi kapital orang Papua adalah pemberian dan distribusi untuk kepentingan politik, sosial, perlindungan, persaudaraan, jaringan relasi, keamanan dan keseimbangan. Proses itu terjadi secara otomatis dan timbal balik dalam bentuk dan nilai yang sama atau berbeda. Proses timbal balik ini disebut resiprositas. Jadi, akumulasi keuntungan orang Papua adalah kapital sosial. Bentuk dari kapital sosial itu adalah resiprositas dengan elemen-elemen tersebut di atas. Hal ini berbeda dengan kelompok borjuis modern orang Papua yang menduduki birokrasi, politik dan sektor swasta lain. Kita belum melihat mereka sebagai representasi kapitalis modern karena harus diikut dengan baromenter tertentu. Menurut saya mereka adalah borjuis baru agen kekuasaan yang dikendalikan oleh negara dan kapitalis untuk mengamankan kepentingan mereka.

Demikian pun etno-ideologis sosialis-komunal bangsa Papua itu berbeda dengan ideologi sosialisme-komunisme ala Eropa. Kepemilikan sumber daya alam dan akses pada tanah dalam budaya bangsa Papua adalah milik komunal berbasis klen. Tiap klen dalam suatu etnik dan areal kultural memiliki batas-batas tanah dan teritorial jelas dan tegas. Orang Papua saling mengakui, menghargai dan menghormati sesama mereka secara adil dan demokratis dalam komunitas mereka. Sumber daya alam di dalam dan di atas tanah dikendalikan secara kolektif dalam klen atau sekelompok klen dalam kekerabatan, mitologi dan sejarah mereka. Sumber daya alam itu dikelola secara bersama oleh masyarakat dalam suatu unit komunitas dan unit-unit sejenis dan distribusi diantara unit-unit itu dalam suatu teritorial, semisal klen, kampung atau konfederasi.

Berbeda dengan ideologi sosialis Eropa kepemilikan pribadi dihapus dan menjadi kepemilikan kolektif dan dikendalikan oleh negara. Kepemilikan pribadi dihapus karena dalam sistem feodalisme dan kapitalisme modern, tanah dan sumber-sumber produksi dikuasai feodalis dan kapitalis. Majoritas rakyat tidak memiliki akses tanah dan model produksi kapital. Kondisi ini berbeda dengan konteks Papua mengenai kepemilikan dan akses masyarakat kepada tanah dan sumber daya alam. Kondisi Papua saat ini adalah kapitalis didukung kekuasaan kolonial rampas tanah rakyat. Perjuangan rakyat ialah kembalikan tanah dan sumber daya alam mereka melalui gerakan revolusi. Bila sosialisme Marxis diterapkan konsekuensi logis adalah sistem kepemilikan komunal berbasis unit-unit klen, kampung dan teritorial dihapus, tanah diambil alih dalam otoritas negara dan dikendalikan oleh negara. Jika demikian tidak ada perbedaan antara sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme hapus milik individu dan unit-unit kelompok masyarakat dirampas demi kepenting komunal negara bangsa. Sementara kapitalisme merampas tanah rakyat, degredasi hutan dan menindas rakyat demi kepentingan kapital dan kepentingan negara kekuasaan.

Demi ideologi politik sosialisme, negara mengambil tindakan penghapuskan kekuasaan komunal dalam satuan-satuan masyarakat, sudah pasti memicu konflik sosial baru dalam masyarakat. Hukum lain dalam sosialisme-komunisme adalah tidak diakui adanya Tuhan dan agama. Ini hukum dasar di mana pun negara sosialis melarang warga negaranya menjalankan kepercayaan dan agama mereka. Bila ideologi politik sosialisme diterapkan maka hukumnya adalah hapus agama dan keyakinan orang Papua. Jika demikian, apakah orang Papua terima hukum sosialisme-komunisme itu, jawabanya tegas tidak. Karena peradaban baru orang Papua dibangun oleh misi kristen dan gereja, orang Papua terima agama kristen dan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruslamat mereka. Tidak dilarang jika unsur-unsur sosialisme tertentu dipakai sebagai alat perjuangan kemerdekaan Papua, seperti kasus Timor-Leste. Tetapi, bukan sebagai ideologi politik bangsa Papua.

Terkait Timor-Leste dan Vanuatu mereka bukan negera sosialis, melainkan negara yang berasaskan sosial-demokrat. Paham sosial-demokrat berbeda dengan sosialisme. Sosial-demokrat itu terkonstruksi kombinasi unsur-unsur tertentu dari paham kapitalisme, sosialisme dan demokrat dengan nilai-nilai budaya negara itu sendiri. Dukungan Vanuatu untuk dekolonisasi daerah-daerah di Melanesia dan Pasifik berbasis pada konsep Melanesia Brotherhood yang berasal dari filsafat trias tunggal Melanesia. Sosialisme terkonstruksi basis materialisme historis dan insfrastruktur mengenai model produksi dan model reproduksi. Daerah perkotaan di West Papua sudah diterapkan model produksi dan model reproduksi oleh kekuasaan kolonial dan kapitalis melalui berbagai perusahaan. Berbeda dengan di daerah-daerah luar kota pengaruh kapitalisme belum signifikasi terutama model produksi dan struktur basis. Masyarakat yang mengalami langsung adalah daerah-daerah kapitalisme semisal Tembagapura, Bintuni dan di daerah-daerah perkebunan kelapa sawit, produksi kehutanan dan produksi industri sagu, produksi energi makanan seperti di Merauke. Persoalannya adalah berapa banyak orang Papua yang terlibat dalam mode produksi dengan kelas-kelas sosial yang berbeda dalam proyek-proyek kapitalisme di West Papua. Di mana kelas-kelas sosial itu dimobilisasi dalam ideologi sosialis untuk melakukan perubahan sistem kapitalisme dan kekuasaan kolonial. Bila tidak, yang harus dibangun adalah kesadaran kekuasaan kolonial dan kesadaran perampasan hak hidup dan tanah-tanah mereka untuk mengkuasai kembali melalui revolusi kemerdekaan nasional bangsa Papua.

Trias Tunggal Melanesia

Trias, tiga asas tunggal Melanesia. Tiga asas itu hukum dasar dari semua elemen di Melanesia. Tiga asas itu ialah: one people, one soul and one land. Dua asas telah terepresentasi dalam semboyan bangsa Papua: one people, one soul sebagai asas ideologi politik. Tetapi, dimaksud trias dalam diskusi ini buka itu (ideologi politik) melainkan di atas dari suatu ideologi politik. Terminologi one people menunjuk pada manusia, ethnos atau bangsa. One soul menunjuk pada roh, jiwa dan kultur. Sedang one land terepresentasi pada homeland, nation, natur dan landscape.

Bila dikaji lebih dalam tiga asas ini merupakan satu maka bisa disebut satu trias Melanesia atau trias tunggal Melanesia. Maksud dari terminologi tunggal atau satu adalah tiga asas itu merupakan satu tubuh dan satu jiwa, satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Terminologi satu atau tunggal menunjuk pada pencipta, Tuhan dan tokoh ideal pernah ada dan menciptakan dunia dan kehidupan ini. Tokoh itu selalu ada dalam sejarah penciptaan orang-orang Melanesia, di dalam setiap etnik atau bangsa, mereka percaya bahwa tokoh ideal itu adalah Tuhan. Karena itu, mereka selalu melakukan ritus-ritus dan pujian kepadanya. Konsep trias tunggal Melanesia tidak terelasi dengan konsep tri tunggal dalam kekristenan.

Makna terminology satu atau tunggal adalah satu tubuh dan roh dari pencipta yang diyakini itu. Manusia, roh, bumi, langit, tanah, tumbuhan dan segala isi itu berasal dari satu tubuh, tubuh dari pencipta itu. Bagian dari tubuh pencipta itu terpecah atau terpotong dan menciptakan segala yang ada. Pencipta itu selalu hadir dalam sejarah suci dan religi asli Melanesia. Dalam setiap etnik atau suatu daerah kultural di Melanesia selalu ada tokoh atau pencipta macam itu.

Trias Tunggal Melanesia adalah asas tunggal bangsa Melanesia, di dataran logika filsafat, indep struktur dan indep spiskologi kolektif orang Melanesia. Posisi trias tunggal itu di dalam otak dan ditransmisi ke dalam tubuh dan tereksresi ke luar dalam bentuk sikap dan tindakan manusia. Trias Tunggal itu juga bisa digambarkan dalam penciptaan sebagai sejarah suci dan sekaligus agama dari etnik-etnik, areal kultural bahkan dalam keseluruhan rumpun Melanesia dengan bentuk dan varian-variannya. Tetapi, inti dari sejarah suci dan religi itu satu dan sama, dan itu salah satu aspek. Bila dikaji lebih mendalam unsur-unsur itu, dapat ditemukan relasi yang mempersatukan semua elemen pada satu struktur basis.

Banyak studi etnologi sudah mencatat unsur-unsur itu dan tinggal kita analisa lebih mendalam untuk menemukan struktur dalam dan relasi-relasi yang menghubungkan antara unsur-unsur kultur dan natur di dalam satu etnik, diantara etnik, diantara daerah kultural sampai bangsa Papua secara keseluruhan. Satu Trias Melanesia adalah asas, dasar filsafat hidup Melanesia. Satu Trias Melanesia bukan ideologi politik, dia berdiri di atas ideologi politik dan semua pragmatisme lain. Satu Trias Melanesia diposisikan basis pengetahuan dan sumber inspirasi, sumber ideologi dan pragmatis.

Dalam masyarakat Marind-Anim disebut Dema, dia adalah tuhan yang menciptakan Manusia dan segala yang ada (Baal 1966). Dalam masyarakat Asmat disebut Mbiwiripitsy yang menciptakan manusia dari patung ukir (Gertrudis and Pouwer 2002; Pouwer 2010). Orang Yali sebut waltibag dalam wujud Loli dan Yeli, dia adalah tuhan dan dari pecahan tubuhnya menciptakan manusia dan segala yang ada di bumi (Zölnner 1977; Peyon 2019). Orang di lembah Balim sebut Naruwekul, manusia ajaib yang menciptakan sesuatu dari pecahan tubuhnya (Alua 2006). Orang Mee sebut Ugatame adalah tuhan dan pencipta (Giay 1995). Dalam masyarakat di areal kultural Wandamen, Kuri, Wamesa sampai sebagian di Bintuni disebut Puri dan Pasai diyakini tuhan dan pencipta manusia, dan segala yang ada di bumi. Beberapa klen di daerah Imbuan, Sanfarmum dan Saukorem disebut Buamit adalah tuhan dan pencipta mereka, dia memisahkan terang dan gelap, menciptakan Kawa sebagai manusia pertama dan segala isi bumi lain (Miedema 1990). Daerah kultural kepulauan Biak-Numfor disebut Manarmakeri, laki-laki kaskado ajaib dan membawa koreri, kehidupan kekal (Kamma 1992). Orang Muyu percaya kepada Komot, dia ialah tuhan dan pencipta bumi dan segala isinya (Schoorl 1997). Orang Windesi percaya bahwa manusia dan segala yang ada tercipta dari potongan tubuh dari seorang ibu bernama Amori. Amori ialah kanguru betina, kanguru itu makan sperma dari seorang laki-laki Windesi, kemudian kanguru itu bunting dan melahirkan seorang anak laki-laki, bernama Sisinjori. Kemudian Amori suruh Sisinjori dibunuh dan dimutilasi tubuhnya dan dari mutisi tubuh itu menciptakan manusia dan segala isi bumi (Kamma 1975). Orang Sentani tengah percaya bahwa mereka berasal dari dalam bumi atau tanah, mereka dilahirkan oleh seorang ibu bernama Qani dan Qani adalah bumi yang melahirkan manusia pertama klen Mehue dan kelompok klen lain (Kamma 1975; Peyon 2013).

Demikian, setiap etnik mempunyai pencipta dan satu tokoh ideal sebagai tuhan. Pencipta atau tuhan selalu ada mula-mula dan menciptakan manusia dan segala isi bumi, semisal Dema, Waltibag, dan Buamit. Sedang, tokoh ideal atau manusia ajaib selalu muncul tiba-tiba, setelah manusia sudah ada dan melakukan segala peristiwa ajaib dan melalui peristiwa itu dia menciptakan manusia dan benda lain, semisal kuri-pasai, yeli, naruekul dan Manarmakeri. Tokoh ideal kategori terakhir ini sebagai penjelmaan dari pencipta dan tuhan itu sendiri, dia hadir melengkapi sesuatu dinilainya belum lengkap, atau melalui kehadirannya itu, dirinya lebih dekat. dikenal dan dipercaya oleh manusia sebagai tuhan dan pencipta mereka. Dia itu satu dan tunggal, kemudian dia menciptakan manusia dan segala isi bumi dengan tangan, potongan tubuhnya dan atau melalui peristiwa ajaib tertentu.

Bila diteliti lebih mendalam lagi ditemukan suatu relasi yang dapat menghubungkan pencipta dan tokoh-tokoh ideal itu, dalam satu kultur dengan kultur lain diantara etnik-etnik di Melanesia. Relasi itu dapat dilihat dari hubungan cerita, keyakinan, sebaran manusia, bentuk-bentuk ritus, symbol, asosiasi dan totemik, dan bentuk-bentuk kultur material. Kultur material itu adalah symbol, signal dan tanda dari abstraksi tidak kelihatan itu. Hal-hal itu ialah kode sebagai relasi struktural, dengan relasi itu ditemukan satu struktur dasar filsafat bangsa Papua atau Melanesia secara keseluruhan. Segala aspek itu dapat terepresentasi dalam tiga asas Melanesia itu: Manusia, ethnos atau bangsa, soul, Roh atau jiwa dan Land, nation dan natur.

One People, terminologi ini tercermin satu sesama manusia dan satu sesama bangsa Melanesia. Di Melanesia terdiri banyak etnik tetapi mereka semua berasal dari satu tubuh dan satu jiwa dari pencipta, tuhan dan manusia ideal itu. Manusia Papua atau Melanesia berasal dari satu keluarga, satu kerabat, satu bangsa dan satu rumpun. Orang Melanesia secara fenotif satu dengan kesamaan ciri. Tipe fenotif itu adalah tercermin dari kesatuan itu. Secara genotif dan etnik bervariasi karena proses evolusi dan migrasi (lihat juga Opeba 1981). Meski demikian, semua orang Melanesia meresa mereka dari satu tubuh dan satu jiwa, satu keluarga dan kerabat. Berbasis dengan itu, muncul terminologi Melanesians Brotherhood, one Blood dan wantok (lihat Strathern 1972). Orang Melanesia saling menghagai dan menghormati di antara mereka, menghormati dan mengakui hak kepemilikan dan batas-batas tanah berbasis klen dan etnik. Mereka tidak bisa merampas dan klaim kepemilikan pihak lain. Mereka saling mengakui kepemilikannya sendiri dan kepemilikan pihak lain. Nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran menjadi otoritas tertinggi dan itulah disebut demokrasi.

One Soul, satu jiwa, satu roh dan satu kultur. Terminologi ini menunjuk pada tiga elemen utama: roh, jiwa dan kultur. Roh terkait dengan kepercayaan, religi dan pandangan hidup mengenai kekuatan lain di luar manusia. Roh diklasifikasi dengan variasi bentuk, jenis, sifat dan tempat hunian. Roh-roh itu terelasi dengan penciptaan, tokoh ideal, peristiwa dan sejarah dalam periode-periode tertentu. Tetapi, roh-roh itu sendiri bukan pencipta atau tokoh ideal itu. melainkan bagian atau bentuk asosiasi dari pencipta dan tokoh ideal itu. Posisi pencipta dan tuhan di atas dari roh-roh ini dan semua mahluk lain.

Di sisi lain, roh-roh itu ialah metafor dan asosiasi dari satuan-satuan masyarakat. Semisal klen, Fratri, Moiety, etnik dan daerah kultural. Dunia Melanesia itu digambarkan sebagai dunia roh mulai dari dalam rumah sampai alam terbuka. Manusia bangun relasi dengan simbol-simbol dan ritus-ritus tertentu. Relasi antara pencipta atau tuhan dengan manusia adalah relasi vertikal. Maka kepercayaan dalam religi asli Melanesia terhadap pencipta atau tuhan ialah kepercayaan vertikal, sedang kepercayaan atau religi Melanesia terhadap roh-roh di luar pencipta itu adalah kepercayaan horizontal. Fakta ini membantah teori religi Melanesia, bahwa religi Melanesia ialah kepercayaan Horizontal (lihat Trompf 2006).

Jiwa adalah semangat dan perasaan yang tergerakan dari indep struktur psikologi manusia atau indep struktur psikologi ethnos. Semangat dan perasaan ini tergerakan kesatuan, solidaritas, patriotisme, nasionalisme, kesamaan dan kekeluargaan. Gerakan jiwa itu ditampilkan melalui ekspresi, sikap dan tindakan disebut kultur. Maka kultur adalah jiwa dan roh dari suatu bangsa, roh yang tergerakkan bangsa itu hidup dan bergerak. Bangsa tanpa identitas kultural maka bangsa itu sudah mati, tidak berjiwa dan tidak bergerak.

One Land, terminologi ini terepresentasi nation, land, natur dan landscape. Dalam sejarah dan kultural, bangsa Melanesia ditempati pada satu daratan dan satu kawasan. Pandangan tradisional ini terbukti dari studi geologis dan arkeologis. Melanesia, Ausrali, Selandia baru dan Tasmania adalah satu daratan Sahul. Pencairan es dalam proses evolusi memisahkan dataran Sahul dan terbentuk gugusan kepulauan Melanesia terpisah dari Australia. Demikian juga Selandia Baru dan Tasmania. Tetapi, secara geologis dasar lautan satu kesatuan dari dataran Sahul.

Makna tanah bagi Melanesia merupakan ibu, tempat ethnos dilahirkan, hidup dan kembali ke dalam tubuh ibu itu setelah kematian. Tanah tidak hanya sumber ekonomi tetapi tubuh dari ethnos itu sendiri. Karena tanah bagian tubuh dari pencipta sendiri dalam sejarah budaya Melanesia (lihat Beanal 1996; Erari 1995; Peyon 2019; Flem Dokumenter Mahuze 2018; Mcdonnell, Allen and Filer 2017). Tanah juga merupakan landscape tempat ethnos hidup, menikmati, sumber inspirasi dan pengetahuan dengan keindahan landscap. Tanah adalah rumah ethnos, alam, flora, fauna dan semua bentuk lain. Karena itu, tanah adalah ibu dan rumah untuk semua.

Dalam pandangan ini tanah, flora, fauna dan semua elemen lain di dalam dan di atas ialah bagian dari tubuh manusia atau nebjadi anggota kerabat dari orang Melanesia. Dalam budaya Marind-Anim Dema adalah pencipta dan tuhan, Dema itu telah menjelman menjadi manusia, tanah, flora dan fauna. Semua tempat dan semua elemen itu ialah Dema, semua itu satu tubuh dan satu darah dari manusia Marind-Anim. Kelapa itu kerabat dari Kebze dan Kebze itu kerabat dari kelapa, anjing dan sagu itu kerabat dari Mehuze demikian juga dengan buaya, burung, ikan dan elemen-elemen lainnya. Semua itu ialah anggota-anggota klen manusia Marind-Anim atau amai-nya mereka (Baal 1966). Dalam kultur Amungme digambarkan tanah, gunung, sungai dan seluruh isi bumi itu asosiasi dengan tubuh mereka sendiri (Beanal 1996). Dalam filsafat orang Yali, manusia, tanah, gunung, sungai, flora dan fauna di dunia ini adalah pecahan tubuh dari pencipta, Waltibag, melalui Loli dan Yeli, maka itu bagian dari tubuh dan kerabat mereka sendiri (Zöllner 1977; Peyon 2019). Dalam budaya Mek, Eipo, Sela dan daerah sekitar digambarkan babi sebagai asosiasi klen tertentu semisal Nabyal, Kisamlu, Mekdoman, Kone, Usikilye, Balyo, Malyo dan la. Anjing diasosiasikan dengan klen Bolmedin dan Mirin. Klan Tengket diasosialan matahari dan bulan (Heeschen 1990; 2015). Di daerah Kuri Waguna klen tertentu asosiasi dengan babi melalui kisah tokoh Fenetriom sebagai gen campuran antara laki-laki Fenanat dengan satu jenis babi putih (Miedema 1997). Asosiasi manusia dengan babi juga digambarkan dalam budaya Muyu, Kamberap seorang laki-laki berubah menjadi babi. Atas permintaanya dia dibunuh dan dipotongnya menjadi dua bagian. Bagian kepala menjadi babi keramat hanya bisa dimakan laki-laki dan di bagian kaki menjadi babi hutan yang bisa dimakan semua orang (Schoorl 1997). Semuan unsur alam itu gambar manusia dan kerabat dari manusia. Satuan-satuan ethnos memiliki identitas sendiri, asosiasi dengan elemen-elemen alam menjadi totemik mereka itu.
Dalam budaya Melanesia ditemukan asosiasi-asosiasi ini dengan banyak elemen, dan setiap etnik memiliki kesamaan atau kemiripan asosiasi seperti ini, semisal asosiasi manusia dengan babi, manusia dengan kasuari, manusia dengan buaya. Bentuk-bentuk asosiasi atau totemik ini saya sebut relasi dalam konteks analisa ini. Dengan relasi ini dapat ditemukan indep struktur kultur dan indep struktur psikologi, yang menjadi logika dasar dari filsafat Trias tunggal Melanesia itu.

Sistem itu juga berlaku dalam kepemilikan tanah dan sumber daya alam pada tanah itu. Sistem kekuasaan tanah selalu berbasis pada klen, seperti hal totemik dan tanah ialah otoritas klen, bukan individu dan etnik. Ketika saat kelola tanah dan distribusi produk-produk dari tanah itu selalu dibagi diantara mereka karena asas keadilan dan kesetaraan. Para anggota satuan klen, gabungan klen dan komunitas dalam satuan teritorial itu selalu mendapatkan bagian. Bila kelola tanah, proses perencanaan sampai panen dilakukan secara bersama melalui mekanisme kultural dalam komunitas itu. Distribusi macam ini berlaku asas keadilan, demokrasi dan keseimbangan berbasis hukum kasih dan resiprositas. Prinsip hukum-hukum semacam ini disebut sosialisme Melanesia.

Dengan dasar filsafat ini tanah, sungai, gunung, flora dan fauna itu harus diperlakukan sama dengan manusia. Dengan kata lain, manusia harus memperlakukan unsur-unsur itu sama dengan dirinya sendiri. Manusia harus melindungi, membangun relasi dan komunikasi dengan semua unsur itu untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup. Dalam konsepsi ini terkonstruksi terminologi mengenai tempat suci dan sakral. Di tempat sakral itu ditempati roh-roh tertentu dan menjaga penguasa tempat-tempat itu. Roh-roh itu memiliki relasi dengan klen, komunitas, sejarah dan leluhur tertentu. Semua memiliki relasi dengan pencipta, sejarah, roh, alam dan manusia. Demua saling terkait dan terelasi. Terminologi tempat suci dan sakral adalah suatu hukum indigeneus untuk menjaga relasi dengan alam, keseimbangan dan kontunuitas masa depan antara manusia dengan kerabat-kerabat mereka itu.

Semua elemen itu digambarkan tubuh dan jiwa dari manusia Melanesia maka tanah, laut, flora dan fauna itu bukan semata sumber ekonomi untuk akumulasi kapital seperti dalam teori kapitalisme, bukan juga dihapus kepemilikan individu dan klen dan menjadikan kepemilikan komunal negara bangsa seperti dalam teori sosialisme Marxis. Trias tunggal Melanesia memiliki basis filsafat dan basis pengetahuan sendiri, dengan basis filsafat dan basis pengetahuan itu terkonstruksi teori-teori dan metode-metode menjadi acuan untuk melahirkan ideologi politik dan nasionalisme bangsa Papua.

_______ )* Penulis adalah akademisi Uncen. Saat ini ia sebagai kandidat doktor dari salah satu Universitas ternama di Jerman.

Bibliografi

  1. Alua, Agus A. et al. (2006): Nilai-nilai hidup masyarakat Hubula di lembah Balim Papua. Jayapura: STFT Fajar Timur.
  2. Anderson, Benedict. (2006): Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London and New York, VERSO
  3. Baal, Van J. (1966): Dema Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New Guinea). Amsterdam, The Financial Aid of the Ministry of the Interior and the Royal Tropical Institute.
  4. Bassin, Mark. (2007): Lev Gumilev and Russian National Identity During and Aft er the Soviet Era. in Nationalism and Ethnosymbolism: history, culture and ethnicity in the formation of nations. (Editor Athena S. Leoussi and Steven Grosby). Edinburgh University Press Ltd.
  5. Beanal, Tom. (1996): Amungme: Magaboarat Negel Jombei-Peibei.  Jakarta: WALHI.
  6. Bloch, Maurice. (1983): Marxism and Anthropology. Oxford: Oxford University Press.
  7. Clammer John. (2003): New-Marxisme antropologi: Studi ekonomi politik dan pembangunan. Yogjakarta, Satasiva
  8. Engels, Friedrich. (1892): Der Ursprung der Familie, des Privateigenthums und des Staats im Anschluss an Lewis H. Morgans Forschungen. NEW, Stuttgart.
  9. Giayi, Benny. (1995): Zakheus Pakage and His Communities Indigenous Religious Discourse, Socio-political Resistance, and Ethnohistory of the Me of Irian Jaya. Amsterdam. VU University Press.
  10. Harris, Marvin. 1980. Cultural Materialism: the struggle for a science of culture. New York: Vintage Books. Erari, Philip. (1995): Tanah kita dan Hidup kita. Jakarta: Gramedia. Heeschen, Volker. et al. (1990): Ninye bún Mythen, Erzälungen, Lieder und Märchen der Eipo. Berlin: Dietrich Reimer Verlag. Heeschen, Volker, et al. (2015): Die Eipo in Papua Weltbilder, Ethnographie und Erzählungen. München: e publication (Studien aus dem München Institut für Ethnologie 19: ix, 1-567). https://epub.ub.uni-muenchen.de/25303.
  11. Kamma, Freerk C. (1972): Koreri. Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area. (überzetzt ins Englische: Mrs. M. J. van de Vathorst-Smit). KITLV. Vol. 15. The Hague: Martinus Nijhoff.
  12. Kamma, Freerk C. 1975. Religious Texts of the Oral Tradition from Western New-Guinea (Irian Jaya) Part A. The Origin and Sources of Life. Leiden: E. J. Brill.
  13. Kroeber. A. L. and Klucichohn. Clyd E (1952): Culture a Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, Massachusetts, U.S.A. Published by the Museum. Lawrence. Krader. (edt) (1974): The Ethnological Notebooks of Karl Marx. Van Gorcum & Comp. B.V. – Assen, the Netherlands.
  14. Marx, Karl. (1841): Differenz der demokritischen und epikureischen Naturphilosophie. MEW, suppl. I. Marx, Karl. (1953): Grundrisse der Kritik der politischen Ökonomie (Rohentwurf, 1857-1858).
  15. Marx, Karl. (1867): Das Kapital. MEW Marx, Karl, and Friedrich Engels. (1888): Communist Manifesto (1848). Various editions. Cf. esp. Russ.
  16. Marx, Karl. (1846): Die Deutsche Ideologie. M EW 3
  17. Marx, Karl. (1844): Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie, Einleitung. Deutsch-Französische Jahrbücher, M EW 1.
  18. Miedema, Jelle. (1986): Pre-Capitalism and cosmology; description and analyses of the Meybrat fishery and kain timur-complex, Dordrecht/Riberton: Foris (KITLV, Verhandelingen 120).
  19. Miedema, Jelle. (1997): Irian Jaya Source Materials. Texts from the Oral Tradition in the Eastern Bird’s Head Peninsula of Irian Jaya. Inventory, Transcripts, and Reproductions of (Origin) Stories in Dutch and Indonesian c. 1955-1995. Leiden-Jakarta: DSALCUL.
  20. Peyon, Ibrahim. (2019): Die Yali-Kultur aus indigener ethnografischer Perspektive. Münchne. Ludwig-Maximilians-Universität Institut für Ethnologie (unpublication)
  21. Peyon, Ibrahim. 2013. Struktur Mitos Orang Sentani: Telaah Antropologi Struktural Lévi-Strauss. Jayapura: Jurusan Antropologi (tidak dipublikasi Thesis Magister).
  22. Pospisil, L. (1963): Kapauku Papuan Economy. New Heaven: Yale University.
  23. Pouwer, Jan. (2010): Gender, Ritual and Social Formation in West Papua: A configurational analysis comparing Kamoro and Asmat. KITLV Press Leiden
  24. Schoorl, J.V. (1976): Shell Capitalism Among the Muyu Peopl. Buletin of Irian Jaya Development. Volume Nr.3. hlm. 3-78.
  25. Smith, Anthony D. (1988): The Ethnic Origins of Nations. Blackwell Publishing.
  26. Smith, Anthony D. (2009): Ethno-symbolism and Nationalism. A cultural approach. Routledge.
  27. Smith, Anthony D. (1998): Nationalism and Modernism A critical survey of recent theories of nations and nationalism. Routledge.
  28. Suseno Franz Magnis. (2001): Pemikiran Karl Marx; dari sosialisme utopis ke perselisihan resvisionisme; Jakarta, Gramedia pustaka utama.
  29. Trompf, Garry W. (2006): Religions of Melanesia. A Bibliographic Survey. London. Praeger Westport, Connecticut.
  30. Woods, Roger. (2007): Germany’s New Right as Culture and Politics, Palgrave Macmillan. New York.
  31. Zöllner, Siegfried. (1977): Lebensbaum und Schweinekult. Die Religion der Jalî im Bergland von Irian-Jaya (West-Neu-Guinea). Wuppertal: Theologischer Verlag Rolf Brockhaus.

    Sumber: Tabloid WANI | link ➡ https://www.tabloid-wani.com/2020/01/kapitalisme-sosialisme-versus-trias–melanesia.html

 

Bagian I: Papua Dalam Sigma

Pengantar

Bagi kepentingan kolonialisme, kapitalisme, eksploitasi sumber daya alam, dan perampokan kekayaan alam di New Guinea, maka ilmuwan barat telah memainkan peran yang signifikan. Ada empat pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan Eropa dan Amerika. Pertama, pendekatan pelayaan yang telah klaim New Guinea sebagai milik mereka dan diberikan berbagai macam nama sesuai identitas kultur dan politik mereka. Kedua, pendekatan ekspedisi gabungan yang melibatkan berbagai disiplin ahli: fisika, biologi, geologi, zoologi, anthropologi, dan linguistik. Ketiga, pendekatan penelitian mendalam dari masing-masing ahli tersebut. Para ahli fisika itu telah identifikasi potensi sumber daya alam berupa emas, tembaga, uranium, minyak dan gas, flora dan vauna, sedang ahli linguistik dan anthropolog klasifikasi manusia, budaya dan bahasa. Peran anthropolog sangat signifikan untuk klasifikasi orang Papua dalam pandangan mereka sendiri secara sepihak. Dari berbagai pendekatan itu, telah membangun teori-teori rasis, diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang dan pulau New Guinea. Manusia Papua di New Guinea digambarkan sebagai savage, pygmies, kanibal, primitive, dan agama mereka dikategori sebagai gerakan kargoisme, animisme, atau kepercayaan berhala.

1. Stigma Savage

Manusia Papua dikategorikan seebagai manusia savage dalam kerangka teori evolusi. Savage adalah manusia yang dianggap memiliki tingkat kehidupan dan kulturnya lebih rendah di atas satu tingkat dari hewan. Pandangan ini direpresentasi oleh para ahli seperti Yosep King (1909) dalam karya “W. G. Lawes of Savage Island and New Guinea”, Leopold A. D. Montague (1921) dalam karyanya “Weapons and implements of savage races”. Banyak karya pada masa itu telah mengambarkan sebuah teori yang sama terhadap orang asli Papua dan bangsa-bangsa Melanesia, Pasifik dan Australia. Pandangan ini digambarkan jauh sebelum abad ke-18 dan dilanjutkan hingga abad ke-19.

Kategorisasi ini dibuat karena mereka memiliki ideologi atau pandangan antara ras superioritas dan inferioritas, antara Eropa dan non Eropa, antara kami dan mereka. Orang Eropa sendiri diposisikan sebagai manusia beradab (civilization), diluar Eropa khususnya di Timur Tengah yang memiliki peradaban tinggi dan di Asia Barat dan dataran Cina diposisikan bangsa-bangsa barbarian, sedang bangsa lain di Asia, Afrika, Amerika dan Pasifik diposisikan Savage. Dalam kontest itu, orang Papua dikategori sebagai savage. Belakangan banyak anthropolog kritis pandangan ini, misalnya Marianna Torgovnick (1999) dalam karyanya “Gone primitive: savage intellects, modern lives” yang mengatakan intelektual savage telah menjadi kehidupan dunia modern sekarang. Karena semua teori yang dibangun dan dipelajari sekarang berbasis dari intelektual dan kultur dari orang-orang yang disebut savage tersebut.

2. Stigma Pygmies

Manusia Papua diklasifikasi sebagai manusia kerdil atau pygmies. Istilah Pymies sendiri digunakan oleh etnolog Jerman untuk klasifikasi orang-orang Shan di daerah kalahai dan etnik-etnik lain di Afrika. Kolonial juga diberi nama orang Shan dengan istilah Buchman, berarti manusia semak. Istilah Pygmeis itu kemudian diterapkan terhadap orang Papua dalam karya-karya mereka. A. F. R. Wollaston (1912) menulis “Pygmies and Papuans the Stone Age today in Dutch New Guinea”. Dalam buku ini, ia menjelaskan Papua secara geografis, kontak-kontak periodesasi dengan orang luar, ciri fenotipe orang Papua. Tahun berikutnya C. G. Rawling (1913), The Land of the New Guinea Pygmies. Rawling dalam buku ini deskripsikan pengalaman keterlibatkan dalam ekspedisi yang mengikuti sungai Mimika ke pegunungan, orang Papua yang mereka bertemu di kampung-kampung di pegunungan itu dikategori sebagai Pygmeis.

Dalam karya-karya ini digambarkan orang Papua sebagai manusia kerdil yang memiliki kapasitas otak dan intelektual sangat rendah. Sebagaimana dideskripsikan oleh A. De Quatrefages tahun 1895 terhadap orang Afrika dan orang Negrito-Papuans yang tersebar mulai dari India, kepulauan Andaman, hingga Timor, Maluku dan di batas utara di Filipina, kepulauan Melanesia dan New Guinea disebut sebagai pusat orang Negrito-Papuas. Pada tahun 1882 de Quatrefages, menulis: The Asiatic Pigmies, or Negritos, tulisan ini dimuat dalam jurnal Royal Asiatic, dalam tulisan ini dibahas pygmies di Asia dan Pasifik secara khusus. Pymeis Negrito-Papuas itu dikategori berbasis pada studi etnoglogi tentang distribusi ras negritos-Papua di Asia dan Pasifik. Antara lain ditulis oleh George Windsor Earl (1853) The Native Races of the Indian Archipelago. Papuans. Yang mengambarkan orang-orang dengan ciri fisik dengan warna kulit hitam, rambut kering hingga gelombang disebutnya penduduk asli di kepualaun Indo-Pasifik yang tersebar melintasi Asia ke Pasifik. Di New Guinea kajiannya tentang orang Papua di selat Dourga, pulau Kolebom di pantai selatan (kolonial Belanda: Frederick-Henry Island; Kolonial Indonesia: Jos Sudarso), orang Papua di pantai barat daya di sekitar Sorong dan sekitarnya, orang Papua di pantai utara terutama di Dorei Manokwari, di Teluk Yotefa (Jayapura kini), dan beberapa daerah lain berdasarlan laporan ekspedisi Belanda. Earl juga klasifikasi orang-orang dengan ciri ini tersebar luas melintasi di Asia dan Pasifik seperti di kepulauan Aru, Ceram dan Maluku, Ahitas atau Negritos di Filipina, Mindoro, Negros, Mindanao, Sulu dan Borneo, orang Semang di Semenanjung Melayu, orang Andama, orang Sunda Chain, dan penduduk di Pulau Merville dan Australia utara. Alfred Russel Wallace (1869) tentang keberadaan Negritos-Papuas di Gilolo Halmahera dan orang Papua di pantai Dorei di Maknowakri. Anthropolog lain, A. B. Meyer (1899) The Distribution of The Negritos. In the Phllirrine Islands and Elsewhere. Dalam buku ini melaporkan distribusi ras negritos secara luas mulai dari Cina, Japan, Malaya hinggal New Guinea. Mayer identifikasi dua puluh Sembilan tempat sebagai daerah bangsa-bangsa Negritos.

3. Stigma Kanibal

Dalam berbagai tulisan anthropology, biologi, zoologi, linguistik dan dalam banyak ekspedisi mereka telah digambarkan New Guinea sebagai tempat kanibalisme yang mengerihkan. Dulu suku-suku di sini sering makan daging manusia dari pihak musuh sebagai tindakan balas dendam karena kerabat mereka dibunuh. Tindakan itu bukan sebagai makanan, karena ada keinginan untuk makan daging manusia sebagai kebutuhan, tetapi tindakan emosional dan balas dendam. Tidak semua orang Papua yang melakukan hal ini, melainkan hanya pihak tertentu yang meresa telah kehilangan kerabat mereka, karena kerabat.kerabat itu dibunuh pihak. Tindakan balas dendam ini dieskploidasi oleh para ilmuwan Ero-Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan perampasan sumber daya alam di tanah ini.

Kanibalisme tidak hanya terjadi di tanah Papua, kanibalisme adalah hukum universal di seluruh dunia. Banyak literatur menunjukkan bukti-bukti itu, kanibalisme pernah ada bangsa-bangsa lain di seluruh Pasifik, Australia, Asia, Amerika, Afrika dan Eropa.

Karoline Lukaschek (2000) dalam tesisnya: The History of Cannibalism, juga menjelaskan secara baik tentang kanibalisme secara global dari seluruh dunia, baik di India, Afrika, New Guinea, Fiji, New Zueland, Amerika Selatan, Mesoamerika, Kanada, Amerika Utara, Spanyol, Etiopia, Kroasia, Maula-Kuersi Francis, Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, di Fontbr´egoua Prancis, dan Amerika Tenggara. Sementara itu, Garry Hogg (1998) Cannibalism and Human Sacrifice, juga menjelaskan kanibalisme sebagai hukum umum umat manusia di seluruh dunia. Ia mengambarkan kanibalisme di Fiji, Aztecs, dan Kwakiut di Indian Amerika, Basin di Amazon Amerika, etnik-etnik di Nigeria, Siera Leona di Afrika Barat, Basin di Kongo, di New Guinea, dan Melanesia lain, Polinesia, di Blackfellpw di Australia, Maori di New Zueland dan suku-suku di Indonesia, seperti orang Batak, Dayak di Sarawat, orang Timor, dan Maluku, penduduk asli di Sulawesi. Orang Milano dan penduduk asli lain di Filipina, dan etnik-etnik lain di Asia Tenggara.

Kita temukan dalam literatur-literatur klasik kanibalisme di Inggris digambarkan oleh Andrews and Fernández-Jalvo (2003), Cannibalism in Britain, di Prancis, Portugis, Spanyol, Jerman, dan bangsa-bansga di Eropa Timur. Kita juga temukan kanibalisme di Yunani, Itali, Mesir, Israel, dan dunia arab lain. Dalam sejarah Israel semisal dalam kitab raja-raja dua pasal 6: 28-29 juga telah digambarkan kanibalisme ini. Di Jerman, kerja sama antara para ethnolog dan Arkeolog tahun 2009 telah ditemukan bukti baru bahwa dalam sebuah situs di sebuah kota bernama Herxheim dekat Landau telah ditemukan tengkorak dari 500 korban kanibalisme, bahkan para peneliti mengatakan dua kali lipat dari jumlah tersebut, seperti ditulis Boulestin Bruno, et al (2009) Mass Cannibalism in the Linear Pottery Culture at Herxheim (Palatinate, Germany). Di Indonesia kita temukan, praktik kanibalisme meluas di banyak daerah mulai dari Maluku, ke utara di kalimatan dan barat di Sumatra. Maka kanibalisme itu adalah hukum umum dalam banyak budaya di dunia.

Meski, para ilmuwan Eropa dan Amerika kategorikan New Guinea sebagai tempat kanibalisme mengerikan, Russell T. Hitt (1962) menulis buku: Canibal Valley. Dalam buku ini digambarkan lembah Balim sebagai lembah kanibal. Kita tahu di lembah Balim tidak mengenal budaya kanibalisme, tetapi Hitt mengarang fantasinya sendiri. Samuel McFarlane (1888) menulis “Among the cannibals of New Guinea: being the story of the New Guinea mission of the London Missionary Society”. Seorang Naturalis lain bernama, Antwerp Edgar Pratt (1906) juga menulis bukunya “Two years among New Guinea cannibals; a naturalist’s sojourn among the aborigines of unexplored New Guinea”. Strukturalis Claudia Levi-Strauss (2014) juga menulis buku berjudul, Wir sind Alle Kanibalen, yang artinya kita semua kanibal. Dia sendiri tidak pernah melakukan penelitian di New Guinea, tetapi ia mengarang buku ini berdasarkan informasi lisan yang diperoleh melalui teman-temannya.

Bila kita kembali pada literatur-literatur tua abad 19 ke atas, para antropolog, biolog, dan linguistik telah berhasil membangun New Guinea sebagai dunia para kanibalis yang mengerikan. Mereka telah memenangkan dunia dengan pandangan ini, maka bila kita berada di Eropa atau Amerika, dan kita mengatakan sebagai orang Papua, maka pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah orang-orangmu masih kanibal? Apakah di negerimu masih ada kanibalisme? Apakah orang tuanmu para kanibalis? [itu pertanyaan yang lazim kepada orang Papua]

Saya sendiri telah mengalami pertanyaan itu empat kali ketika di Jerman. Suatu hari dalam suatu pertemuan besar yang diorganisir oleh empat gereja di daerah Stutgatt. Ini sebuah pertemuan khusus yang diadakan oleh gereja-gereja itu untuk mengundang saya sebagai pembicara tunggal dalam pertemuan tersebut. Berita tentang pertemuan ini telah diumumkan dalam dua koran, satu koran milik kota dan satu lagi warta gereja, maka banyak yang tertarik untuk terlibat mendengar tentang Papua. Setelah saya presentasi materi, seorang peserta mengajukan pertanyaan, Apakah di daerahmu masih ada kanibalisme? Pertanyaan ini saya jawab dengan menampilkan bukti-bukti kanibalisme di seluruh dunia termasuk kanibalisme orang Jerman di masa lalu. Akhirnya, mereka semua ketawa karena rasa malu mereka sendiri.

Saya kira banyak orang Papua atau Melanesia telah mengalami stigma ini akibat dari teori rasis dan imperialisme Ero-Amerika ini. Hal itu telah digambarkan oleh Warilea Iamo (1992) dalam tulisanya, The Stigma of New Guinea: Reflections on Anthropology and Anthropologists. Tulisan itu dimuat dalam buku berjudul: Confronting the Margaret Mead Legacy: Scholarship, Empire, and the South Pacific, yang diedit oleh Lenora Foerstel and Angela Gilliam. Sebagai orang Papua (PNG), lamo dalam tulisannya digambarkan stigma dan distriminasi rasial yang dialaminya ketika ia berada di Amerika.

Beberapa antropolog telah kritisi teori-teori diskriminatif dan rasis ini, misalnya Paula Brown (1983) dalam bukunya; The Ethnography of Cannibalism, dalam buku ini ia mengambarkan para antropolog dalam studi-studi ethnografisnya yang distriminasi dan rasis itu adalah bentuk lain dari kanibalisme. Karena pengetahuan yang diproduksi adalah pengetahuan kanibalisme. Eduardo Viveiros de Casrro (2009) dalam bukunya, Metaphysiques cannibals: For a Post-Structural Anthropology, juga telah kritik tentang teori-teori modern dan postmodern yang terkait dengan pengetahuan lokal yang diproduksi teori-teori klasik. Menurutnya teori-teori modern dan postmodern bermetaforsis sebagai kannibalisme yang menelan pengetahuan lokal dan teori klasik. Melissa Cochran (2012) dalam tesisnya: Cross-Cultural Cannibalism: Throughout Human History, telah memfokuskan kritik terhadap teori-teori komparasi kultural yang membandingkan etnik dan budaya yang berbeda antara satu dan lainnya.

4. Stigma Primitif

Primitif satu istilah umum yang digunakan orang-orang Ero-Amerika terhadap bangsa-bangsa asli lain di seluruh dunia. Primitif itu terkait dengan kehidupan manusia dan budaya dari bangsa-bangsa indigeneus yang asli, kehidupan manusia yang terisolasi dan belum mengalami akulturasi dengan budaya lain. Karena kehidupan bangsa-bangsa dalam tradisi mereka itulah maka diistigma sebagai primitif. Khusus di Papua, dalam berbagai literatur asing baik anthropolog, ahli biologi, linguistik bahkan misionaris selalu kategori orang Papua yang hidup dalam tradisi mereka tadi disebutkan masyarakat primitif. Salah satu kriteria primitif bagi orang Papua adalah material kultur semisal kapak batu, pakaian, senjata, rumah, dan makanan. Materialisme kultural ini menjadi kriteria yang digunakan untuk kategori masyarakat dalam kategori tertentu. Kategorisasi ini digunakan dengan studi komparasi dari masyarakat dan budaya lain yang dianggap lebih maju dan modern dari cara hidup dan kultur mereka. Konsekuensi komparasi materialisme kultural dikonstruksi dan diklasifikasi sebagai kehidupan di zaman batu dan masyarakat primitif.

Salah satu anthropolog yang paling aktif produksi diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang Papua ialah Margaret Mead, dan Ruth Benedict. Teori Mead tentang pengasuhan anak, Benedick dengan pola-pola budaya, keduanya berasal dari New Guinea. Stigma New Guinea adalah sebuah argument teoritis dari pandangan anthropologi dan anthropolog asli sebagai orang New Guinea. Stigma New Guinea muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label “primitif” dan berkonotasi pada berbagai tingkatan sejarah, ekonomi, pemerintahan, agama, psikiatri, dan sebagainya. Hal ini telah menjadi kerangka acuan psikologis Barat untuk mempertahankan bayangan cermin dirinya yang diproyeksikan sebagai “Yang Lain”, dianggap lebih rendah, lebih sederhana, dan lebih inferior untuk mendefinisikan diri mereka sebagai “lebih baik” dan superior. Bila kita baca tulisan-tulisan Margaret Mead, benar-benar membangun stigma New Guinea sangat mengerikan, Ketika ia membandingkan budayanya dengan budaya orang Papua di kepulauan Manus dan New Guinea dalam karya-karyanya. Mead berkata: “They can, therefore, be regarded in the contemporary ethic of the mid-twentieth century, as having been treated unfairly by history, as having lacked a location on earth’s surface that would have given them an opportunity to accept the culture of more advanced civilizations, and so prove their superiority, or be rejected by it and so prove their inferiority” (Mead 1967:306). Demikian Ruth Benedict (1859) dalam bukunya, Pattern of Culture, membangun teorinya pola-pola budaya dengan metode komparatifnya, di mana ia membandingkan psikologi dari tiga masyarakat yang berbeda secara etnik, kultur, ras dan geografis. Orang Zuni di Bueblo Mexiko, orang Kwakiut di pantai barat laut Amerika, dan orang Dobu di New Guinea. Benedict mengambarkan psikologi orang Dobu lebih buruk dari dua bangsa Indian di Amerika tersebut.

5. Stigma Manusia Perang

Orang-orang Asing itu telah lama bangun teori-teori mereka dengan stigma dan kriminalisasi perang terhadap orang Papua di pulau New Guinea ini. Pantai pesisir utara dan selatan sudah beberapa abad telah mengalami politik stigmasisasi ini, selama mereka memiliki hubungan dagang antara Maluku dan bangsa Melayu lain. Orang Papua yang membela diri dari serang perbudakan, perdagangan dan perampokan dari orang Maluku dan Melayu sebut sebagai pemimpin Papua yang ganas, jahat dan suku berperang. Windson Earl, menulis “diperkirakan mahluk miskin ini hilang sebelum mereka mengalami peradaban karena serangan bangsa asing dari bagian barat mereka. Pemimpin mereka adalah liar dan pemburu, suka berparang dengan ras coklat dari kepulauan Indonesia yang berusaha menguasai negeri mereka itu” (George Windsor Earl 1848). Di bagian lain, Earl menulis bahwa perang orang Papua bukan tanpa alasan, mereka membela diri dari ancaman dan perampokan bangsa Melayu dari bagian barat.

Setelah lembah Balim dibuka misionaris dan pemerintah Belanda menjalankan adminitrasi, para anthropolog, ahli linguistik dan wisatawan beramai-ramai ke lembah Balim, dan mereka menyokong orang-orang asli untuk melakukan drama perang-perangan. Saya masih ingat, bapak saya dan beberapa temannya yang lain menceritakan bahwa mereka sering ke lembah Balim, dan saksikan drama perang-perangan itu, dan bahkan mereka sering terlibat dalam drama itu. Drama perang itu dirancang dan disokong oleh antropolog dan wisatawan asing, peserta yang terlibat dalam perang-perang itu dibayar dengan kapak besi, pisau, garam, pakaian, kulit bia, handuk dan sejenis lain.

Bapak saya pernah mendapat satu kapak besi yag disebut kapak mamagen, dan kapak itu masih ada sampai sekarang. Drama-drama perang-perangan itu diteliti, difoto, dan difilemkan. Para anthropolog dan linguistik menulis, dan dipublikasi dalam bentuk buku dan artikel. Foto-foto dan flim-flim dipublikasi di berbagai media cetak, elektronik dan televisi-televisi nasional. Mereka membangun wacana dalam masyarakat bahwa orang-orang Papua ialah bangsa suka berperang, primitif, kanibal, dan tidak rama terhadap kemanusiaan. Teori-teori ini dibangun untuk stigmasisasi terhadap bangsa Papua, dengan itu bila orang Papua dibunuh, dijajah dan ditindas dianggap tidak penting. Karena orang Papua sendiri dianggap sebagai bangsa kanibal, liar, primitif dan suka berperang. Untuk tujuan itu, banyak antropolog Amerika, Inggris dan Belanda dikirim ke Papua untuk mempelajari manusia dan budaya, dengan data itu dibangun teori-teori stigma New Guinea.

Peristiwa kehilangan Michael Rockefeller di Asmat adalah salah satu contoh, di mana pemerintah Amerika dan media masa mengatakan ia dibunuh dan dimakan dagingnya oleh orang-orang Kanibal di Asmat. Banyak buku dan artikel ditulis untuk kehilangan Michael ini, orang Papua dituduh memakan dagingnya. Anita Larsen (1985) tulis bukunya: “Lost-and Never Faund”, Milt Machlin (1972) menulis judul buku: The Search Michael Rockefeller, setelah kehilangannya, terbit sebuah jurnal dengan judul, The Asmat of New Guinea: The Journal of Michael Clark Rockefeller sebagai penghargaanya. Tetapi, fakta yang digambarkan oleh Greg Poulgrain (2014) dalam bukunya: The Incobus of Intervention, menjelaskan bahwa, Michael sendiri adalah anak dari Nelson Rockefeller, Gubernur New York. Karena orang tuanya, politisi terkemuka dan orang terkaya maka berita kehilangan Michael menjadi berita besar di Amerika dan bahkan dunia. Berbagai media Amerika dan Dunia mengatakan bahwa Michel telah dibunuh oleh kanibalis Papua dan dimakan dagingnya, berita ini telah dipolitisasi di masa itu. Karena Michael hilang 18 November 1961, pada periode Indonesia, Belanda dan Amerika merebut dan aneksasi West Papua. Rene Wasing teman Michael, seorang anthropology muda Belanda. Rene dan dua polisi orang Papua lain telah menjadi saksi mata kehilangan Michael. Rene Wasing menjelaskan bahwa perahu yang mereka tumbangi telah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus sungai. Karena takut Tenggelam, Michael gelisah dan buang diri ke dalam sungai dengan tujuan berenang ke daratan, ia sudah mencoba berenang tetapi akhirnya tenggelam ke dalam sungai. Rene dan dua polisi Papua lain sudah mengingatkannya untuk tidak meninggalkan perahu, tetapi Michael tidak menghirauan nasihat itu. Carl Hoffman (2014), dalam bukunya: “Savage harvest: a tale of cannibals, colonialism, and Michael Rockefeller’s tragic quest”, juga kritis atas kematian Michael ini dan duduhan terhadap orang Papua yang memakan dagingnya adalah cerita dongen untuk kepentingan kolonialisme dan kapitalisme Amerika.

Klaus F. Koch (1974) menulis buku: War and Peace in Jalemo. Dalam buku ini menjelaskan perang dan perdamaian dalam budaya orang Yali. Koch ialah seorang Jerman, dan telah menjadi profesor anthropologi di Harvard Univesitas. Dalam analisa-analisanya, ia menggunakan teori komparasi, denganya ia membandingkan konflik perang dalam masyarakat Timur Tengah dengan orang Yali di New Guinea. Sebuah studi komparasi yang dipaksakan karena dua budaya yang berbeda dalam semua aspek kehidupan, ideologi, cara hidup dan bangsa dan budaya.

Dalam periode awal 1960-an itu pemerintah Amerika juga telah mengirim seorang anthropolog yang merupakan agen CIA bernama Wyn Sargert, perempuan ini pernah memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sargert mendapat izin oleh Sukarno untuk melakukan penelitian di lembah Balim, untuk mempelajari perilaku psikologis dan hubungan perkawinan orang Hubula di lembah Balim. Sargert kemudian menikah dengan kepala suku Obahorok dan melakukan pesta babi 50 ekor selama tiga hari. Tetapi, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan ia kembali ke Amerika setelah mengumpulkan data penelitian. Tahun 1974, Wyn Sargert menulis buku: People of the Valley, yang mengisahkan tentang pengalaman hidup bersama suaminya dan orang Papua di Lembah Balim. Beberapa antropolog lain kritik tindakan Sargert yang menikah Obahorok sebagai pendekatan asusila untuk mendapat data penelitiannya. Leslie Butt (1998), dalam disertasi doktoralnya: “The Social and Political Life of Infants Among the Baliem Valley Dani Irian Jaya”, menjelaskan bahwa orang-orang Balim menyebutkan Wyn Sargert sebagai mama setan yang tidak bermoral.

Stigma New Guinea itu tidak absen pada ilmuwan generasi lalu, pandangan superioritas itu masih ada hinggi kini. Jared Diamond (2012) dalam bukunya: Vermächtnis: Was wir von traditionallen Gessellschaften lernen können”. Dalam buku ini ia membandingkan jumlah korban dalam perang suku orang Dani dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Menurut Jared secara presentase jumlah korban orang Dani dalam perang Suku di Lembah Balim sama dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Sebelas orang dari dua aliansi Dani yang tewas di front selatan Kurelu antara bulan April dan September 1961 merupakan sekitar 0,14 persen dari total populasi aliansi ini. Itu adalah proporsi yang lebih besar dari yang paling berdarah. Pertempuran Front Pasifik selama dalam Perang Dunia ke-II (0,10 persen): Sekitar 264.000 orang (23.000 tentara Amerika, 91.000 tentara Jepang dan 150.000 warga sipil) yang korban dalam pertempuran tiga bulan untuk Okinawa, korban dari penggunaan bom atom di dua kota Jepang saat itu sekitar 250 juta orang. Maka secara presentase jumlah korban orang Dani dan korban perang dunia sama ” (Diamond 2012: 152).

Para ilmuwan Ero-Amerika yang membangun stigma terhadap bangsa Papua ini memiliki kepentingan untuk kolonialisme, pendudukan dan perampasan kekayaan alam di New Guinea. Gunung Emas di tanah Amungsa yang kini dirampok oleh Indonesia dan Amerika telah ditemukan tahun 1936 dalam sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh Belanda dan Amerika. Amerika menginginkan menguasai gunung emas terbesar di dunia itu, dalam kaitan itu mereka mengirimkan para anthropolog dan ilmuwan lain untuk mempelajari manusia dan budaya orang-orang Papua di New Guinea. Demi kepentingan itu, para ilmuwan telah membangun teori-teori yang berbasis kriminal dan stigmasisasi tentang orang Papua. Dalam kerangka itu pula, Amerika mendukung Indonesia untuk aneksasi West Papua melalui invansi 1 Mei 1963. Tahun 1967 Indonesia dan Amerika melakukan perjanjian tentang gunung emas yang kini dirampok oleh Freeport ini. Setelah Indonesia aneksasi West Papua, kembali melakukan metode yang sama dengan berbagai Stigma politik dan rasial yang akan dibahas pada bagian kedua dari artikel ini. (https://bit.ly/34KwQ0M)

New Guinea, 27 Agustus 2020

Source: https://www.facebook.com/A.Ibrahim.Peyon/

Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (2)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

Selalu Berharap kepada pihak lain (berlanjut…)

Selalu menyalahkan pihak lain (lanjutan…)

Berlanjut dari ciri sebelumnya, yang kedua, orang Papua yang memenuhi syarat dijajah ialah orang Papua yang selalu menyalahkan pihak lain atas segala-sesuatu yang menimpa dirinya, kelompoknya, pribadinya, suku-bangsanya, kampungnya, kabupatennya, provinsinya, pulaunya, rasnya.

  • Kalau Pepera 1969 Gagal, orang Indonesia, Belanda, Amerika Serikat yang salah, PBB yang salah
  • Kalau orang Papua mati, maka Jawa yang salah
  • Kalau orang Papua miskin, maka Indonesia yang salah
  • Kalau Otsus gagal, NKRI yang salah,
  • Kalau PNG tidak mendukung, Perdana Menteri yang salah
  • Kalau tidak ada negara di dunia yang mendukung, itu karena MSG dan PIF yang tidak cukup bicara untuk bangsa Papua

LALU PERTANYAAN-nya

  • APAKAH ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERSALAH?
  • Masalah ini soal bangsa mana? Lalu salah ini salah siapa?

Pribadi lepas pribadi, bangsa demi bangsa yang tidak pernah mengaku bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi pada dirinya oleh karena dirinya sendiri yang harus berubah adalah bangsa yang layak dijajah, karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, karena dia hanya melihat pertolongan datang dari luar, dan karena itu kalau ada kesalahan-pun itu karena kesalahan pihak lain pula.

Maka tanggapanya, memang ini orang layak dijajah.

Selain tidak percaya diri, dia juga tidak bertanggung-jawab menerima realitas dan mengakui diri sebagai subyek dari realitas kehidupan yang dijalani dan tidak selalu berada sebagai obyek passive.

Oleh karena tidak bertanggung-jawab atas apa yang menimpa dirinya, maka solusinya-pun dicarinya dengan mengharapkan pihak lain pula yang berubah, pihak lain yang bersikap, pihak lain yang bersmpati dan berempati, pihak lain yang mengambil langkah.

Mentalitas pengemis seperti ini menunjukkan bangsa itu memenuhi syarat untuk dijajah. Sebuah bangsa yang selalu berharap kepada bangsa lain, dan selalu menuduh bangsa lain memenuhi syarat 100% untuk dijajah. Oleh karena itu, kalau bangsa seperti ini memperjuangkan kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai sampai bangsa ini, pejuang yang ada di dalamnya berubah dan percaya bahwa yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri dan atas bangsanya, entah untuk kebaikan atau atas masalah, adalah diri sendiri, bangsa sendiri, pihak sendiri.

Sampai titik itu, maka kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, karena pribadi atau bangsa itu masih memenuhi syarat untuk dijajah.

 

 

 

Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (1)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

 

Selalu Berharap kepada pihak lain

Ada dua contoh perlu ditunjukkan di sini, yang pertama, orang Papua yang selalu berharap kepada Jakarta dan orang Indonesia. Kedua orang Papua yang selalu berharap kepada orang barat, dan orang MSG (negara-negara MSG).

Yang pertama, orang Papua dan hubungannya dengan orang Indonesia

Untuk membangun Papua, untuk memajukan Papua, untuk merubah Papua, kebanyakan orang Papua selalu menaruh harapan kepada Jakarta, orang Indonesia sebagai jalan satu-satunya. Tanpa kehadiran mereka, orang Papua tidak bisa maju, tanpa kehadiran mereka, tanah Papua tidak akan pernah maju.

Harapan kepada orang Indonesia ini bergeser satu generasi lalu. Pada generasi lalu hampir semua urusan kepentingan bangsa Papua tergantung kepada misionaris, orang asing. Orang Papua yang berharap kepada misionaris didahului oleh orang Papua yang tidak pernah berharap kepada siapa-siapa, orang Papua yang bahkan tidak tahu kalau ada orang lain di luar sana. Orang Papua yang punya cerita tentan “Kabar” baik dalam versi sendiri, tanpa pernah mengharapkan siapapun dari luar.

Begitu misionaris masuk dengan “Kabar Baik” maka keseluruhan harapan digantungkan kepada misionaris, dengan menggantungkan harapan keselamatan kepada Yesus Kritus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Begitu generasi berganti, dan NKRI mulai menujukkan eksistensinya atas bangsa Papua, ditambah lagi dengan pengusiran semua misionaris dari Tanah Papua, maka generasi sekarang lebih berharap kepada orang Indonesia dan NKRI untuk mendatangkan kebaikan.

Makanya kita lihat banyak pernyataan dibuat dan banyak upaya dilakukan dalam rangka mendorong Indonesia membangun tanah Papua dan bangsa Papua.

Orang Papua sekarang berharap NKRI membagi-bagi tanah Papua menjadi banyak kabupaten, kota dan provinsi, distrik dan desa di seluruh Tanah Papua. Banyak orang Papua sekarang mengirim anak-anak mereka ke Indonesia dengan harapan anak-anak menjadi pintar di Indonesia dan pulang untuk memajuan Tanah Papua.

Sebagai variasi dari orang Papua bermental budak yang tidak percaya kepada diri sendiri, orang Papua yang layak dijajah selalu mengharapkan orang lain untuk merubah nasibnya. Ia jarang bahkan tidak pernah melihat hal-hal yang ada pada dirinya yang dapat didaya-gunakan untuk merubah nasib, memajukan, mengembangkan dirinya sendiri. Semua yang dimilikinya dianggap tidak berguna. Semua yang ada pada orang Indonesia dianggap lebih berguna dan semua yang ada pada orang Papua dianggap merugikan.

Kita pindah ke fenomena ini di kalangan pejuang Papua Merdeka.

Sebagaimana kita ketahui biar ada orang Papua menyebut diri sebagai pejuang Papua Merdeka, tetapi mereka tetap menunjukkan mental “berharap kepada orang lain”, yaitu kepada MSG (Melanesian Spearhead Group) dan lembaga internasional lain dan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).

Selain itu, orang Papua Merdeka ini juga berharap kepada NKRI untuk memberikan sebuah referendum untuk Papua Merdeka. Makanya tuntutan referendum selalu keluar dalam semua kampanye Papua Merdeka. Jadi begini, ada perjuangan untuk membebaskan diri dan tanah Papua. Ada juga perjuangan mengemis kepada penjajah, karena kita berharap kepada Indonesia untuk memberikan opsi referendum, karena kita berharap kepada PBB untuk mendesakn Indonesia memberikan pilihan untuk menentukan nasib sendiri.

Jelas, tuntutan referendum adalah permintaan seorang budak, yang dari mentalnya mudah disebut layak dijajah. Karena menuntut referendum mengandung arti orang lain harus memberikan opsi dimaksud, tidak bersumber dan bertumpu pada diri sendiri, tetapi berasal dan bertumpu pada PBB dan Indonesia.

Yang kedua, nada-nada kampanye selalu menunjukkan “cengengesan”, atinya berisi kalimat-kalimat belas-kasihan, terbaca bahwa apa yang kita ucapkan itu mengharapkan tindakan orang lain, tindakan didasarkan kepada kemanusiaan, rasa iba, rasa kasihan dan lainnya dari pihak lain kepada bangsa Papua.

Selalu menyalahkan pihak lain (berlanjut…)