Anda Makhluk Luar Biasa

Mulai hari ini:

Perhatikan pikiran anda sebelum berubah menjadi konsentrasi.
Perhatikan konsentrasi anda sebelum berubah menjadi perasaan.
Perhatikan perasaan anda sebelum berubah menjadi perilaku.
Perhatikan perilaku anda sebelum berubah menjadi hasil.
Perhatikan hasil yang anda dapat sebelum menentukan jalan hidup anda.

Anda bukan label yang disandangkan oleh anda sendiri, bukan label yang disandangkan oleh orang lain.
Anda bukan kesedihan,kecemasan,kekhawatiran,frustasi atau kegagalan.
Anda buka usia,berat badan,bentuk tubuh atau warna kulit anda.
Anda bukan masa lalu,saat ini dan masa yang akan datang.

Anda adalah makhluk paling baik yang diciptakan Allah.
Jika ada orang yang mampu mewujudkan sesuatu didunia, Anda pasti bisa mewujudkannya,bahkan bisa lebih baik.
Ingatlah malam adalah awal bagi siang.
Musim kemarau adalah awal bagi musim hujan.
Penderitaan adalah awal bagii ketenangan.
Kesulitan adalah awal bagi kebaikan.
Sikap optimis pada kebaikan adalah awal kekuatan diri.

Karena itu,nikmati setiap waktu anda.
Anggaplah sebagai babak akhir kehidupan anda.
Hiduplah dengan cinta kepada Allah.
Hiduplah dengan meneladani Sang Tokoh Revolusioner
Hiduplah dengan cita cita.
Hiduplah dengan perjuangan.
Hiduplah dengan kesabaran.
Hiduplah dengan cinta.
Hargailah kehidupan.

dikutip dari Dr. Ibrahim Elfiky

Sumber: https://www.facebook.com/

Revolusi Mental Pengusaha Papua: Seluruh Dunia Tahu Papua Kaya, tetapi….

Tetapi orang Papua tidak tahu kalau dia dianggap dunia “kaya”. Dilema besar buat saya saat saya melhat banyak orang Papua merasa diri miskin, menganggap diri tidak berdaya, dan selalu berpikir untuk orang luar membantu-nya. Ini yang selalu saya sebut sebagai mentalitas budak, dan Pdt. Dr. Benny Giay bahwa orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah. Alasannya jelas, orang Papua sendiri tidak percaya diri, tidak pernah sadar, dan tidak mau sadar, bahwa dia sudah kaya, dan yang harus dia lakukan adalah menyambut pengakuan itu dan menjadikannya bagian dan pengalaman dalam hidupnya.

Padahal dalam kita suci maupun dalam berbagai pernyataan tokoh, ilmuwan dan motivator kita sering sadar betul bahwa “Dunia ini diciptakan oleh Firman, karena Firman itu ada bersama-sama dengan Allah”. Firman itu ialah kata-kata, apa yang Tuhan katakan, apa yang dunia katakan, apa yang sesama katakan. Kalau Firman Tuhan berdaya-cipta, maka perkataan dari kita manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah memiliki kata-kata yang berdaya-cipta pula.

Untuk menikmati pengakuan dunia itu, maka orang Papua harus-lah pertama-tama turut mengiyakan, lalu kedua meyakini, dan ketiga, menjalani kehidupan sebagai orang kaya, berpikir sebagai orang kaya, berkata-kata sebagai orang kaya, dan berperilaku sebagai orang kaya.

Kalau itu yang terjadi, saya yakin, tanah Papua yang kaya-raya ini juga akan mendukung kita dalam upaya mewujudkan perkataan orang di dunia itu.

Setelah mengakui realitas dan perkataan orang, menjadikannya bagian dalam hidup, maka kita berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Tidak ada cerita di mana-manapun, orang yang kaya menjadi kaya karena tinggal di negeri kaya-raya. Yang ada ialah, mereka yang berjuang dan mengeluarkan keringat-lah yang pernah menjadi kaya. Karena sudah banyak diceritakan, ada juga tikus-tikus mati di lumbung padi. Nasib bangsa Papua sama dengan itu. Walaupun sudah diakui dunia, walaupun sudah diberikan banyak uang lewat Otsus, walaupun ada tindakan afirmatif dalam kebijakan demi Orang Asli Papua (OAP), selalu saja menganggap semua ini cukup, maka kita akan menjadi bagian dari bangsa-bangsa termiskin di dunia, hidup di salah satu negeri terkaya di dunia.

Salah siapa?

Dekolonisasi Pemikiran Pengusaha Papua: Menjadi Kaya adalah Pilihan Saya!

“Menjadi kaya adalah pilihan saya!”, artinya saya menjadi kaya bukan karena nasib, bukan juga sebab takdir, apalagi disebabkan oleh pihak lain. NKRI tidak menjadikan saya kaya. Orang Jawa tidak menjadikan kaya. Apalagi misionaris bule tidak menjadikan saya. Saya menjadi kaya karena itu pilihan saya. Pilihan saya itu saya wujudkan lewat perjuangan dengan langkah-langkah yang jelas untuk menjadikan saya kaya.

Sama halnya dengan itu, menjadi miskin juga adalah pilihan saya. Oleh karena itu, jangan salahkan NKRI, tidak  usah salahkan orang Jawa, malu kalau kita salahkan orang Makassar. Mereka menjadi kaya karena mereka mau menjadi kaya. Mereka menjadi kaya karena mereka berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Alam Papua yang kaya-raya tidak otomatis berarti orang yang tinggal di atas tanah Papua juga kaya-raya. Prinsip ajaran agama dan adat mengatakan “ora et labora” alias “Kenggi Abolok Kambe Abolok”.

Uang Otsus yang melimpah-ruah datang ke Tanah Papua tidak otomatis berarti orang Papua akan menjadi kaya-raya secara mendadak. Karena uang-uang Otsus itu harus dikelola oleh orang-orang Papua, entah di pemerintahan maupun di dunia usaha menjadi bermanfaat bagi kita orang Papua.

Konyol kalau kita memakai cara berpikir dan bermentalitas tukang sulap, karena semua hal kita anggap semudah membalikkan telapak tangan.

Orang Papua yang mandiri, dan yang akan membangkitkan dan mensejahterakan tanah dan bangsa Papua ialah orang-orang Papua yang punya keputusan dan komitmen jelas untuk menjadi kaya, bukan karena dikayakan, tidak karena diperbantukan, tetapi karena dia memiliki keinginan dan disusul kerja-keras untuk menjadi kaya.

Apakah Anda salah satu di antara orang-orang Papua yang sudah melakukan dekolonisasi pemikiran untuk menjadi kaya, ataukah anda masih terjajah dalam pemikiran dan berpikir semua kebaikan harus datang dari Jakarta?

Hanya Anda yang tahu jawabannya! Semoga membantu kita berpikir sejenak! Wa, Wa, Wa!

Realitas Menciptakan Persepsi, dan Persepsi dapat Menciptakan Realitas

Realitas menciptakan persepsi artinya apa yang kita hadapi, entah itu secara pribadi kita alami, diceritakan orang lain secara lisan ataupun tertulis, kalau realitas itu terjadi berulang-ulang, maka lama-kelamaan ia menjadi persepsi. Persepsi membentuk emosi dan pikiran kita terhadap realitas dimaksud.

Sama halnya dengan itu, persepsi juga dapat menciptakan realitas, kalau persepsi itu secara berulang-kali kita alami dan persepsikan, maka lama-kelamaan ia menjadi realitas.

Kita singgung dalam tulisan sebelumnya terkait topik yang sama, yaitu emosi (emotion), pikiran (thought) dan api neuro (neuro fire) dan kimia tubuh (body chemical). Kita ceritakan contoh kasus polisi lewat dengan mobil patroli sewaktu masyarakat kampung minum kopi dan minum bir, reaksi dari pencuri dan ketua RT/RW terhadap mobil patroli yang lewat berbeda. Kita juga telah singgung ada demonstrasi orang dengan santai berjalan-jalan dan merokok di atas nyala api yang membakar dengan besear.

Yang membedakan kita bukanlah realitas dan kondisi yang ada dalam kehidupan kita ini, akan tetapi bagamana dan apa tanggapan kita terhadap realitas kehidupan-lah yang membedakan kita masing-masing.

Kalau saya melihat api menyala-nyala dan menganggap itu berbahaya karena dapat membakar saya, maka pasti api itu membakar saya. Kalau saya menganggap nyala api itu sama dengan kain merah-orange yang digantung di tembok, dan saya dapat bersantai di sana, maka saya dapat melakukannya juga.

Dan kalau saya menganggap dan memperlakukan api seperti ini secara berulang kali, maka “programming” ini akan masuk ke dalam alam bawah sadar, dan dari alam bawah sadar ini akan keluar reaksi spontan kita terhadap kondisi-kondisi yang ada.

Ada orang biasanya kalau ditegur atas permasalahan, atau disebutkan permasalahan yang ada, dia dengan cepat-cepat mencari alasan dan selalu berusaha menyalahkan pihak-pihak yang dirasanya bersalah dan menyebabkannya seperti itu. Ada juga orang yang akan meminta maaf dan mengaku akan memperbaikinya, walaupun dia sdar dia sendiri tidak melakukannya. Kalau masalah atau kendala muncul dalam bisnis, maka “apa reaksi kita?”, atau “apa persepsi kita” terhadap realitas yang kita hadapi? Akan kita cari kesalahan siapa ini? Ataukah akan bertanya kepada diri sendiri,

“Apa yang harus saya lakukan untuk tidak terulang kesalahan yang sama?”

Ya, benar eskali. Realitas itu membentuk persepsi kita. Dan sama dengan itu, persepsi kita juga dapat membentuk realitas. Ini sesuai dengan hukum alam, yaitu hukum keseimbangan, antara siang dan malam, kiri dan kanan, dan seterusnya.

Tips untuk Mengolah Realitas Menjadi Persepsi dan Persepsi menjadi realitas

Kita memiliki daya-cipta yang cukup untuk mengubah persepsi kita terhadap realitas kehidupan. Kita dapat mengolah persepsi kita menjadi realitas. Untuk itu, tips pertama masih sama dengan tips sebelumnya, yaitu selalu memandang semua permasalahan dari sisi peluang, dan selanjutnya apa keuntungan dari peluang yang tersedia.

Dengan memandang realitas seperti ini, maka lama-kelamaan, kita menjadi terbiasa memanfaatkan, bahkan tanpa kita sadari-pun, akan kita nikmati kehidupan yang bersahaja dan bahagia.

Tips kedua, kita harus tekun melakukannya, yaitu secara berulang-ulang, sampai kebiasaan ini menjadi bagian dari alam bawah sadar. Kalau ada kecemasan, kegelisaan, dan berusaha mencari-cari siapa yang salah, tanpa bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang harus saya lakukan unutk mendapatkan keuntungan dari realitas ini?”, maka saya harus secara berulang-ulang mempratekkan cara berpikir seperti ini, sampai cara perpikir ini menjadi kebiasaan sehari-hari.

Kalau realitas sudah menjadi persepsi, maka persepsi itu sendiri akan menciptakan realitas bagi kita, yaitu realitas menjadi kaya-raya di atas tanah leluhur yang kaya-raya ini.

Emosi (Perasaan) dan Pikiran Menyalakan Api Neuro yang Menghasilkan Kimia Tubuh

Emosi (perasaan) dan pikiran yang ada pada kita sama seperti busi motor

Busi motor menyalakan api neuro, di mana busi dan api ini menghasilkan daya “kimia tubuh”, atau sering kita sebut sebagai energi, atau dalam juga dapat disebut “suasana”.

Energi/ suasana inilah yang kemudian disebut sebagai “body experience” atau pengalaman dari tubuh kita.

Nah, pengalaman-pengalaman inilah, yang lama-ke lamanaan menjadi sebuah program, sama seperti program komputer, program website, aplikasi apa saja, yang dapat kita operasikan. Pada saat “icon” atau “menu” dari program ini ditekan, maka program itu akan jalan, sama seperti program komputer, akan memunculkan isi dari program itu.

Contoh lain. ada sepuluh orang duduk minum kopi, lalu satu mobil patroli polisi lewat di jalan, dan melihat-lihat di kampung di mana para pemuda yang minum kopi tinggal.

Reaksi, atau emosi, atau pikiran yang akan muncul bermacam-macam di antara ke-10 orang yang sedang minum kopi. Kalau di antara mereka ada yang baru saja mencuri, kemungkinan besar dia akan lari bersembunyi. Kalau di kampung itu banyak pencuri yang menjadi keprihatinan warga, atau tepat hari itu ada perkelahian antar warg, maka kedatangan polisi justru disambut dengan gembira. Bisa juga ditawari kopi untuk minum.

Lain lagi reaksi dari seorang pemuda yang baru saja keluar dari penjara. Belum juga reaksi dari seorang pemuda karang taruna kampung atau hansip kampung.

Di hari lain, ada lagi 5 orang pemuda sedang minum bir di pinggir jalan, dan sementara mereka minum, mobil patroli polisi yang sama juga lewat.

Reaksi yang berbeda pula yang akan muncul dalam peristiwa ini. Kemungkinan besar mereka semua akan melarikan diri/ bersembunyi. Kalau ada yang tertangkap, mereka akan pura-pura tidak mabuk.

“Pikiran dan perasaan merupakan suatu memori dari masa lalu, atau pengalaman, atau ingatan berdasarkan cerita/ ajaran”.

Pikiran saya, perasaan saya tentang polisi menentukan sikap saya, reaksi saya. Dan reaksi atau sikap saya inilah yang menghasilkan api neuro, yang menghasilkan kimia tubuh (energi).

Saya pernah berulang-ulang merasakan saya tidak di-inginkan hadir di suatu tempat, ditolak, atau bahaya kalau ada di suatu tempat. Saya juga merasa tertekan berada di tempat yang lain. Ada juga tempat yang saya rasakan tidak mau meninggalkannya, mau tinggal di sana sepanjang hayatku. Ini semua reaksi saya terhadap “kimia tubuh” yang diproduksi oleh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.

Anda pasti pernah merasakan dan bertanya,

“Ada yang tidak beres di sini! Saya tidak diterima di sini! Rasanya ada yang marah sama saya di sini!, Rasanya  ada yang barusan cerita yang tidak-tidak tentang saya baru saya tiba.

Reaksi ini muncul karena aura tubuh kita membaca energi (kimia tubuh) yang dihasilkan yang ada di sekitar kita.

Saya pernah menyaksikan di Hong Kong, ada seorang ditikam pakai pisau, tetapi pisau tidak menembus tangan. Ada juga yang jalan-jalan dengan santai, duduk-duduk santai di atas nya api yang begitu besar.

Yang terjadi di sini ialah “kontrol” atas pikiran kita terhadap apa yang kita hadapi, atau alami, atau lihat, atau dengar, atau rasakan. Ada lima indera (senses): see, hear, taste, touch, smell (lihat, dengar, rasa, sentuh, cium/ bau, aroma), dan kita dapat mengontrol senses kita, dengan memprogramkannya.

Ada orang bisa berjalan-jalan dengan santai di tengah nyala api. Ada pencuri tiba-tiba bergabung dengan polisi mengejar pencuri. Ada koruptor dengan santainya membahas dan mendoakan koruptor lain yang sudah menjadi tersangka dan menjalani persidangan. Yang dilakukan lain, kondisi yang ada di sekeliling tidak mempengaruhi emosi, pikiran, perasaan mereka.

Aplikasinya dalam dunia olah psikologi dan mentalitas untuk Entrepreneurship di Tanah Papua

Untuk menyalakan motor kita perlu api dari busi, untuk menjalankan bisnis kita butuh emosi dan pikiran yang membantu kita melihat apa yang terjadi di sekitar kita sebagai kesemptan bagi kita untuk menjadi kaya-raya.

Banyak tantangan, rintangan dan persoalan menghadang para pengusaha di Tanah Papua. Pertama, kondisi dan pemberitaan hal-hal politik, menyangkut Pilkada, Korupsi, Papua Merdeka, pembunuhan orang Papua oleh Polri dan TNI, dan Dana Otsus mewarnai kehidupan orang Papua.

Di dunia bisnis, kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan oleh orang-orang non-Papua, atau kita biasa sebut sebagai orang Amberi juga memancing reaksi kita pengusaha Orang Asli Papua (OAP).

Aplikasinya adalah bahwa apapun yang terjadi di sekeliling kita, entah opini publik menganggpnya itu baik atau tidak baik, enak atau tidak enak, dapat diterima atau ditolak, kita sebagai entrepreneur Papua pertama-tama harus pandai dalam mengolah emosi dan pikiran kita.

3 Tips Mengolah “Emos/ Pemikiran” terhadap Stimulus

Pertama, kita harus menerima apapun yang terjadi di sekeliling kita sebagai peluang-peluang bagi kita untuk melangkah terus, sampai cita-cita untuk menjadi kaya-raya di tanah leluhur yang kaya-raya tetap menjadi fokus kebanggaan dan dasar perilaku bisnis kita.

Kita “jangan sekali-kali” menyebut hal-hal ini sebagai “MASALAH”, tetapi menyebutnya sebagai “tantangan” (challenges). Itu artinya, sebuah kesempatan buat kita untuk berpikir bagaimana caranya untuk melewatinya.

Banyak sekali diucapkan dan terdengar dalam TV di Indonesia kalimat ini, “Setiap masalah pasti ada solusinya, setiap penyakit pasti ada obatnya”. Oleh karena itu matikan anggapan “masalah’ dan jadikan itu sebagai “tantangan”.

Lebih mantap lagi kalau kita tidak hanya menganggapnya sebagai “tantangan”, tetapi lebih dari itu, sebagai “PELUANG”, untuk terus berpacu dalam memajukan bisnis kita.

Kedua, kita harus mempelajari dan mengaplikasikan cara-cara untuk memanfaatkan kondisi sekeliling dan emosi/ pikiran kita menjadi bermanfaat untuk kehidupan pribadi kita dan untuk kondisi usaha-usaha kita.

Ada banyak cara. Menurut ajaran Universal Healing Tao System (UHTS) sebagaimana secara khusus saya sajikan dalam situs web tersendiri www.universal-tao-indonesia.com Cara yang paling terkenal dan paling mudah menurut UHTS ialah dengan mempraktekkan “Inner Smile” (Senyum Kedalam0 dan membunyikan “Six Healing Sounds” (Tiga Bunyi Menyembuhkan).

Ketiga, kita memprogramkan emosi dan pikiran kita terhadap realitas kehidupan yang mengemuka. Kita harus memprogramkan dalam ingatan kita, secara berulang-ulang, sehingga dia menjadi sebuah reaksi secara tak sadar, untuk melihat persoalan-persoalan sebagai tantangan-tantangan yang pasti akan berbuahkan peluang-peluang untuk membawa keberhasilan dalam usaha, dan akhirnya membawa kita kekayaan sebagaimana kita impikan dan perjuangkan.

Dengan demikian tanggapan kita, dalam bentuk pikiran dan perasaan ini akan memercikkan api di benak / nadi kita, yang kemudian menghadirkan energi/ kimia tubuh kita.

Hubungannya dengan Akar, Pohon dan Buahnya

Kita masih bicara tentang akar pohon, pohon itu sendiri dengan batang dan daunnya, dan buahnya. Apa yang ada di dalam akar, entah itu air, tanah kerung, batu-batuan, akan menghasilkan apa yang ada di atas tanah, subur, kering, kurus, berbuah, tidak berbuah.

Dalam tulisan ini kita belajar bagaimana caranya mengubah batu dan tanah kering tandus menjadi tanah subur di pinggir air. Jadi, kita tidak bicara tentang bagaimana memindahkan tanaman ke tempat yang ada air, tetapi bagaiman menghadirkan air di tempat mana ada tanaman kita.

Dengan tiga tips di atas, saya, Jhon Yonathan Kwano, berdoa, kiranya Tuhan turun tangan dalam mengajarkan dan mempraktekkan ajaran-ajaran ini. Karena pada akhirnya, hasil dari semua pekerjaan ini, akan membawa kemuliaan dan hormat bagi nama-Nya.

Kalau Manusia Lain Bisa, Manusia Papua Juga Bisa! Cuma….

Kalau manusia lain, seperti orang China, orang Makassar, orang Jawa bisa menjadi kaya-raya, walaupun bukan di tanah-leluhur mereka sendiri, walaupun mereka hidup merantau, berarti saya juga bisa. Itu prinsip dasar pemikiran yang harus kita camkan.

Saya menolak istilah, sikap dan keyakinan tentang “kodrat” dalam kaitannya dengan bisnis dan hubungannya dengan kaya-miskin. Kita menjadi kaya atau miskin saya anggap itu BUKAN KODRAT. Itu karena kita sendiri tidak berjuang, kita tidak merubah pola pikir, kita tidak berakar, kita tidak bekerja sesuai petunjuk Tuhan. Kaya-miskin juga bukan karena agama, tidak ada hubungannya dengan kepercayaan atau ilmu-ilmu gaib.

Kaya-miskin lebih disebabkan oleh saya sendiri. Pertama, saya sendiri tidak memiliki mentalitas dan hati, persepsi dan pikiran tidak berakar secara mendalam ke dalam diri saya sendiri. Ini faktor utama dan pertama yang sedang saya soroti dalam beberapa artikel pertama dalam blog ini. Itulah sebabnya saya menghabhiskan beberapa artikel khusus untuk berbicara tentang pohon, akar-akarnya, daun yang lebat dan berbuah dan daun yang lebat tetapi tidak berbuah, pohon yang tidak sehat tapi berbuah dan pohon yang tidak sehat ditambah tidak berbuah pula, apa alasannya dan apa nasib mereka.

Judul tulisan ini,

“Kalau manusialain bisa, manusia Papua juga bisa” di sini tidak berarti sama dengan prinsip seperti “Kalau laki-laki bisa kawin dua, perempuan juga bisa kawin dua. Kalau perempuan masak, laki-laki juga masak. Ini menyangkut kodrat. Saya orang Papua, Anda orang Jawa, itu kodrat. Kodrat sebagai manusia, tetapi juga sebagai suku-bangsa yang berbeda,”

Yang dimaksudkan dengan judul ini lebih dalam dari itu, pada tingkatan dan hakiki mereka dan kita sebagai manusia, yang dilahirkan sebagai pembuahan dari seorang ayah dan ibu, dari kandungan seorang mama, dibesarkan, dan menjadi kaya-miskin, lalu mati. Jadi, kita sama-sama manusia.

Yang membedakan kita, selain embel-embel kerja-keras, tekad bulat, dukungan keluarga dan sebagainya, pertama dan terutama ialah sikap dan mentalitas saya sendiri sebagai seorang manusia. Apakah saya menerima keadaan saya apa adanya sebagai “kodrat”? Ataukah saya berdoa kepada Tuhan, mengundang Dia turun campur-tangan dalam merubah nasib saya, untuk menjadi kaya-raya?

Ada “cuma..”, dalam judul tulisan kali ini.

Maksud saya bukan terlalu sulit. Cuma orang Papua selalu meng-kambing-hitam-kan pihak lain atas apa saja yang menimpa dirinya, tidak pernah mengambil tanggung-jawab di tangan sendiri atas apa yang sedang terjadi dalam hidup ini. Itu pertama. Lalu kedua, karena sering mencari kesalahan orang lain, akibatnya diri sendiri tidak punya sikap yang jelas, teguh dan ditopang oleh pernyataan sikap dan langkah-langkah yang jelas, yaitu berkorban untuk menjadi kaya-raya di negeri leluhur yang dikenal di seluruh dunia sebagai Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi!

Orang Papua menjadikan “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu sebagai negara besar yang timbul dari bawah. Cuma itu saja yang harus kita rombak. SETUJU?

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]

Pohon yang Lebat Daunnya dan Berbuah Banyak Pasti Punya Banyak Supply Air

Pohon yang lebat daunnya dan berbuah banyak secara ilmu biologi maupun secara awam dipastikan bertumbuh di pinggir aliran air, entah dalam bentuk kolam, danau, kali, sungai. Kecuali pohon jambu monyet dan beberapa pohon yang berani tumbuh di atas tanah yang nyaris tidak berair, secara rata-rata semua orang tahu bahwa kalau ada tumbuhan subur, di situ pasti ada air.

Sudah saya sebutkan sebelumnya, memang ada masalah juga karena tidak semua pohon yang subur juga otomatis berbuah lebat, karena ada unsur pembuahan yang terjadi pada pohon dimaksud, yaitu ada aspek di luar tanah yang mempengaruhi juga. Tetapi yang pokok ialah pohon itu subur.

Memang ada kemungkinan orang Papua menjadi kaya dan miskin itu bisa ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, akan tetapi yang terutama ialah apakah kita berakar ke dalam dan hidup dengan air yang mengalir di sekitar kita atau tidak.

Kalau orang Papua mayoritas beragama Kristen, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran agama kita dengan sepenuhnya, jangan asal-asalan beragama dan beriman. Kalau orang Papua bekerja di Kantor pemerintah atau mengajar di sekolah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Jangan setengah-setengah. Kalau kita mau jadi kaya, maka kita harus merombak sejumlah penghambat yang menggagalkan kita menjadi kaya.

Hambatan-hambatan itu sudah disebutkan sebelumnya seperti

  1. selalu tidak percaya diri
  2. selalu menyalahkan Indonesia dan Jawa kalau ada yang salah
  3. selalu mengeluh dengan “adooo..”
  4. selalu menyesali apa yang telah terjadi

Kalau orang Papua itu rasnya Melanesia, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran budaya orang Melanesia. Jangan lupakan ritual-ritual adat, walaupun kita punya agama Kristen, Islam dan sebagainya, kita juga tidak boleh serta-merta melupakan apa yang dengan jerih-payah dan kerja-keras ditanam, dipelihara dan diwariskan oleh nenek-moyang kita.

Kalau tidak percaya, pergi saja ke seluruh dunia, dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Semua orang miskin dan melarat pasti orang-orang tradisional, suku-suku yang sudah kehilangan adat dan budayanya.

Kita sebagai masyarakat adat sudah salah mengira bahwa menjadi orang Kristen berarti membenci dan memerangi adat dan budaya. Salah fatal.

Padahal para misionaris, para pembawa agama Kristen ataupun Islam dan agama-agama lain, mereka membawa agama mereka ke tempat-tempat kita sangat kental dengan warna-warni dan cita-rasa budaya di mana ajaran agama itu dirurunkan. Mengapa kita berusah menjadi seperti orang Yahudi, karena kita percaya agama Kristen lahir di tengah-tengah bangsa Israel? Mengapa kita menjadi ke Arab-Arab-an karena Islam lahir dalam budaya Arab?

Ini kesalahan fatal. Melupakan budaya sama saja dengan mencabut pohon tapna akar-akarnya, memindahkan satu pohon dari tempat di mana air mengalir, ke tempat baru yang belum dikenal pohon itu sendiri.

Di dalam adat dan budaya kita terdapat nilai-nilai orang Papua, ethos kerja yang asli, prinsip hdiup yang mengakar ke dalam Bumi kita berpijak.

Selain itu, kita juga harus berakar ke dalam prnsip-prinsip dan cara berpikir sebagai orang kaya. Kalau kita berpikir seperti orang miskin dan melarat,maka memang kita orang miskin dan melarat. Kalau kita orang kaya, atau kita mau menjadi orang kaya, maka kita haruslah berpikir sebagai orang kaya, bukan “seperti orang kaya”.

Dengan cara berpikir “sebagai” orang kaya, maka kita akan mewujudkan kekayaan itu dalam hidup kita.


 

Kita bicara tentang akar pohon, air, pohon yang lebat dan buah yang banyak. Ini semuaya tergantung kepada air ada air atau tidak. Air yang mengalir, danau atau kolam atau sumur yang mensuplai air sangat menentukan subur-tidaknya sebuah pohon.

  • “Air” untuk seorang entrepreneur Papua itu apa?

Sudah disebutkan di atas, pertama, berakar dalam adat, budaya, dan ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kita tentang berpikir dan bersikap terhadap apa-pun yang terjadi dalam hidup ini, dan apa yang kita mau terjadi dalam hidup kita.

Kita bicara tentang hidup kita, bukan hidup orang lain, hidup pribadi kita. Oleh karena itu, tanggungjawab sepenuhnya atas apa yang akan terjadi terhadap hidup kita satu demi satu ialah kita sendiri secara pribadi.

Kita menajdi kaya atau miskin ditentukan oleh pribadi kita sendiri.

Mari kita terus mengatakan kepada diri kita,

Ya, saya mau jadi kaya-raya di atas tanah leluhur saya, Tanah Papua! Semua unsur, pihak dan aspek kehidupan ini, mari dukunglah saya, mari kita bersama-sama menjadi kaya-raya di negeri leluhur Tanah papua.

Apapun yang terjadi, entah itu perasaan

  • bingung,
  • ragu-ragu,
  • heran,
  • lucu,
  • mendua-hati,
  • sedih
  • kasihan
  • blank sekalipun atau apa saja

katakan selalu, yakinkan selalu, ulangi selalu, jadikanlah menjadi nafas dan hafalan. Itulah air itu, itulah sungai itu, danau, kolam, yang mengalirkan air ke akar-akar kehidupan, yang akan menghasilkan pohon yang subur dan akan berbuah lebat, yaitu menjadi kaya-raya di negeri leluhur sendiri.

Itulah supply air itu sendiri!

Lalu ingat, semakin banyak supply airnya, semakin lebat pula pohonnya dan semakin banyak pula buahnya

Dan sebaliknya.

Belajar dari Pohon: Yang ada di dalam Tanah Menentukan yang Ada di Atas Tanah

Belajar dari pohon ini bermaksud menjawab pertanyaan tertinggal dari tulisan sebelumnya yang bertanya,

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?

Ada banyak caranya berakar ke dalam, tergantung tujuan hidup kita. Apakah kita seorang mahasiswa, seorang pengajar, seorang politisi, pejabat publik, pengacara, dokter, dan pengusaha. Apa-pun pekerjaan dan passion kita, yang tampak dalam pekerjaan kita sehari-hari, yang kelihatan dalam pembawaan kita seharian, ialah hasil dari apa yang ada di dalam hati, jiwa/ roh, mental, dan otak kita. Kita mahasiswa berprestasi, guru yang rajin dan ramah, dokter yang cepat membantu dan sentuhan tangannya menyembuhkan banyak pasien, kita pengusaha yang menarik banyak konsumen, semuanya tergantung kepada sedalam apa kita berakar ke dalam dunia yang kita geluti.

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu kita setuju bersama, yaitu

  1. Pertama, pohon yang subur, pohon yang kering, pohon yang berbuah lebat, pohon yang berbuh sedikit, dan pohon yang tidak berbuah, semuanya ditentukan oleh “apa yang ada di dalam tanah”? Apa yang dikerjakan, dan apa yang didapatkan oleh akar pohon itulah yang menentukan pohon itu, bukan sebaliknya.
  2. Kedua, pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan buah disebabkan karena tidak terjadi pembuahan atau perkawinan, yaitu aspek yang ada di luar tanah.
  3. Ketiga, apapun yang terjadi pada diri saya, bukan disebabkan oleh dia yang lain, mereka yang lain, tetapi itu terjadi supaya saya membaca situasi dan bergerak mengambil langkah, melanjutkan perjuangan hidup ini. Dengan kata lain, jangan melihat masalah sebagai rintangan, tetapi perlakukanlah itu sebagai peluang untuk berbuat lebih banyak dalam apa saja yang kita geluti dan perjuangkan.

Tidak mungkin sebuah pokoh akan subur kalau ia bertumbuh di atas batu. Tidak mungkin pohon akan rindang dan menghasilkan buah kalau ia tumbuh di padang gurun yang tandus.

Tidak mungkin orang Papua terus mengeluh kalau dia tahu bagaimana caranya mencari tempat pertumbuhan jiwa dan rohaninya di pinggir sungai. Tidaklah mungkin orang Papua selalu menyalahkan orang Jawa dan Jakarta kalau ia tahu prinsip pohon yang subur dan berbuah-lebat disebabkan oleh akar pohon dan apa yang diisah oleh akar itu di dalam tanah. Ia akan berjuang mencari tempat di pinggir sungai, dan berusaha mencari air sedalam-dalamnya, sampai ia menemukan air.

Caranya kita berakar ke dalam sebagai seorang entrepreneur ialah pertama-tama dengan mengatakan kepada diri sendiri.

  • saya orang Papua, saya hidup di tanah leluhur yang kaya-raya, dan karena itu saya harus hidup sebagai orang kaya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan karena keslahan orang lain, bukan karena perbuatan orang lain, bukan karena nasib buruk, tetapi itu karena saya belum serius menerima berkat-berkat yang tersedia buat saya dan mengolahnya untuk mendatangkan kekayaan kepada saya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan berarti karena orang Jawa membuat saya, membatasi saya, memasang jerat, berbuat yang tidak-tidak untuk memiskinkan saya, tetapi memang itu karena saya sendiri tidak memenuhi syarat untuk menjadi kaya-raya di atas negeriku yang kaya-raya.
  • Saya menyatakan kepada diri saya saat ini,

“Saya, nama saya……., pada hari …………., tanggal……… tahun 20… di tempat ………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…., dengan ini menyatakan kepada diri saya, bahwa saya mau menjadi kaya-raya di tanah leluhur saya, Tanah Papua yang dikenal dan dijuluki kaya-raya. Tuhan dengarkanlah doaku, nenek-moyang, saksikanlah pernyataanku ini. Tanah leluhur, maklumkanlan pernyataan ini. …….Saya mau jadi kaya-raya, karena saya mau menjadi kaya-raya, dan saya layak menjadi kaya-raya, bantulah saya agar saya berjuang untuk mewujudkannya.

(Lalu ucapkan misalnya Dalam Nama Yesus untuk orang Kristen, dan Bismillah, atau lainnya, menurut agama dan kepercayaan masing-masing)

Perumpamaan tentang Pohon yang Subur Berbuah Lebat dan Mentalitas Orang Papua

Semua kita tahu pohon subur, atau tanaman subur. Kita juga sudah tahu tanaman yang menghasilkan banyak dan tanaman yang subur tetapi tidak menghasilkan buah yang banyak, hanya subur saja, tanpa hasil. Kita juga sudah tahu tanaman yang tidak subur dan menghasilkan buah yang tidak subur pula. Dan juga pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa. Jadi ada empat macam tanaman di sini.

Pertama, pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa adalah pohon yang memenuhi syarat untuk ditebang, tidak ada gunannya sama sekali. Harus diganti dengan pohon lain.

Kedua, pohon yang tidak subur dan menghasilkan yang tidak subur. Dalam kondisi ini kalau si pemilik tanaman terdesak, atau dalam kondisi produksi yang lain tidak ada sama sekali, maka hasil yang tidak subur ini masih bisa dimanfaatkan. Ada pepatah “Tidak ada rotan, akar-pun berguna”. Akan tetapi kita tidak bisa mengharapkan pohon yang tidak subur dengan hasil tidak subur ini terus menghasilan dari waktu ke waktu. Kalau kita punya pohon yang lebih subur dengan buah yang lebih bagus, pasti kita tidak akan menghiraukannya. Bisa dibiarkan tanpa dimanfaatkan.

Yang ketiga, pohon yang subur, daunnya lebat, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Yang dibutuhkan si penanam pohon bukan kesuburan. Kesuburan ialah prakondisi untuk hasil akhir, yaitu buah. Kalau sebuah pohon yang subur tidak menghasilkan apa-apa, maka kalau dibandingkan lebih bagus pohon yang tidak subur yang menghasilkan buah tidak subur tadi daripada pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Yang terakhir, ialah pohon yang subur dan yang menghasilkan banyak buah.

Nah, secara psikologis dan mentalits kita, sekarang orang Papua termasuk dalam kategori mana?

  • Subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa?
  • Kering tidak subur dan tidak menghasilkan?
  • Subur dan menghasilkan banyak?, atau
  • Kering, dan tidak subur tetapi masih dapat menghasilkan?

Orang Papua hidup di Tanah Papua, di tanah yang katanya “Surga Kecil Jatuh Ke Bumi!”, di mana ada banyak misteri di gunung dan di lembah, di mana sungai-sungainya mengalirkan emas, samuderanya penuh misteri pula.

  • Lantas, manusianya penuh dengan apa?

Apakah seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya:

  • penuh dengan keluh-kesah ?
  • penuh dengan kambing-hitam ?
  • penuh penyesalan dan sungutan ?
  • yang tidak pernah ambil tanggung-jawab sendiri atas apa yang dialaminya sendiri?

Menurut analisis saya terhadap diri saya sendiri sebelum saya berubah, mentalitas orang Papua tidak masuk dalam keempat kategori di atas. Semuanya tidak.

Orang Papua memang hidup di tanah yang subur luarbiasa, menjadi incaran dan rebutan dunia.

Akan tetapi orang Papua mau dikatakan subur juga tidak, kering juga tidak, tidak berbuah juga tidak, berbuah juga tidak.

Dengan kata lain, orang Papua itu tidak panas, tidak dingin, ia hanya suam-suam kuku.

Apa kata Kita Suci Alkitab untuk air yang suam-suam kuku?

Lebih baik dibuang saja. Itulah gambaran nasib dan riwayat orang Papua.


 

Tetapi jangan berkecil hati dulu, sabar, tunggu, sebentar.

Jalan keluar selalu ada. Dalam banyak kasus di Indonesia selalu diucapkan seperti ini, “Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap penyakit pasit ada obatnya!

Yang harus kita lakukan bukannya berhenti, bukannya bertanya-tanya, bukannya kaget dan protes, tetapi kita harus menggunakan prinsip hidup masyarakat jelata di pulau Jawa terutama, yaitu “Kita harus ngalir saja!

Kita “harus ngalir saja” artinya tidak merasa tersentak, tidak kaget, tidak memprotes, apalagi jangan berusaha melawan. Yang harus kita lakukan ialah “kita ngalir”, sama seperti air. Kita harus banyak belajar dari “ilmu air”, yaitu ilmu dari air, “Airologi”.

Menurut airologi, kalau ada tembok, jangan putar balik arah aliran, tetapi tetap saja mengalir, sampai aliran melebihi tembok. Kalau ada gunung, jangan berputar-berputa balik, tetapi mengalirlah terus, sampai menemukan bagian gunung yang terendah, dan melangirlah terus lewat nya. Jangan berhenti mengalir, jangan berputar balik arah.

Mentalitas kita orang Papua sebagai entrepreneur haruslah lebih kuat, lebih gigih, lebih canggih daripada mentalitas para politisi dan praktisi lainnya. Mentalitas entrepreneur berhubungan dengan nilai, naluri, dan rasa dari para konsumen yang tidak punya kontrak jual-beli dengan kami sebagai padangan. Mereka berdiri bebas, memilih bebas, hidup bebas. Yang kami lakukan adalah sekedar memasang jerat, bukan hukum agar mereka datang berbelanja di tempat kami.

Kita harus menjadi pohon subur, yang menghasikan buah yang subur dan lebat, yang menjadi rebutan burung-burung berbagai jenis, dari berbagai tempat mereka berasal.

TIPS: Berakarlah ke dalam, berbuahlah lebat. Sampai di situ. Dengan tidak berharap, dengan tidak menanti, dengan tidak menyalahkan dan mengeluh. Hanya tinggal, berakar ke dalam dan berbuah banyak.

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?
  • Apa buah-buah dimaksud?
[bersambung]