Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (2)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

Selalu Berharap kepada pihak lain (berlanjut…)

Selalu menyalahkan pihak lain (lanjutan…)

Berlanjut dari ciri sebelumnya, yang kedua, orang Papua yang memenuhi syarat dijajah ialah orang Papua yang selalu menyalahkan pihak lain atas segala-sesuatu yang menimpa dirinya, kelompoknya, pribadinya, suku-bangsanya, kampungnya, kabupatennya, provinsinya, pulaunya, rasnya.

  • Kalau Pepera 1969 Gagal, orang Indonesia, Belanda, Amerika Serikat yang salah, PBB yang salah
  • Kalau orang Papua mati, maka Jawa yang salah
  • Kalau orang Papua miskin, maka Indonesia yang salah
  • Kalau Otsus gagal, NKRI yang salah,
  • Kalau PNG tidak mendukung, Perdana Menteri yang salah
  • Kalau tidak ada negara di dunia yang mendukung, itu karena MSG dan PIF yang tidak cukup bicara untuk bangsa Papua

LALU PERTANYAAN-nya

  • APAKAH ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERSALAH?
  • Masalah ini soal bangsa mana? Lalu salah ini salah siapa?

Pribadi lepas pribadi, bangsa demi bangsa yang tidak pernah mengaku bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi pada dirinya oleh karena dirinya sendiri yang harus berubah adalah bangsa yang layak dijajah, karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, karena dia hanya melihat pertolongan datang dari luar, dan karena itu kalau ada kesalahan-pun itu karena kesalahan pihak lain pula.

Maka tanggapanya, memang ini orang layak dijajah.

Selain tidak percaya diri, dia juga tidak bertanggung-jawab menerima realitas dan mengakui diri sebagai subyek dari realitas kehidupan yang dijalani dan tidak selalu berada sebagai obyek passive.

Oleh karena tidak bertanggung-jawab atas apa yang menimpa dirinya, maka solusinya-pun dicarinya dengan mengharapkan pihak lain pula yang berubah, pihak lain yang bersikap, pihak lain yang bersmpati dan berempati, pihak lain yang mengambil langkah.

Mentalitas pengemis seperti ini menunjukkan bangsa itu memenuhi syarat untuk dijajah. Sebuah bangsa yang selalu berharap kepada bangsa lain, dan selalu menuduh bangsa lain memenuhi syarat 100% untuk dijajah. Oleh karena itu, kalau bangsa seperti ini memperjuangkan kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai sampai bangsa ini, pejuang yang ada di dalamnya berubah dan percaya bahwa yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri dan atas bangsanya, entah untuk kebaikan atau atas masalah, adalah diri sendiri, bangsa sendiri, pihak sendiri.

Sampai titik itu, maka kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, karena pribadi atau bangsa itu masih memenuhi syarat untuk dijajah.

 

 

 

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.

Revolusi Mental Pengusaha Papua: Seluruh Dunia Tahu Papua Kaya, tetapi….

Tetapi orang Papua tidak tahu kalau dia dianggap dunia “kaya”. Dilema besar buat saya saat saya melhat banyak orang Papua merasa diri miskin, menganggap diri tidak berdaya, dan selalu berpikir untuk orang luar membantu-nya. Ini yang selalu saya sebut sebagai mentalitas budak, dan Pdt. Dr. Benny Giay bahwa orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah. Alasannya jelas, orang Papua sendiri tidak percaya diri, tidak pernah sadar, dan tidak mau sadar, bahwa dia sudah kaya, dan yang harus dia lakukan adalah menyambut pengakuan itu dan menjadikannya bagian dan pengalaman dalam hidupnya.

Padahal dalam kita suci maupun dalam berbagai pernyataan tokoh, ilmuwan dan motivator kita sering sadar betul bahwa “Dunia ini diciptakan oleh Firman, karena Firman itu ada bersama-sama dengan Allah”. Firman itu ialah kata-kata, apa yang Tuhan katakan, apa yang dunia katakan, apa yang sesama katakan. Kalau Firman Tuhan berdaya-cipta, maka perkataan dari kita manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah memiliki kata-kata yang berdaya-cipta pula.

Untuk menikmati pengakuan dunia itu, maka orang Papua harus-lah pertama-tama turut mengiyakan, lalu kedua meyakini, dan ketiga, menjalani kehidupan sebagai orang kaya, berpikir sebagai orang kaya, berkata-kata sebagai orang kaya, dan berperilaku sebagai orang kaya.

Kalau itu yang terjadi, saya yakin, tanah Papua yang kaya-raya ini juga akan mendukung kita dalam upaya mewujudkan perkataan orang di dunia itu.

Setelah mengakui realitas dan perkataan orang, menjadikannya bagian dalam hidup, maka kita berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Tidak ada cerita di mana-manapun, orang yang kaya menjadi kaya karena tinggal di negeri kaya-raya. Yang ada ialah, mereka yang berjuang dan mengeluarkan keringat-lah yang pernah menjadi kaya. Karena sudah banyak diceritakan, ada juga tikus-tikus mati di lumbung padi. Nasib bangsa Papua sama dengan itu. Walaupun sudah diakui dunia, walaupun sudah diberikan banyak uang lewat Otsus, walaupun ada tindakan afirmatif dalam kebijakan demi Orang Asli Papua (OAP), selalu saja menganggap semua ini cukup, maka kita akan menjadi bagian dari bangsa-bangsa termiskin di dunia, hidup di salah satu negeri terkaya di dunia.

Salah siapa?

Dekolonisasi Pemikiran Pengusaha Papua: Menjadi Kaya adalah Pilihan Saya!

“Menjadi kaya adalah pilihan saya!”, artinya saya menjadi kaya bukan karena nasib, bukan juga sebab takdir, apalagi disebabkan oleh pihak lain. NKRI tidak menjadikan saya kaya. Orang Jawa tidak menjadikan kaya. Apalagi misionaris bule tidak menjadikan saya. Saya menjadi kaya karena itu pilihan saya. Pilihan saya itu saya wujudkan lewat perjuangan dengan langkah-langkah yang jelas untuk menjadikan saya kaya.

Sama halnya dengan itu, menjadi miskin juga adalah pilihan saya. Oleh karena itu, jangan salahkan NKRI, tidak  usah salahkan orang Jawa, malu kalau kita salahkan orang Makassar. Mereka menjadi kaya karena mereka mau menjadi kaya. Mereka menjadi kaya karena mereka berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Alam Papua yang kaya-raya tidak otomatis berarti orang yang tinggal di atas tanah Papua juga kaya-raya. Prinsip ajaran agama dan adat mengatakan “ora et labora” alias “Kenggi Abolok Kambe Abolok”.

Uang Otsus yang melimpah-ruah datang ke Tanah Papua tidak otomatis berarti orang Papua akan menjadi kaya-raya secara mendadak. Karena uang-uang Otsus itu harus dikelola oleh orang-orang Papua, entah di pemerintahan maupun di dunia usaha menjadi bermanfaat bagi kita orang Papua.

Konyol kalau kita memakai cara berpikir dan bermentalitas tukang sulap, karena semua hal kita anggap semudah membalikkan telapak tangan.

Orang Papua yang mandiri, dan yang akan membangkitkan dan mensejahterakan tanah dan bangsa Papua ialah orang-orang Papua yang punya keputusan dan komitmen jelas untuk menjadi kaya, bukan karena dikayakan, tidak karena diperbantukan, tetapi karena dia memiliki keinginan dan disusul kerja-keras untuk menjadi kaya.

Apakah Anda salah satu di antara orang-orang Papua yang sudah melakukan dekolonisasi pemikiran untuk menjadi kaya, ataukah anda masih terjajah dalam pemikiran dan berpikir semua kebaikan harus datang dari Jakarta?

Hanya Anda yang tahu jawabannya! Semoga membantu kita berpikir sejenak! Wa, Wa, Wa!

Pohon yang Lebat Daunnya dan Berbuah Banyak Pasti Punya Banyak Supply Air

Pohon yang lebat daunnya dan berbuah banyak secara ilmu biologi maupun secara awam dipastikan bertumbuh di pinggir aliran air, entah dalam bentuk kolam, danau, kali, sungai. Kecuali pohon jambu monyet dan beberapa pohon yang berani tumbuh di atas tanah yang nyaris tidak berair, secara rata-rata semua orang tahu bahwa kalau ada tumbuhan subur, di situ pasti ada air.

Sudah saya sebutkan sebelumnya, memang ada masalah juga karena tidak semua pohon yang subur juga otomatis berbuah lebat, karena ada unsur pembuahan yang terjadi pada pohon dimaksud, yaitu ada aspek di luar tanah yang mempengaruhi juga. Tetapi yang pokok ialah pohon itu subur.

Memang ada kemungkinan orang Papua menjadi kaya dan miskin itu bisa ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, akan tetapi yang terutama ialah apakah kita berakar ke dalam dan hidup dengan air yang mengalir di sekitar kita atau tidak.

Kalau orang Papua mayoritas beragama Kristen, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran agama kita dengan sepenuhnya, jangan asal-asalan beragama dan beriman. Kalau orang Papua bekerja di Kantor pemerintah atau mengajar di sekolah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Jangan setengah-setengah. Kalau kita mau jadi kaya, maka kita harus merombak sejumlah penghambat yang menggagalkan kita menjadi kaya.

Hambatan-hambatan itu sudah disebutkan sebelumnya seperti

  1. selalu tidak percaya diri
  2. selalu menyalahkan Indonesia dan Jawa kalau ada yang salah
  3. selalu mengeluh dengan “adooo..”
  4. selalu menyesali apa yang telah terjadi

Kalau orang Papua itu rasnya Melanesia, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran budaya orang Melanesia. Jangan lupakan ritual-ritual adat, walaupun kita punya agama Kristen, Islam dan sebagainya, kita juga tidak boleh serta-merta melupakan apa yang dengan jerih-payah dan kerja-keras ditanam, dipelihara dan diwariskan oleh nenek-moyang kita.

Kalau tidak percaya, pergi saja ke seluruh dunia, dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Semua orang miskin dan melarat pasti orang-orang tradisional, suku-suku yang sudah kehilangan adat dan budayanya.

Kita sebagai masyarakat adat sudah salah mengira bahwa menjadi orang Kristen berarti membenci dan memerangi adat dan budaya. Salah fatal.

Padahal para misionaris, para pembawa agama Kristen ataupun Islam dan agama-agama lain, mereka membawa agama mereka ke tempat-tempat kita sangat kental dengan warna-warni dan cita-rasa budaya di mana ajaran agama itu dirurunkan. Mengapa kita berusah menjadi seperti orang Yahudi, karena kita percaya agama Kristen lahir di tengah-tengah bangsa Israel? Mengapa kita menjadi ke Arab-Arab-an karena Islam lahir dalam budaya Arab?

Ini kesalahan fatal. Melupakan budaya sama saja dengan mencabut pohon tapna akar-akarnya, memindahkan satu pohon dari tempat di mana air mengalir, ke tempat baru yang belum dikenal pohon itu sendiri.

Di dalam adat dan budaya kita terdapat nilai-nilai orang Papua, ethos kerja yang asli, prinsip hdiup yang mengakar ke dalam Bumi kita berpijak.

Selain itu, kita juga harus berakar ke dalam prnsip-prinsip dan cara berpikir sebagai orang kaya. Kalau kita berpikir seperti orang miskin dan melarat,maka memang kita orang miskin dan melarat. Kalau kita orang kaya, atau kita mau menjadi orang kaya, maka kita haruslah berpikir sebagai orang kaya, bukan “seperti orang kaya”.

Dengan cara berpikir “sebagai” orang kaya, maka kita akan mewujudkan kekayaan itu dalam hidup kita.


 

Kita bicara tentang akar pohon, air, pohon yang lebat dan buah yang banyak. Ini semuaya tergantung kepada air ada air atau tidak. Air yang mengalir, danau atau kolam atau sumur yang mensuplai air sangat menentukan subur-tidaknya sebuah pohon.

  • “Air” untuk seorang entrepreneur Papua itu apa?

Sudah disebutkan di atas, pertama, berakar dalam adat, budaya, dan ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kita tentang berpikir dan bersikap terhadap apa-pun yang terjadi dalam hidup ini, dan apa yang kita mau terjadi dalam hidup kita.

Kita bicara tentang hidup kita, bukan hidup orang lain, hidup pribadi kita. Oleh karena itu, tanggungjawab sepenuhnya atas apa yang akan terjadi terhadap hidup kita satu demi satu ialah kita sendiri secara pribadi.

Kita menajdi kaya atau miskin ditentukan oleh pribadi kita sendiri.

Mari kita terus mengatakan kepada diri kita,

Ya, saya mau jadi kaya-raya di atas tanah leluhur saya, Tanah Papua! Semua unsur, pihak dan aspek kehidupan ini, mari dukunglah saya, mari kita bersama-sama menjadi kaya-raya di negeri leluhur Tanah papua.

Apapun yang terjadi, entah itu perasaan

  • bingung,
  • ragu-ragu,
  • heran,
  • lucu,
  • mendua-hati,
  • sedih
  • kasihan
  • blank sekalipun atau apa saja

katakan selalu, yakinkan selalu, ulangi selalu, jadikanlah menjadi nafas dan hafalan. Itulah air itu, itulah sungai itu, danau, kolam, yang mengalirkan air ke akar-akar kehidupan, yang akan menghasilkan pohon yang subur dan akan berbuah lebat, yaitu menjadi kaya-raya di negeri leluhur sendiri.

Itulah supply air itu sendiri!

Lalu ingat, semakin banyak supply airnya, semakin lebat pula pohonnya dan semakin banyak pula buahnya

Dan sebaliknya.

Belajar dari Pohon: Yang ada di dalam Tanah Menentukan yang Ada di Atas Tanah

Belajar dari pohon ini bermaksud menjawab pertanyaan tertinggal dari tulisan sebelumnya yang bertanya,

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?

Ada banyak caranya berakar ke dalam, tergantung tujuan hidup kita. Apakah kita seorang mahasiswa, seorang pengajar, seorang politisi, pejabat publik, pengacara, dokter, dan pengusaha. Apa-pun pekerjaan dan passion kita, yang tampak dalam pekerjaan kita sehari-hari, yang kelihatan dalam pembawaan kita seharian, ialah hasil dari apa yang ada di dalam hati, jiwa/ roh, mental, dan otak kita. Kita mahasiswa berprestasi, guru yang rajin dan ramah, dokter yang cepat membantu dan sentuhan tangannya menyembuhkan banyak pasien, kita pengusaha yang menarik banyak konsumen, semuanya tergantung kepada sedalam apa kita berakar ke dalam dunia yang kita geluti.

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu kita setuju bersama, yaitu

  1. Pertama, pohon yang subur, pohon yang kering, pohon yang berbuah lebat, pohon yang berbuh sedikit, dan pohon yang tidak berbuah, semuanya ditentukan oleh “apa yang ada di dalam tanah”? Apa yang dikerjakan, dan apa yang didapatkan oleh akar pohon itulah yang menentukan pohon itu, bukan sebaliknya.
  2. Kedua, pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan buah disebabkan karena tidak terjadi pembuahan atau perkawinan, yaitu aspek yang ada di luar tanah.
  3. Ketiga, apapun yang terjadi pada diri saya, bukan disebabkan oleh dia yang lain, mereka yang lain, tetapi itu terjadi supaya saya membaca situasi dan bergerak mengambil langkah, melanjutkan perjuangan hidup ini. Dengan kata lain, jangan melihat masalah sebagai rintangan, tetapi perlakukanlah itu sebagai peluang untuk berbuat lebih banyak dalam apa saja yang kita geluti dan perjuangkan.

Tidak mungkin sebuah pokoh akan subur kalau ia bertumbuh di atas batu. Tidak mungkin pohon akan rindang dan menghasilkan buah kalau ia tumbuh di padang gurun yang tandus.

Tidak mungkin orang Papua terus mengeluh kalau dia tahu bagaimana caranya mencari tempat pertumbuhan jiwa dan rohaninya di pinggir sungai. Tidaklah mungkin orang Papua selalu menyalahkan orang Jawa dan Jakarta kalau ia tahu prinsip pohon yang subur dan berbuah-lebat disebabkan oleh akar pohon dan apa yang diisah oleh akar itu di dalam tanah. Ia akan berjuang mencari tempat di pinggir sungai, dan berusaha mencari air sedalam-dalamnya, sampai ia menemukan air.

Caranya kita berakar ke dalam sebagai seorang entrepreneur ialah pertama-tama dengan mengatakan kepada diri sendiri.

  • saya orang Papua, saya hidup di tanah leluhur yang kaya-raya, dan karena itu saya harus hidup sebagai orang kaya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan karena keslahan orang lain, bukan karena perbuatan orang lain, bukan karena nasib buruk, tetapi itu karena saya belum serius menerima berkat-berkat yang tersedia buat saya dan mengolahnya untuk mendatangkan kekayaan kepada saya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan berarti karena orang Jawa membuat saya, membatasi saya, memasang jerat, berbuat yang tidak-tidak untuk memiskinkan saya, tetapi memang itu karena saya sendiri tidak memenuhi syarat untuk menjadi kaya-raya di atas negeriku yang kaya-raya.
  • Saya menyatakan kepada diri saya saat ini,

“Saya, nama saya……., pada hari …………., tanggal……… tahun 20… di tempat ………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…., dengan ini menyatakan kepada diri saya, bahwa saya mau menjadi kaya-raya di tanah leluhur saya, Tanah Papua yang dikenal dan dijuluki kaya-raya. Tuhan dengarkanlah doaku, nenek-moyang, saksikanlah pernyataanku ini. Tanah leluhur, maklumkanlan pernyataan ini. …….Saya mau jadi kaya-raya, karena saya mau menjadi kaya-raya, dan saya layak menjadi kaya-raya, bantulah saya agar saya berjuang untuk mewujudkannya.

(Lalu ucapkan misalnya Dalam Nama Yesus untuk orang Kristen, dan Bismillah, atau lainnya, menurut agama dan kepercayaan masing-masing)

Perumpamaan tentang Pohon yang Subur Berbuah Lebat dan Mentalitas Orang Papua

Semua kita tahu pohon subur, atau tanaman subur. Kita juga sudah tahu tanaman yang menghasilkan banyak dan tanaman yang subur tetapi tidak menghasilkan buah yang banyak, hanya subur saja, tanpa hasil. Kita juga sudah tahu tanaman yang tidak subur dan menghasilkan buah yang tidak subur pula. Dan juga pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa. Jadi ada empat macam tanaman di sini.

Pertama, pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa adalah pohon yang memenuhi syarat untuk ditebang, tidak ada gunannya sama sekali. Harus diganti dengan pohon lain.

Kedua, pohon yang tidak subur dan menghasilkan yang tidak subur. Dalam kondisi ini kalau si pemilik tanaman terdesak, atau dalam kondisi produksi yang lain tidak ada sama sekali, maka hasil yang tidak subur ini masih bisa dimanfaatkan. Ada pepatah “Tidak ada rotan, akar-pun berguna”. Akan tetapi kita tidak bisa mengharapkan pohon yang tidak subur dengan hasil tidak subur ini terus menghasilan dari waktu ke waktu. Kalau kita punya pohon yang lebih subur dengan buah yang lebih bagus, pasti kita tidak akan menghiraukannya. Bisa dibiarkan tanpa dimanfaatkan.

Yang ketiga, pohon yang subur, daunnya lebat, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Yang dibutuhkan si penanam pohon bukan kesuburan. Kesuburan ialah prakondisi untuk hasil akhir, yaitu buah. Kalau sebuah pohon yang subur tidak menghasilkan apa-apa, maka kalau dibandingkan lebih bagus pohon yang tidak subur yang menghasilkan buah tidak subur tadi daripada pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Yang terakhir, ialah pohon yang subur dan yang menghasilkan banyak buah.

Nah, secara psikologis dan mentalits kita, sekarang orang Papua termasuk dalam kategori mana?

  • Subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa?
  • Kering tidak subur dan tidak menghasilkan?
  • Subur dan menghasilkan banyak?, atau
  • Kering, dan tidak subur tetapi masih dapat menghasilkan?

Orang Papua hidup di Tanah Papua, di tanah yang katanya “Surga Kecil Jatuh Ke Bumi!”, di mana ada banyak misteri di gunung dan di lembah, di mana sungai-sungainya mengalirkan emas, samuderanya penuh misteri pula.

  • Lantas, manusianya penuh dengan apa?

Apakah seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya:

  • penuh dengan keluh-kesah ?
  • penuh dengan kambing-hitam ?
  • penuh penyesalan dan sungutan ?
  • yang tidak pernah ambil tanggung-jawab sendiri atas apa yang dialaminya sendiri?

Menurut analisis saya terhadap diri saya sendiri sebelum saya berubah, mentalitas orang Papua tidak masuk dalam keempat kategori di atas. Semuanya tidak.

Orang Papua memang hidup di tanah yang subur luarbiasa, menjadi incaran dan rebutan dunia.

Akan tetapi orang Papua mau dikatakan subur juga tidak, kering juga tidak, tidak berbuah juga tidak, berbuah juga tidak.

Dengan kata lain, orang Papua itu tidak panas, tidak dingin, ia hanya suam-suam kuku.

Apa kata Kita Suci Alkitab untuk air yang suam-suam kuku?

Lebih baik dibuang saja. Itulah gambaran nasib dan riwayat orang Papua.


 

Tetapi jangan berkecil hati dulu, sabar, tunggu, sebentar.

Jalan keluar selalu ada. Dalam banyak kasus di Indonesia selalu diucapkan seperti ini, “Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap penyakit pasit ada obatnya!

Yang harus kita lakukan bukannya berhenti, bukannya bertanya-tanya, bukannya kaget dan protes, tetapi kita harus menggunakan prinsip hidup masyarakat jelata di pulau Jawa terutama, yaitu “Kita harus ngalir saja!

Kita “harus ngalir saja” artinya tidak merasa tersentak, tidak kaget, tidak memprotes, apalagi jangan berusaha melawan. Yang harus kita lakukan ialah “kita ngalir”, sama seperti air. Kita harus banyak belajar dari “ilmu air”, yaitu ilmu dari air, “Airologi”.

Menurut airologi, kalau ada tembok, jangan putar balik arah aliran, tetapi tetap saja mengalir, sampai aliran melebihi tembok. Kalau ada gunung, jangan berputar-berputa balik, tetapi mengalirlah terus, sampai menemukan bagian gunung yang terendah, dan melangirlah terus lewat nya. Jangan berhenti mengalir, jangan berputar balik arah.

Mentalitas kita orang Papua sebagai entrepreneur haruslah lebih kuat, lebih gigih, lebih canggih daripada mentalitas para politisi dan praktisi lainnya. Mentalitas entrepreneur berhubungan dengan nilai, naluri, dan rasa dari para konsumen yang tidak punya kontrak jual-beli dengan kami sebagai padangan. Mereka berdiri bebas, memilih bebas, hidup bebas. Yang kami lakukan adalah sekedar memasang jerat, bukan hukum agar mereka datang berbelanja di tempat kami.

Kita harus menjadi pohon subur, yang menghasikan buah yang subur dan lebat, yang menjadi rebutan burung-burung berbagai jenis, dari berbagai tempat mereka berasal.

TIPS: Berakarlah ke dalam, berbuahlah lebat. Sampai di situ. Dengan tidak berharap, dengan tidak menanti, dengan tidak menyalahkan dan mengeluh. Hanya tinggal, berakar ke dalam dan berbuah banyak.

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?
  • Apa buah-buah dimaksud?
[bersambung]