Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup

Itu yang saya katakan hari ini saat saya merenungkan berbagai hal yang melilit dalam kehidupan ini, terutama terkait dengan kepergian sejumlah orang yang sangat saya kasihi dalam waktu beberapa bulan ini, sejak bulan Juni 2020 sampai bulan Januari 2021 ini.

Alasan paling sederhana dan otomatis karena saya tidak sanggup menerima kepergian orang-orang yang sangat saya kasih. Tahun 2019, 2020 dan 2021 adalah tiga tahun terburuk dalam riwayat Suku saya, karena saya harus terpaksa menerima kepergian banyak tokoh adat dalam Masyarakat Adat (MADAT) Suku saya, dan saya juga harus tertunduk menerima kepergian sanak-keluarga, anak-cucu saya sendiri.

Saya berdoa kepada Tuhan begini,

Saya tidak terima atas keputusan-Mu! Tuhan tidak adil! Tuhan tidak punya perasaan! Tuhan tidak perduli dengan apa yang kami rasakan sebagai individu, keluarga, marga, klen, bangsa dan ras! Kami sudah tertindas setiap hari, mengapa engkau mengabulkan doa para penjajah, penjarah, peneror, pembunuh dan menindsa kami?

Dalam nama Yesus saya tolak keputusan-Mu ini.

Saya tolak! Saya tolak! Saya tolak!

http://yikwanak.com/kole/

Saya bandingkan dengan apa yang saya alami saat anak perempuan saya meninggal beberapa tahun lalu sangat berbeda. Saya juga mengalami meninggalnya kaka saya dan anak laki-laki saya. Saat ini saya langsug ditegur Tuhan dengan ayat-ayat Alkitab yang berkata sebagai berikut:

Pengkhotbah 3:1-8 TB

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.1-8.TB

Saat itu saya mendengar berita duka, saya masuk ke dalam rumah, mata saya langsung tertuju kepada sebuah buku yang ditulis di Jakarta, tentang menanam emas, bagaimana cara menabung emas dan menggadaikan emas dan menabung lagi. Saya langsung buka kata pengantar si penulis, ternyata dia katakan, “Segala sesuatu indah pada waktunya…”

Pengkhotbah 3:11 TB

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.11.TB

Tetapi kali ini saya tidak menerima, karena saya menganggap keputusan ini tidak adil, keputusan ini tidak benar pada waktunya. Saat ini saya butuh dia, saat ini saya mempersiapkan tempat untuk dia, saat ini saya siap memanggilnya datang dan tinggal bersama saya.

Saya berdiri di antara kedua

Di antara keduanya, yaitu menerima apapun yang terjadi sebagai kehendak Allah, yang indah pada waktunya, dan mengakui kenyataan bahwa apa yang terjadi tidak menguntungkan kehidupan ini. Saya harus memilih untuk berpihak.

Saya memulai artikel ini dengan keputusan untuk menolak keputusan Allah. Tetapi setelah sampai kepada kalimat ini, saat menulis judul “Saya berdiri di antara kedua…”, maka saya harus akui, saya menyerah.

  • Menyerah kepada menyataan bahwa saya pernah dilahirkan, sama dengan mereka yang pernah dilahirkan.
  • Menyerah kepada realitas mutlak bahwa saya akan mati, sama dengan mereka yang telah meninggalkan saya.

Alm. Bapelina Yikwa: Kita berserah, dan bersiap untuk pergi

Di titik ini saya teringat pada kata-kata mama saya, Bapelina Yikwa. Waktu itu om saya di Makassar meninggal dunia, adik saya di Sentani juga meninggal dunia. Saya hanya tertinggal mengeluh dan patah semangat. Saya telepon mama saya dan menyampaikan keluhan saya.

“Mama, saya tidak terima dengan apa yang om dia lakukan. Padahal kami dua sudah rencana baik-baik. Baru adik dia lagi sudah pergi, … dua orang yang paling saya cintai.”

Mama dia tidak pikir satu menit, dalam sedetik dia menjawab,

Aiiiiii, anak, Yikwanak wae, nir apit norak mban aret ogorik me, ina’nduk nagarak mber yororak lek o. Nawi mba’nuk aret nogwe me, nit niniki tee’luk aret Ala mban wa yogwe logowok e, an togop aret mbake agarik.

Yikwanak Kole dan mama Bapelina Yikwa per telepon

Tiga minggu kemudian, Mama Bapelina Yikwa-pun meninggal dunia. Dia pernah meminta saya mengirimkan uang untuk kuburan adik saya yang telah beliau kuburkan. Dan saya mengirimkan buat dia.

Lalu dia juga menusulnya pergi untuk selamanya.

Rencana saya untuk mengirimkan dia uang untuk memperbaiki rumah-pun gagal.

  • Rencana saya yang lain semuanya gugur!
  • Saya tinggal menganga!
  • Tinggal duduk diam! Mau sedih tidak!
  • Mau heran tidak! Mau marah tidak!
  • Mau kesal tidak!
  • Semuanya tidak!
  • Dan tidak! dan Tidak!

Apakah saya harus katakan, “Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup?”

TIDAK!

Saya sudah terlanjur dilahirkan!

Karena itu saya harus siap menerima apa-pun resiko kelahiran! Dan resiko terakhir dan resiko lunas dari kelahiran ialah kematian: baik kematian saya, maupun kematian semua yang saya cintai dan saya sayangi.

Lebih Enak dan Nyaman Rasanya Kalau Beli di Orang Indonesia (1)

Saya sudah menyaksikan banyak orang Papua belanja di pasar ataupun kios, lebih memilih untuk beli barang jualan para pendatang daripada membelinya dari orang Papua sendiri. Ada beberapa kali saya tanyakan kepada mereka (tentu saja secara tindak langsung kepadanya saat membeli dar pendatang).  Jawaban mereka yang pertama datang dari para aktivis Hak Asasi Manusia yang memperjuangkan Papua Merdeka.

Mereka bilang begini, “Lebih aman beli di pendatang karena mereka tidak akan kasihtahu orang Papua lain bahwa saya ada di sini!”

Dari sini saya melihat “ada rasa takut terhadap sesama orang Papua karena mulut orang Papua bocor, entah bocor karena dibocorkan atau karena memang orang Papua tidak tahu diri”, akibatnya para pejuang Papua Merdeka dan para ektivis Hak Asasi Manusia Papua merasa keberatan berbelanja di orang Papua sendiri.

Solusinya yang saya berikan dalam catatan singkat ini ialah supaya Orang Asli Papua (OAP) yang pengusaha toko, kios atau pasar tidak usah terlalu banyak bicara tentang orang Papua, khususnya orang Papua pejuang Papua Merdeka. Tidak usah kaget dan beri salam! Tidak usah beri salam macam-macam. Biarkan mereka berjalan, berbelanja dan melanjutkan kegiatan. Lakukan tugas anda berjualan! Biarkan semua berjalan menurut relnya. Jangan tiba-tiba penjual toko, warung, kios, pasar menjadi warwawan menceritakan siapa saja, apalagi bicara tentang para pejuang HAM Papua.

10 Ciri orang Papua yang tahu Diri

Pengaruh penjajahan Belanda, missionaris barat dan kemudian pendudukan dan penjajahan NKRI menyebabkan goncangan yang besar buat identitas bangsa Papua. Oleh karena itu artikel ini kami salin kembali dengan tambahan dan komentar dari epapua.com

Kalau Anda orang Papua yang TAHU DIRI, maka berikut 10 cirinya:

  1. Mengunakan nama marga Besar atau marga kecil (jangan menggunakan Marga untuk membunuh marganya sendiri seperti Felix Wainggai dan lain-lainnya)
  2. Mengetahui Silsilah Keturunan Suku/ Marganya dan asalnya, (antisipasi karena tra kenalan baik-baik…celanan jatuh lalu sodara-baku makan dengan sodari sendiri)
  3. Mengetahui dan menggunakan Bahasa Suku/ Marganya (Kalo tidak tahu bahasa berarti anda bukan orang Papua) pergi tinggal dengan orang Indonesia saja)
  4. Memiliki Istri Orang Asli Papua (jangan Kawin Campur : Istri orang Non Papua, bangga dengan paha putih yang tidak tahu adat seperti Octovianus Motte dan Benny Giay)
  5.  Memastikan Wilayah atau Tanah Adat (Kalo kamu yang merantau jangan pulang kampung lalu tanam patok sekarang…karena kalau anda tahu itu anda punya tanah maka harus saling menjaga tanah air warisan leluhur kita masing-masing)
  6. Mengetahui Perbedaan Kulitnya dan Rambutnya (Rambut itu jangan direbonding seperti sapu ijuk)
  7. Mengetahui dan mengakui bahwa Indonesia bukan Pemerintah tetapi penjajah, yang datang untuk menjajah, meneror, menyiksa, memenjarakan, menjarah, dan membunuh Orang Asli Papua (OAP)
  8. Tidak mau dan berusaha mengembalikan uang dari tanah adat-nya yang sudah dijual oleh orang lain sehingga tanah adat-nya tidak diperjual-belikan.
  9. Mengetahui West Papua adalah Negara Merdeka dengan tribut dan simbol Negara seperti: Bendera Bintang Fajar, Lagu Kebangsaaan Hai Tanahku Papua, Lambang Negara Burung Mambruk, Undang-Undang Dasar Sementara Negara West Papua, mengetahui bahasa nasional dan bahasa pergaulan dan sebagainya).
  10. Mempercayai dan menyatakan bahwa paket kolonial bernama Otonomi Khusus ialah anak haram, yang lahir di luar sepengetahuan siapapun, yang telah wafat dan tidak ada gunanya bagi bangsa Papua dan oleh karena itu harus ditolak.

sumber: Umaginews dan lalu diedit dan dimodifikasi epapua.com

Bagian I: Papua Dalam Sigma

Pengantar

Bagi kepentingan kolonialisme, kapitalisme, eksploitasi sumber daya alam, dan perampokan kekayaan alam di New Guinea, maka ilmuwan barat telah memainkan peran yang signifikan. Ada empat pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan Eropa dan Amerika. Pertama, pendekatan pelayaan yang telah klaim New Guinea sebagai milik mereka dan diberikan berbagai macam nama sesuai identitas kultur dan politik mereka. Kedua, pendekatan ekspedisi gabungan yang melibatkan berbagai disiplin ahli: fisika, biologi, geologi, zoologi, anthropologi, dan linguistik. Ketiga, pendekatan penelitian mendalam dari masing-masing ahli tersebut. Para ahli fisika itu telah identifikasi potensi sumber daya alam berupa emas, tembaga, uranium, minyak dan gas, flora dan vauna, sedang ahli linguistik dan anthropolog klasifikasi manusia, budaya dan bahasa. Peran anthropolog sangat signifikan untuk klasifikasi orang Papua dalam pandangan mereka sendiri secara sepihak. Dari berbagai pendekatan itu, telah membangun teori-teori rasis, diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang dan pulau New Guinea. Manusia Papua di New Guinea digambarkan sebagai savage, pygmies, kanibal, primitive, dan agama mereka dikategori sebagai gerakan kargoisme, animisme, atau kepercayaan berhala.

1. Stigma Savage

Manusia Papua dikategorikan seebagai manusia savage dalam kerangka teori evolusi. Savage adalah manusia yang dianggap memiliki tingkat kehidupan dan kulturnya lebih rendah di atas satu tingkat dari hewan. Pandangan ini direpresentasi oleh para ahli seperti Yosep King (1909) dalam karya “W. G. Lawes of Savage Island and New Guinea”, Leopold A. D. Montague (1921) dalam karyanya “Weapons and implements of savage races”. Banyak karya pada masa itu telah mengambarkan sebuah teori yang sama terhadap orang asli Papua dan bangsa-bangsa Melanesia, Pasifik dan Australia. Pandangan ini digambarkan jauh sebelum abad ke-18 dan dilanjutkan hingga abad ke-19.

Kategorisasi ini dibuat karena mereka memiliki ideologi atau pandangan antara ras superioritas dan inferioritas, antara Eropa dan non Eropa, antara kami dan mereka. Orang Eropa sendiri diposisikan sebagai manusia beradab (civilization), diluar Eropa khususnya di Timur Tengah yang memiliki peradaban tinggi dan di Asia Barat dan dataran Cina diposisikan bangsa-bangsa barbarian, sedang bangsa lain di Asia, Afrika, Amerika dan Pasifik diposisikan Savage. Dalam kontest itu, orang Papua dikategori sebagai savage. Belakangan banyak anthropolog kritis pandangan ini, misalnya Marianna Torgovnick (1999) dalam karyanya “Gone primitive: savage intellects, modern lives” yang mengatakan intelektual savage telah menjadi kehidupan dunia modern sekarang. Karena semua teori yang dibangun dan dipelajari sekarang berbasis dari intelektual dan kultur dari orang-orang yang disebut savage tersebut.

2. Stigma Pygmies

Manusia Papua diklasifikasi sebagai manusia kerdil atau pygmies. Istilah Pymies sendiri digunakan oleh etnolog Jerman untuk klasifikasi orang-orang Shan di daerah kalahai dan etnik-etnik lain di Afrika. Kolonial juga diberi nama orang Shan dengan istilah Buchman, berarti manusia semak. Istilah Pygmeis itu kemudian diterapkan terhadap orang Papua dalam karya-karya mereka. A. F. R. Wollaston (1912) menulis “Pygmies and Papuans the Stone Age today in Dutch New Guinea”. Dalam buku ini, ia menjelaskan Papua secara geografis, kontak-kontak periodesasi dengan orang luar, ciri fenotipe orang Papua. Tahun berikutnya C. G. Rawling (1913), The Land of the New Guinea Pygmies. Rawling dalam buku ini deskripsikan pengalaman keterlibatkan dalam ekspedisi yang mengikuti sungai Mimika ke pegunungan, orang Papua yang mereka bertemu di kampung-kampung di pegunungan itu dikategori sebagai Pygmeis.

Dalam karya-karya ini digambarkan orang Papua sebagai manusia kerdil yang memiliki kapasitas otak dan intelektual sangat rendah. Sebagaimana dideskripsikan oleh A. De Quatrefages tahun 1895 terhadap orang Afrika dan orang Negrito-Papuans yang tersebar mulai dari India, kepulauan Andaman, hingga Timor, Maluku dan di batas utara di Filipina, kepulauan Melanesia dan New Guinea disebut sebagai pusat orang Negrito-Papuas. Pada tahun 1882 de Quatrefages, menulis: The Asiatic Pigmies, or Negritos, tulisan ini dimuat dalam jurnal Royal Asiatic, dalam tulisan ini dibahas pygmies di Asia dan Pasifik secara khusus. Pymeis Negrito-Papuas itu dikategori berbasis pada studi etnoglogi tentang distribusi ras negritos-Papua di Asia dan Pasifik. Antara lain ditulis oleh George Windsor Earl (1853) The Native Races of the Indian Archipelago. Papuans. Yang mengambarkan orang-orang dengan ciri fisik dengan warna kulit hitam, rambut kering hingga gelombang disebutnya penduduk asli di kepualaun Indo-Pasifik yang tersebar melintasi Asia ke Pasifik. Di New Guinea kajiannya tentang orang Papua di selat Dourga, pulau Kolebom di pantai selatan (kolonial Belanda: Frederick-Henry Island; Kolonial Indonesia: Jos Sudarso), orang Papua di pantai barat daya di sekitar Sorong dan sekitarnya, orang Papua di pantai utara terutama di Dorei Manokwari, di Teluk Yotefa (Jayapura kini), dan beberapa daerah lain berdasarlan laporan ekspedisi Belanda. Earl juga klasifikasi orang-orang dengan ciri ini tersebar luas melintasi di Asia dan Pasifik seperti di kepulauan Aru, Ceram dan Maluku, Ahitas atau Negritos di Filipina, Mindoro, Negros, Mindanao, Sulu dan Borneo, orang Semang di Semenanjung Melayu, orang Andama, orang Sunda Chain, dan penduduk di Pulau Merville dan Australia utara. Alfred Russel Wallace (1869) tentang keberadaan Negritos-Papuas di Gilolo Halmahera dan orang Papua di pantai Dorei di Maknowakri. Anthropolog lain, A. B. Meyer (1899) The Distribution of The Negritos. In the Phllirrine Islands and Elsewhere. Dalam buku ini melaporkan distribusi ras negritos secara luas mulai dari Cina, Japan, Malaya hinggal New Guinea. Mayer identifikasi dua puluh Sembilan tempat sebagai daerah bangsa-bangsa Negritos.

3. Stigma Kanibal

Dalam berbagai tulisan anthropology, biologi, zoologi, linguistik dan dalam banyak ekspedisi mereka telah digambarkan New Guinea sebagai tempat kanibalisme yang mengerihkan. Dulu suku-suku di sini sering makan daging manusia dari pihak musuh sebagai tindakan balas dendam karena kerabat mereka dibunuh. Tindakan itu bukan sebagai makanan, karena ada keinginan untuk makan daging manusia sebagai kebutuhan, tetapi tindakan emosional dan balas dendam. Tidak semua orang Papua yang melakukan hal ini, melainkan hanya pihak tertentu yang meresa telah kehilangan kerabat mereka, karena kerabat.kerabat itu dibunuh pihak. Tindakan balas dendam ini dieskploidasi oleh para ilmuwan Ero-Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan perampasan sumber daya alam di tanah ini.

Kanibalisme tidak hanya terjadi di tanah Papua, kanibalisme adalah hukum universal di seluruh dunia. Banyak literatur menunjukkan bukti-bukti itu, kanibalisme pernah ada bangsa-bangsa lain di seluruh Pasifik, Australia, Asia, Amerika, Afrika dan Eropa.

Karoline Lukaschek (2000) dalam tesisnya: The History of Cannibalism, juga menjelaskan secara baik tentang kanibalisme secara global dari seluruh dunia, baik di India, Afrika, New Guinea, Fiji, New Zueland, Amerika Selatan, Mesoamerika, Kanada, Amerika Utara, Spanyol, Etiopia, Kroasia, Maula-Kuersi Francis, Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, di Fontbr´egoua Prancis, dan Amerika Tenggara. Sementara itu, Garry Hogg (1998) Cannibalism and Human Sacrifice, juga menjelaskan kanibalisme sebagai hukum umum umat manusia di seluruh dunia. Ia mengambarkan kanibalisme di Fiji, Aztecs, dan Kwakiut di Indian Amerika, Basin di Amazon Amerika, etnik-etnik di Nigeria, Siera Leona di Afrika Barat, Basin di Kongo, di New Guinea, dan Melanesia lain, Polinesia, di Blackfellpw di Australia, Maori di New Zueland dan suku-suku di Indonesia, seperti orang Batak, Dayak di Sarawat, orang Timor, dan Maluku, penduduk asli di Sulawesi. Orang Milano dan penduduk asli lain di Filipina, dan etnik-etnik lain di Asia Tenggara.

Kita temukan dalam literatur-literatur klasik kanibalisme di Inggris digambarkan oleh Andrews and Fernández-Jalvo (2003), Cannibalism in Britain, di Prancis, Portugis, Spanyol, Jerman, dan bangsa-bansga di Eropa Timur. Kita juga temukan kanibalisme di Yunani, Itali, Mesir, Israel, dan dunia arab lain. Dalam sejarah Israel semisal dalam kitab raja-raja dua pasal 6: 28-29 juga telah digambarkan kanibalisme ini. Di Jerman, kerja sama antara para ethnolog dan Arkeolog tahun 2009 telah ditemukan bukti baru bahwa dalam sebuah situs di sebuah kota bernama Herxheim dekat Landau telah ditemukan tengkorak dari 500 korban kanibalisme, bahkan para peneliti mengatakan dua kali lipat dari jumlah tersebut, seperti ditulis Boulestin Bruno, et al (2009) Mass Cannibalism in the Linear Pottery Culture at Herxheim (Palatinate, Germany). Di Indonesia kita temukan, praktik kanibalisme meluas di banyak daerah mulai dari Maluku, ke utara di kalimatan dan barat di Sumatra. Maka kanibalisme itu adalah hukum umum dalam banyak budaya di dunia.

Meski, para ilmuwan Eropa dan Amerika kategorikan New Guinea sebagai tempat kanibalisme mengerikan, Russell T. Hitt (1962) menulis buku: Canibal Valley. Dalam buku ini digambarkan lembah Balim sebagai lembah kanibal. Kita tahu di lembah Balim tidak mengenal budaya kanibalisme, tetapi Hitt mengarang fantasinya sendiri. Samuel McFarlane (1888) menulis “Among the cannibals of New Guinea: being the story of the New Guinea mission of the London Missionary Society”. Seorang Naturalis lain bernama, Antwerp Edgar Pratt (1906) juga menulis bukunya “Two years among New Guinea cannibals; a naturalist’s sojourn among the aborigines of unexplored New Guinea”. Strukturalis Claudia Levi-Strauss (2014) juga menulis buku berjudul, Wir sind Alle Kanibalen, yang artinya kita semua kanibal. Dia sendiri tidak pernah melakukan penelitian di New Guinea, tetapi ia mengarang buku ini berdasarkan informasi lisan yang diperoleh melalui teman-temannya.

Bila kita kembali pada literatur-literatur tua abad 19 ke atas, para antropolog, biolog, dan linguistik telah berhasil membangun New Guinea sebagai dunia para kanibalis yang mengerikan. Mereka telah memenangkan dunia dengan pandangan ini, maka bila kita berada di Eropa atau Amerika, dan kita mengatakan sebagai orang Papua, maka pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah orang-orangmu masih kanibal? Apakah di negerimu masih ada kanibalisme? Apakah orang tuanmu para kanibalis? [itu pertanyaan yang lazim kepada orang Papua]

Saya sendiri telah mengalami pertanyaan itu empat kali ketika di Jerman. Suatu hari dalam suatu pertemuan besar yang diorganisir oleh empat gereja di daerah Stutgatt. Ini sebuah pertemuan khusus yang diadakan oleh gereja-gereja itu untuk mengundang saya sebagai pembicara tunggal dalam pertemuan tersebut. Berita tentang pertemuan ini telah diumumkan dalam dua koran, satu koran milik kota dan satu lagi warta gereja, maka banyak yang tertarik untuk terlibat mendengar tentang Papua. Setelah saya presentasi materi, seorang peserta mengajukan pertanyaan, Apakah di daerahmu masih ada kanibalisme? Pertanyaan ini saya jawab dengan menampilkan bukti-bukti kanibalisme di seluruh dunia termasuk kanibalisme orang Jerman di masa lalu. Akhirnya, mereka semua ketawa karena rasa malu mereka sendiri.

Saya kira banyak orang Papua atau Melanesia telah mengalami stigma ini akibat dari teori rasis dan imperialisme Ero-Amerika ini. Hal itu telah digambarkan oleh Warilea Iamo (1992) dalam tulisanya, The Stigma of New Guinea: Reflections on Anthropology and Anthropologists. Tulisan itu dimuat dalam buku berjudul: Confronting the Margaret Mead Legacy: Scholarship, Empire, and the South Pacific, yang diedit oleh Lenora Foerstel and Angela Gilliam. Sebagai orang Papua (PNG), lamo dalam tulisannya digambarkan stigma dan distriminasi rasial yang dialaminya ketika ia berada di Amerika.

Beberapa antropolog telah kritisi teori-teori diskriminatif dan rasis ini, misalnya Paula Brown (1983) dalam bukunya; The Ethnography of Cannibalism, dalam buku ini ia mengambarkan para antropolog dalam studi-studi ethnografisnya yang distriminasi dan rasis itu adalah bentuk lain dari kanibalisme. Karena pengetahuan yang diproduksi adalah pengetahuan kanibalisme. Eduardo Viveiros de Casrro (2009) dalam bukunya, Metaphysiques cannibals: For a Post-Structural Anthropology, juga telah kritik tentang teori-teori modern dan postmodern yang terkait dengan pengetahuan lokal yang diproduksi teori-teori klasik. Menurutnya teori-teori modern dan postmodern bermetaforsis sebagai kannibalisme yang menelan pengetahuan lokal dan teori klasik. Melissa Cochran (2012) dalam tesisnya: Cross-Cultural Cannibalism: Throughout Human History, telah memfokuskan kritik terhadap teori-teori komparasi kultural yang membandingkan etnik dan budaya yang berbeda antara satu dan lainnya.

4. Stigma Primitif

Primitif satu istilah umum yang digunakan orang-orang Ero-Amerika terhadap bangsa-bangsa asli lain di seluruh dunia. Primitif itu terkait dengan kehidupan manusia dan budaya dari bangsa-bangsa indigeneus yang asli, kehidupan manusia yang terisolasi dan belum mengalami akulturasi dengan budaya lain. Karena kehidupan bangsa-bangsa dalam tradisi mereka itulah maka diistigma sebagai primitif. Khusus di Papua, dalam berbagai literatur asing baik anthropolog, ahli biologi, linguistik bahkan misionaris selalu kategori orang Papua yang hidup dalam tradisi mereka tadi disebutkan masyarakat primitif. Salah satu kriteria primitif bagi orang Papua adalah material kultur semisal kapak batu, pakaian, senjata, rumah, dan makanan. Materialisme kultural ini menjadi kriteria yang digunakan untuk kategori masyarakat dalam kategori tertentu. Kategorisasi ini digunakan dengan studi komparasi dari masyarakat dan budaya lain yang dianggap lebih maju dan modern dari cara hidup dan kultur mereka. Konsekuensi komparasi materialisme kultural dikonstruksi dan diklasifikasi sebagai kehidupan di zaman batu dan masyarakat primitif.

Salah satu anthropolog yang paling aktif produksi diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang Papua ialah Margaret Mead, dan Ruth Benedict. Teori Mead tentang pengasuhan anak, Benedick dengan pola-pola budaya, keduanya berasal dari New Guinea. Stigma New Guinea adalah sebuah argument teoritis dari pandangan anthropologi dan anthropolog asli sebagai orang New Guinea. Stigma New Guinea muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label “primitif” dan berkonotasi pada berbagai tingkatan sejarah, ekonomi, pemerintahan, agama, psikiatri, dan sebagainya. Hal ini telah menjadi kerangka acuan psikologis Barat untuk mempertahankan bayangan cermin dirinya yang diproyeksikan sebagai “Yang Lain”, dianggap lebih rendah, lebih sederhana, dan lebih inferior untuk mendefinisikan diri mereka sebagai “lebih baik” dan superior. Bila kita baca tulisan-tulisan Margaret Mead, benar-benar membangun stigma New Guinea sangat mengerikan, Ketika ia membandingkan budayanya dengan budaya orang Papua di kepulauan Manus dan New Guinea dalam karya-karyanya. Mead berkata: “They can, therefore, be regarded in the contemporary ethic of the mid-twentieth century, as having been treated unfairly by history, as having lacked a location on earth’s surface that would have given them an opportunity to accept the culture of more advanced civilizations, and so prove their superiority, or be rejected by it and so prove their inferiority” (Mead 1967:306). Demikian Ruth Benedict (1859) dalam bukunya, Pattern of Culture, membangun teorinya pola-pola budaya dengan metode komparatifnya, di mana ia membandingkan psikologi dari tiga masyarakat yang berbeda secara etnik, kultur, ras dan geografis. Orang Zuni di Bueblo Mexiko, orang Kwakiut di pantai barat laut Amerika, dan orang Dobu di New Guinea. Benedict mengambarkan psikologi orang Dobu lebih buruk dari dua bangsa Indian di Amerika tersebut.

5. Stigma Manusia Perang

Orang-orang Asing itu telah lama bangun teori-teori mereka dengan stigma dan kriminalisasi perang terhadap orang Papua di pulau New Guinea ini. Pantai pesisir utara dan selatan sudah beberapa abad telah mengalami politik stigmasisasi ini, selama mereka memiliki hubungan dagang antara Maluku dan bangsa Melayu lain. Orang Papua yang membela diri dari serang perbudakan, perdagangan dan perampokan dari orang Maluku dan Melayu sebut sebagai pemimpin Papua yang ganas, jahat dan suku berperang. Windson Earl, menulis “diperkirakan mahluk miskin ini hilang sebelum mereka mengalami peradaban karena serangan bangsa asing dari bagian barat mereka. Pemimpin mereka adalah liar dan pemburu, suka berparang dengan ras coklat dari kepulauan Indonesia yang berusaha menguasai negeri mereka itu” (George Windsor Earl 1848). Di bagian lain, Earl menulis bahwa perang orang Papua bukan tanpa alasan, mereka membela diri dari ancaman dan perampokan bangsa Melayu dari bagian barat.

Setelah lembah Balim dibuka misionaris dan pemerintah Belanda menjalankan adminitrasi, para anthropolog, ahli linguistik dan wisatawan beramai-ramai ke lembah Balim, dan mereka menyokong orang-orang asli untuk melakukan drama perang-perangan. Saya masih ingat, bapak saya dan beberapa temannya yang lain menceritakan bahwa mereka sering ke lembah Balim, dan saksikan drama perang-perangan itu, dan bahkan mereka sering terlibat dalam drama itu. Drama perang itu dirancang dan disokong oleh antropolog dan wisatawan asing, peserta yang terlibat dalam perang-perang itu dibayar dengan kapak besi, pisau, garam, pakaian, kulit bia, handuk dan sejenis lain.

Bapak saya pernah mendapat satu kapak besi yag disebut kapak mamagen, dan kapak itu masih ada sampai sekarang. Drama-drama perang-perangan itu diteliti, difoto, dan difilemkan. Para anthropolog dan linguistik menulis, dan dipublikasi dalam bentuk buku dan artikel. Foto-foto dan flim-flim dipublikasi di berbagai media cetak, elektronik dan televisi-televisi nasional. Mereka membangun wacana dalam masyarakat bahwa orang-orang Papua ialah bangsa suka berperang, primitif, kanibal, dan tidak rama terhadap kemanusiaan. Teori-teori ini dibangun untuk stigmasisasi terhadap bangsa Papua, dengan itu bila orang Papua dibunuh, dijajah dan ditindas dianggap tidak penting. Karena orang Papua sendiri dianggap sebagai bangsa kanibal, liar, primitif dan suka berperang. Untuk tujuan itu, banyak antropolog Amerika, Inggris dan Belanda dikirim ke Papua untuk mempelajari manusia dan budaya, dengan data itu dibangun teori-teori stigma New Guinea.

Peristiwa kehilangan Michael Rockefeller di Asmat adalah salah satu contoh, di mana pemerintah Amerika dan media masa mengatakan ia dibunuh dan dimakan dagingnya oleh orang-orang Kanibal di Asmat. Banyak buku dan artikel ditulis untuk kehilangan Michael ini, orang Papua dituduh memakan dagingnya. Anita Larsen (1985) tulis bukunya: “Lost-and Never Faund”, Milt Machlin (1972) menulis judul buku: The Search Michael Rockefeller, setelah kehilangannya, terbit sebuah jurnal dengan judul, The Asmat of New Guinea: The Journal of Michael Clark Rockefeller sebagai penghargaanya. Tetapi, fakta yang digambarkan oleh Greg Poulgrain (2014) dalam bukunya: The Incobus of Intervention, menjelaskan bahwa, Michael sendiri adalah anak dari Nelson Rockefeller, Gubernur New York. Karena orang tuanya, politisi terkemuka dan orang terkaya maka berita kehilangan Michael menjadi berita besar di Amerika dan bahkan dunia. Berbagai media Amerika dan Dunia mengatakan bahwa Michel telah dibunuh oleh kanibalis Papua dan dimakan dagingnya, berita ini telah dipolitisasi di masa itu. Karena Michael hilang 18 November 1961, pada periode Indonesia, Belanda dan Amerika merebut dan aneksasi West Papua. Rene Wasing teman Michael, seorang anthropology muda Belanda. Rene dan dua polisi orang Papua lain telah menjadi saksi mata kehilangan Michael. Rene Wasing menjelaskan bahwa perahu yang mereka tumbangi telah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus sungai. Karena takut Tenggelam, Michael gelisah dan buang diri ke dalam sungai dengan tujuan berenang ke daratan, ia sudah mencoba berenang tetapi akhirnya tenggelam ke dalam sungai. Rene dan dua polisi Papua lain sudah mengingatkannya untuk tidak meninggalkan perahu, tetapi Michael tidak menghirauan nasihat itu. Carl Hoffman (2014), dalam bukunya: “Savage harvest: a tale of cannibals, colonialism, and Michael Rockefeller’s tragic quest”, juga kritis atas kematian Michael ini dan duduhan terhadap orang Papua yang memakan dagingnya adalah cerita dongen untuk kepentingan kolonialisme dan kapitalisme Amerika.

Klaus F. Koch (1974) menulis buku: War and Peace in Jalemo. Dalam buku ini menjelaskan perang dan perdamaian dalam budaya orang Yali. Koch ialah seorang Jerman, dan telah menjadi profesor anthropologi di Harvard Univesitas. Dalam analisa-analisanya, ia menggunakan teori komparasi, denganya ia membandingkan konflik perang dalam masyarakat Timur Tengah dengan orang Yali di New Guinea. Sebuah studi komparasi yang dipaksakan karena dua budaya yang berbeda dalam semua aspek kehidupan, ideologi, cara hidup dan bangsa dan budaya.

Dalam periode awal 1960-an itu pemerintah Amerika juga telah mengirim seorang anthropolog yang merupakan agen CIA bernama Wyn Sargert, perempuan ini pernah memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sargert mendapat izin oleh Sukarno untuk melakukan penelitian di lembah Balim, untuk mempelajari perilaku psikologis dan hubungan perkawinan orang Hubula di lembah Balim. Sargert kemudian menikah dengan kepala suku Obahorok dan melakukan pesta babi 50 ekor selama tiga hari. Tetapi, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan ia kembali ke Amerika setelah mengumpulkan data penelitian. Tahun 1974, Wyn Sargert menulis buku: People of the Valley, yang mengisahkan tentang pengalaman hidup bersama suaminya dan orang Papua di Lembah Balim. Beberapa antropolog lain kritik tindakan Sargert yang menikah Obahorok sebagai pendekatan asusila untuk mendapat data penelitiannya. Leslie Butt (1998), dalam disertasi doktoralnya: “The Social and Political Life of Infants Among the Baliem Valley Dani Irian Jaya”, menjelaskan bahwa orang-orang Balim menyebutkan Wyn Sargert sebagai mama setan yang tidak bermoral.

Stigma New Guinea itu tidak absen pada ilmuwan generasi lalu, pandangan superioritas itu masih ada hinggi kini. Jared Diamond (2012) dalam bukunya: Vermächtnis: Was wir von traditionallen Gessellschaften lernen können”. Dalam buku ini ia membandingkan jumlah korban dalam perang suku orang Dani dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Menurut Jared secara presentase jumlah korban orang Dani dalam perang Suku di Lembah Balim sama dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Sebelas orang dari dua aliansi Dani yang tewas di front selatan Kurelu antara bulan April dan September 1961 merupakan sekitar 0,14 persen dari total populasi aliansi ini. Itu adalah proporsi yang lebih besar dari yang paling berdarah. Pertempuran Front Pasifik selama dalam Perang Dunia ke-II (0,10 persen): Sekitar 264.000 orang (23.000 tentara Amerika, 91.000 tentara Jepang dan 150.000 warga sipil) yang korban dalam pertempuran tiga bulan untuk Okinawa, korban dari penggunaan bom atom di dua kota Jepang saat itu sekitar 250 juta orang. Maka secara presentase jumlah korban orang Dani dan korban perang dunia sama ” (Diamond 2012: 152).

Para ilmuwan Ero-Amerika yang membangun stigma terhadap bangsa Papua ini memiliki kepentingan untuk kolonialisme, pendudukan dan perampasan kekayaan alam di New Guinea. Gunung Emas di tanah Amungsa yang kini dirampok oleh Indonesia dan Amerika telah ditemukan tahun 1936 dalam sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh Belanda dan Amerika. Amerika menginginkan menguasai gunung emas terbesar di dunia itu, dalam kaitan itu mereka mengirimkan para anthropolog dan ilmuwan lain untuk mempelajari manusia dan budaya orang-orang Papua di New Guinea. Demi kepentingan itu, para ilmuwan telah membangun teori-teori yang berbasis kriminal dan stigmasisasi tentang orang Papua. Dalam kerangka itu pula, Amerika mendukung Indonesia untuk aneksasi West Papua melalui invansi 1 Mei 1963. Tahun 1967 Indonesia dan Amerika melakukan perjanjian tentang gunung emas yang kini dirampok oleh Freeport ini. Setelah Indonesia aneksasi West Papua, kembali melakukan metode yang sama dengan berbagai Stigma politik dan rasial yang akan dibahas pada bagian kedua dari artikel ini. (https://bit.ly/34KwQ0M)

New Guinea, 27 Agustus 2020

Source: https://www.facebook.com/A.Ibrahim.Peyon/

Building Indigenous Papuan entrepreneurship skills

 

Yuliana Pigai travels each day with her husband to the Jayapura traditional market to earn a daily wage to keep her family afloat. Her inventory is vast, but she admits she has no idea how much money she earns.

“For more than 12 years running the business, I have never had any bookkeeping. I never knew how much money I earn or spend, or who lends money from me. I have never even had any savings,” she said.

That turned around when she participated in a workshop supported by UNDP’s People Centred Development Programme (PCDP) in conjunction with the ILO.  The GET Ahead (Gender and Entrepreneurship Together) training was developed by the ILO and it promotes the economic and social empowerment of women alongside men in enterprises. This training package is part of PCDP efforts to enhance local economic development in Papua and West Papua provinces through establishing sustainable livelihoods that support indigenous Papuans.

The training offered participants basic business skills like bookkeeping. This small investment has had large benefits for women like Mama Yuliana, as she is known in the market.

“After receiving the training, I now understand why the income I earn during the day always ran out at night; because I don’t know how to manage my income, how much money I get and how much money I spend,” she said.

Participants were informed about micro-credit opportunities and how to save their small business income by experts in the financial sector. Bank Papua and BRI facilitators not only shared vital information, but also established links between the sector and small business owners, many of whom had never applied for credit.

“If we don’t manage money wisely then we might not be able to build let alone expand it,” said Mama Yuliana.

Mama Yuliana, as she is known in the market, hasn’t let her lack of formal education hold her back. The Paniai native heads the Mama-Mama Papua trader association, a coalition of sellers, mostly women, who trade their wares in the market each day.  Women play a pivotal role in household finances, but as is the case in the Jayapura market, they also have a significant role in balancing the workload with their husbands.

In addition to the financial management material, the training also teaches about gender equality. According to Mama Yuliana, the division of work between husbands and wives in a family business is really important to keep things running smoothly. Prior to the training, Mama Yuliana and her husband ran their side of the business separately; they never recorded their income or expenditure. Now, Mama Yuliana says they are a team and it’s working better than before.

In the future, PCDP will help the traders association,“Mama-Mama Papua” Cooperative (Koperasi Mama-Mama Pedagang Asli Papua, KOMMPAP). to enable them to establish a Business Development Service Provider (BDSP) and further participate in the centre for local business development that will be enacted in five districts across Papua and West Papua. The center will be part of efforts for sustainable livelihood development for Indigenous Papua.

Source: http://www.id.undp.org

Berpuasa Penuh Setengah Hari (06:00 sampai 17:00) cukup membantu meringankan beban tubuh

Saya, Jhon Yonathan Kwano, sejak tahun 2013 mulai mengkampanyekan untuk berpuasa selama dua hari seminggu, dengan rincian setiap Hari Sabtu hanya minum air (entah itu air putih, kopi, teh, dll) mulai pagi hingga makan hanya pada petang hari, dan setiap hari Minggu stop makan dan minum apapun selama jam 06:00 pagi sampai jam 17:00 petang.

Pada hari ini, 22 Maret 2015 sudah dua tahun lebih menjalankan kebiasaan ini.

Dari kebiasaan ini saya mau mencatat sedikit tentang apa hasil dari berpuasa seperti ini:

  1. Secara fisik saya merasakan kelegahan yang luarbiasa, badan menjadi lebih ringan, semangat menjadi lebih dari biasa, dan wajah juga menjadi lebih segar;
  2. Secara rohani, saya mengalami kemajuan, khususnya dalam hal berhubungan dengan makhluk ilahi, berdoa menjadi lebih rajin dan merenungkan kehidupan ini menjadi lebih cerah dan jelas;
  3. Secara psikologis, saya merasakan pencerahan dan pendalaamn pemikiran saya. Hal-hal yang sebelumnya kurang jelas, ragu-ragu, dan masih sebatas mungkin menjadi lebih jelas dan pasti.

Secara singkat semua yang menjadi ragu-ragu, kurang jelas dan membingungkan mejadi tercerahkan. Pemikiran menjadi lebih sederhana tetapi jelas dan pasti. Badan menjadi lebih bugar daripada sebelumnya.

Saya mengkonsumsi suplemen produk Unicity baru mulai awal tahun 2015, tetapi pengalaman ini saya alami jauh sebelum itu. Apalagi ditambah dengan produk suplemen Unicity, secara khusus CleanStart30, saya sungguh merasakan seperti dilahirkan kembali. 

Source: https://www.facebook.com/notes/