“Fear Factor”: Mentalitas Budak, Pertanda Orang Tidak Tahu Diri

“Fear Factor” adalah judul sebuah permainan di Televisi, yang menguji nyali para peserta dalam permainan. Saya tidak bermaksud itu.

Yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah hubungan antara manusia bermentalitas budak dan “rasa takut” atau faktor ketakutan biasanya berhubungan erat. Dengan kata lain, manusia di dunia memiliki rasa takut, takut apa saja, adalah pertanda dia memiliki bibit-bibit mental budak.

Katakanlah takut api, takut gelap, takut naik pesawat, takut lihat tentara, takut lihat polisi, takut bicara kebenaran, takut mengungkapkan apa adanya, takut bicara. Semua rasa takut ini saya sebut sebagai “faktor ketakutan” yang merupakan pertanda orang tidak tahu diri. Orang tidak tahu diri karena dia tidak punya identitas, karena identitas dia ditentukan oleh tuan-nya, dia hanyalah seorang hamba, seorang budak yang tidak punya identifikasi dan identitas diri sendiri.

Di dunia modern, rasa takut bisa dikategorikan ke dalam “phobia” dan “trauma”. Dan pendekatan yang digunakan ialah lewat analisis dan terapi psikologis, hipno-terapis, psiko-terapis, psikologi transformasional, dan banyak cabang ilmu psikologi yang dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi yang dikembangkan di Eropa.

Intinya mereka katakan apa saja yang kita rasakan hari ini bisa berasal dari segala hal yang kita alami pada masa-masa ini:

  1. Diwariskan dalam DNA dari ayah-buda, dan dari nenek-moyang kita, sehingga kondisi psikologis kita adalah warisan orang tua dan nenek-moyang, terekam dan tercatat dalam DNA kita.
  2. Kita warisi dalam hidup kita sendiri, dari apa yang pernah kita lakukan sebelum kita lahir. Ada lagi yang percaya teori inkarnasi, sehingga mereka katakan apa yang ada hari ini adalah warisan dari apa yang kita miliki sebelum kita berinkarnasi sebagai “self” hari ini.
  3. Kita warisi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak di dalam kandungan, dan terutama di waktu kita dilahirkan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit kita lahir ke Bumi. Saya sudah sebutkan dalam artikel dalam blog lain “Breathwork dan Trauma Saat Kelahiran di Tumah Bersalin (Rumah Sakit)
  4. Apa yang kita alami sepanjang kita hidup juga bisa menjadi penyebab kita menjadi penakut, rakut lahir, takut hidup, takut mati, takut dalam banyak hal dalam hidup ini.

Fear Factor dan OAP

Saya secara khusus tertarik  bicara kita orang Papua karena “rasa takut” ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Papua.

  1. Pertama, semua orang Papua, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pokoknya semua orang Papua memiliki “rasa takut tanpa alasan terhadap orang Amberi“, yang dalam bahasa politik disebut orang pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT yang meraja-lela di Tanah Papua. Saya pernah bertanya kepada diri sendiri, “Apa alasan rasa takut ini?” Seara logika sebenarnya tidak ada alasan, tidak dapat saya sebutkan dengan mudah. Saya bisa sebutkan interpretasi apa artinya rasa takut itu, tetapi secara serta-merta saya tidak sanggup menyebutkan penyebab rasa takut itu. Saya harus mengaku, rasa takut itu baru hilang pada tahun 2017 lalu.

    Saya harus terus-terang kasih tahu, siapa-pun kita orang Papua, kita Gubernur, Bupati, Anggota atau Ketua Dewan, Anggota TNI atau Polri, apapun pekerjaan kita, kita orang Barisan Merah Putih atau Barisan Bintang Kejora, pengusaha atau petani atau berburu di hutan, guru atau Pendeta, Haji, Kristen, Islam, kita semua sebagai orang Papua, pasti memiliki “rasa takut tanpa alasan” ini terhadap orang Pendatang.

  2. Kedua, semua orang Papua memiliki rasa takut terhadap TNI dan Poliri. Walaupun kita sendiri tentara, kita sendiri anggota Polri, atau mungkin komandan di dalam satu pleton sekalipun, entah kita pejabat yang selalu mendapatkan pengawalan siang-malam, atau kita yang hidup tanpa sentuhan TNI/Polri di hutan-hutan dan kampung-kampung, “rasa takut terhadap TNI dan Poliri selalu hadir dan ada“Semua orang Papua tahu, mendengar cerita dari berita maupun dari teman, tetangga dan kerabat sendiri, bahkan banyak yang mengalami sendiri, di mana anggota TNI dan Polri pernah membentak, memaki, menakut-nakuti, menangkap semena-mena, memukul, memenjarakan, bahkan membunuh sesama orang Papua. Sampai hari ini berita-berita itu terus tersiar dan dibaca, didengar oleh orang Papua. Memang ada bervariasi kadar dan frekuensinya, tetapi “rasa takut terhadap aparat TNI/Polri itu tetap ada, pasti ada, dan dia ada di semua lapisan masyarakat orang Papua. Bahkan anggota TNI/Polri orang Papua-pun pasti punya rasa takut ini.
  3. Semua manusia punya rasa takut karena rasa takut adalah emosi yang normal. Malahan kita harus mempertanyakan manusia yang tidak punya rasa takut sebagai manusia abnormal, di luar kebiasaan manusia. Orang tidak takut kita bisa sebut dengan mudah sebagai “orang gila”.Akan tetapi, ada orang yang tidak punya rasa takut, bukan karena mereka gila, tetapi mereka abnormal secara positif, yang orang yang telah menghadapi dan mengalahkan “rasa takut” itu sendiri.

Langkah Saya untuk Mengalahkan “Fear Factor”

Saya tidak bicara atas dasar imaginasi atau harapan atau setelah membaca buku psikologi tentang rasa takut dan membeli obat pil untuk menghilangkan rasa takut, tetapi saya bicara dari pengalaman saya pribadi, sepanjang setengah abad hidup saya, bahwa “rasa takut” dapat dihilangkan, atau lebih tepat “dapat dikalahkan”. Dan kedua bahwa menghilangkan rasa takut tidak berarti menjadi gila, tetapi menjadi tercerahkan dan terbarukan.

  1. Langkah pertama, seperti anda sudah bayangkan, adalah “mengakui secara jujur” bahwa saya benar-benar memiliki “rasa takut” dalam diri saya sendiri. Dan bahwa “rasa takut” saya itu tidak rasional, karena itu saya tidak dapat memetakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya rasakan dan mengapa saya merasakannya, apalagi bagaimana menyelesaikannya.
  2. Langkah kedua, mengambil sikap dan keputusan untuk berupaya dan memastikan harus mengalahkan rasa takut dimaksud. Banyak orang mengakui atau menyadari atau merasakan ada rasa takut di dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mamu mengakui, apalagi tidak punya sikap untuk mengalahkannya, dan karena itu tidak ada usaha untuk mengalahkannya.
  3. Ketiga, ada sejumlah usaha yang dapat kita lakukan, yang harus kita pilih untuk membawa diri keluar dari kandang atau penjara atau kurungan “rasa takut”.
    1. Pengalaman saya adalah pertama-tama saya melakukan “Inner Smile” secara teratur membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Bukti pertama dan utama yang saya alami ialah rasa takut untuk terbang dengan pesawat, langsung serta-merta hilang total. Sudah banyak tiket penerbangan dengan total biaya ratusan juta saya rugi karena sering membatalkan penerbangan. Sekarang penerbangan sampai ke bulan-pun saya siap.
    2. Pengalaman kedua saya ialah melakukan meditasi dan doa-doa. Saya beragama Kristen secara keturunan sejak ayah-ibu saya, jadi saya berdoa menurut agama Kristen. Kita berdoa tidak sekedar sebagai seorang hamba memohon dan meminta, tetapi menjadikan Tuhan sebagai kerabat, sahabat dan pelindung yang siap membantu. Bukan menjadikan Dia sebagai pembantu tetapi sebagai pelindung dan penolong yang sejati. Pergi ke geraja dan pulang, menghadiri ibadah secara ritual biasa tidak sama dengan memandang Tuhan sebagai pelindung dan teman sejati.

      Dalam meditasi dan doa, ada banyak hal terjadi. Contohnya menurut  Muktananda dalam bukunya “Play of Consciousness” by Swami Muktananda, b.1908, South India mengatakan dunia ini hanyalah sebuah ilusi, sebuah gambaran dari apa yang ada sesungguhnya di dalam tubuh, di dalma badan kita. Oleh karena itu, kita harus bermeditasi sampai ke dalam sum-sum dan unsur-unsur kehidupan kita, sampai kepada titik “maut”. Sama dengan Yesus disalibkan dan mati, lalu bangkit dari antara orang mati, demikianlah seharusnya kita bermeditasi dan akhirnya mematikan semua yang bersifat duniawi, dan bangkit mengalahkan maut. Dengan demikian kita menjadi “merdeka”, dan dengan demikian rasa takut “lenyap”.

    3. Yang ketiga ialah menghadiri dan mempratekkan Breathwork. Perihal breathwork ini sudah banyak saya kisahkan dalam www.kisah.us (Kisah ku-Kisah mu, Kisah Kita Semua).
    4. Kalau Anda punya uang, tentu saja saya tidak, maka saya sarankan Anda mengikuti terapi psikologis, terutama Transformational Psychology secara rutin untuk keluar dari rasa takut. Pendekatan lain yang malah mengurangi pengeluaran uang ialah banyak berdoa dan berpuasa karena berdoa dan berpuasa sudah terbukti di seluruh dunia dalam sejarah semua manusia bahwa doa-puasa memiliki kekuatan pembebasan yang sangat besar.

Catatan Penutup: Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Membantu Kita Bebas dari “Rasa Takut”

Sebanarnya saya harus katakan, bukan dari “rasa takut” saja, tetapi dari semua emosi-emosi negatif yang ada dalam tubuh kita dapat kita hilangkan, dan menjadi sehat.

Saya sudah belajar selama beberapa lama dengan GrandMaster Mantak Chia dan sekarang saya adalah Associate Instructor dari Universal Healing Tao System  yang saat ini berada di Indonesia dan Melanesia. Saya dapat memberikan workshop untuk kelompok Tahanan Politik, Polisi, Tentara, Pejabat Pemerintah, Mahasiswa, Ibu dan Anak, Lelaki, Perempuan, Tua, mua, di manapun Anda berada di seluruh Indonesia dan Melanesia.

Saya juga adalah Fasilitator dari Breath of Bliss setelah menyelesaikan pendidikan untuk fasilitator. Saya bisa memfasilitasi kegiatan Breathwork di mana saja.

Breathwork yang saya kembangkan didasarkan atas tarian adat dan ritual bangsa Papua dikombinasi dengan musik tradisional, popular Papua dan musik modern lainnya.

Info lebih lanjut: info@healingjourney.love

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]