“Aspire and Act Small!” NOT “Talk, Talk, Talk!”

Ego Is the Enemy, Ryan Holiday
Ego Is the Enemy, Ryan Holiday

Ada dua macam manusia yang dijelaskan oleh  Ryan Holiday dalam bukunya “EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent” (Profile Books, 2016). Yang pertama ialah orang yang “Aspire! and Act Small!” dan kedua ialah orang yang “Talk, Talk, Talk!” Dua perilaku ini ada dengan dua macam mentalitas yang berbeda. Yang pertama punya “aspirasi” dan dengan dasar aspirasi itu, ia tidak muluk-muluk, ia tidak bermimpi siang bolong, ia tidak banyak berkhotbah, tetapi ia “melangkah dari apa yang dia bisa lakukan, dari tempatnya, dengan apa yang dia miliki.

Sementara yang satunya, punya cita-cita juga, tetapi kerjanya “bicara, bicara dan bicara”, bicara tentang apa yang dia cita-citakan, bicara tentang apa yang dia lakukan, dan mungkin juga bicara tentang apa yang dia tidak lakukan dan malahan ada juga bicara tentang apa yang tidak dilakukan orang lain.

Sangat tepat waktu, hari ini 28 Maret 2018, minggu di mana di Tanah Papua sedang berlangsung kampanye-kampanye politik untuk pemilihan sejumlah Bupati dan Gubernur Provinsi Papua. Banyak kampaye berisi janji dan laporan atas apa yang sudah dilakukan disampaikan dalam kampanye politik. Dalam dunia politik dikenal dengan istilah “social-contract”, yaitu janji-janji yang disampaikan para politisi untuk mempengaruhi opini calon pemilih agar memilih mereka. Juga berisi hal-hal yang sudah dilakukan dan akan ditingkatkan kalau dipilih kembali. Di sini ada “Talk! Talk! Talk!”

Iklan di koran, media online, TV dan radio, baliho, banner, leaflet, sampai orasi-orasi disampaikan, semuuanya berisi “talk, talk, talk”.

Ryan Holiday mengutip satu hal yang menarik buat saya, dan patut saya catat sebagai orang yang selalu bersuara di media online:

Those who know do not speak;
Those who speak do not know.

LAO TZU (ibid.:20)

[Terjemahan: Mereka yang tidak tahu berbicara; Mereka yang bicara tidak tahu.], yang dalam terjemahan pepatah Indonesia disebut “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Dalam ulasannya Holiday menyebutkan, di blog, di facebook, di twitter, di semua media saat ini selalu saja ada kolom, ada undangan, ada pertanyaan, ada ulasan yang mengundang pembaca untuk memberikan reaksi. Seolah dunia ini memaksa Anda harus berkata, harus berpendapat, harus bertutur.

Di facebook ada status dengan pertanyaan “What on your mind?”, di artikel blog diakhiri dengan “Comment”, di setiap Twitter dan Facebook ada tombol “Comment”, ada tombol “Like” “Love”, “Favorite”, yang mengundang kita tidak harus pasif tetapi menjadi aktif.

Artikel saya sebelumnya saya beri judul “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan” Beberapa bulan kemudian saya temukan buku ini yang ditulis oleh Holiday yang menuntut saya untuk bertanya kepada diri sendiri apa yang sudah saya lakukan daripada berkata-kata apa yang saya mau lakukan, daripada berjanji tentang apa yang akan saya lakukan kalau dipilih.

Dalam suasana kampanye politik ini, saya berdoa agar bagi mereka yang berkampanye tidak berbicara, berbicara dan berbicara tentang apa yang mereka akan lakukan. Saya lebih berharap agar mereka BERBICARA TIDAK tentang apa yang tidak dilakukan oleh lawan politik mereka. Mereka TIDAK BICARA TENTANG apa yang mereka akan lakukan, tetapi tentang “Apa yang mereka sudah lakukan dan yang mereka sedang lakukan”.

Bagi kita yang tidak berpolitik juga terlebih penting untuk tidak mengkritik para politisi. Ingat, saya sudah kutip apa yang ditulis Doopak Chopra, yaitu bahwa “Self” ini harus kita disiplinkan sehingga dia harus menjalani hidup ini “non-judgmental”, tidak menghakimi apapun, siapapun selama beberapa detik, menit, hari, minggu, tahun, dan bila perlu seumur hidup.

Judul tulisan ini saya bermaksud agar kita “bercita-cita itu penting”, tetapi selain kita bercita-cita, kita haruslah melangkah/ bertindak melakukan apa yang kita inginkan, sehingga kontribusi kecil kita dalam jangka panjang dapat mewujudkan apa yang kita aspirasikan. Jangan pernah menuntut sebuah aspirasi untuk terwujud hari ini. Jangan membiasakan diri membicarakan aspirasi, agar kita tidak banyak bicara tanpa berbuat apa-apa. Jangan mengkritik orang lain! Jangan mencari kambing-hitam.

Soekarno punya kata mutiara “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Itulah aspirasi! Tetapi cita-cita di langit dan mimpi yang melangit tidak harus disertai banyak bicara. Kalau banyak bicara siapa yang mengerjakannya? Kalau mengharapkan orang lain mengerjakannya siapa yang harus mengerjakannya. Kalau menunggu, kapan baru dimulai? “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Klalau bukan saya/ kita, siapa lagi?” (Prabowo Subianto)

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, oleh karena itu, cita-cita yang setinggi langit, pasti bisa dicapai dengan langkah kita sendiri seorang diri yang kita lakukan sedikit demi sedikit, karena lama-lama akan mencapai langit.

Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam dua artikel sebelumnya, saya Jhon Yonathan Kwano bersaksi tentang apa yang saya dengar dari Nelson Mandela, salah satu manusia hebat yang pernah hadir di muka Bumi berbicara tentang “kerandahan hati” sebagai tanda kebesaran seorang pemimpin dunia. Saya juga sudah menyampaikan isi hati tentang betapa orang Papua berharap kepada Jakarta untuk berbuat banyak hal, sementara orang Papua itu sendiri duduk murung, selalu mencaritahu kesalahan dan mengeluh Jakarta tidak buat ini dan Jakarta tidak buat itu.

Adalah Deepak Chopra, seorang yang berbicara dalam bukunya “Seven Spiritual Laws of Success: A Practial Guide to the Fulfillment of Your Dreams” (Amber-Alen Publishing, 1994) bahwa hukum pertama yang harus diperhatikan ialah hukum tentang “ego”. Huku pertama ialah “Pure Potentiality” (Potensialitas Murni), yaitu bahwa

  • sumber penciptaan semuanya adalah kemurnian
  • kesadaraan… ialah murni
  • ekspresi dari yang tidak termanifestasi ke manifestasi adalah murni
  • ketika ita menyadari bahwa kebenaran eksistensi kita adalah satu” potensialitas, lalu dihubungkan dengan potensialitas jagatraya

maka inilah yang dimaksud dengan “potensialitas murni”.

Pertama, kami hadir ke bumi sebagai seorang insan manusia, kita sadar kita ada, kita hadir ke dalam diri kita, keluarga kita, marga, suku, bangsa kita, sebagai manusia, sebagai orang terpelajar, sebagai pejabat, sebagai petani, sebagai orang beragama, sebagai orang adat, apapun juga yang dapat kita sadari saat ini. Kesadar ini, kesadaran tentang kehadiran dan ketidak-hadiran, keadaan dan ketidak-adaan ini merupakan sebuah intisari kerohanian kita.

Itulah kehidupan yang bersahaja, sederhana dan bahagia.

Dengan kesadaran-kesaradan atas fakta absolut ini, maka seorang manusia menjadi manusia sejati, manusia tanpa embel-embel, manusia tanpa asosiasi, manusia murni, murni sebagai manusia, hanya sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kita menyadari diri kita murni seorang manusia, maka dengan demikian kita menjadi manusia murni. Nelson Mandela menyebutnya manusia yang “rendah hati”, yang menyadari dirinya sesungguh-nya hanyalah manusia, lahir, hidup, besar, tua, mati. Tidak lebih dari itu.

Inilah kesadaran “Self”, kesadaran akan diri sendiri (self-referal). Ada kesadaran lain, yang saya sebut di atas sebagai kesadaran dengan embel-embel: (1) sosial, (2) budaya, (3) pendidikan, (4) jabatan, (5) pangkat, (6) status ekonomi dan kekayaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini disebut “self-referal” oleh Deepak Chopra (ibid.14)

Self-referral means that our internal reference point to our own spirit, and not the objects of our experience. The opposite of self-referral is object-referral. In the object-referral, we are always influenced by objects outside the Self. Our thinking and our behaviour are always in anticipation of a response, it is therefore, fear-based.

[Terjemahan: “Self-referral berarti bahwa referensi internal kita ditujukan kepada roh kita, dan tidak kepada obyek lain dari pengalaman kita. Lawannya daripada self-referral adalah “object-referral”. Dalam “object-referral”, kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut]
  • Apakah anda pernah merasa bahwa tanpa Anda dunia ini akan runtuh berantakan?
  • Apakah Anda pernah merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha yang selama ini Anda bangun akan rugi besar?
  • Pernahkan Anda temukan diri bahwa tanpa Anda semuanya tidak pernah akan terjadi seperti yang sudah terjadi?
  • Pernahkan Anda merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha apapun yang dilakukan orang lain tidak akan berhasil?
  • Pernahkan Anda lakukan sesuatu karena rasa takut pesaing Anda akan menang, karena orang lain sedang melakukan sesuatu yang bisa merugikan usaha Anda, karena Anda menonton atau mendengar laporan tentang apa yang dilakukan orang lain?

Perhatikanlah, ini cara berpikir “object-referral” yang didasarkan pada “rasa-takut” (fear-based).

Menurut Deepak Chopra, “Your true Self, which is your spirit, your soul, is completely free of these things” (ibid.) [Terjemahan: Diri Anda yang sesungguhnya, yaitu roh, jiwa Anda sesungguhnya bebas dari semuanya ini]

Bebas dari semuanya ini artinya terlepas, tidak ada hubungannya, dan oleh karena itu, tidak usah dihubung-hubungkan dengan semuanya ini. Baik kesuksesan, baik kegagalan, semuanya haruslah dihbungkan dengan “Self”, bukan “Object” (atau apa yang ada dan terjadi di luar).

Deepak Chopra menyarankan tiga cara untuk membantu kita berdiri kepada prinsip “Self”, dan terlepas dari hidup berdasarkan rasa takut.

  1. Pertama: Ambil-lah waktu setiap hari, pagi dan malam, selama waktu tertentu, untuk melakukan meditasi, mengambil waktu untuk berdiam diri dengan diri sendiri, tanpa suara, tanpa pikiran, dan bila perlu tanpa cahaya. Sekitar 30 menit pagi dan 30 menit malam sudah dapat dikatakan awal yang baik untuk bermeditasi.
  2. Kedua, katakan kepada diri sendiri untuk mengambil waktu setiap hari selama beberapa menit, atau jam berkomunikasi dengan alam, yaitu kehidupan yang punya inteligensia yang ada di alam-semesta: bunyi, warna, bentuk, bau, ukuran, rasa, apa saja yang ada di alam. Alami-lah, nikmatilah.
  3. Ketiga, praktekkanlah “non-judgement”, yaitu katakan kepada diri sendiri, “Pada detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ini, saya tidak akan menghakimi apapun yang terjadi di hadapanku!

Dengan bermeditasi diri kita akan mengenal dirinya sendiri dan memposisikan diri sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang. Dengan bersahabat dengan alam, kita akan berkuminikasi dengan makhluk selain manusia. Dengan tidak menghakimi, kita membawa energi positif yang  membangun dan menghidupkan.

Dengan berdiam diri, dengan bersahabat dengan alam dan dengan tidak menghakimi, kita menjadi manusia sejati sebagai manusia. Kita melapaskan diri dari embel-embel sosial, budaya, ekonomi yang melekat.

Inilah kemurnian, kehidupan sebagaimana adanya. Tidak berlebihan.

Pernahkan anda temukan orang Papua yang selama ini bangga-banggakan diri dan bertepuk dada memuji apa yang telah mereka lakukan untuk Tanah Papua dan orang Papua?

Apalagi dengan musim Pilkada saat ini, semua politisi muncul dengan memunculkan apa yang mereka telah lakukan lebih daripada yang dilakukan orang lain. Ada yang menjanjikan untuk melakukan lebih daripada yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.

Yang mereka lakukan ini ialah “fear-based”, yaitu TAKUT KALAH dalam Pilkada.

Tidak hanya dalma Pilkada, dalam urusan Papua Merdeka juga para pejuang Papua Merdeka hari ini muncul menuntut yang lain, membela diri, menyalahkan yang lain.

Praktek menyalahlah yang lain adalah cara kerja manusia yang tidak tahu diri, yang Chapra sebut “Self”. Orang Papua yang selalu berusaha membela diri dengan cara menyalahkan orang lain harus bertobat dan mengaku, bahwa apa yang dia lakukan selama ini ialah tanda kelemahan, bukti perilaku manusia yang “fear-based” yang selalu berfikir berdasarkan apa yang ada, terjadi, dilakukan dan dikatakan di luar dirinya.

Mari kita mengenal diri, merendahkan diri, mengakui diri dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati. Kerendahan hati dalam artikel ini artinya (1) belajar dan tekun bermeditasi; (2) belajar dan terus-menerus belajar dari alam-sekitar; dan (3) secara terus-menerus memaksa dan mendisiplin diri pribadi untuk TIDAK MENGHAKIMI siapapun.

Itulah kekuatan yang sesungguhnya. Nelson Mandela katakan “kerendahan hati” ialah kekuatan yang sesungguhnya. Chopra katakan inilah hukum rohani pertama untuk menuju keberhasilan. Saya, Jhon Kwano menegaskan bahwa kerendahan hati tidak berarti kehinaan, tetapi sebaliknya adalah kekuatan yang menyerupai kekuatan ilahi.

Nelson Mandela: “Kerendahan Hati” ialah Kunci Pemimpin sebuah Bangsa

Nelso Mandela
Nelso Mandela

Hari ini (tanggal 02 Februari 2018) saya menonton sebuah wawancara di YouTube. Oprah Winfrey mewawancarai Nelson Mandela. Menjawab pertanyaan Winfrey, “Siapa tokoh atau pemimpin dunia yang Anda banggakan? Apakah Muhammad Ali dari Amerika Serikat, Kol. Khadafi dari Libya, Jasser Arafat dari Palestina, atau Fidel Castro dari Cuba?” Beliau menjawab dengan tegas bahwa semua pemimpin yang disebutkan dikaguminya dan dibanggakannya berdasarkan sumbangan yang mereka berikan di bidang pekerjaan masing-masing. Mereka pejuang yang kokoh dan berani berdiri berdasarkan apa yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran, dengan segala kerendahan hati. Jadi, menurutnya “syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang besar ialah kerendahan hati”.

Kerendahan hati bukan berarti sebuah kelemahan atau kehinaan tetapi sebaliknya sebuah kekuatan dan keagungan; kerendahan hati artinya tidak sombong dan kerendahan hati ialah tidak egois. Yang pertama, pemimpin yang rendah hatinya bukan berarti pemimpin itu lemah dan hina. Pemimpin yang rendah hati tidak menghina harga dirinya, tetapi ia pemimpin yang mengenal baik siapa dirinya, siapa yang dia pimpin dan apa tanggung-jawabnya. Yang paling mendasar ia sadar diri sebagai seorang makhluk manusia di muka Bumi yang punya plot waktu untuk hidup dan berkarya di dunia. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menyadari diri sebagai seorang manusia membantu kita mengakui betapa kita terbatas dalam banyak hal karena kita hanyalah manusia. Kita terbatas dalam hal waktu dan ruang, terbatas dalam akal dan pikiran, terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan. Kita dibatasi oleh hal-hal di sekitar kita, yang membentuk dan membesarkan kita. Kita dilahirkan pada suatu waktu, bertumbuh menjadi dewasa, berkiprah dan menjadi tua dalam batasan waktu dan tempat kita. Dan akhirnya kita meninggalkan dunia fisik ini pada suatu waktu di suatu tempat. Kita harus menyadari betapa terbatas dan tidak berarti diri kita sebagai seorang manusia. Itulah kerendahan hati yang dimaksud Mandela.

Kedua, pemimpin yang besar tidak sombong. Mentalitas, sikap dan perilaku tidak sombong artinya tidak membangga-banggakan dirinya dengan alasan apapun.

“Satu definisi tentang kesombongan adalah harga diri yang berlebihan. Kesombongan demikian membuat seseorang secara tidak patut merasa dirinya paling penting dan paling unggul, barangkali karena kecantikan, ras, status sosial, bakat, atau kekayaan. (Yakobus 4:13-16)” < https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102007086>

Atau juga karena apa yang pernah ia lakukan dalam kehidupan dia, atau apa yang dicapai oleh dirinya, keluarganya, marganya, sukunya, bangsanya.

Perhatikan teladan Yesus. Sebelum datang ke bumi, ia adalah makhluk roh yang perkasa di surga. Dan sewaktu di bumi, ia sempurna, tanpa dosa. (Yohanes 17:5; 1 Petrus 2:21, 22) Ia memiliki kesanggupan, kecerdasan, dan pengetahuan yang tak tertandingi. Sekalipun demikian, ia tak pernah pamer tetapi tetap rendah hati. (Filipi 2:6) Ia bahkan mencuci kaki para rasul pada suatu peristiwa; dan ia memperlihatkan minat yang tulus kepada anak-anak kecil. (Lukas 18:15, 16; Yohanes 13:4, 5) Bahkan, sambil menempatkan seorang anak di sampingnya, Yesus berkata, ”Barang siapa merendahkan dirinya seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga.” (Matius 18:2-4) Ya, di mata Yesus—dan juga Bapaknya​—kebesaran sejati berasal dari kerendahan hati, bukan kesombongan.​—Yakobus 4:10. <Ibid.>

Ciri rendah hati yang ketiga ialah “tidak egois”, tidak egois secara individu maupun secara kelompok. Tidak egois artinya tidak mementingkan diri, status, kepentingan sendiri demi kepentingan orang orang lain atau kepentingan bersama. Ia punya kemampuan untuk “mengalahkan dirinya sendiri” dari ambisinya, hasratnya, niatnya dan bahkan kecanduan yang ada pada dirinya demi kepentingan bersama.

Kata “aku” (ego) tidak ada dalam kamus otaknya maupun kamus tutur-katanya. Kata “kami” juga hampir tidak ada. Yang ada ialah “kita” atau “kita sekalian”, secara bersama-sama, secara utuh, secara keseluruhan. Kalau jatuh kita bersama-sama, kalau bangun, juga kita secara bersama. Kalau gagal ataupun sukses, juga kita bersama-sama. Tidak perlu mencari kambing-hitam, tidak berusaha membenarkan dan menyalahkan satu sama-lain.

Yesus sebagai Sang Pencipta, Raja di atas Segala Raja, menanggalkan ke-Tuhanan-Nya, turun ke Bumi, menjadi seorang manusia, lahir sebagai seorang bayi, di kandang binatang, dibesarkan dalam keluarga tukang-kayu, dan untuk meletakkan kepala saja tidak punya tempat. Sang Pencipta langit dan Bumi menjadi terlantar, terhina, terbunuh di kayu salib. Ini penyangkalan diri yang total, teladan terbaik bagi setiap orang di manapun kita berada, yang mengaku diri bekerja untuk kepentingan umum, kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan sebagainya.

Manusia yang tidak egois akan merangkul semua pihak dan bersahabat dengan semua orang. Ia nyaris tidak punya musuh, selain egois itu sendiri sebagai musuh utamanya. Orang yang tidak egois sering menjadi “pemadam kebakaran” saat kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain saling bersentuhan dan terjadi interaksi tolak-menolak atau timbang-menimbang. Manusia yang tidak egois tidak akan pernah mencari-cari kesalahan-kesalahan dari orang lain, dari sesama pejuang, dari sesama umat manusia. Ia selalu menggali dan berusaha memupuk kesamaan-kesamaan dalam usaha mempuk kebersamaan.

Tiga ciri kerendahan hati ini terkait dengan “emosi” seseorang, secara emosional mengenal diri sebagai seorang manusia, tidak membangga-banggakan diri, dan menyangkal diri dengan berbagai asosiasinya. Ini semua terkait dengan sebuah “mental construct”, bangunan pikiran yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Nelson  Mandela memberikan saran yang jelas tentang dilema yang dialaminya saat dia berada di penjara, “Apakah harus mengikuti emosinya membenci dan memusuhi penguasa kulit putih dan menolak untuk berbicara dengan mereka, ataukah mengikuti pemikiran rasionalnya berbicara dengan mereka untuk menyelesaikan masalah yang  menimpa tanah leluhurnya?”

Dilema ini ia selesaikan dengan cara “merendahkan diri” dan memfokuskan diri kepada solusi yang tepat untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Dia keluar sebagai pemenang, walaupun ada berbagai pihak yang menganggapnya dia melakukan kompromi dengan penguasa tidak manusiawi.

Sesungguhnya  kekuatan seorang pemimpin ada pada kerendahan hatinya. Dengan kerendahan hati ia akan sanggup mengalahkan semua yang dianggap sulit dan tidak akan pernah terselesaikan. Dosa dan maut dikalahkan di kayu salib oleh kerendahan Yesus. Apartheid dikalahkah oleh penyangkalan diri Mandela. Siapa menyusul?

Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan

Adalah John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-36 yang dikenal dengan ungkapannya: “ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diperbuat oleh negara untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat anda kerjakan untuk negerimu). Hari ini saya Jhon Yonathan Kwano menyodorkan pernyataan ini: “Tanyakan apa yang harus saya lakukan saat Ini, di sini, bukan mengkritisi apa yang mereka belum lakukan atau tidak lakukan!”

Sejak orang Papua didatangi oleh bangsa-bangsa lain, orang Papua sudah mulai menjadi korban terutama karena waktu interaksi budaya asing dengan budaya Papua itu terjadi dengan begitu cepat, tak terantisipasi. Terjadilah sebuah “culture shock” yang cukup mengguncang eksistensi dan interaksi orang Papua dengan dirinya dan dengan dunianya, serta dengan sesamanya. Guncangan demi guncangan itu menjadi semakin dahsyat begitu diwarnai oleh pemikiran dan retorika politik modern.

Sebab kedua karena orang Papua sejak awal mulai belajar untuk mencari-tahu apa yang salah dan siapa yang salah kalau ada sesuatu terjadi terhadap dirinya secara pribadi maupun kolektif. Terutama sekali sejarah Belanda dan Indonesia masuk ke tanah Papua menjadi seperti sebuah virus mematikan logika sehat dan mentalitas membangun dari orang Papua. Hampir semua orang Papua tahu dan katakan seolah-olah Belanda sebagai sebuah negara penjajah adalah lebih baik daripada pemerintahan NKRI, yang dilihat sebagai penjajah neo-kolonial.

Dengan pandangan ini, orang Papua menjadi ahli menceritakan kebaikan-kebaikan Belanda, dan pakar juga dalam  menceritakan kejahatan, keburukan dan kekurangan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua. Kalau kita berpapasan, apalagi bertanya kepada orang Papua dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda tentang keberadaan orang Indonesia di Tanah Papua?” maka Anda tidak akan kehilangan bahan dan akal. Anda akan mendapatkan jawaban panjang-lebar, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun tidak akan kehabisan diceritakan tentang apa yang salah dengan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua, mulai dari sejarah, Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi, TNI, pemerintah, Polri, semuanya punya kesalahan di Tanah Papua, terhadap orang Papua dan tanah Papua.

Masalahnya bukan karena kesalahan-kesalahan itu tidak ada. Memang apa yang dikritik itu benar adanya, dan berulang-ulang terjadi sampai hari ini tanggal 29 Januari 2018. Masalahnya ialah bahwa lama-kelamaan, begitu makan tahun, setelah setengah abad kemudian perilaku ini menjadi semacam budaya Orang Asli Papua (OAP): yaitu budaya sering mengeluh dan sering menyalahkan. Yang dikeluhkan ialah sejarah West Papua masuk ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah sejarah Contract of Work (CoW) antara Freeport McMoran Copper & Gold Inc. dengan Suharto (bukan dengan NKRI). Yang disalahkan ialah Soekarno yang mencaplok Nederlandsch Niuew Guinea ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah kekejaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menyebabkan semua OAP pasti punya salah satu anggota keluarga yang sudah dibunuh NKRI. Yang disalahkan ialah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay (Ketua PDP) atas perintah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden NKRI yang dieksekusi oleh Komando Pasukan Khusus 9Kopassus) NKRI. Yang disalahkan ialah implementasi UU Otsus No.  21/2001 yang jauh dari harapan dan tujuan sebagaimana termaktub di dalam undang-undang Otsus dan aturan-aturan turunannya.

Semua yang dikeluhkan dan pihak-pihak yang disalahkan tak terbantahkan. Semuanya benar. Tetapi persoalannya ialah “Mengapa kok orang Papua senangnya mencari-tahu dan menunjukkan jari siapa yang bersalah atas tanah leluhurnya dan atas bangsanya.” Masalahnya ialah “Mengapa orang Papua selalu bermuka dan bernada suara kesal atas realitas kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di Tanah Papua?

Lalu kita bertanya, “Apa seharusnya kita lakukan agar kondisi ini tidak merusak dan memusnahkan bangsa Papua?

Jawabannya ialah “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan“. Jangan bicara banyak tentang apa yang salah dengan NKRI, apa yang benar dengan Belanda, apa yang salah dengan TNI/Polri, apa yang salah dengan Lukas Enembe, apa yang salah dengan Bupati ini dan itu, apa yang salah terkait dengan kondisi di Tanah Papua. Hentikan! Stop! Akhiri!

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri, kepada saya, kepada aku, kepada ego ini, “Apa yang harus saya lakukan saat ini?” Bukan apa yang saya gagal lakukan! Bukan juga apa yang saya harap bisa lakukan! Akan tetapi, apa yang dapat saya lakukan saat ini, di sini, saya sendiri.

Mengetahui dan membahas masalah bukan sebuah dosa. Itu sesuatu yang masuk akal. Tetapi mengharapkan orang yang bersalah untuk “bertobat” dan “mengaku dosa”, lalu “memperbaikinya” ialah sebuah kesalahan fatal. Ditambah lagi, mengeluh dan menceritakannya berulang-ulang di mana-mana ialah sebuah kebodohan yang mematikan diri kita sendiri.

Walaupun kelihatannys sederhana dan tidak ada artinya. Misalnya hanya berdoa saja di kamar tanpa orang melihat atau mendengar-mu sudah-lah cukup. Kalau itu yang dapat anda lakukan saat ini d sini, lakukanlah itu, daripada mengeluh dan menceritakan kesalahan-kesalahan orang lain. Kalau anda bisa memberikan sumbangan, berikanlah sumbangan untuk merubah kondisi yang ada di Tanah Papua.

Jangan berharap untuk menjadi gubernur, bupati, anggota parlemen baru melakukan hal-hal baik untuk tanah dan bangsamu. Jangan selalu mengharapkan orang lain berbuat sesuatu tetapi diri-mu sendiri menyangkal untuk berbuat dengan alasan tak punya jabatan, tak punya kuasa, dan sejenisnya.

Untuk merubah nasib bangsa dan tanah Papua tidak butuh gubernur, bupati, anggota dewan. Dia butuh Anda dan saya, orang-orang biasa, yang selalu berpikir dan bertanya, “Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini untuk tanah dan bangsaku?

 

 

Anda Makhluk Luar Biasa

Mulai hari ini:

Perhatikan pikiran anda sebelum berubah menjadi konsentrasi.
Perhatikan konsentrasi anda sebelum berubah menjadi perasaan.
Perhatikan perasaan anda sebelum berubah menjadi perilaku.
Perhatikan perilaku anda sebelum berubah menjadi hasil.
Perhatikan hasil yang anda dapat sebelum menentukan jalan hidup anda.

Anda bukan label yang disandangkan oleh anda sendiri, bukan label yang disandangkan oleh orang lain.
Anda bukan kesedihan,kecemasan,kekhawatiran,frustasi atau kegagalan.
Anda buka usia,berat badan,bentuk tubuh atau warna kulit anda.
Anda bukan masa lalu,saat ini dan masa yang akan datang.

Anda adalah makhluk paling baik yang diciptakan Allah.
Jika ada orang yang mampu mewujudkan sesuatu didunia, Anda pasti bisa mewujudkannya,bahkan bisa lebih baik.
Ingatlah malam adalah awal bagi siang.
Musim kemarau adalah awal bagi musim hujan.
Penderitaan adalah awal bagii ketenangan.
Kesulitan adalah awal bagi kebaikan.
Sikap optimis pada kebaikan adalah awal kekuatan diri.

Karena itu,nikmati setiap waktu anda.
Anggaplah sebagai babak akhir kehidupan anda.
Hiduplah dengan cinta kepada Allah.
Hiduplah dengan meneladani Sang Tokoh Revolusioner
Hiduplah dengan cita cita.
Hiduplah dengan perjuangan.
Hiduplah dengan kesabaran.
Hiduplah dengan cinta.
Hargailah kehidupan.

dikutip dari Dr. Ibrahim Elfiky

Sumber: https://www.facebook.com/

Revolusi Mental Pengusaha Papua: Seluruh Dunia Tahu Papua Kaya, tetapi….

Tetapi orang Papua tidak tahu kalau dia dianggap dunia “kaya”. Dilema besar buat saya saat saya melhat banyak orang Papua merasa diri miskin, menganggap diri tidak berdaya, dan selalu berpikir untuk orang luar membantu-nya. Ini yang selalu saya sebut sebagai mentalitas budak, dan Pdt. Dr. Benny Giay bahwa orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah. Alasannya jelas, orang Papua sendiri tidak percaya diri, tidak pernah sadar, dan tidak mau sadar, bahwa dia sudah kaya, dan yang harus dia lakukan adalah menyambut pengakuan itu dan menjadikannya bagian dan pengalaman dalam hidupnya.

Padahal dalam kita suci maupun dalam berbagai pernyataan tokoh, ilmuwan dan motivator kita sering sadar betul bahwa “Dunia ini diciptakan oleh Firman, karena Firman itu ada bersama-sama dengan Allah”. Firman itu ialah kata-kata, apa yang Tuhan katakan, apa yang dunia katakan, apa yang sesama katakan. Kalau Firman Tuhan berdaya-cipta, maka perkataan dari kita manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah memiliki kata-kata yang berdaya-cipta pula.

Untuk menikmati pengakuan dunia itu, maka orang Papua harus-lah pertama-tama turut mengiyakan, lalu kedua meyakini, dan ketiga, menjalani kehidupan sebagai orang kaya, berpikir sebagai orang kaya, berkata-kata sebagai orang kaya, dan berperilaku sebagai orang kaya.

Kalau itu yang terjadi, saya yakin, tanah Papua yang kaya-raya ini juga akan mendukung kita dalam upaya mewujudkan perkataan orang di dunia itu.

Setelah mengakui realitas dan perkataan orang, menjadikannya bagian dalam hidup, maka kita berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Tidak ada cerita di mana-manapun, orang yang kaya menjadi kaya karena tinggal di negeri kaya-raya. Yang ada ialah, mereka yang berjuang dan mengeluarkan keringat-lah yang pernah menjadi kaya. Karena sudah banyak diceritakan, ada juga tikus-tikus mati di lumbung padi. Nasib bangsa Papua sama dengan itu. Walaupun sudah diakui dunia, walaupun sudah diberikan banyak uang lewat Otsus, walaupun ada tindakan afirmatif dalam kebijakan demi Orang Asli Papua (OAP), selalu saja menganggap semua ini cukup, maka kita akan menjadi bagian dari bangsa-bangsa termiskin di dunia, hidup di salah satu negeri terkaya di dunia.

Salah siapa?

Dekolonisasi Pemikiran Pengusaha Papua: Menjadi Kaya adalah Pilihan Saya!

“Menjadi kaya adalah pilihan saya!”, artinya saya menjadi kaya bukan karena nasib, bukan juga sebab takdir, apalagi disebabkan oleh pihak lain. NKRI tidak menjadikan saya kaya. Orang Jawa tidak menjadikan kaya. Apalagi misionaris bule tidak menjadikan saya. Saya menjadi kaya karena itu pilihan saya. Pilihan saya itu saya wujudkan lewat perjuangan dengan langkah-langkah yang jelas untuk menjadikan saya kaya.

Sama halnya dengan itu, menjadi miskin juga adalah pilihan saya. Oleh karena itu, jangan salahkan NKRI, tidak  usah salahkan orang Jawa, malu kalau kita salahkan orang Makassar. Mereka menjadi kaya karena mereka mau menjadi kaya. Mereka menjadi kaya karena mereka berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Alam Papua yang kaya-raya tidak otomatis berarti orang yang tinggal di atas tanah Papua juga kaya-raya. Prinsip ajaran agama dan adat mengatakan “ora et labora” alias “Kenggi Abolok Kambe Abolok”.

Uang Otsus yang melimpah-ruah datang ke Tanah Papua tidak otomatis berarti orang Papua akan menjadi kaya-raya secara mendadak. Karena uang-uang Otsus itu harus dikelola oleh orang-orang Papua, entah di pemerintahan maupun di dunia usaha menjadi bermanfaat bagi kita orang Papua.

Konyol kalau kita memakai cara berpikir dan bermentalitas tukang sulap, karena semua hal kita anggap semudah membalikkan telapak tangan.

Orang Papua yang mandiri, dan yang akan membangkitkan dan mensejahterakan tanah dan bangsa Papua ialah orang-orang Papua yang punya keputusan dan komitmen jelas untuk menjadi kaya, bukan karena dikayakan, tidak karena diperbantukan, tetapi karena dia memiliki keinginan dan disusul kerja-keras untuk menjadi kaya.

Apakah Anda salah satu di antara orang-orang Papua yang sudah melakukan dekolonisasi pemikiran untuk menjadi kaya, ataukah anda masih terjajah dalam pemikiran dan berpikir semua kebaikan harus datang dari Jakarta?

Hanya Anda yang tahu jawabannya! Semoga membantu kita berpikir sejenak! Wa, Wa, Wa!

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]

Building Indigenous Papuan entrepreneurship skills

 

Yuliana Pigai travels each day with her husband to the Jayapura traditional market to earn a daily wage to keep her family afloat. Her inventory is vast, but she admits she has no idea how much money she earns.

“For more than 12 years running the business, I have never had any bookkeeping. I never knew how much money I earn or spend, or who lends money from me. I have never even had any savings,” she said.

That turned around when she participated in a workshop supported by UNDP’s People Centred Development Programme (PCDP) in conjunction with the ILO.  The GET Ahead (Gender and Entrepreneurship Together) training was developed by the ILO and it promotes the economic and social empowerment of women alongside men in enterprises. This training package is part of PCDP efforts to enhance local economic development in Papua and West Papua provinces through establishing sustainable livelihoods that support indigenous Papuans.

The training offered participants basic business skills like bookkeeping. This small investment has had large benefits for women like Mama Yuliana, as she is known in the market.

“After receiving the training, I now understand why the income I earn during the day always ran out at night; because I don’t know how to manage my income, how much money I get and how much money I spend,” she said.

Participants were informed about micro-credit opportunities and how to save their small business income by experts in the financial sector. Bank Papua and BRI facilitators not only shared vital information, but also established links between the sector and small business owners, many of whom had never applied for credit.

“If we don’t manage money wisely then we might not be able to build let alone expand it,” said Mama Yuliana.

Mama Yuliana, as she is known in the market, hasn’t let her lack of formal education hold her back. The Paniai native heads the Mama-Mama Papua trader association, a coalition of sellers, mostly women, who trade their wares in the market each day.  Women play a pivotal role in household finances, but as is the case in the Jayapura market, they also have a significant role in balancing the workload with their husbands.

In addition to the financial management material, the training also teaches about gender equality. According to Mama Yuliana, the division of work between husbands and wives in a family business is really important to keep things running smoothly. Prior to the training, Mama Yuliana and her husband ran their side of the business separately; they never recorded their income or expenditure. Now, Mama Yuliana says they are a team and it’s working better than before.

In the future, PCDP will help the traders association,“Mama-Mama Papua” Cooperative (Koperasi Mama-Mama Pedagang Asli Papua, KOMMPAP). to enable them to establish a Business Development Service Provider (BDSP) and further participate in the centre for local business development that will be enacted in five districts across Papua and West Papua. The center will be part of efforts for sustainable livelihood development for Indigenous Papua.

Source: http://www.id.undp.org

Berpuasa Penuh Setengah Hari (06:00 sampai 17:00) cukup membantu meringankan beban tubuh

Saya, Jhon Yonathan Kwano, sejak tahun 2013 mulai mengkampanyekan untuk berpuasa selama dua hari seminggu, dengan rincian setiap Hari Sabtu hanya minum air (entah itu air putih, kopi, teh, dll) mulai pagi hingga makan hanya pada petang hari, dan setiap hari Minggu stop makan dan minum apapun selama jam 06:00 pagi sampai jam 17:00 petang.

Pada hari ini, 22 Maret 2015 sudah dua tahun lebih menjalankan kebiasaan ini.

Dari kebiasaan ini saya mau mencatat sedikit tentang apa hasil dari berpuasa seperti ini:

  1. Secara fisik saya merasakan kelegahan yang luarbiasa, badan menjadi lebih ringan, semangat menjadi lebih dari biasa, dan wajah juga menjadi lebih segar;
  2. Secara rohani, saya mengalami kemajuan, khususnya dalam hal berhubungan dengan makhluk ilahi, berdoa menjadi lebih rajin dan merenungkan kehidupan ini menjadi lebih cerah dan jelas;
  3. Secara psikologis, saya merasakan pencerahan dan pendalaamn pemikiran saya. Hal-hal yang sebelumnya kurang jelas, ragu-ragu, dan masih sebatas mungkin menjadi lebih jelas dan pasti.

Secara singkat semua yang menjadi ragu-ragu, kurang jelas dan membingungkan mejadi tercerahkan. Pemikiran menjadi lebih sederhana tetapi jelas dan pasti. Badan menjadi lebih bugar daripada sebelumnya.

Saya mengkonsumsi suplemen produk Unicity baru mulai awal tahun 2015, tetapi pengalaman ini saya alami jauh sebelum itu. Apalagi ditambah dengan produk suplemen Unicity, secara khusus CleanStart30, saya sungguh merasakan seperti dilahirkan kembali. 

Source: https://www.facebook.com/notes/