Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup

Itu yang saya katakan hari ini saat saya merenungkan berbagai hal yang melilit dalam kehidupan ini, terutama terkait dengan kepergian sejumlah orang yang sangat saya kasihi dalam waktu beberapa bulan ini, sejak bulan Juni 2020 sampai bulan Januari 2021 ini.

Alasan paling sederhana dan otomatis karena saya tidak sanggup menerima kepergian orang-orang yang sangat saya kasih. Tahun 2019, 2020 dan 2021 adalah tiga tahun terburuk dalam riwayat Suku saya, karena saya harus terpaksa menerima kepergian banyak tokoh adat dalam Masyarakat Adat (MADAT) Suku saya, dan saya juga harus tertunduk menerima kepergian sanak-keluarga, anak-cucu saya sendiri.

Saya berdoa kepada Tuhan begini,

Saya tidak terima atas keputusan-Mu! Tuhan tidak adil! Tuhan tidak punya perasaan! Tuhan tidak perduli dengan apa yang kami rasakan sebagai individu, keluarga, marga, klen, bangsa dan ras! Kami sudah tertindas setiap hari, mengapa engkau mengabulkan doa para penjajah, penjarah, peneror, pembunuh dan menindsa kami?

Dalam nama Yesus saya tolak keputusan-Mu ini.

Saya tolak! Saya tolak! Saya tolak!

http://yikwanak.com/kole/

Saya bandingkan dengan apa yang saya alami saat anak perempuan saya meninggal beberapa tahun lalu sangat berbeda. Saya juga mengalami meninggalnya kaka saya dan anak laki-laki saya. Saat ini saya langsug ditegur Tuhan dengan ayat-ayat Alkitab yang berkata sebagai berikut:

Pengkhotbah 3:1-8 TB

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.1-8.TB

Saat itu saya mendengar berita duka, saya masuk ke dalam rumah, mata saya langsung tertuju kepada sebuah buku yang ditulis di Jakarta, tentang menanam emas, bagaimana cara menabung emas dan menggadaikan emas dan menabung lagi. Saya langsung buka kata pengantar si penulis, ternyata dia katakan, “Segala sesuatu indah pada waktunya…”

Pengkhotbah 3:11 TB

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.TB: Alkitab Terjemahan Baru

https://www.bible.com/id/bible/306/ECC.3.11.TB

Tetapi kali ini saya tidak menerima, karena saya menganggap keputusan ini tidak adil, keputusan ini tidak benar pada waktunya. Saat ini saya butuh dia, saat ini saya mempersiapkan tempat untuk dia, saat ini saya siap memanggilnya datang dan tinggal bersama saya.

Saya berdiri di antara kedua

Di antara keduanya, yaitu menerima apapun yang terjadi sebagai kehendak Allah, yang indah pada waktunya, dan mengakui kenyataan bahwa apa yang terjadi tidak menguntungkan kehidupan ini. Saya harus memilih untuk berpihak.

Saya memulai artikel ini dengan keputusan untuk menolak keputusan Allah. Tetapi setelah sampai kepada kalimat ini, saat menulis judul “Saya berdiri di antara kedua…”, maka saya harus akui, saya menyerah.

  • Menyerah kepada menyataan bahwa saya pernah dilahirkan, sama dengan mereka yang pernah dilahirkan.
  • Menyerah kepada realitas mutlak bahwa saya akan mati, sama dengan mereka yang telah meninggalkan saya.

Alm. Bapelina Yikwa: Kita berserah, dan bersiap untuk pergi

Di titik ini saya teringat pada kata-kata mama saya, Bapelina Yikwa. Waktu itu om saya di Makassar meninggal dunia, adik saya di Sentani juga meninggal dunia. Saya hanya tertinggal mengeluh dan patah semangat. Saya telepon mama saya dan menyampaikan keluhan saya.

“Mama, saya tidak terima dengan apa yang om dia lakukan. Padahal kami dua sudah rencana baik-baik. Baru adik dia lagi sudah pergi, … dua orang yang paling saya cintai.”

Mama dia tidak pikir satu menit, dalam sedetik dia menjawab,

Aiiiiii, anak, Yikwanak wae, nir apit norak mban aret ogorik me, ina’nduk nagarak mber yororak lek o. Nawi mba’nuk aret nogwe me, nit niniki tee’luk aret Ala mban wa yogwe logowok e, an togop aret mbake agarik.

Yikwanak Kole dan mama Bapelina Yikwa per telepon

Tiga minggu kemudian, Mama Bapelina Yikwa-pun meninggal dunia. Dia pernah meminta saya mengirimkan uang untuk kuburan adik saya yang telah beliau kuburkan. Dan saya mengirimkan buat dia.

Lalu dia juga menusulnya pergi untuk selamanya.

Rencana saya untuk mengirimkan dia uang untuk memperbaiki rumah-pun gagal.

  • Rencana saya yang lain semuanya gugur!
  • Saya tinggal menganga!
  • Tinggal duduk diam! Mau sedih tidak!
  • Mau heran tidak! Mau marah tidak!
  • Mau kesal tidak!
  • Semuanya tidak!
  • Dan tidak! dan Tidak!

Apakah saya harus katakan, “Sebaiknya Saya Tidak Pernah Dilahirkan dan Hidup?”

TIDAK!

Saya sudah terlanjur dilahirkan!

Karena itu saya harus siap menerima apa-pun resiko kelahiran! Dan resiko terakhir dan resiko lunas dari kelahiran ialah kematian: baik kematian saya, maupun kematian semua yang saya cintai dan saya sayangi.

Lebih Enak dan Nyaman Rasanya Kalau Beli di Orang Indonesia (1)

Saya sudah menyaksikan banyak orang Papua belanja di pasar ataupun kios, lebih memilih untuk beli barang jualan para pendatang daripada membelinya dari orang Papua sendiri. Ada beberapa kali saya tanyakan kepada mereka (tentu saja secara tindak langsung kepadanya saat membeli dar pendatang).  Jawaban mereka yang pertama datang dari para aktivis Hak Asasi Manusia yang memperjuangkan Papua Merdeka.

Mereka bilang begini, “Lebih aman beli di pendatang karena mereka tidak akan kasihtahu orang Papua lain bahwa saya ada di sini!”

Dari sini saya melihat “ada rasa takut terhadap sesama orang Papua karena mulut orang Papua bocor, entah bocor karena dibocorkan atau karena memang orang Papua tidak tahu diri”, akibatnya para pejuang Papua Merdeka dan para ektivis Hak Asasi Manusia Papua merasa keberatan berbelanja di orang Papua sendiri.

Solusinya yang saya berikan dalam catatan singkat ini ialah supaya Orang Asli Papua (OAP) yang pengusaha toko, kios atau pasar tidak usah terlalu banyak bicara tentang orang Papua, khususnya orang Papua pejuang Papua Merdeka. Tidak usah kaget dan beri salam! Tidak usah beri salam macam-macam. Biarkan mereka berjalan, berbelanja dan melanjutkan kegiatan. Lakukan tugas anda berjualan! Biarkan semua berjalan menurut relnya. Jangan tiba-tiba penjual toko, warung, kios, pasar menjadi warwawan menceritakan siapa saja, apalagi bicara tentang para pejuang HAM Papua.

Analisis komparatif teori solidaritas Emile Durkheim dan Covid-19

Oleh: Fr. Charles Matly (JUBI)

Sejak diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Maret 2020 bahwa dua warga negara Indonesia terjangkit virus corona (Covid-19), jumlah pasien terpapar Covid-19 meningkat tajam. Setiap hari pun jumlah pasien berpeluang untuk bertambah.

Jika penanganannya tidak maksimal dan masyarakat belum sepenuhnya mematuhi anjuran keras untuk stay at home atau work from home (WFH) dan menjaga jarak sosial (social distancing), virus corona akan terus meluas.

Pandemi virus corona sudah sangat mengkhawatirkan karena semakin meluas, dan belum dapat diprediksi sampai kapan virus ini hilang. Artinya, pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan satu negara, melainkan persoalan dunia, yang semakin memporakporandakan kehidupan normal dalam berbagai bidang, terutama kesehatan dan ekonomi.

 

Hampir semua negara melakukan lockdown atau social distancing untuk menghindari semakin meluasnya penyebaran virus corona. Bagaimanapun hampir semua pihak terjangkit wabah Covid-19.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menggap remeh dan bersikap seolah-olah virus ini tidak berbahaya. Faktanya Covid-19 meluas dengan cepat menjadi epidemi yang sangat mudah terjangkit ke masyarakat Indonesia.

Dalam upaya penanggulangan virus ini, tentu membutuhkan kesiapan dan ketegasan pemerintah dari pusat maupun daerah. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap keselamatan, pelayanan kesehatan masyarakat, dokter dan paramedis, serta masyarakat umum.

Terlebih hal ini untuk menciptakan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah hadir dan menjaga kepentingan mereka sebagai rakyat Indonesia. Kepercayaan rakyat kepada pemerintah dapat meningkatkan solidaritas di antara mereka, yang dapat bermanfaat dalam mewujudkan kerja sama atau kolaborasi, sehingga penanggulangan virus corona akan lebih mudah, terarah, dan terukur.

Merujuk Emile Durkheim (Ritzer, 2003) solidaritas sosial dilihat sebagai suatu gejala moral. Maka dalam situasi ini, penulis menggunakan teori Emile Durkheim tentang solidaritas untuk menganalisis realitas masyarakat Indonesia di tengah pandemi ini, guna menggalakkan perubahan dan membangun solidaritas dalam menghadapi virus corona.

Pengertian solidaritas menurut Emile Durkheim

Menurut Emile Durkheim solidaritas adalah perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau orang saling percaya, maka mereka akan menjadi satu atau menjadi persahabatan, menjadi saling hormat-menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan sesamanya (Soedijati, 1999: 25).

Dari pengertian di atas, maka solidaritas dapat dimengerti sebagai adanya rasa saling percaya, (punya) cita-cita bersama, kesetiakawanan, dan memiliki rasa sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok, karena adanya perasaan emosional dan moral yang dianut bersama, yang dapat membuat individu merasa nyaman dengan kelompok atau komunitas dalam masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi, keakraban hubungan antara kelompok masyarakat tidak hanya merupakan alat untuk mencapai atau mewujudkan cita-citanya, tetapi keakraban hubungan sosial tersebut juga merupakan salah satu tujuan utama dari kehidupan kelompok masyarakat yang ada. Keadaan kelompok yang semakin kokoh selanjutnya akan menimbulkan rasa saling memiliki dan emosional yang kuat di antara anggotanya.

Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi perhatian Durkheim adalah bentuk solidaritasnya. Durkheim membagi dua bentuk solidaritas, yaitu solidaritas mekanik (mechanical solidarity) dan solidaritas organik (organic solidarity).

Solidaritas mekanik

Solidaritas mekanik adalah rasa solidaritas yang didasarkan pada suatu kesadaran kolektif yang menunjuk kepada totalitas kepercayaan yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama, yaitu mempunyai pekerjaan yang sama, pengalaman yang sama, sehingga banyak pula norma-norma yang dianut bersama (Johnson, 1994: 183).

Demikian juga Indonesia, mempunyai kekuatan solidaritas mekanik yang diikat oleh kesamaan dalam bentuk kesadaran kolektif. Artinya, sebagai sebuah bangsa yang sedang menghadapi wabah, Indonesia harus menyadari bahwa rakyat mempunyai kekuatan dalam bekerja sama. Kekuatan tersebut dibantengi oleh ideologi yang sama yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Emile Durkheim juga memberikan contoh terhadap kelompok masyarakat yang berkumpul atas keinginan bersama, yaitu adanya ikatan sosial yang mengikat individu itu dengan kelompoknya, tentu bukan karena paksaan fisik, melainkan ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral.

Orang yang sama-sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mereka mestinya bersama-sama karena mereka berpikiran serupa.

Dengan demikian, suatu masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik adalah bersatu, karena merasa semua orang yang ada di sekitarnya adalah sama. Yang menjadi ikatan atau pengikat di antara orang-orang itu adalah karena mereka semua terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang hampir sama antara satu dengan yang lain.

Solidaritas organik

Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi.

Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dan pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan menggairahkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu.

Munculnya perbedaan di kalangan individu yang diakibatkan oleh pembagian kerja yang begitu kuat, dapat mengubah kesadaran kolektif yang ada pada masyarakat sederhana. Seperti dikatakan Emile Durkheim, itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif.

Menurut George Ritzer, solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda (Ritzer, 2012: 145). Karena dalam masyarakat organik melaksanakan setiap pekerjaan yang relatif sempit, mereka banyak membutuhkan tenaga dari orang lain agar dapat memenuhi kelangsungan hidupnya.

Oleh karena itu, masyarakat organik dalam pandangan Durkheim “dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang lain”.

Dengan demikian, sudah waktunya untuk melupakan perbedaan organik di tengah pandemi ini. Ada beragam suku, etnis, bahasa, nilai etika dan moral, adat istiadat, partai politik dan agama. Hendaknya semua ini merupakan kekuatan alamiah yang dapat membangun solidaritas organik, untuk saling bergantung satu dengan yang lainnya. Dalam semangat yang sama kita bersinergi menghadapi tantangan Covid-19 ini.

Kesimpulan

Dalam kajian teori telah dijelaskan secara panjang lebar mengenai solidaritas. Selanjutnya, penulis membuat komparasi menggunakan teori solidaritas mekanik dan solidaritas organik Emile Durkheim untuk mengkaji solidaritas masyarakat Indonesia, dalam upaya membangun solidaritas melawan virus corona sesuai dengan tema tulisan ini.

Teori solidaritas yang dikemukakan oleh Emile Durkheim menjelaskan tentang perilaku solidaritas yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah virus corona. Sikap dan interaksi yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah, baik pusat, maupun daerah merupakan suatu proses solidaritas yang terjadi dalam konteks pekerjaan, terutama penanggulangan Covid-19 yang terus mengancam kehidupan masyarakat Indonesia setiap harinya.

Fenomena Covid-19 yang melanda dunia, khususnya Indonesia termasuk Papua, sesungguhnya memiliki sebuah arti yang dapat menjelaskan fenomena pluralitas, baik yang mekanik, maupun organik.

Solidaritas mekanik

Solidaritas mekanik yang tercermin dalam perilaku masyarakat dan pemerintah dapat dilihat pada upaya menggalang kerja sama dan tolong-menolong atau gotong royong di tengah masyarakat. Seperti pada awal imbauan untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak, tidak berada di ruang publik, keramaian atau tidak mengadakan pesta/rapat atau perkumpulan orang lainnya karena akan menjadi sarana penularan virus, selalu menjaga kesehatan dengan mencuci tangan, dan tidak bersalaman atau bentuk kontak fisik lainnya dengan anggota masyarakat.

Adapun tindakan pemerintah dalam mengambil kebijakan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama mereka yang secara ekonomi pekerja harian, mereka yang terinfeksi Covid-19, dokter dan paramedis, serta berbagai profesi yang terkait penanggulangan bencana wabah ini.

Dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai solidaritas mekanik karena beberapa alasan.

Pertama, kerja sama mematuhi anjuran merupakan cerminan dasar dari solidaritas mekanik yaitu menyandarkan pada sentimen bersama;

Kedua, sikap tolong-menolong yang dilakukan tidak mengenal waktu dan tidak mengenal orang. Siapa saja yang mengalami dampak dari Covid-19 menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilayani oleh tenaga medis.

Berdasarkan teori solidaritas Emile Durkheim mengenai sikap atau solidaritas yang terjadi, baik antara pemerintah, maupun masyarakat dalam penanggulangan wabah ini merupakan bentuk solidaritas mekanik. Hal ini dikarenakan sikap tolong-menolong atau solidaritas yang dilakukan antara sesama masyarakat merupakan sikap yang tidak individualis dan justru bergantung pada tiap-tiap individu.

Sikap tolong-menolong merupakan konsekuensi dari kondisi yang tengah dialami yang mendorong setiap orang untuk saling menolong dengan menimbang-nimbang bahwa jika terjadi hal yang sama akan ditolong.

Solidaritas organik 

Realitas kemajemukan bangsa Indonesia sesungguhnya telah menampilkan perbedaan organik dan seringkali perbedaan tersebut menjadi alasan untuk terpecah belah dan berkonflik.

Namun dengan kekuatan dan semangat yang menyatukan perbedaan, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara akan mempunyai kekuatan besar, sehingga mampu bertahan dan menghadapi pandemi ini.

Adanya solidaritas organik dalam realitas pandemi ini dilihat pada saat warga yang ada di tengah perang melawan Covid-19 masih berperilaku tidak simpatik dan tidak berperikemanusiaan. Seorang perawat berinisial NK, ditolak untuk dimakamkan di kampung halamannya karena terpapar Corona. Dia meninggal karena berjuang menyembuhkan pasien corona di RS Kariadi Semarang, Jawa Tengah.

Tindakan segelintir warga ini menuai badai kecaman dari berbagai pihak. Publik mengutuk dan mempertanyakan, dimana nurani dan rasa solidaritas mereka? Covid seolah mengikis rasa empati dan perikemanusiaan kita (harianjogja.com, 27 April 2020).

Dalam teorinya, Emile Durkheim menyebut tindakan tersebut di atas sebagai sikap atau perilaku individualis.

Artinya, tidak ada lagi kesadaran kolektif antarsesama yang sedang mengalami pandemi. Mereka seolah tidak peduli terhadap orang lain karena bertanggung jawab terhadap keluarganya masing-masing. Akibatnya orang seperti membatasi diri terhadap orang lain karena ketakutan yang berlebih.

Dengan kata lain, ketakutan dan penularan membuat kita lebih konformis, penilaian moral kita menjadi lebih keras, dan menjadikan kita lebih konservatif. Jadi, persoalan Covid-19 turut mempengaruhi perilaku masyarakat yang mencerminkan solidaritas organik. (*)

Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Merauke, Papua, sedang studi S2 di Ambon, Maluku

Editor: Timoteus Marten