“Positive Thinking” Menurut Saya Tidak Sekedar Berpikir Positif, Tetapi…

Tetapi pertama-tama, jauh sebelum “berpikir positif” kita harus dengan sadar dan bila perlu harus memaksakan diri untuk “tidak melihat semua hal dari sisi negatif“. Dengan cara pertama-tama menghindarkan diri dari melihat hal-hal dari sisi negatif, maka kita sebenarnya sudah memungkinkan diri untuk melihat semua hal dari sisi positif. Dengan melihat semua hal dari sisi positif, maka kita akan berpikir positif.

Melihat sesuatu hal, mendengar sesuatu hal, mencium sesuatu hal, biarpun kelihatannya tidak baik, biarpun kedengarannya tidak bagus, biarpun baunya tidak sedap, kita harus belajar untuk tidak bertanya dalam pikiran

  • Apa yang salah?

dan

  • Siapa yang salah?

Sebagai penggantinya, kita harus bertanya

  • Apa artinya buat saya?
  • Apa yang harus saya lakukan terhadap ini untuk mendatangkan keuntungan buat saya?

Keuntungan apapun: rohani, jasmani, ekonomi, politik, …..apa saja.

Berpikir positif tidak berarti dengan emmbabi-buta melihat semua hal sebagai baik dan diterima. Berpikir positif menurut saya berarti selalu melihat semua hal dari sisi pelajaran yang dapat kita petik untuk dijadikan bahan pelajaran dalam melangkah ke depan. Kita tidak dapat mengatakan sebuah “bau busuk” sebagai “bau harum”, atau sebuah “kerugian” sebagai “keuntungan” atau sebuah “pencurian/ pembunuhan” sebagai sesuatu yang baik. Semuanya kita tempatkan kepada porsinya masing-masing.

Tetapi intinya kita tidak hanyut dan terus tenggelam ke dapam hal-hal yang kita lihat sebagai masalah, bau tidak baik, kendengaran salah, kelihatan salah, dan sebagainya.

Berpikir positif menurut saya dalam versi budaya Jawa kita kenal istilah “Ngalir saja!!”

***

Kebiasaan beberapa budaya masyarakat tradisional di dunia sering terbalik. Sudah sering masyarakat adat mengkritik dan memarahi hal-hal yang dianggap salah. Tetapi giliran ada hal-hal yang baik dan benar, tidak pernah dipuji dan jarang disyukuri. Dengan cara berpikir dan budaya seperti ini, maka lahirlah generasi terdidik modern yang setiap saat melihat apa saja selalu secara otomatis melihatnya dari sisi negatif, dari sisi kelemahan, dari sisi kesalahan, dan berpikir selalu untuk mengkritik apa saja yang dianggapnya salah, kurang baik, salah dan sebagainya.

Tentu saja, berpikir positif tidak membabi-buta, tetapi yang terpenting berpikiran negatif setiap saat adalah penyakit yang harus dihindari manusia siapa saja yang ingin maju dan menang dalam perjuangan hidup ini.

“Fear Factor”: Mentalitas Budak, Pertanda Orang Tidak Tahu Diri

“Fear Factor” adalah judul sebuah permainan di Televisi, yang menguji nyali para peserta dalam permainan. Saya tidak bermaksud itu.

Yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah hubungan antara manusia bermentalitas budak dan “rasa takut” atau faktor ketakutan biasanya berhubungan erat. Dengan kata lain, manusia di dunia memiliki rasa takut, takut apa saja, adalah pertanda dia memiliki bibit-bibit mental budak.

Katakanlah takut api, takut gelap, takut naik pesawat, takut lihat tentara, takut lihat polisi, takut bicara kebenaran, takut mengungkapkan apa adanya, takut bicara. Semua rasa takut ini saya sebut sebagai “faktor ketakutan” yang merupakan pertanda orang tidak tahu diri. Orang tidak tahu diri karena dia tidak punya identitas, karena identitas dia ditentukan oleh tuan-nya, dia hanyalah seorang hamba, seorang budak yang tidak punya identifikasi dan identitas diri sendiri.

Di dunia modern, rasa takut bisa dikategorikan ke dalam “phobia” dan “trauma”. Dan pendekatan yang digunakan ialah lewat analisis dan terapi psikologis, hipno-terapis, psiko-terapis, psikologi transformasional, dan banyak cabang ilmu psikologi yang dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi yang dikembangkan di Eropa.

Intinya mereka katakan apa saja yang kita rasakan hari ini bisa berasal dari segala hal yang kita alami pada masa-masa ini:

  1. Diwariskan dalam DNA dari ayah-buda, dan dari nenek-moyang kita, sehingga kondisi psikologis kita adalah warisan orang tua dan nenek-moyang, terekam dan tercatat dalam DNA kita.
  2. Kita warisi dalam hidup kita sendiri, dari apa yang pernah kita lakukan sebelum kita lahir. Ada lagi yang percaya teori inkarnasi, sehingga mereka katakan apa yang ada hari ini adalah warisan dari apa yang kita miliki sebelum kita berinkarnasi sebagai “self” hari ini.
  3. Kita warisi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak di dalam kandungan, dan terutama di waktu kita dilahirkan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit kita lahir ke Bumi. Saya sudah sebutkan dalam artikel dalam blog lain “Breathwork dan Trauma Saat Kelahiran di Tumah Bersalin (Rumah Sakit)
  4. Apa yang kita alami sepanjang kita hidup juga bisa menjadi penyebab kita menjadi penakut, rakut lahir, takut hidup, takut mati, takut dalam banyak hal dalam hidup ini.

Fear Factor dan OAP

Saya secara khusus tertarik  bicara kita orang Papua karena “rasa takut” ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Papua.

  1. Pertama, semua orang Papua, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pokoknya semua orang Papua memiliki “rasa takut tanpa alasan terhadap orang Amberi“, yang dalam bahasa politik disebut orang pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT yang meraja-lela di Tanah Papua. Saya pernah bertanya kepada diri sendiri, “Apa alasan rasa takut ini?” Seara logika sebenarnya tidak ada alasan, tidak dapat saya sebutkan dengan mudah. Saya bisa sebutkan interpretasi apa artinya rasa takut itu, tetapi secara serta-merta saya tidak sanggup menyebutkan penyebab rasa takut itu. Saya harus mengaku, rasa takut itu baru hilang pada tahun 2017 lalu.

    Saya harus terus-terang kasih tahu, siapa-pun kita orang Papua, kita Gubernur, Bupati, Anggota atau Ketua Dewan, Anggota TNI atau Polri, apapun pekerjaan kita, kita orang Barisan Merah Putih atau Barisan Bintang Kejora, pengusaha atau petani atau berburu di hutan, guru atau Pendeta, Haji, Kristen, Islam, kita semua sebagai orang Papua, pasti memiliki “rasa takut tanpa alasan” ini terhadap orang Pendatang.

  2. Kedua, semua orang Papua memiliki rasa takut terhadap TNI dan Poliri. Walaupun kita sendiri tentara, kita sendiri anggota Polri, atau mungkin komandan di dalam satu pleton sekalipun, entah kita pejabat yang selalu mendapatkan pengawalan siang-malam, atau kita yang hidup tanpa sentuhan TNI/Polri di hutan-hutan dan kampung-kampung, “rasa takut terhadap TNI dan Poliri selalu hadir dan ada“Semua orang Papua tahu, mendengar cerita dari berita maupun dari teman, tetangga dan kerabat sendiri, bahkan banyak yang mengalami sendiri, di mana anggota TNI dan Polri pernah membentak, memaki, menakut-nakuti, menangkap semena-mena, memukul, memenjarakan, bahkan membunuh sesama orang Papua. Sampai hari ini berita-berita itu terus tersiar dan dibaca, didengar oleh orang Papua. Memang ada bervariasi kadar dan frekuensinya, tetapi “rasa takut terhadap aparat TNI/Polri itu tetap ada, pasti ada, dan dia ada di semua lapisan masyarakat orang Papua. Bahkan anggota TNI/Polri orang Papua-pun pasti punya rasa takut ini.
  3. Semua manusia punya rasa takut karena rasa takut adalah emosi yang normal. Malahan kita harus mempertanyakan manusia yang tidak punya rasa takut sebagai manusia abnormal, di luar kebiasaan manusia. Orang tidak takut kita bisa sebut dengan mudah sebagai “orang gila”.Akan tetapi, ada orang yang tidak punya rasa takut, bukan karena mereka gila, tetapi mereka abnormal secara positif, yang orang yang telah menghadapi dan mengalahkan “rasa takut” itu sendiri.

Langkah Saya untuk Mengalahkan “Fear Factor”

Saya tidak bicara atas dasar imaginasi atau harapan atau setelah membaca buku psikologi tentang rasa takut dan membeli obat pil untuk menghilangkan rasa takut, tetapi saya bicara dari pengalaman saya pribadi, sepanjang setengah abad hidup saya, bahwa “rasa takut” dapat dihilangkan, atau lebih tepat “dapat dikalahkan”. Dan kedua bahwa menghilangkan rasa takut tidak berarti menjadi gila, tetapi menjadi tercerahkan dan terbarukan.

  1. Langkah pertama, seperti anda sudah bayangkan, adalah “mengakui secara jujur” bahwa saya benar-benar memiliki “rasa takut” dalam diri saya sendiri. Dan bahwa “rasa takut” saya itu tidak rasional, karena itu saya tidak dapat memetakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya rasakan dan mengapa saya merasakannya, apalagi bagaimana menyelesaikannya.
  2. Langkah kedua, mengambil sikap dan keputusan untuk berupaya dan memastikan harus mengalahkan rasa takut dimaksud. Banyak orang mengakui atau menyadari atau merasakan ada rasa takut di dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mamu mengakui, apalagi tidak punya sikap untuk mengalahkannya, dan karena itu tidak ada usaha untuk mengalahkannya.
  3. Ketiga, ada sejumlah usaha yang dapat kita lakukan, yang harus kita pilih untuk membawa diri keluar dari kandang atau penjara atau kurungan “rasa takut”.
    1. Pengalaman saya adalah pertama-tama saya melakukan “Inner Smile” secara teratur membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Bukti pertama dan utama yang saya alami ialah rasa takut untuk terbang dengan pesawat, langsung serta-merta hilang total. Sudah banyak tiket penerbangan dengan total biaya ratusan juta saya rugi karena sering membatalkan penerbangan. Sekarang penerbangan sampai ke bulan-pun saya siap.
    2. Pengalaman kedua saya ialah melakukan meditasi dan doa-doa. Saya beragama Kristen secara keturunan sejak ayah-ibu saya, jadi saya berdoa menurut agama Kristen. Kita berdoa tidak sekedar sebagai seorang hamba memohon dan meminta, tetapi menjadikan Tuhan sebagai kerabat, sahabat dan pelindung yang siap membantu. Bukan menjadikan Dia sebagai pembantu tetapi sebagai pelindung dan penolong yang sejati. Pergi ke geraja dan pulang, menghadiri ibadah secara ritual biasa tidak sama dengan memandang Tuhan sebagai pelindung dan teman sejati.

      Dalam meditasi dan doa, ada banyak hal terjadi. Contohnya menurut  Muktananda dalam bukunya “Play of Consciousness” by Swami Muktananda, b.1908, South India mengatakan dunia ini hanyalah sebuah ilusi, sebuah gambaran dari apa yang ada sesungguhnya di dalam tubuh, di dalma badan kita. Oleh karena itu, kita harus bermeditasi sampai ke dalam sum-sum dan unsur-unsur kehidupan kita, sampai kepada titik “maut”. Sama dengan Yesus disalibkan dan mati, lalu bangkit dari antara orang mati, demikianlah seharusnya kita bermeditasi dan akhirnya mematikan semua yang bersifat duniawi, dan bangkit mengalahkan maut. Dengan demikian kita menjadi “merdeka”, dan dengan demikian rasa takut “lenyap”.

    3. Yang ketiga ialah menghadiri dan mempratekkan Breathwork. Perihal breathwork ini sudah banyak saya kisahkan dalam www.kisah.us (Kisah ku-Kisah mu, Kisah Kita Semua).
    4. Kalau Anda punya uang, tentu saja saya tidak, maka saya sarankan Anda mengikuti terapi psikologis, terutama Transformational Psychology secara rutin untuk keluar dari rasa takut. Pendekatan lain yang malah mengurangi pengeluaran uang ialah banyak berdoa dan berpuasa karena berdoa dan berpuasa sudah terbukti di seluruh dunia dalam sejarah semua manusia bahwa doa-puasa memiliki kekuatan pembebasan yang sangat besar.

Catatan Penutup: Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Membantu Kita Bebas dari “Rasa Takut”

Sebanarnya saya harus katakan, bukan dari “rasa takut” saja, tetapi dari semua emosi-emosi negatif yang ada dalam tubuh kita dapat kita hilangkan, dan menjadi sehat.

Saya sudah belajar selama beberapa lama dengan GrandMaster Mantak Chia dan sekarang saya adalah Associate Instructor dari Universal Healing Tao System  yang saat ini berada di Indonesia dan Melanesia. Saya dapat memberikan workshop untuk kelompok Tahanan Politik, Polisi, Tentara, Pejabat Pemerintah, Mahasiswa, Ibu dan Anak, Lelaki, Perempuan, Tua, mua, di manapun Anda berada di seluruh Indonesia dan Melanesia.

Saya juga adalah Fasilitator dari Breath of Bliss setelah menyelesaikan pendidikan untuk fasilitator. Saya bisa memfasilitasi kegiatan Breathwork di mana saja.

Breathwork yang saya kembangkan didasarkan atas tarian adat dan ritual bangsa Papua dikombinasi dengan musik tradisional, popular Papua dan musik modern lainnya.

Info lebih lanjut: info@healingjourney.love

PAPUAmart.com Memberikan Peluang kepada Semua Orang Papua untuk Berinvestasi

PAPUAmart.com dan karyawannya
PAPUAmart.com dan karyawannya

Saya sebagai Direktur PAPUAmart.com menyampaikan kepada seluruh masyarkarakat di Tanah Papua untuk bergabung ke dalam PAPUAmart.com Group Companies dengan beberapa cara:

  1. Perama, memberikan sumbangan dana berapa saja secara sukarela, dengan tujuan memajukan Pengusaha Orang Asli Papua (OAP) agar maju dalma usaha-usaha entrepreneurship di Tanah Papua;
  2. Kedua, menanamkan modal usaha, dengan jumlah berapa saja ke PAPUAmart.com dan nantinya, PAPUAmart.com akan memberikan persen dari keuntungan setiap bulan. Perhitungan persen akan diatur secara rinici sesuai perkembangan usaha PAPUAmart.com;
  3. Ketiga, membuka cabang PAPUAmart.com sendiri di mana-pun Anda berada di seluruh Tanah Papua, dari Sorong samppai Samarai, dan bahkan di seluruh Melanesia, dari Raja Ampat sampai Negara Republik Fiji.

Dengan tiga cara ini, kami akan memajukan usaha-usaha OAP di atas Tanah leluhur.

 

Honai Rumah Tradisional dan Pusat Pendidikan Mental

Kita harus akui dengan jujur dan terbuka bahwa semua anak-anak Papua yang pernah dibesarkan / bertumbuh di dalam konteks “Honai Adat” dan anak-anak yang lahir dan bertumbuh TANPA “honai adat” kalau kita bandingkan keduanya sama-sekali menjadi dua suku-bangsa yang berbeda.

Walaupun secara fisik sama, secara mental dan rohani sama sekali berbeda, bahkan banyak yang bertolak-belakang.

  1. http://shantywetapo.blogspot.co.id/2015/07/rumah-adat-lembah-baliem.html
  2. https://limbarup.wordpress.com/2016/09/20/rumah-adat-honai-asal-daerah-wamena-papua/

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.

“Aspire and Act Small!” NOT “Talk, Talk, Talk!”

Ego Is the Enemy, Ryan Holiday
Ego Is the Enemy, Ryan Holiday

Ada dua macam manusia yang dijelaskan oleh  Ryan Holiday dalam bukunya “EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent” (Profile Books, 2016). Yang pertama ialah orang yang “Aspire! and Act Small!” dan kedua ialah orang yang “Talk, Talk, Talk!” Dua perilaku ini ada dengan dua macam mentalitas yang berbeda. Yang pertama punya “aspirasi” dan dengan dasar aspirasi itu, ia tidak muluk-muluk, ia tidak bermimpi siang bolong, ia tidak banyak berkhotbah, tetapi ia “melangkah dari apa yang dia bisa lakukan, dari tempatnya, dengan apa yang dia miliki.

Sementara yang satunya, punya cita-cita juga, tetapi kerjanya “bicara, bicara dan bicara”, bicara tentang apa yang dia cita-citakan, bicara tentang apa yang dia lakukan, dan mungkin juga bicara tentang apa yang dia tidak lakukan dan malahan ada juga bicara tentang apa yang tidak dilakukan orang lain.

Sangat tepat waktu, hari ini 28 Maret 2018, minggu di mana di Tanah Papua sedang berlangsung kampanye-kampanye politik untuk pemilihan sejumlah Bupati dan Gubernur Provinsi Papua. Banyak kampaye berisi janji dan laporan atas apa yang sudah dilakukan disampaikan dalam kampanye politik. Dalam dunia politik dikenal dengan istilah “social-contract”, yaitu janji-janji yang disampaikan para politisi untuk mempengaruhi opini calon pemilih agar memilih mereka. Juga berisi hal-hal yang sudah dilakukan dan akan ditingkatkan kalau dipilih kembali. Di sini ada “Talk! Talk! Talk!”

Iklan di koran, media online, TV dan radio, baliho, banner, leaflet, sampai orasi-orasi disampaikan, semuuanya berisi “talk, talk, talk”.

Ryan Holiday mengutip satu hal yang menarik buat saya, dan patut saya catat sebagai orang yang selalu bersuara di media online:

Those who know do not speak;
Those who speak do not know.

LAO TZU (ibid.:20)

[Terjemahan: Mereka yang tidak tahu berbicara; Mereka yang bicara tidak tahu.], yang dalam terjemahan pepatah Indonesia disebut “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Dalam ulasannya Holiday menyebutkan, di blog, di facebook, di twitter, di semua media saat ini selalu saja ada kolom, ada undangan, ada pertanyaan, ada ulasan yang mengundang pembaca untuk memberikan reaksi. Seolah dunia ini memaksa Anda harus berkata, harus berpendapat, harus bertutur.

Di facebook ada status dengan pertanyaan “What on your mind?”, di artikel blog diakhiri dengan “Comment”, di setiap Twitter dan Facebook ada tombol “Comment”, ada tombol “Like” “Love”, “Favorite”, yang mengundang kita tidak harus pasif tetapi menjadi aktif.

Artikel saya sebelumnya saya beri judul “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan” Beberapa bulan kemudian saya temukan buku ini yang ditulis oleh Holiday yang menuntut saya untuk bertanya kepada diri sendiri apa yang sudah saya lakukan daripada berkata-kata apa yang saya mau lakukan, daripada berjanji tentang apa yang akan saya lakukan kalau dipilih.

Dalam suasana kampanye politik ini, saya berdoa agar bagi mereka yang berkampanye tidak berbicara, berbicara dan berbicara tentang apa yang mereka akan lakukan. Saya lebih berharap agar mereka BERBICARA TIDAK tentang apa yang tidak dilakukan oleh lawan politik mereka. Mereka TIDAK BICARA TENTANG apa yang mereka akan lakukan, tetapi tentang “Apa yang mereka sudah lakukan dan yang mereka sedang lakukan”.

Bagi kita yang tidak berpolitik juga terlebih penting untuk tidak mengkritik para politisi. Ingat, saya sudah kutip apa yang ditulis Doopak Chopra, yaitu bahwa “Self” ini harus kita disiplinkan sehingga dia harus menjalani hidup ini “non-judgmental”, tidak menghakimi apapun, siapapun selama beberapa detik, menit, hari, minggu, tahun, dan bila perlu seumur hidup.

Judul tulisan ini saya bermaksud agar kita “bercita-cita itu penting”, tetapi selain kita bercita-cita, kita haruslah melangkah/ bertindak melakukan apa yang kita inginkan, sehingga kontribusi kecil kita dalam jangka panjang dapat mewujudkan apa yang kita aspirasikan. Jangan pernah menuntut sebuah aspirasi untuk terwujud hari ini. Jangan membiasakan diri membicarakan aspirasi, agar kita tidak banyak bicara tanpa berbuat apa-apa. Jangan mengkritik orang lain! Jangan mencari kambing-hitam.

Soekarno punya kata mutiara “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Itulah aspirasi! Tetapi cita-cita di langit dan mimpi yang melangit tidak harus disertai banyak bicara. Kalau banyak bicara siapa yang mengerjakannya? Kalau mengharapkan orang lain mengerjakannya siapa yang harus mengerjakannya. Kalau menunggu, kapan baru dimulai? “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Klalau bukan saya/ kita, siapa lagi?” (Prabowo Subianto)

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, oleh karena itu, cita-cita yang setinggi langit, pasti bisa dicapai dengan langkah kita sendiri seorang diri yang kita lakukan sedikit demi sedikit, karena lama-lama akan mencapai langit.

Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam dua artikel sebelumnya, saya Jhon Yonathan Kwano bersaksi tentang apa yang saya dengar dari Nelson Mandela, salah satu manusia hebat yang pernah hadir di muka Bumi berbicara tentang “kerandahan hati” sebagai tanda kebesaran seorang pemimpin dunia. Saya juga sudah menyampaikan isi hati tentang betapa orang Papua berharap kepada Jakarta untuk berbuat banyak hal, sementara orang Papua itu sendiri duduk murung, selalu mencaritahu kesalahan dan mengeluh Jakarta tidak buat ini dan Jakarta tidak buat itu.

Adalah Deepak Chopra, seorang yang berbicara dalam bukunya “Seven Spiritual Laws of Success: A Practial Guide to the Fulfillment of Your Dreams” (Amber-Alen Publishing, 1994) bahwa hukum pertama yang harus diperhatikan ialah hukum tentang “ego”. Huku pertama ialah “Pure Potentiality” (Potensialitas Murni), yaitu bahwa

  • sumber penciptaan semuanya adalah kemurnian
  • kesadaraan… ialah murni
  • ekspresi dari yang tidak termanifestasi ke manifestasi adalah murni
  • ketika ita menyadari bahwa kebenaran eksistensi kita adalah satu” potensialitas, lalu dihubungkan dengan potensialitas jagatraya

maka inilah yang dimaksud dengan “potensialitas murni”.

Pertama, kami hadir ke bumi sebagai seorang insan manusia, kita sadar kita ada, kita hadir ke dalam diri kita, keluarga kita, marga, suku, bangsa kita, sebagai manusia, sebagai orang terpelajar, sebagai pejabat, sebagai petani, sebagai orang beragama, sebagai orang adat, apapun juga yang dapat kita sadari saat ini. Kesadar ini, kesadaran tentang kehadiran dan ketidak-hadiran, keadaan dan ketidak-adaan ini merupakan sebuah intisari kerohanian kita.

Itulah kehidupan yang bersahaja, sederhana dan bahagia.

Dengan kesadaran-kesaradan atas fakta absolut ini, maka seorang manusia menjadi manusia sejati, manusia tanpa embel-embel, manusia tanpa asosiasi, manusia murni, murni sebagai manusia, hanya sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kita menyadari diri kita murni seorang manusia, maka dengan demikian kita menjadi manusia murni. Nelson Mandela menyebutnya manusia yang “rendah hati”, yang menyadari dirinya sesungguh-nya hanyalah manusia, lahir, hidup, besar, tua, mati. Tidak lebih dari itu.

Inilah kesadaran “Self”, kesadaran akan diri sendiri (self-referal). Ada kesadaran lain, yang saya sebut di atas sebagai kesadaran dengan embel-embel: (1) sosial, (2) budaya, (3) pendidikan, (4) jabatan, (5) pangkat, (6) status ekonomi dan kekayaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini disebut “self-referal” oleh Deepak Chopra (ibid.14)

Self-referral means that our internal reference point to our own spirit, and not the objects of our experience. The opposite of self-referral is object-referral. In the object-referral, we are always influenced by objects outside the Self. Our thinking and our behaviour are always in anticipation of a response, it is therefore, fear-based.

[Terjemahan: “Self-referral berarti bahwa referensi internal kita ditujukan kepada roh kita, dan tidak kepada obyek lain dari pengalaman kita. Lawannya daripada self-referral adalah “object-referral”. Dalam “object-referral”, kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut]
  • Apakah anda pernah merasa bahwa tanpa Anda dunia ini akan runtuh berantakan?
  • Apakah Anda pernah merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha yang selama ini Anda bangun akan rugi besar?
  • Pernahkan Anda temukan diri bahwa tanpa Anda semuanya tidak pernah akan terjadi seperti yang sudah terjadi?
  • Pernahkan Anda merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha apapun yang dilakukan orang lain tidak akan berhasil?
  • Pernahkan Anda lakukan sesuatu karena rasa takut pesaing Anda akan menang, karena orang lain sedang melakukan sesuatu yang bisa merugikan usaha Anda, karena Anda menonton atau mendengar laporan tentang apa yang dilakukan orang lain?

Perhatikanlah, ini cara berpikir “object-referral” yang didasarkan pada “rasa-takut” (fear-based).

Menurut Deepak Chopra, “Your true Self, which is your spirit, your soul, is completely free of these things” (ibid.) [Terjemahan: Diri Anda yang sesungguhnya, yaitu roh, jiwa Anda sesungguhnya bebas dari semuanya ini]

Bebas dari semuanya ini artinya terlepas, tidak ada hubungannya, dan oleh karena itu, tidak usah dihubung-hubungkan dengan semuanya ini. Baik kesuksesan, baik kegagalan, semuanya haruslah dihbungkan dengan “Self”, bukan “Object” (atau apa yang ada dan terjadi di luar).

Deepak Chopra menyarankan tiga cara untuk membantu kita berdiri kepada prinsip “Self”, dan terlepas dari hidup berdasarkan rasa takut.

  1. Pertama: Ambil-lah waktu setiap hari, pagi dan malam, selama waktu tertentu, untuk melakukan meditasi, mengambil waktu untuk berdiam diri dengan diri sendiri, tanpa suara, tanpa pikiran, dan bila perlu tanpa cahaya. Sekitar 30 menit pagi dan 30 menit malam sudah dapat dikatakan awal yang baik untuk bermeditasi.
  2. Kedua, katakan kepada diri sendiri untuk mengambil waktu setiap hari selama beberapa menit, atau jam berkomunikasi dengan alam, yaitu kehidupan yang punya inteligensia yang ada di alam-semesta: bunyi, warna, bentuk, bau, ukuran, rasa, apa saja yang ada di alam. Alami-lah, nikmatilah.
  3. Ketiga, praktekkanlah “non-judgement”, yaitu katakan kepada diri sendiri, “Pada detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ini, saya tidak akan menghakimi apapun yang terjadi di hadapanku!

Dengan bermeditasi diri kita akan mengenal dirinya sendiri dan memposisikan diri sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang. Dengan bersahabat dengan alam, kita akan berkuminikasi dengan makhluk selain manusia. Dengan tidak menghakimi, kita membawa energi positif yang  membangun dan menghidupkan.

Dengan berdiam diri, dengan bersahabat dengan alam dan dengan tidak menghakimi, kita menjadi manusia sejati sebagai manusia. Kita melapaskan diri dari embel-embel sosial, budaya, ekonomi yang melekat.

Inilah kemurnian, kehidupan sebagaimana adanya. Tidak berlebihan.

Pernahkan anda temukan orang Papua yang selama ini bangga-banggakan diri dan bertepuk dada memuji apa yang telah mereka lakukan untuk Tanah Papua dan orang Papua?

Apalagi dengan musim Pilkada saat ini, semua politisi muncul dengan memunculkan apa yang mereka telah lakukan lebih daripada yang dilakukan orang lain. Ada yang menjanjikan untuk melakukan lebih daripada yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.

Yang mereka lakukan ini ialah “fear-based”, yaitu TAKUT KALAH dalam Pilkada.

Tidak hanya dalma Pilkada, dalam urusan Papua Merdeka juga para pejuang Papua Merdeka hari ini muncul menuntut yang lain, membela diri, menyalahkan yang lain.

Praktek menyalahlah yang lain adalah cara kerja manusia yang tidak tahu diri, yang Chapra sebut “Self”. Orang Papua yang selalu berusaha membela diri dengan cara menyalahkan orang lain harus bertobat dan mengaku, bahwa apa yang dia lakukan selama ini ialah tanda kelemahan, bukti perilaku manusia yang “fear-based” yang selalu berfikir berdasarkan apa yang ada, terjadi, dilakukan dan dikatakan di luar dirinya.

Mari kita mengenal diri, merendahkan diri, mengakui diri dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati. Kerendahan hati dalam artikel ini artinya (1) belajar dan tekun bermeditasi; (2) belajar dan terus-menerus belajar dari alam-sekitar; dan (3) secara terus-menerus memaksa dan mendisiplin diri pribadi untuk TIDAK MENGHAKIMI siapapun.

Itulah kekuatan yang sesungguhnya. Nelson Mandela katakan “kerendahan hati” ialah kekuatan yang sesungguhnya. Chopra katakan inilah hukum rohani pertama untuk menuju keberhasilan. Saya, Jhon Kwano menegaskan bahwa kerendahan hati tidak berarti kehinaan, tetapi sebaliknya adalah kekuatan yang menyerupai kekuatan ilahi.

Nelson Mandela: “Kerendahan Hati” ialah Kunci Pemimpin sebuah Bangsa

Nelso Mandela
Nelso Mandela

Hari ini (tanggal 02 Februari 2018) saya menonton sebuah wawancara di YouTube. Oprah Winfrey mewawancarai Nelson Mandela. Menjawab pertanyaan Winfrey, “Siapa tokoh atau pemimpin dunia yang Anda banggakan? Apakah Muhammad Ali dari Amerika Serikat, Kol. Khadafi dari Libya, Jasser Arafat dari Palestina, atau Fidel Castro dari Cuba?” Beliau menjawab dengan tegas bahwa semua pemimpin yang disebutkan dikaguminya dan dibanggakannya berdasarkan sumbangan yang mereka berikan di bidang pekerjaan masing-masing. Mereka pejuang yang kokoh dan berani berdiri berdasarkan apa yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran, dengan segala kerendahan hati. Jadi, menurutnya “syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang besar ialah kerendahan hati”.

Kerendahan hati bukan berarti sebuah kelemahan atau kehinaan tetapi sebaliknya sebuah kekuatan dan keagungan; kerendahan hati artinya tidak sombong dan kerendahan hati ialah tidak egois. Yang pertama, pemimpin yang rendah hatinya bukan berarti pemimpin itu lemah dan hina. Pemimpin yang rendah hati tidak menghina harga dirinya, tetapi ia pemimpin yang mengenal baik siapa dirinya, siapa yang dia pimpin dan apa tanggung-jawabnya. Yang paling mendasar ia sadar diri sebagai seorang makhluk manusia di muka Bumi yang punya plot waktu untuk hidup dan berkarya di dunia. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menyadari diri sebagai seorang manusia membantu kita mengakui betapa kita terbatas dalam banyak hal karena kita hanyalah manusia. Kita terbatas dalam hal waktu dan ruang, terbatas dalam akal dan pikiran, terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan. Kita dibatasi oleh hal-hal di sekitar kita, yang membentuk dan membesarkan kita. Kita dilahirkan pada suatu waktu, bertumbuh menjadi dewasa, berkiprah dan menjadi tua dalam batasan waktu dan tempat kita. Dan akhirnya kita meninggalkan dunia fisik ini pada suatu waktu di suatu tempat. Kita harus menyadari betapa terbatas dan tidak berarti diri kita sebagai seorang manusia. Itulah kerendahan hati yang dimaksud Mandela.

Kedua, pemimpin yang besar tidak sombong. Mentalitas, sikap dan perilaku tidak sombong artinya tidak membangga-banggakan dirinya dengan alasan apapun.

“Satu definisi tentang kesombongan adalah harga diri yang berlebihan. Kesombongan demikian membuat seseorang secara tidak patut merasa dirinya paling penting dan paling unggul, barangkali karena kecantikan, ras, status sosial, bakat, atau kekayaan. (Yakobus 4:13-16)” < https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102007086>

Atau juga karena apa yang pernah ia lakukan dalam kehidupan dia, atau apa yang dicapai oleh dirinya, keluarganya, marganya, sukunya, bangsanya.

Perhatikan teladan Yesus. Sebelum datang ke bumi, ia adalah makhluk roh yang perkasa di surga. Dan sewaktu di bumi, ia sempurna, tanpa dosa. (Yohanes 17:5; 1 Petrus 2:21, 22) Ia memiliki kesanggupan, kecerdasan, dan pengetahuan yang tak tertandingi. Sekalipun demikian, ia tak pernah pamer tetapi tetap rendah hati. (Filipi 2:6) Ia bahkan mencuci kaki para rasul pada suatu peristiwa; dan ia memperlihatkan minat yang tulus kepada anak-anak kecil. (Lukas 18:15, 16; Yohanes 13:4, 5) Bahkan, sambil menempatkan seorang anak di sampingnya, Yesus berkata, ”Barang siapa merendahkan dirinya seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga.” (Matius 18:2-4) Ya, di mata Yesus—dan juga Bapaknya​—kebesaran sejati berasal dari kerendahan hati, bukan kesombongan.​—Yakobus 4:10. <Ibid.>

Ciri rendah hati yang ketiga ialah “tidak egois”, tidak egois secara individu maupun secara kelompok. Tidak egois artinya tidak mementingkan diri, status, kepentingan sendiri demi kepentingan orang orang lain atau kepentingan bersama. Ia punya kemampuan untuk “mengalahkan dirinya sendiri” dari ambisinya, hasratnya, niatnya dan bahkan kecanduan yang ada pada dirinya demi kepentingan bersama.

Kata “aku” (ego) tidak ada dalam kamus otaknya maupun kamus tutur-katanya. Kata “kami” juga hampir tidak ada. Yang ada ialah “kita” atau “kita sekalian”, secara bersama-sama, secara utuh, secara keseluruhan. Kalau jatuh kita bersama-sama, kalau bangun, juga kita secara bersama. Kalau gagal ataupun sukses, juga kita bersama-sama. Tidak perlu mencari kambing-hitam, tidak berusaha membenarkan dan menyalahkan satu sama-lain.

Yesus sebagai Sang Pencipta, Raja di atas Segala Raja, menanggalkan ke-Tuhanan-Nya, turun ke Bumi, menjadi seorang manusia, lahir sebagai seorang bayi, di kandang binatang, dibesarkan dalam keluarga tukang-kayu, dan untuk meletakkan kepala saja tidak punya tempat. Sang Pencipta langit dan Bumi menjadi terlantar, terhina, terbunuh di kayu salib. Ini penyangkalan diri yang total, teladan terbaik bagi setiap orang di manapun kita berada, yang mengaku diri bekerja untuk kepentingan umum, kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan sebagainya.

Manusia yang tidak egois akan merangkul semua pihak dan bersahabat dengan semua orang. Ia nyaris tidak punya musuh, selain egois itu sendiri sebagai musuh utamanya. Orang yang tidak egois sering menjadi “pemadam kebakaran” saat kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain saling bersentuhan dan terjadi interaksi tolak-menolak atau timbang-menimbang. Manusia yang tidak egois tidak akan pernah mencari-cari kesalahan-kesalahan dari orang lain, dari sesama pejuang, dari sesama umat manusia. Ia selalu menggali dan berusaha memupuk kesamaan-kesamaan dalam usaha mempuk kebersamaan.

Tiga ciri kerendahan hati ini terkait dengan “emosi” seseorang, secara emosional mengenal diri sebagai seorang manusia, tidak membangga-banggakan diri, dan menyangkal diri dengan berbagai asosiasinya. Ini semua terkait dengan sebuah “mental construct”, bangunan pikiran yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Nelson  Mandela memberikan saran yang jelas tentang dilema yang dialaminya saat dia berada di penjara, “Apakah harus mengikuti emosinya membenci dan memusuhi penguasa kulit putih dan menolak untuk berbicara dengan mereka, ataukah mengikuti pemikiran rasionalnya berbicara dengan mereka untuk menyelesaikan masalah yang  menimpa tanah leluhurnya?”

Dilema ini ia selesaikan dengan cara “merendahkan diri” dan memfokuskan diri kepada solusi yang tepat untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Dia keluar sebagai pemenang, walaupun ada berbagai pihak yang menganggapnya dia melakukan kompromi dengan penguasa tidak manusiawi.

Sesungguhnya  kekuatan seorang pemimpin ada pada kerendahan hatinya. Dengan kerendahan hati ia akan sanggup mengalahkan semua yang dianggap sulit dan tidak akan pernah terselesaikan. Dosa dan maut dikalahkan di kayu salib oleh kerendahan Yesus. Apartheid dikalahkah oleh penyangkalan diri Mandela. Siapa menyusul?

Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan

Adalah John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-36 yang dikenal dengan ungkapannya: “ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diperbuat oleh negara untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat anda kerjakan untuk negerimu). Hari ini saya Jhon Yonathan Kwano menyodorkan pernyataan ini: “Tanyakan apa yang harus saya lakukan saat Ini, di sini, bukan mengkritisi apa yang mereka belum lakukan atau tidak lakukan!”

Sejak orang Papua didatangi oleh bangsa-bangsa lain, orang Papua sudah mulai menjadi korban terutama karena waktu interaksi budaya asing dengan budaya Papua itu terjadi dengan begitu cepat, tak terantisipasi. Terjadilah sebuah “culture shock” yang cukup mengguncang eksistensi dan interaksi orang Papua dengan dirinya dan dengan dunianya, serta dengan sesamanya. Guncangan demi guncangan itu menjadi semakin dahsyat begitu diwarnai oleh pemikiran dan retorika politik modern.

Sebab kedua karena orang Papua sejak awal mulai belajar untuk mencari-tahu apa yang salah dan siapa yang salah kalau ada sesuatu terjadi terhadap dirinya secara pribadi maupun kolektif. Terutama sekali sejarah Belanda dan Indonesia masuk ke tanah Papua menjadi seperti sebuah virus mematikan logika sehat dan mentalitas membangun dari orang Papua. Hampir semua orang Papua tahu dan katakan seolah-olah Belanda sebagai sebuah negara penjajah adalah lebih baik daripada pemerintahan NKRI, yang dilihat sebagai penjajah neo-kolonial.

Dengan pandangan ini, orang Papua menjadi ahli menceritakan kebaikan-kebaikan Belanda, dan pakar juga dalam  menceritakan kejahatan, keburukan dan kekurangan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua. Kalau kita berpapasan, apalagi bertanya kepada orang Papua dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda tentang keberadaan orang Indonesia di Tanah Papua?” maka Anda tidak akan kehilangan bahan dan akal. Anda akan mendapatkan jawaban panjang-lebar, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun tidak akan kehabisan diceritakan tentang apa yang salah dengan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua, mulai dari sejarah, Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi, TNI, pemerintah, Polri, semuanya punya kesalahan di Tanah Papua, terhadap orang Papua dan tanah Papua.

Masalahnya bukan karena kesalahan-kesalahan itu tidak ada. Memang apa yang dikritik itu benar adanya, dan berulang-ulang terjadi sampai hari ini tanggal 29 Januari 2018. Masalahnya ialah bahwa lama-kelamaan, begitu makan tahun, setelah setengah abad kemudian perilaku ini menjadi semacam budaya Orang Asli Papua (OAP): yaitu budaya sering mengeluh dan sering menyalahkan. Yang dikeluhkan ialah sejarah West Papua masuk ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah sejarah Contract of Work (CoW) antara Freeport McMoran Copper & Gold Inc. dengan Suharto (bukan dengan NKRI). Yang disalahkan ialah Soekarno yang mencaplok Nederlandsch Niuew Guinea ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah kekejaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menyebabkan semua OAP pasti punya salah satu anggota keluarga yang sudah dibunuh NKRI. Yang disalahkan ialah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay (Ketua PDP) atas perintah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden NKRI yang dieksekusi oleh Komando Pasukan Khusus 9Kopassus) NKRI. Yang disalahkan ialah implementasi UU Otsus No.  21/2001 yang jauh dari harapan dan tujuan sebagaimana termaktub di dalam undang-undang Otsus dan aturan-aturan turunannya.

Semua yang dikeluhkan dan pihak-pihak yang disalahkan tak terbantahkan. Semuanya benar. Tetapi persoalannya ialah “Mengapa kok orang Papua senangnya mencari-tahu dan menunjukkan jari siapa yang bersalah atas tanah leluhurnya dan atas bangsanya.” Masalahnya ialah “Mengapa orang Papua selalu bermuka dan bernada suara kesal atas realitas kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di Tanah Papua?

Lalu kita bertanya, “Apa seharusnya kita lakukan agar kondisi ini tidak merusak dan memusnahkan bangsa Papua?

Jawabannya ialah “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan“. Jangan bicara banyak tentang apa yang salah dengan NKRI, apa yang benar dengan Belanda, apa yang salah dengan TNI/Polri, apa yang salah dengan Lukas Enembe, apa yang salah dengan Bupati ini dan itu, apa yang salah terkait dengan kondisi di Tanah Papua. Hentikan! Stop! Akhiri!

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri, kepada saya, kepada aku, kepada ego ini, “Apa yang harus saya lakukan saat ini?” Bukan apa yang saya gagal lakukan! Bukan juga apa yang saya harap bisa lakukan! Akan tetapi, apa yang dapat saya lakukan saat ini, di sini, saya sendiri.

Mengetahui dan membahas masalah bukan sebuah dosa. Itu sesuatu yang masuk akal. Tetapi mengharapkan orang yang bersalah untuk “bertobat” dan “mengaku dosa”, lalu “memperbaikinya” ialah sebuah kesalahan fatal. Ditambah lagi, mengeluh dan menceritakannya berulang-ulang di mana-mana ialah sebuah kebodohan yang mematikan diri kita sendiri.

Walaupun kelihatannys sederhana dan tidak ada artinya. Misalnya hanya berdoa saja di kamar tanpa orang melihat atau mendengar-mu sudah-lah cukup. Kalau itu yang dapat anda lakukan saat ini d sini, lakukanlah itu, daripada mengeluh dan menceritakan kesalahan-kesalahan orang lain. Kalau anda bisa memberikan sumbangan, berikanlah sumbangan untuk merubah kondisi yang ada di Tanah Papua.

Jangan berharap untuk menjadi gubernur, bupati, anggota parlemen baru melakukan hal-hal baik untuk tanah dan bangsamu. Jangan selalu mengharapkan orang lain berbuat sesuatu tetapi diri-mu sendiri menyangkal untuk berbuat dengan alasan tak punya jabatan, tak punya kuasa, dan sejenisnya.

Untuk merubah nasib bangsa dan tanah Papua tidak butuh gubernur, bupati, anggota dewan. Dia butuh Anda dan saya, orang-orang biasa, yang selalu berpikir dan bertanya, “Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini untuk tanah dan bangsaku?