Kerja, Kutukan atau Tujuan Hidup? Merusak Masa Depan Papua

Dulu orang pegunggan terkenal karena paling hebat kerja. Tapi sekarang budaya asli dan ajaran Firman mulai hilang walaupun orang bicara “mandiri” terus menurus. Di budaya dulu kalau laki laki belum tau bikin pagar, kebun, honai dan berburu dan berperang tidak mungkin dia bisa “mandiri” karena dia masi status anak, tukang minta minta….

Benjamin Wisley

Click di Sini untuk Video Lengkap

Prinsip “kerja” atau “bekerja” yang disampaikan di sini mengandung pemikiran konseptual, menggambarkan cara melihat apa yang kita lakukan dari sisi manfaat bagi peri kehidupan daripada sebatas manfaat ekonomi pribadi atau keluarga sendiri.

Aspek lain yang disinggung di sini ialah bekerja dan makan hasil keringat sendiri, bukan hasil tunggu-tunggu tiap bulan tanpa kerja apa-apa. Menjadi guru di Bokondini tetapi setiap hari tinggal di Jayapura, terima gaji dan habiskan gaji di Jayapura, misalnya.

Hal ketiga yang disinggung oleh pembicara di sini ialah slogan Papua Mandiri, bahwa Papua tidak bisa mandiri dengan paradigma berpikir sekarang, segala sesuatu harus dibantu oleh orang luar, oleh LSM luar, oleh gereja, oleh Pemerintah baru Papua bisa maju. Sementara pembicara sudah puluhan tahun berupaya mendidik dan membangun OAP untuk kemudian memimpin sekolah-sekolah yang didirikannya, tetapi beliau merasa ini gagal.

Katanya menurut rencana dulu ada 6 kampus yang mau dibangun, tetapi sebagian besar kampus saat ini tidak ada tenaga yang cukup dari OAP sendiri, terpaksa harus menyewa tenaga non-OAP dan bekerja di sekolah yang didirikannya, yaitu “Op Anggen”, yang dalam bahasa Indonesia artinya “Buah yang Baik”.

Penutup

Terlibat fokus pembicaraan di sini ialah bahwa orang gunung Papua yang dulunya terkenal rajin, ulet dan bertanggungjawab dan mampu mandiri itu tidak dapat diandalkan lagi.

Faktor pendidikan dan pengaruh dari luar dan faktor cara OAP sendiri menapis dan memilah dalam interaksi dengan dunia luar atau dengan perkembangan yang sedang terjadi menjadi faktor penentu.

Kalau seandainya OAP memiliki paradigma dan konsepsi tentang diri sendiri yang jelas dan mantap, maka apapun yang datang dari luar tidak akan merubah sendi-sendiri kehidupan, pola pikir dan konsep dasar kehidupan, sehingga interaksi oleh dunia luar tidak akan menghancurkan banyak, tetapi akan membantu meningkatkan dan memperkuat posisinya di dalam interaksi dimaksud.

Mari kita belajar dan terus belajar. Terutama belajar dari orang-orang yang telah berkarja di Tanah Papua dengan setulus hati, tanpa pamrih, dan bahkan yang mereka dapatkan ialah amarah, curiga dan caci-maki dari OAP sendiri.

Cari Nama Merusak Masa Depan Papua

Dalam Video ini salah satu orang Amerika Serikat yang sudah lama mengabdi di Tanah Papua, lebih mengabdi daripada orang yang menamakan diri OAP (Orang Asli Papua) dan lebih berdedikasi dan lebih menunjukkan kerja di lapangan di Tanah Papua, terutama sekali di pegunungan tengah.

Pendapat Pak Wisely tentang apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Papua saat ini, terutama selama 25 tahun belakangan perlu disimak dan dipelajari dalam rangka membangun “paradigma berpikir” dan “konsep” tentang diri sendiri dan tentang dunia semesta yang lebih baik, lebih jelas, lebih obyektif dan lebih komprehensif menyeluruh sehingga konsep tentang diri kita menjadi lebih utuh dan lebih membantu kita dalam mengembangkan diri ke depan.

Dengarkan Kesan Pesan Pak Wisely di sini

Menurutnya pengalaman pribadi Pak Wisely dengan nyata beliau melihat pertama-tama perubahan perilaku OAP begitu cepat, dulunya OAP selalu tersenyum, selalu ramah, selalu menerima sesama, sekarang OAP menjadi muka murah, penuh dengan curiga, penuh dengan dendam dan selalu berusaha untuk menyalahkan dan bersaing dengan orang lain dengan cara menghalang-halangi apa yang dikerjakan oleh sesama.

Dengan kata lain persaingan yang terjadi di Tanah Papua sangat tidak sehat.

Pak Wisely melihat masing-masing Bupati, Gubernur dan semua pejabat pemerintahan dan politik sedang “cari nama” sehingga dengan mudah mereka mengorbankan kepentingan-kepentingan umum. Masing-masing pihak berusaha membangun reputasi mereka sehingga mereka tidak perduli dan bahkan menghalangi apa yang dikerjakan oleh orang lain.

Kesimpulan

Kalau mau berbuat untuk Tanah dan bangsa Papua, berbuatlah tanpa pamrih, tidak usah mengharapkan pujian dari siapapun. Berbuatlah dengan sepenuh hati.

Kalau mau berbuat untuk tanah dan bangsa Papua, jangan dengan cara menghalang-halangi atau membatasi atau merusak apa yang dikerjakan oleh orang lain, atau bangsa lain.

Kita harus berlajar menerima setiap orang dengan kelebihan dan kekurangannya dan kita harus berani menerima apa saja yang dikerjakan oleh orang lain dan harus berani mengakui karya-karya, serta mendukung masing-masing menurut fungsi, peran, jabatan dan kelebihan serta kekurangan yang kita miliki.

Karena pada dasarnya manusia itu terbatas, terbatas dari berbagai sisi.

Orang Papua Lebih Sibuk Urus Pendudukan NKRI, tetapi Bermesraan Dengan “Alcoholism” yang Lebih Menjajah

Saya termasuk “korban” yang sudah dapat mengkleim diri “merdeka” sebagian besar dari “alcoholism”. Pendudukan pikiran dan jiwa, penjajahan mental dan psikologis yang dilakukan oleh “Alkohol”, termasuk perusahan rumah tangga sama-sekali tidak pernah dilawan oleh bangsa Papua. Ini menjadi renungan saya ketika kita bangsa Papua ramai-ramai memeriahkan kemerdekaan Negara West Papua 1 Desember 2018 ini. Semua Orang Asli Papua (OAP), tidak perduli mereka yang turun berdemo di jalan raya atau mereka yang berkantor di provinsi, kabupaten, kota, distrik dan bahkan mereka yang ada di Gedung DPR RI dan Istana Presiden Indonesia sekali-pun, semua OAP punya suara nurani, yang mengatakan “1 Desember adalah HUT Kemerdekaan-mu”

OAP merasa bahwa ketika Nieuw Guinea Raad atau Dewan New Guinea atau KNPB versi 1960-an mengumumkan Manifesto Politik 1961, maka itu merupakan Deklarasi Kemerdekaan. Itu yang dipercaya sampai dirayakan setiap tahun sejak 1 Desember 2000. Tahun-tahun sebelum itu yang diperingati sebagai HUT Kemerdekaan Negara Republik West Papua ialah 1 Juli 1971.

Antara Merdeka dari Indonesia dan Merdeka dari Alkoholisme, mana yang lebih pnting?

Kalau saya ditanya hari ini, saya harus terus-terang bahwa kemerdekaan dari Alcoholism adalah yang fundamental dan haruslah menjadi pengalaman pribadi lepas pribadi OAP. Dan karena itu kalau ada OAP yang masih menjadi budak Miras atau minuman beralkohol, maka sebaiknya dia harus berupaya mengalahkan alkoholisme dulu sebelum berjuang secara politik.

Kalau kita keliling dunia dan menyaksikan dinamika kehidupan bangsa-bangsa di muka Bumi, dengan mudah kita akan temukan dan tidak perlu studi mendalam untuk membuktikan bahwa semua bangsa yang pernah dijajah, dan sedang dijajah, serta meminjam kata Dr. Benny Giay, bangsa yang “memenuhi syarat untuk dijajah” ialah bangsa-bangsa yang “suka dengan alkohol” atau alkoholik, atau bangsa-bangsa yang dijajah dan diperbudak oleh minuman keras.

Bangsa yang merdeka dari alkoholisme seperti orang Jawa, orang Sulawesi, orang Singapore, orang Thailand, orang Bali, orang Vanuatu, orang China dapat dengan mudah kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang bermental budak seperti yang kita tahu di pulau New Guinea: West Papua dan Papua New Guinea, Irlandia, Aboriginal Australia, American Indian dan rata-rata ras Afrika di Benua Hitam. Perbudakan oleh Alkoholisme tidak didasarkan pada ras atau kulit, tetapi didasarkan pada pertahanan pribadi secara individua ataupun secara kelompok suku-bangsa dan ras dalam mengatakan “TIDAK” kepada alkoholisme.

Dari pimpinan pusat di pulau New Guinea sampai negara-negara di Afrika dan Caribbean dapat kita lihat dengan jelas kita di tempat-tempat ini masih bermental budak, masih berpikiran negatif dalam banyak hal, masih selalu mengeluh, masih selalu menyalahkan orang lain atas apa-apa saja menimpa diri kita pribadi atau suku, bangsa, ras kita.

Merdeka yang sesungguhnya

Merdeka yang sesungguhnya ialah merdeka dari hal-hal yang bersifat membelenggu nafsu dan ke-pribadi-an kita, setelah itu, dapat kita melawan dan memenangkan perjuangan menentang hal-hal yang bersifat sosial, politik, hukum dan ekonomi. Akan tetapi bilamana mentalitas, kepribadian, kelemahan yang melekat pada diri kita masih membelenggu kita, mana bisa kita melangkah jauh, menjadi manusia merdeka, maju dan modern?

[Ada banyak aspek lain juga ditulis terkait revolusi mental dalam blog ini]

Alkoholisme sudah merusak banyak keluarga dan nyawa orang

Banyak OAP mati terbunuh lewat tabrakan, saling membunuh, dan mati mendadak disebabkan oleh Miras. Banyak keluarga OAP punya pengalaman atau paling tidak mengetahui ada OAP meninggal setelah miras.Banyak anak-anak Papua menyaksikan orang tua mereka bertengkar dan berkelahi setelah ayah atau ibu mereka mabuk terkena miras. Banyak anak-anak Papua punya pengalaman berkehali atau menonoton perkelahian akibat Miras. Tidak begitu di pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali atua Sumatera. Jarang anak-anak menyaksikan orang tua mabuk dan bertengkar, berkelahi dan sejenisnya.

Gubernur Lukas Enemeb mengumumkan Pakta Integritas tentang Larangan Miras karena beliau mengetahui persis bahwa di Tanah Papua banyak rumah tangga hancur, bercerai-berai, banyak kekerasan rumah-tangga terjadi, banyak keluarga melarat, walaupun orang tua pegawai negeri atau swasta, banyak keluarga kelihatan miskin, karena kebanyakan uang yang diambil dihabiskan dengan Minuman beralkohol yang memabukkan.

Dampak ikutannya, banyak keluarga terkena HIV/AIDS karena para OAP yang sudah mabuk bersetubuh dengan orang-orang lain yang sudah terkena penyakit, seks bebas setelah miras menyebabkan penyebaran virus HIV/AIDS menjadi liar dan tidak terkendali. Banyak OAP hancur karena ini.

Penutup

Kami serukan kepada semua OAP di mana-pun Anda berada, mari kita hentikan kebiasaan-kebiasaan negatif, yang berasal dari bangsa, ras, sumber luar, yang telah membelenggu kepribadian kita, yang merusak masa depan kita.

Kita OAP harus malu, setiap kelemahan, setiap kekurangan, setiap masalah di Tanah Papua kita salahkan kepada NKRI dan orang Indonesia. Kita harus malu, kita rayakan HUT Papua Merdeka 1 Desember dan 1 Juli, tetapi kita sendiri manusia-manusia bermental budak dan diperbudak oleh alkoholisme dari keturunan ke keturunan.

Kita OAP harus berjuang merdeka dari alkoholisme dulu, sebelum bicara tentang jenis-jenis merdeka yang lain.

Kalau tidak, dunia ini akan terlibat seperti serba menentang kita. Karena alkoholisme akan membuat kita melihat dunia ini up-side down, dan inside-out.

Alkohol adalah MUSUH bebuyutan kita bersama. Alkohol lebih menjajah, lebih merusak, lebih membunuh kita sejak dulu sampai sekarang. Alkohol adalah minuman yang dapat dengan mudah kita kalahkan, tetapi selama ini selalu mengalahkan kita.

KATAKAN “T   I   D   A   K”,  TOLAK kepada MIRAS!

Ingat Ungkapan Ini: “Saluran Independen dan Terpercaya!” ?

Ingat unagkapan ini membuat saya rasa mual

Bayngkan saja, setiap kali anda bertemu dengan temanmu, selalu dia sambut Anda dengan kata-kata seperti ini, “Selamat…., saya temanmu, yang jujur dan terpercaya. Saya sapa kamu, Selamat pagi”.

Reaksi yang paling mungkin secara normal ialah, “Ada kelainan dengan temanku ini”.  Soalnya sewaktu menyalami sudah megnaku diri ini dan itu. Jujur, independnt, terpercaya.

Artinya Apa?

Jujur artinya apa yang disiarkan itu tidak ada bias kepentingan apapun. Apa yang terjadi itu-lah yang disiarkan.

Independen artinya tidak tergantung kepada atau tidak menggantung siapa-pun. Berdiri sendiri. Tidak memihak. Secara awam kita sebut tidak cari muka.

Terpercaya artinya apa yang disiarkan harus dipercaya oleh pendengar, sebab tidak ada ketidak-benaran di sini. Kami sampaikan 100% kebenaran. Dibandingkan dengan pihak lain, kami yangada di puncak kepemimpinan dari sisi kebenaran berita. Karena itu kami-lah yang terpercaya.

Catatan Kami

Sudah umum diakui bahwa orang, teman, atau siapa saja yang selalu “mengaku diri” paling jujur dan paling independen dan paling benar adalah pihak yang pertama-tama harus disangsikan kredibilitasnya.

Pencuri tidak akan mengaku pencuri! Perampok juga sama! Orang benar tidak perlu mengaku “Saya orang benar!” Demikian juga orang jujur, orang benar, orang independent. Tidak usah kita akui, karena yang menilai kita bukan diri kita sendiri, tetapi mereka yang mendengar, mengenal, melihat kita.

Begtu kan?

 

Dunia ini adalah Ciptaan mu sendiri, baik, tidak baik, enak, tidak enak, semuanya.... Tugasku dan tugasmu bukan menjadi penyidik, pemeriksa, penilai, apalagi hakim dan jaksa atasnya, tetapi menjadi penonton setia, yang, menyaksikannya datang dan pergi, tanpa anda dan saya buat apa-apapun, berpikir-pun tidak.

You are in What You Think You Are…So Let it Flow…

Postitive Thinking, Possibility Thinking dan Potential Thinking

Positive Thinking (Norman Vincent Peale), Possibility Thinking (Robert Harold Schuller), Potential Thinking (Stephen Tong)

Banyak orang sudah sering, sayapun sering, berpikir, bicara dan menulis tentang “berpikir positif”. Beberapa waktu lalu saya tulis di blog ini dengan judul ““Positive Thinking” Menurut Saya Tidak Sekedar Berpikir Positif, Tetapi…  Terkait dengan itu ada artikel lain “Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam Wikipedia, the free encylopedia tertulis “Norman Vincent Peale (May 31, 1898 – December 24, 1993) was an American minister and author known for his work in popularizing the concept of positive thinking”, (ia seorang hamba Tuhan dan penulis atas apa yang dikerjakannya dalam mempopulerkan konsep berpikir positif.”

Tiga Sekolah Pemikiran ini saya perlu dalami, terutama untuk pribadi, apa yang mereka maksudkan dan bagaimana saya bisa memanfaatkan ketiganya untuk mencapai idealosie saya sebagai enterpreneur Orang Asli Papua (OAP), yaitu “Menjadi kayaraya di tanah leluhur yang sudah terkenal di dunia sebagai surga kecil yang jatuh ke Bumi”

Positive Thinking – Possibility Thinking

Dalam artikel ini, Guru “Gurprriet Siingh” mengatakan orang yang berpikiran positif akan mencari  kemungkinan-kemungkinan untuk keluar dari keadaan sekarang kalau ada masalah yang dihadapi. Dengan kata lain, kalau ada masalah menimpa negeri, atau pribadi, maka para pemikir positif tidak akan duduk memikirkan dan mengeluh, apalagi menyalahkan dan mengkambing-hitamkan lalu menghakimi apa yang salah dan siapa yang salah. Tetapi mereka akan selalu memikirkan permasalahan itu sebagai kesempatan, dan dari kesempatan itu akan memikirkan kemungkinan untuk memanfaatkan kondisi yang ada.

Guru Siing juga katakan “possibility thinking” adalah TINDAKAN yang diambil dari pemikiran positif, apa yang dilakukan berdasarkan pemikiran masalah sebagai pelung tadi.

“It is only after “There has to be a way to make money even in this situation” (which is a positive thought)”,artinya hanya setelah berpikir, “Pasti ada cara untuk menghasilkan uang dalam siatusi ini” (yaitu pemikiran positif). lalu ada langkah berikut, yaitu kemungkinan-kemungkinan langkah untuk mewujudkan pemikiran positif bahwa situasi ini berpeluang dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.

Dalam artikel ini, disimpulkan sebagai berikut

So positive thinking really is about not giving up mentally. About continuing to believe that there are opportunities.

WHEREAS

Possibility Thinking is about finding those opportunities. Taking action. Moving towards.

Jadi, “positive thinking” sesungguhnya menyangkut tidak menyerah secara mental. Tentang terus percaya bahwa ada peluang-peluang tersedia.

SEDANGKAN

“Possibility Thinking berhubungan dengan menemukan peluang-peluang dimaksud. Mengambil langka. Bergerak maju.

Positive Thinking, Possibility Thinking and Potential Thinking

Dalam positive thinking kita meyakini pasti ada solusi, dan solusi itu potensial atau berpeluang mendatangkan keuntungan. Potensi itu diwujudkan dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan (possibility) dan langkah-langkah yang ditempuh sebagai tindakan untuk mewujudkan pemikiran yang positif terhadpa kondisi, yaitu potensi yang kita lihat dari keadaan.

Kelihatannya ketiga sekolah pemikiran ini secara leterlek berbera, dari sisi makna kelihataan mirip tetapi tidak sama, dan dari sisi praktek aplikasinya mereka hadir sebagai tahapan dari satu paket yang sama. Orang yang ebrpikiran positif pasti memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan pemikiran tentang kemungkinan itu dalam rangka mencari potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi dan melewati kondisi apapun yang menghadapi kita, atau kondisi apapun yang kita hadapi.

Tips Sederhana Mengatasi Pemikiran Negatif

Menurut GrandMaster Mantak Chia, Universal Healing Tao System mengajarkan hal-hal sederhana untuk menyeimbangkan energi negativ menjadi energi positiv. Satu tips untuk menetralisir ialah dengan satu kata satu perbuatan, “Senyum”

Hmmmm, benar?

Ya, benar, senyumlah kepada pemikiran itu. Senyumlah kepada masalah itu. Senyumlah kepada dirimu sendiri. Senyumlah kepada bayang-bayang itu. Senyumlah kepada orang yang tidak senang kepada Anda. Senyumlah kepada orang atau situasi yang Anda tidak senangi! Senyum! Senyum!, ya Senyum! saja.

Anda tidak tahu senyum? Ayooo…. STOP BACA! Coba senyum! Satu, dua, tida, “ya, Senyum…..”, tahan senyum mu itu selama beberapa detik, bila perlu 1 menit.

Anda tahu hukum alam ini, “Give – take”, “beri-terima”, bukan? Saat Anda memberi senyum, anda juga secara otomatis, tanpa harus minta, Anda menerima senyum.

GrandMaster saya, Mantak Chia selalu katakan, “Give, and you will receive!” Berilah senyum, maka akan Anda terima senyum. Senyumlah atas apa-pun yang menghadang. Apapun itu, bagaimanapun itu, siapapun itu, akan senyum balik.

Penutup

Aklhirnya saya harus tiba kepada ungkapan sederhana, terutama di tengah-tengah masyarakat di pulau Jawa, “Saya sih, ngalir aja!” Ungkapan ini mengandung ketiga sekolah pemikiran di atas. Saya selalu merujuk kepada perilaku manusia-manusia keturunan dan budaya China, yang terlihat jels kesibukan mereka ialah “mecari jalan keluar”, mereka tidak pernah sibuk dengan masalah.

China menyarkan berita-berita dan kampanye-kampanye tentang bahaya dan kelakuan China, balasannya “China sih ngalir aja”. Sama saja kami di Tanah Papua, OAP (Orang Asli Papua sibuknya duduk gosip, mencaci-memaki, menyesali, dan hal-hal tidak beguna, manusia Jawa, Makassar, Batak,, Toraja, mereka datang “ngalir”, jadi mereka ngalir sampai jauh, sejauh dapat ngalir.

Orang yang biasanya “ngalir” dijamin berumur panjang, dijamin kaya-raya, dijamin awet muda, dijamin bahagia.

Ah, saya mau…! Ayo… monggo… sami-sami

“Positive Thinking” Menurut Saya Tidak Sekedar Berpikir Positif, Tetapi…

Tetapi pertama-tama, jauh sebelum “berpikir positif” kita harus dengan sadar dan bila perlu harus memaksakan diri untuk “tidak melihat semua hal dari sisi negatif“. Dengan cara pertama-tama menghindarkan diri dari melihat hal-hal dari sisi negatif, maka kita sebenarnya sudah memungkinkan diri untuk melihat semua hal dari sisi positif. Dengan melihat semua hal dari sisi positif, maka kita akan berpikir positif.

Melihat sesuatu hal, mendengar sesuatu hal, mencium sesuatu hal, biarpun kelihatannya tidak baik, biarpun kedengarannya tidak bagus, biarpun baunya tidak sedap, kita harus belajar untuk tidak bertanya dalam pikiran

  • Apa yang salah?

dan

  • Siapa yang salah?

Sebagai penggantinya, kita harus bertanya

  • Apa artinya buat saya?
  • Apa yang harus saya lakukan terhadap ini untuk mendatangkan keuntungan buat saya?

Keuntungan apapun: rohani, jasmani, ekonomi, politik, …..apa saja.

Berpikir positif tidak berarti dengan emmbabi-buta melihat semua hal sebagai baik dan diterima. Berpikir positif menurut saya berarti selalu melihat semua hal dari sisi pelajaran yang dapat kita petik untuk dijadikan bahan pelajaran dalam melangkah ke depan. Kita tidak dapat mengatakan sebuah “bau busuk” sebagai “bau harum”, atau sebuah “kerugian” sebagai “keuntungan” atau sebuah “pencurian/ pembunuhan” sebagai sesuatu yang baik. Semuanya kita tempatkan kepada porsinya masing-masing.

Tetapi intinya kita tidak hanyut dan terus tenggelam ke dapam hal-hal yang kita lihat sebagai masalah, bau tidak baik, kendengaran salah, kelihatan salah, dan sebagainya.

Berpikir positif menurut saya dalam versi budaya Jawa kita kenal istilah “Ngalir saja!!”

***

Kebiasaan beberapa budaya masyarakat tradisional di dunia sering terbalik. Sudah sering masyarakat adat mengkritik dan memarahi hal-hal yang dianggap salah. Tetapi giliran ada hal-hal yang baik dan benar, tidak pernah dipuji dan jarang disyukuri. Dengan cara berpikir dan budaya seperti ini, maka lahirlah generasi terdidik modern yang setiap saat melihat apa saja selalu secara otomatis melihatnya dari sisi negatif, dari sisi kelemahan, dari sisi kesalahan, dan berpikir selalu untuk mengkritik apa saja yang dianggapnya salah, kurang baik, salah dan sebagainya.

Tentu saja, berpikir positif tidak membabi-buta, tetapi yang terpenting berpikiran negatif setiap saat adalah penyakit yang harus dihindari manusia siapa saja yang ingin maju dan menang dalam perjuangan hidup ini.

“Fear Factor”: Mentalitas Budak, Pertanda Orang Tidak Tahu Diri

“Fear Factor” adalah judul sebuah permainan di Televisi, yang menguji nyali para peserta dalam permainan. Saya tidak bermaksud itu.

Yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah hubungan antara manusia bermentalitas budak dan “rasa takut” atau faktor ketakutan biasanya berhubungan erat. Dengan kata lain, manusia di dunia memiliki rasa takut, takut apa saja, adalah pertanda dia memiliki bibit-bibit mental budak.

Katakanlah takut api, takut gelap, takut naik pesawat, takut lihat tentara, takut lihat polisi, takut bicara kebenaran, takut mengungkapkan apa adanya, takut bicara. Semua rasa takut ini saya sebut sebagai “faktor ketakutan” yang merupakan pertanda orang tidak tahu diri. Orang tidak tahu diri karena dia tidak punya identitas, karena identitas dia ditentukan oleh tuan-nya, dia hanyalah seorang hamba, seorang budak yang tidak punya identifikasi dan identitas diri sendiri.

Di dunia modern, rasa takut bisa dikategorikan ke dalam “phobia” dan “trauma”. Dan pendekatan yang digunakan ialah lewat analisis dan terapi psikologis, hipno-terapis, psiko-terapis, psikologi transformasional, dan banyak cabang ilmu psikologi yang dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi yang dikembangkan di Eropa.

Intinya mereka katakan apa saja yang kita rasakan hari ini bisa berasal dari segala hal yang kita alami pada masa-masa ini:

  1. Diwariskan dalam DNA dari ayah-buda, dan dari nenek-moyang kita, sehingga kondisi psikologis kita adalah warisan orang tua dan nenek-moyang, terekam dan tercatat dalam DNA kita.
  2. Kita warisi dalam hidup kita sendiri, dari apa yang pernah kita lakukan sebelum kita lahir. Ada lagi yang percaya teori inkarnasi, sehingga mereka katakan apa yang ada hari ini adalah warisan dari apa yang kita miliki sebelum kita berinkarnasi sebagai “self” hari ini.
  3. Kita warisi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak di dalam kandungan, dan terutama di waktu kita dilahirkan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit kita lahir ke Bumi. Saya sudah sebutkan dalam artikel dalam blog lain “Breathwork dan Trauma Saat Kelahiran di Tumah Bersalin (Rumah Sakit)
  4. Apa yang kita alami sepanjang kita hidup juga bisa menjadi penyebab kita menjadi penakut, rakut lahir, takut hidup, takut mati, takut dalam banyak hal dalam hidup ini.

Fear Factor dan OAP

Saya secara khusus tertarik  bicara kita orang Papua karena “rasa takut” ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Papua.

  1. Pertama, semua orang Papua, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pokoknya semua orang Papua memiliki “rasa takut tanpa alasan terhadap orang Amberi“, yang dalam bahasa politik disebut orang pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT yang meraja-lela di Tanah Papua. Saya pernah bertanya kepada diri sendiri, “Apa alasan rasa takut ini?” Seara logika sebenarnya tidak ada alasan, tidak dapat saya sebutkan dengan mudah. Saya bisa sebutkan interpretasi apa artinya rasa takut itu, tetapi secara serta-merta saya tidak sanggup menyebutkan penyebab rasa takut itu. Saya harus mengaku, rasa takut itu baru hilang pada tahun 2017 lalu.

    Saya harus terus-terang kasih tahu, siapa-pun kita orang Papua, kita Gubernur, Bupati, Anggota atau Ketua Dewan, Anggota TNI atau Polri, apapun pekerjaan kita, kita orang Barisan Merah Putih atau Barisan Bintang Kejora, pengusaha atau petani atau berburu di hutan, guru atau Pendeta, Haji, Kristen, Islam, kita semua sebagai orang Papua, pasti memiliki “rasa takut tanpa alasan” ini terhadap orang Pendatang.

  2. Kedua, semua orang Papua memiliki rasa takut terhadap TNI dan Poliri. Walaupun kita sendiri tentara, kita sendiri anggota Polri, atau mungkin komandan di dalam satu pleton sekalipun, entah kita pejabat yang selalu mendapatkan pengawalan siang-malam, atau kita yang hidup tanpa sentuhan TNI/Polri di hutan-hutan dan kampung-kampung, “rasa takut terhadap TNI dan Poliri selalu hadir dan ada“Semua orang Papua tahu, mendengar cerita dari berita maupun dari teman, tetangga dan kerabat sendiri, bahkan banyak yang mengalami sendiri, di mana anggota TNI dan Polri pernah membentak, memaki, menakut-nakuti, menangkap semena-mena, memukul, memenjarakan, bahkan membunuh sesama orang Papua. Sampai hari ini berita-berita itu terus tersiar dan dibaca, didengar oleh orang Papua. Memang ada bervariasi kadar dan frekuensinya, tetapi “rasa takut terhadap aparat TNI/Polri itu tetap ada, pasti ada, dan dia ada di semua lapisan masyarakat orang Papua. Bahkan anggota TNI/Polri orang Papua-pun pasti punya rasa takut ini.
  3. Semua manusia punya rasa takut karena rasa takut adalah emosi yang normal. Malahan kita harus mempertanyakan manusia yang tidak punya rasa takut sebagai manusia abnormal, di luar kebiasaan manusia. Orang tidak takut kita bisa sebut dengan mudah sebagai “orang gila”.Akan tetapi, ada orang yang tidak punya rasa takut, bukan karena mereka gila, tetapi mereka abnormal secara positif, yang orang yang telah menghadapi dan mengalahkan “rasa takut” itu sendiri.

Langkah Saya untuk Mengalahkan “Fear Factor”

Saya tidak bicara atas dasar imaginasi atau harapan atau setelah membaca buku psikologi tentang rasa takut dan membeli obat pil untuk menghilangkan rasa takut, tetapi saya bicara dari pengalaman saya pribadi, sepanjang setengah abad hidup saya, bahwa “rasa takut” dapat dihilangkan, atau lebih tepat “dapat dikalahkan”. Dan kedua bahwa menghilangkan rasa takut tidak berarti menjadi gila, tetapi menjadi tercerahkan dan terbarukan.

  1. Langkah pertama, seperti anda sudah bayangkan, adalah “mengakui secara jujur” bahwa saya benar-benar memiliki “rasa takut” dalam diri saya sendiri. Dan bahwa “rasa takut” saya itu tidak rasional, karena itu saya tidak dapat memetakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya rasakan dan mengapa saya merasakannya, apalagi bagaimana menyelesaikannya.
  2. Langkah kedua, mengambil sikap dan keputusan untuk berupaya dan memastikan harus mengalahkan rasa takut dimaksud. Banyak orang mengakui atau menyadari atau merasakan ada rasa takut di dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mamu mengakui, apalagi tidak punya sikap untuk mengalahkannya, dan karena itu tidak ada usaha untuk mengalahkannya.
  3. Ketiga, ada sejumlah usaha yang dapat kita lakukan, yang harus kita pilih untuk membawa diri keluar dari kandang atau penjara atau kurungan “rasa takut”.
    1. Pengalaman saya adalah pertama-tama saya melakukan “Inner Smile” secara teratur membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Bukti pertama dan utama yang saya alami ialah rasa takut untuk terbang dengan pesawat, langsung serta-merta hilang total. Sudah banyak tiket penerbangan dengan total biaya ratusan juta saya rugi karena sering membatalkan penerbangan. Sekarang penerbangan sampai ke bulan-pun saya siap.
    2. Pengalaman kedua saya ialah melakukan meditasi dan doa-doa. Saya beragama Kristen secara keturunan sejak ayah-ibu saya, jadi saya berdoa menurut agama Kristen. Kita berdoa tidak sekedar sebagai seorang hamba memohon dan meminta, tetapi menjadikan Tuhan sebagai kerabat, sahabat dan pelindung yang siap membantu. Bukan menjadikan Dia sebagai pembantu tetapi sebagai pelindung dan penolong yang sejati. Pergi ke geraja dan pulang, menghadiri ibadah secara ritual biasa tidak sama dengan memandang Tuhan sebagai pelindung dan teman sejati.

      Dalam meditasi dan doa, ada banyak hal terjadi. Contohnya menurut  Muktananda dalam bukunya “Play of Consciousness” by Swami Muktananda, b.1908, South India mengatakan dunia ini hanyalah sebuah ilusi, sebuah gambaran dari apa yang ada sesungguhnya di dalam tubuh, di dalma badan kita. Oleh karena itu, kita harus bermeditasi sampai ke dalam sum-sum dan unsur-unsur kehidupan kita, sampai kepada titik “maut”. Sama dengan Yesus disalibkan dan mati, lalu bangkit dari antara orang mati, demikianlah seharusnya kita bermeditasi dan akhirnya mematikan semua yang bersifat duniawi, dan bangkit mengalahkan maut. Dengan demikian kita menjadi “merdeka”, dan dengan demikian rasa takut “lenyap”.

    3. Yang ketiga ialah menghadiri dan mempratekkan Breathwork. Perihal breathwork ini sudah banyak saya kisahkan dalam www.kisah.us (Kisah ku-Kisah mu, Kisah Kita Semua).
    4. Kalau Anda punya uang, tentu saja saya tidak, maka saya sarankan Anda mengikuti terapi psikologis, terutama Transformational Psychology secara rutin untuk keluar dari rasa takut. Pendekatan lain yang malah mengurangi pengeluaran uang ialah banyak berdoa dan berpuasa karena berdoa dan berpuasa sudah terbukti di seluruh dunia dalam sejarah semua manusia bahwa doa-puasa memiliki kekuatan pembebasan yang sangat besar.

Catatan Penutup: Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Membantu Kita Bebas dari “Rasa Takut”

Sebanarnya saya harus katakan, bukan dari “rasa takut” saja, tetapi dari semua emosi-emosi negatif yang ada dalam tubuh kita dapat kita hilangkan, dan menjadi sehat.

Saya sudah belajar selama beberapa lama dengan GrandMaster Mantak Chia dan sekarang saya adalah Associate Instructor dari Universal Healing Tao System  yang saat ini berada di Indonesia dan Melanesia. Saya dapat memberikan workshop untuk kelompok Tahanan Politik, Polisi, Tentara, Pejabat Pemerintah, Mahasiswa, Ibu dan Anak, Lelaki, Perempuan, Tua, mua, di manapun Anda berada di seluruh Indonesia dan Melanesia.

Saya juga adalah Fasilitator dari Breath of Bliss setelah menyelesaikan pendidikan untuk fasilitator. Saya bisa memfasilitasi kegiatan Breathwork di mana saja.

Breathwork yang saya kembangkan didasarkan atas tarian adat dan ritual bangsa Papua dikombinasi dengan musik tradisional, popular Papua dan musik modern lainnya.

Info lebih lanjut: info@healingjourney.love

Honai Rumah Tradisional dan Pusat Pendidikan Mental

Kita harus akui dengan jujur dan terbuka bahwa semua anak-anak Papua yang pernah dibesarkan / bertumbuh di dalam konteks “Honai Adat” dan anak-anak yang lahir dan bertumbuh TANPA “honai adat” kalau kita bandingkan keduanya sama-sekali menjadi dua suku-bangsa yang berbeda.

Walaupun secara fisik sama, secara mental dan rohani sama sekali berbeda, bahkan banyak yang bertolak-belakang.

  1. http://shantywetapo.blogspot.co.id/2015/07/rumah-adat-lembah-baliem.html
  2. https://limbarup.wordpress.com/2016/09/20/rumah-adat-honai-asal-daerah-wamena-papua/

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.