Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam dua artikel sebelumnya, saya Jhon Yonathan Kwano bersaksi tentang apa yang saya dengar dari Nelson Mandela, salah satu manusia hebat yang pernah hadir di muka Bumi berbicara tentang “kerandahan hati” sebagai tanda kebesaran seorang pemimpin dunia. Saya juga sudah menyampaikan isi hati tentang betapa orang Papua berharap kepada Jakarta untuk berbuat banyak hal, sementara orang Papua itu sendiri duduk murung, selalu mencaritahu kesalahan dan mengeluh Jakarta tidak buat ini dan Jakarta tidak buat itu.

Adalah Deepak Chopra, seorang yang berbicara dalam bukunya “Seven Spiritual Laws of Success: A Practial Guide to the Fulfillment of Your Dreams” (Amber-Alen Publishing, 1994) bahwa hukum pertama yang harus diperhatikan ialah hukum tentang “ego”. Huku pertama ialah “Pure Potentiality” (Potensialitas Murni), yaitu bahwa

  • sumber penciptaan semuanya adalah kemurnian
  • kesadaraan… ialah murni
  • ekspresi dari yang tidak termanifestasi ke manifestasi adalah murni
  • ketika ita menyadari bahwa kebenaran eksistensi kita adalah satu” potensialitas, lalu dihubungkan dengan potensialitas jagatraya

maka inilah yang dimaksud dengan “potensialitas murni”.

Pertama, kami hadir ke bumi sebagai seorang insan manusia, kita sadar kita ada, kita hadir ke dalam diri kita, keluarga kita, marga, suku, bangsa kita, sebagai manusia, sebagai orang terpelajar, sebagai pejabat, sebagai petani, sebagai orang beragama, sebagai orang adat, apapun juga yang dapat kita sadari saat ini. Kesadar ini, kesadaran tentang kehadiran dan ketidak-hadiran, keadaan dan ketidak-adaan ini merupakan sebuah intisari kerohanian kita.

Itulah kehidupan yang bersahaja, sederhana dan bahagia.

Dengan kesadaran-kesaradan atas fakta absolut ini, maka seorang manusia menjadi manusia sejati, manusia tanpa embel-embel, manusia tanpa asosiasi, manusia murni, murni sebagai manusia, hanya sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kita menyadari diri kita murni seorang manusia, maka dengan demikian kita menjadi manusia murni. Nelson Mandela menyebutnya manusia yang “rendah hati”, yang menyadari dirinya sesungguh-nya hanyalah manusia, lahir, hidup, besar, tua, mati. Tidak lebih dari itu.

Inilah kesadaran “Self”, kesadaran akan diri sendiri (self-referal). Ada kesadaran lain, yang saya sebut di atas sebagai kesadaran dengan embel-embel: (1) sosial, (2) budaya, (3) pendidikan, (4) jabatan, (5) pangkat, (6) status ekonomi dan kekayaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini disebut “self-referal” oleh Deepak Chopra (ibid.14)

Self-referral means that our internal reference point to our own spirit, and not the objects of our experience. The opposite of self-referral is object-referral. In the object-referral, we are always influenced by objects outside the Self. Our thinking and our behaviour are always in anticipation of a response, it is therefore, fear-based.

[Terjemahan: “Self-referral berarti bahwa referensi internal kita ditujukan kepada roh kita, dan tidak kepada obyek lain dari pengalaman kita. Lawannya daripada self-referral adalah “object-referral”. Dalam “object-referral”, kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut]
  • Apakah anda pernah merasa bahwa tanpa Anda dunia ini akan runtuh berantakan?
  • Apakah Anda pernah merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha yang selama ini Anda bangun akan rugi besar?
  • Pernahkan Anda temukan diri bahwa tanpa Anda semuanya tidak pernah akan terjadi seperti yang sudah terjadi?
  • Pernahkan Anda merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha apapun yang dilakukan orang lain tidak akan berhasil?
  • Pernahkan Anda lakukan sesuatu karena rasa takut pesaing Anda akan menang, karena orang lain sedang melakukan sesuatu yang bisa merugikan usaha Anda, karena Anda menonton atau mendengar laporan tentang apa yang dilakukan orang lain?

Perhatikanlah, ini cara berpikir “object-referral” yang didasarkan pada “rasa-takut” (fear-based).

Menurut Deepak Chopra, “Your true Self, which is your spirit, your soul, is completely free of these things” (ibid.) [Terjemahan: Diri Anda yang sesungguhnya, yaitu roh, jiwa Anda sesungguhnya bebas dari semuanya ini]

Bebas dari semuanya ini artinya terlepas, tidak ada hubungannya, dan oleh karena itu, tidak usah dihubung-hubungkan dengan semuanya ini. Baik kesuksesan, baik kegagalan, semuanya haruslah dihbungkan dengan “Self”, bukan “Object” (atau apa yang ada dan terjadi di luar).

Deepak Chopra menyarankan tiga cara untuk membantu kita berdiri kepada prinsip “Self”, dan terlepas dari hidup berdasarkan rasa takut.

  1. Pertama: Ambil-lah waktu setiap hari, pagi dan malam, selama waktu tertentu, untuk melakukan meditasi, mengambil waktu untuk berdiam diri dengan diri sendiri, tanpa suara, tanpa pikiran, dan bila perlu tanpa cahaya. Sekitar 30 menit pagi dan 30 menit malam sudah dapat dikatakan awal yang baik untuk bermeditasi.
  2. Kedua, katakan kepada diri sendiri untuk mengambil waktu setiap hari selama beberapa menit, atau jam berkomunikasi dengan alam, yaitu kehidupan yang punya inteligensia yang ada di alam-semesta: bunyi, warna, bentuk, bau, ukuran, rasa, apa saja yang ada di alam. Alami-lah, nikmatilah.
  3. Ketiga, praktekkanlah “non-judgement”, yaitu katakan kepada diri sendiri, “Pada detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ini, saya tidak akan menghakimi apapun yang terjadi di hadapanku!

Dengan bermeditasi diri kita akan mengenal dirinya sendiri dan memposisikan diri sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang. Dengan bersahabat dengan alam, kita akan berkuminikasi dengan makhluk selain manusia. Dengan tidak menghakimi, kita membawa energi positif yang  membangun dan menghidupkan.

Dengan berdiam diri, dengan bersahabat dengan alam dan dengan tidak menghakimi, kita menjadi manusia sejati sebagai manusia. Kita melapaskan diri dari embel-embel sosial, budaya, ekonomi yang melekat.

Inilah kemurnian, kehidupan sebagaimana adanya. Tidak berlebihan.

Pernahkan anda temukan orang Papua yang selama ini bangga-banggakan diri dan bertepuk dada memuji apa yang telah mereka lakukan untuk Tanah Papua dan orang Papua?

Apalagi dengan musim Pilkada saat ini, semua politisi muncul dengan memunculkan apa yang mereka telah lakukan lebih daripada yang dilakukan orang lain. Ada yang menjanjikan untuk melakukan lebih daripada yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.

Yang mereka lakukan ini ialah “fear-based”, yaitu TAKUT KALAH dalam Pilkada.

Tidak hanya dalma Pilkada, dalam urusan Papua Merdeka juga para pejuang Papua Merdeka hari ini muncul menuntut yang lain, membela diri, menyalahkan yang lain.

Praktek menyalahlah yang lain adalah cara kerja manusia yang tidak tahu diri, yang Chapra sebut “Self”. Orang Papua yang selalu berusaha membela diri dengan cara menyalahkan orang lain harus bertobat dan mengaku, bahwa apa yang dia lakukan selama ini ialah tanda kelemahan, bukti perilaku manusia yang “fear-based” yang selalu berfikir berdasarkan apa yang ada, terjadi, dilakukan dan dikatakan di luar dirinya.

Mari kita mengenal diri, merendahkan diri, mengakui diri dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati. Kerendahan hati dalam artikel ini artinya (1) belajar dan tekun bermeditasi; (2) belajar dan terus-menerus belajar dari alam-sekitar; dan (3) secara terus-menerus memaksa dan mendisiplin diri pribadi untuk TIDAK MENGHAKIMI siapapun.

Itulah kekuatan yang sesungguhnya. Nelson Mandela katakan “kerendahan hati” ialah kekuatan yang sesungguhnya. Chopra katakan inilah hukum rohani pertama untuk menuju keberhasilan. Saya, Jhon Kwano menegaskan bahwa kerendahan hati tidak berarti kehinaan, tetapi sebaliknya adalah kekuatan yang menyerupai kekuatan ilahi.

Nelson Mandela: “Kerendahan Hati” ialah Kunci Pemimpin sebuah Bangsa

Nelso Mandela
Nelso Mandela

Hari ini (tanggal 02 Februari 2018) saya menonton sebuah wawancara di YouTube. Oprah Winfrey mewawancarai Nelson Mandela. Menjawab pertanyaan Winfrey, “Siapa tokoh atau pemimpin dunia yang Anda banggakan? Apakah Muhammad Ali dari Amerika Serikat, Kol. Khadafi dari Libya, Jasser Arafat dari Palestina, atau Fidel Castro dari Cuba?” Beliau menjawab dengan tegas bahwa semua pemimpin yang disebutkan dikaguminya dan dibanggakannya berdasarkan sumbangan yang mereka berikan di bidang pekerjaan masing-masing. Mereka pejuang yang kokoh dan berani berdiri berdasarkan apa yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran, dengan segala kerendahan hati. Jadi, menurutnya “syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang besar ialah kerendahan hati”.

Kerendahan hati bukan berarti sebuah kelemahan atau kehinaan tetapi sebaliknya sebuah kekuatan dan keagungan; kerendahan hati artinya tidak sombong dan kerendahan hati ialah tidak egois. Yang pertama, pemimpin yang rendah hatinya bukan berarti pemimpin itu lemah dan hina. Pemimpin yang rendah hati tidak menghina harga dirinya, tetapi ia pemimpin yang mengenal baik siapa dirinya, siapa yang dia pimpin dan apa tanggung-jawabnya. Yang paling mendasar ia sadar diri sebagai seorang makhluk manusia di muka Bumi yang punya plot waktu untuk hidup dan berkarya di dunia. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menyadari diri sebagai seorang manusia membantu kita mengakui betapa kita terbatas dalam banyak hal karena kita hanyalah manusia. Kita terbatas dalam hal waktu dan ruang, terbatas dalam akal dan pikiran, terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan. Kita dibatasi oleh hal-hal di sekitar kita, yang membentuk dan membesarkan kita. Kita dilahirkan pada suatu waktu, bertumbuh menjadi dewasa, berkiprah dan menjadi tua dalam batasan waktu dan tempat kita. Dan akhirnya kita meninggalkan dunia fisik ini pada suatu waktu di suatu tempat. Kita harus menyadari betapa terbatas dan tidak berarti diri kita sebagai seorang manusia. Itulah kerendahan hati yang dimaksud Mandela.

Kedua, pemimpin yang besar tidak sombong. Mentalitas, sikap dan perilaku tidak sombong artinya tidak membangga-banggakan dirinya dengan alasan apapun.

“Satu definisi tentang kesombongan adalah harga diri yang berlebihan. Kesombongan demikian membuat seseorang secara tidak patut merasa dirinya paling penting dan paling unggul, barangkali karena kecantikan, ras, status sosial, bakat, atau kekayaan. (Yakobus 4:13-16)” < https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102007086>

Atau juga karena apa yang pernah ia lakukan dalam kehidupan dia, atau apa yang dicapai oleh dirinya, keluarganya, marganya, sukunya, bangsanya.

Perhatikan teladan Yesus. Sebelum datang ke bumi, ia adalah makhluk roh yang perkasa di surga. Dan sewaktu di bumi, ia sempurna, tanpa dosa. (Yohanes 17:5; 1 Petrus 2:21, 22) Ia memiliki kesanggupan, kecerdasan, dan pengetahuan yang tak tertandingi. Sekalipun demikian, ia tak pernah pamer tetapi tetap rendah hati. (Filipi 2:6) Ia bahkan mencuci kaki para rasul pada suatu peristiwa; dan ia memperlihatkan minat yang tulus kepada anak-anak kecil. (Lukas 18:15, 16; Yohanes 13:4, 5) Bahkan, sambil menempatkan seorang anak di sampingnya, Yesus berkata, ”Barang siapa merendahkan dirinya seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga.” (Matius 18:2-4) Ya, di mata Yesus—dan juga Bapaknya​—kebesaran sejati berasal dari kerendahan hati, bukan kesombongan.​—Yakobus 4:10. <Ibid.>

Ciri rendah hati yang ketiga ialah “tidak egois”, tidak egois secara individu maupun secara kelompok. Tidak egois artinya tidak mementingkan diri, status, kepentingan sendiri demi kepentingan orang orang lain atau kepentingan bersama. Ia punya kemampuan untuk “mengalahkan dirinya sendiri” dari ambisinya, hasratnya, niatnya dan bahkan kecanduan yang ada pada dirinya demi kepentingan bersama.

Kata “aku” (ego) tidak ada dalam kamus otaknya maupun kamus tutur-katanya. Kata “kami” juga hampir tidak ada. Yang ada ialah “kita” atau “kita sekalian”, secara bersama-sama, secara utuh, secara keseluruhan. Kalau jatuh kita bersama-sama, kalau bangun, juga kita secara bersama. Kalau gagal ataupun sukses, juga kita bersama-sama. Tidak perlu mencari kambing-hitam, tidak berusaha membenarkan dan menyalahkan satu sama-lain.

Yesus sebagai Sang Pencipta, Raja di atas Segala Raja, menanggalkan ke-Tuhanan-Nya, turun ke Bumi, menjadi seorang manusia, lahir sebagai seorang bayi, di kandang binatang, dibesarkan dalam keluarga tukang-kayu, dan untuk meletakkan kepala saja tidak punya tempat. Sang Pencipta langit dan Bumi menjadi terlantar, terhina, terbunuh di kayu salib. Ini penyangkalan diri yang total, teladan terbaik bagi setiap orang di manapun kita berada, yang mengaku diri bekerja untuk kepentingan umum, kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan sebagainya.

Manusia yang tidak egois akan merangkul semua pihak dan bersahabat dengan semua orang. Ia nyaris tidak punya musuh, selain egois itu sendiri sebagai musuh utamanya. Orang yang tidak egois sering menjadi “pemadam kebakaran” saat kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain saling bersentuhan dan terjadi interaksi tolak-menolak atau timbang-menimbang. Manusia yang tidak egois tidak akan pernah mencari-cari kesalahan-kesalahan dari orang lain, dari sesama pejuang, dari sesama umat manusia. Ia selalu menggali dan berusaha memupuk kesamaan-kesamaan dalam usaha mempuk kebersamaan.

Tiga ciri kerendahan hati ini terkait dengan “emosi” seseorang, secara emosional mengenal diri sebagai seorang manusia, tidak membangga-banggakan diri, dan menyangkal diri dengan berbagai asosiasinya. Ini semua terkait dengan sebuah “mental construct”, bangunan pikiran yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Nelson  Mandela memberikan saran yang jelas tentang dilema yang dialaminya saat dia berada di penjara, “Apakah harus mengikuti emosinya membenci dan memusuhi penguasa kulit putih dan menolak untuk berbicara dengan mereka, ataukah mengikuti pemikiran rasionalnya berbicara dengan mereka untuk menyelesaikan masalah yang  menimpa tanah leluhurnya?”

Dilema ini ia selesaikan dengan cara “merendahkan diri” dan memfokuskan diri kepada solusi yang tepat untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Dia keluar sebagai pemenang, walaupun ada berbagai pihak yang menganggapnya dia melakukan kompromi dengan penguasa tidak manusiawi.

Sesungguhnya  kekuatan seorang pemimpin ada pada kerendahan hatinya. Dengan kerendahan hati ia akan sanggup mengalahkan semua yang dianggap sulit dan tidak akan pernah terselesaikan. Dosa dan maut dikalahkan di kayu salib oleh kerendahan Yesus. Apartheid dikalahkah oleh penyangkalan diri Mandela. Siapa menyusul?