Postitive Thinking, Possibility Thinking dan Potential Thinking

Positive Thinking (Norman Vincent Peale), Possibility Thinking (Robert Harold Schuller), Potential Thinking (Stephen Tong)

Banyak orang sudah sering, sayapun sering, berpikir, bicara dan menulis tentang “berpikir positif”. Beberapa waktu lalu saya tulis di blog ini dengan judul ““Positive Thinking” Menurut Saya Tidak Sekedar Berpikir Positif, Tetapi…  Terkait dengan itu ada artikel lain “Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam Wikipedia, the free encylopedia tertulis “Norman Vincent Peale (May 31, 1898 – December 24, 1993) was an American minister and author known for his work in popularizing the concept of positive thinking”, (ia seorang hamba Tuhan dan penulis atas apa yang dikerjakannya dalam mempopulerkan konsep berpikir positif.”

Tiga Sekolah Pemikiran ini saya perlu dalami, terutama untuk pribadi, apa yang mereka maksudkan dan bagaimana saya bisa memanfaatkan ketiganya untuk mencapai idealosie saya sebagai enterpreneur Orang Asli Papua (OAP), yaitu “Menjadi kayaraya di tanah leluhur yang sudah terkenal di dunia sebagai surga kecil yang jatuh ke Bumi”

Positive Thinking – Possibility Thinking

Dalam artikel ini, Guru “Gurprriet Siingh” mengatakan orang yang berpikiran positif akan mencari  kemungkinan-kemungkinan untuk keluar dari keadaan sekarang kalau ada masalah yang dihadapi. Dengan kata lain, kalau ada masalah menimpa negeri, atau pribadi, maka para pemikir positif tidak akan duduk memikirkan dan mengeluh, apalagi menyalahkan dan mengkambing-hitamkan lalu menghakimi apa yang salah dan siapa yang salah. Tetapi mereka akan selalu memikirkan permasalahan itu sebagai kesempatan, dan dari kesempatan itu akan memikirkan kemungkinan untuk memanfaatkan kondisi yang ada.

Guru Siing juga katakan “possibility thinking” adalah TINDAKAN yang diambil dari pemikiran positif, apa yang dilakukan berdasarkan pemikiran masalah sebagai pelung tadi.

“It is only after “There has to be a way to make money even in this situation” (which is a positive thought)”,artinya hanya setelah berpikir, “Pasti ada cara untuk menghasilkan uang dalam siatusi ini” (yaitu pemikiran positif). lalu ada langkah berikut, yaitu kemungkinan-kemungkinan langkah untuk mewujudkan pemikiran positif bahwa situasi ini berpeluang dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.

Dalam artikel ini, disimpulkan sebagai berikut

So positive thinking really is about not giving up mentally. About continuing to believe that there are opportunities.

WHEREAS

Possibility Thinking is about finding those opportunities. Taking action. Moving towards.

Jadi, “positive thinking” sesungguhnya menyangkut tidak menyerah secara mental. Tentang terus percaya bahwa ada peluang-peluang tersedia.

SEDANGKAN

“Possibility Thinking berhubungan dengan menemukan peluang-peluang dimaksud. Mengambil langka. Bergerak maju.

Positive Thinking, Possibility Thinking and Potential Thinking

Dalam positive thinking kita meyakini pasti ada solusi, dan solusi itu potensial atau berpeluang mendatangkan keuntungan. Potensi itu diwujudkan dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan (possibility) dan langkah-langkah yang ditempuh sebagai tindakan untuk mewujudkan pemikiran yang positif terhadpa kondisi, yaitu potensi yang kita lihat dari keadaan.

Kelihatannya ketiga sekolah pemikiran ini secara leterlek berbera, dari sisi makna kelihataan mirip tetapi tidak sama, dan dari sisi praktek aplikasinya mereka hadir sebagai tahapan dari satu paket yang sama. Orang yang ebrpikiran positif pasti memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan pemikiran tentang kemungkinan itu dalam rangka mencari potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi dan melewati kondisi apapun yang menghadapi kita, atau kondisi apapun yang kita hadapi.

Tips Sederhana Mengatasi Pemikiran Negatif

Menurut GrandMaster Mantak Chia, Universal Healing Tao System mengajarkan hal-hal sederhana untuk menyeimbangkan energi negativ menjadi energi positiv. Satu tips untuk menetralisir ialah dengan satu kata satu perbuatan, “Senyum”

Hmmmm, benar?

Ya, benar, senyumlah kepada pemikiran itu. Senyumlah kepada masalah itu. Senyumlah kepada dirimu sendiri. Senyumlah kepada bayang-bayang itu. Senyumlah kepada orang yang tidak senang kepada Anda. Senyumlah kepada orang atau situasi yang Anda tidak senangi! Senyum! Senyum!, ya Senyum! saja.

Anda tidak tahu senyum? Ayooo…. STOP BACA! Coba senyum! Satu, dua, tida, “ya, Senyum…..”, tahan senyum mu itu selama beberapa detik, bila perlu 1 menit.

Anda tahu hukum alam ini, “Give – take”, “beri-terima”, bukan? Saat Anda memberi senyum, anda juga secara otomatis, tanpa harus minta, Anda menerima senyum.

GrandMaster saya, Mantak Chia selalu katakan, “Give, and you will receive!” Berilah senyum, maka akan Anda terima senyum. Senyumlah atas apa-pun yang menghadang. Apapun itu, bagaimanapun itu, siapapun itu, akan senyum balik.

Penutup

Aklhirnya saya harus tiba kepada ungkapan sederhana, terutama di tengah-tengah masyarakat di pulau Jawa, “Saya sih, ngalir aja!” Ungkapan ini mengandung ketiga sekolah pemikiran di atas. Saya selalu merujuk kepada perilaku manusia-manusia keturunan dan budaya China, yang terlihat jels kesibukan mereka ialah “mecari jalan keluar”, mereka tidak pernah sibuk dengan masalah.

China menyarkan berita-berita dan kampanye-kampanye tentang bahaya dan kelakuan China, balasannya “China sih ngalir aja”. Sama saja kami di Tanah Papua, OAP (Orang Asli Papua sibuknya duduk gosip, mencaci-memaki, menyesali, dan hal-hal tidak beguna, manusia Jawa, Makassar, Batak,, Toraja, mereka datang “ngalir”, jadi mereka ngalir sampai jauh, sejauh dapat ngalir.

Orang yang biasanya “ngalir” dijamin berumur panjang, dijamin kaya-raya, dijamin awet muda, dijamin bahagia.

Ah, saya mau…! Ayo… monggo… sami-sami

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.