Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (2)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

Selalu Berharap kepada pihak lain (berlanjut…)

Selalu menyalahkan pihak lain (lanjutan…)

Berlanjut dari ciri sebelumnya, yang kedua, orang Papua yang memenuhi syarat dijajah ialah orang Papua yang selalu menyalahkan pihak lain atas segala-sesuatu yang menimpa dirinya, kelompoknya, pribadinya, suku-bangsanya, kampungnya, kabupatennya, provinsinya, pulaunya, rasnya.

  • Kalau Pepera 1969 Gagal, orang Indonesia, Belanda, Amerika Serikat yang salah, PBB yang salah
  • Kalau orang Papua mati, maka Jawa yang salah
  • Kalau orang Papua miskin, maka Indonesia yang salah
  • Kalau Otsus gagal, NKRI yang salah,
  • Kalau PNG tidak mendukung, Perdana Menteri yang salah
  • Kalau tidak ada negara di dunia yang mendukung, itu karena MSG dan PIF yang tidak cukup bicara untuk bangsa Papua

LALU PERTANYAAN-nya

  • APAKAH ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERSALAH?
  • Masalah ini soal bangsa mana? Lalu salah ini salah siapa?

Pribadi lepas pribadi, bangsa demi bangsa yang tidak pernah mengaku bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi pada dirinya oleh karena dirinya sendiri yang harus berubah adalah bangsa yang layak dijajah, karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, karena dia hanya melihat pertolongan datang dari luar, dan karena itu kalau ada kesalahan-pun itu karena kesalahan pihak lain pula.

Maka tanggapanya, memang ini orang layak dijajah.

Selain tidak percaya diri, dia juga tidak bertanggung-jawab menerima realitas dan mengakui diri sebagai subyek dari realitas kehidupan yang dijalani dan tidak selalu berada sebagai obyek passive.

Oleh karena tidak bertanggung-jawab atas apa yang menimpa dirinya, maka solusinya-pun dicarinya dengan mengharapkan pihak lain pula yang berubah, pihak lain yang bersikap, pihak lain yang bersmpati dan berempati, pihak lain yang mengambil langkah.

Mentalitas pengemis seperti ini menunjukkan bangsa itu memenuhi syarat untuk dijajah. Sebuah bangsa yang selalu berharap kepada bangsa lain, dan selalu menuduh bangsa lain memenuhi syarat 100% untuk dijajah. Oleh karena itu, kalau bangsa seperti ini memperjuangkan kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai sampai bangsa ini, pejuang yang ada di dalamnya berubah dan percaya bahwa yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri dan atas bangsanya, entah untuk kebaikan atau atas masalah, adalah diri sendiri, bangsa sendiri, pihak sendiri.

Sampai titik itu, maka kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, karena pribadi atau bangsa itu masih memenuhi syarat untuk dijajah.

 

 

 

Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (1)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

 

Selalu Berharap kepada pihak lain

Ada dua contoh perlu ditunjukkan di sini, yang pertama, orang Papua yang selalu berharap kepada Jakarta dan orang Indonesia. Kedua orang Papua yang selalu berharap kepada orang barat, dan orang MSG (negara-negara MSG).

Yang pertama, orang Papua dan hubungannya dengan orang Indonesia

Untuk membangun Papua, untuk memajukan Papua, untuk merubah Papua, kebanyakan orang Papua selalu menaruh harapan kepada Jakarta, orang Indonesia sebagai jalan satu-satunya. Tanpa kehadiran mereka, orang Papua tidak bisa maju, tanpa kehadiran mereka, tanah Papua tidak akan pernah maju.

Harapan kepada orang Indonesia ini bergeser satu generasi lalu. Pada generasi lalu hampir semua urusan kepentingan bangsa Papua tergantung kepada misionaris, orang asing. Orang Papua yang berharap kepada misionaris didahului oleh orang Papua yang tidak pernah berharap kepada siapa-siapa, orang Papua yang bahkan tidak tahu kalau ada orang lain di luar sana. Orang Papua yang punya cerita tentan “Kabar” baik dalam versi sendiri, tanpa pernah mengharapkan siapapun dari luar.

Begitu misionaris masuk dengan “Kabar Baik” maka keseluruhan harapan digantungkan kepada misionaris, dengan menggantungkan harapan keselamatan kepada Yesus Kritus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Begitu generasi berganti, dan NKRI mulai menujukkan eksistensinya atas bangsa Papua, ditambah lagi dengan pengusiran semua misionaris dari Tanah Papua, maka generasi sekarang lebih berharap kepada orang Indonesia dan NKRI untuk mendatangkan kebaikan.

Makanya kita lihat banyak pernyataan dibuat dan banyak upaya dilakukan dalam rangka mendorong Indonesia membangun tanah Papua dan bangsa Papua.

Orang Papua sekarang berharap NKRI membagi-bagi tanah Papua menjadi banyak kabupaten, kota dan provinsi, distrik dan desa di seluruh Tanah Papua. Banyak orang Papua sekarang mengirim anak-anak mereka ke Indonesia dengan harapan anak-anak menjadi pintar di Indonesia dan pulang untuk memajuan Tanah Papua.

Sebagai variasi dari orang Papua bermental budak yang tidak percaya kepada diri sendiri, orang Papua yang layak dijajah selalu mengharapkan orang lain untuk merubah nasibnya. Ia jarang bahkan tidak pernah melihat hal-hal yang ada pada dirinya yang dapat didaya-gunakan untuk merubah nasib, memajukan, mengembangkan dirinya sendiri. Semua yang dimilikinya dianggap tidak berguna. Semua yang ada pada orang Indonesia dianggap lebih berguna dan semua yang ada pada orang Papua dianggap merugikan.

Kita pindah ke fenomena ini di kalangan pejuang Papua Merdeka.

Sebagaimana kita ketahui biar ada orang Papua menyebut diri sebagai pejuang Papua Merdeka, tetapi mereka tetap menunjukkan mental “berharap kepada orang lain”, yaitu kepada MSG (Melanesian Spearhead Group) dan lembaga internasional lain dan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).

Selain itu, orang Papua Merdeka ini juga berharap kepada NKRI untuk memberikan sebuah referendum untuk Papua Merdeka. Makanya tuntutan referendum selalu keluar dalam semua kampanye Papua Merdeka. Jadi begini, ada perjuangan untuk membebaskan diri dan tanah Papua. Ada juga perjuangan mengemis kepada penjajah, karena kita berharap kepada Indonesia untuk memberikan opsi referendum, karena kita berharap kepada PBB untuk mendesakn Indonesia memberikan pilihan untuk menentukan nasib sendiri.

Jelas, tuntutan referendum adalah permintaan seorang budak, yang dari mentalnya mudah disebut layak dijajah. Karena menuntut referendum mengandung arti orang lain harus memberikan opsi dimaksud, tidak bersumber dan bertumpu pada diri sendiri, tetapi berasal dan bertumpu pada PBB dan Indonesia.

Yang kedua, nada-nada kampanye selalu menunjukkan “cengengesan”, atinya berisi kalimat-kalimat belas-kasihan, terbaca bahwa apa yang kita ucapkan itu mengharapkan tindakan orang lain, tindakan didasarkan kepada kemanusiaan, rasa iba, rasa kasihan dan lainnya dari pihak lain kepada bangsa Papua.

Selalu menyalahkan pihak lain (berlanjut…)

 

4 Faktor Penghambat Enterpreneurship Orang Asli Papua

Setelah hampir 5 tahun saya bertugas sebagai bagian dari pengembangan bisnis Orang Asli Papua (OAP) dengna tugas pokok mempromosikan dan menjual Kopi Papua di luar Tanah Papua, saya bolak-balik Tanah Papua, terutama ke Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica (KASU BaliemArabica.com) dan saya temukan empat faktor utama yang menghambat enterpreneurship di Tanah Papua: mentalitas budak, dan siang-malam memperhatikan dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain, ketiga menghakimi diri tidak bisa sama dengan mereka yang lain dan keempat, cepat puas dan mentok dengan apa yang telah diraih.

Pertama mentalitas budak, artinya mentalitas yang percaya bahwa dari dalam diri sendiri tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah impian-impian belaka, dan mimpi-mimpi itu bisa terwujud hanya kalau “tuan” atau “sang majikan” menyetujuinya, dan tanpa itu tidak mungkin tercapai. Dan kalau impian itu tidak tercapai, maka yang salah ialah majikan, bukan saya sebagai budak, karena saya sebagai budak-kan hidup sepenuhnya di tangan majikan.

Ada orang Papua menderita, sakit, kena musibah, tidak bisa menjadi pengusaha, yang disalahkan adalah pemerintah,maka yang selalu disalahkan ialah Jakarta, yang disalahkan ialah orang pendatang. OAP sendiri tinggal pangku kaki, lipat tangan,, tiap saat duduk pikir dan hitungkesalahan dan kesalahan orang lain, tanpa pernah melihat kesalhaannya sendiri, kekurangannya sendiri, keterbelakangannya sendiri.

Mentalitas budak ini sangat menghambat enterpreneurship OAP di Tanah Papua karena dia merasa bahwa keberhasilan dia hanya dapat terwujud kalau orang lain: pendatang, pemerintah, orang luar (1) memberikan sumbangan; (2) memberikan hibah/ bantuan; (3) memberikan pinjaman. Tanpa itu dia percaya dia tidak akan pernah bisa menjadi kaya. Jelas ini konyol.

Kedua, ialah orang Papua hidup dari bangun tidur sampai tidur kembali memperhatikan orang-orang lain: kemajuan orang lain, permasalahan orang lain, perkembangan di daerah lain. Dengan perbandingan-perbandingan itu, dia mengeluhkan bahwa kondisi dirinya sendiri, daerahnya sendiri tidak maju-maju, dan itu disebabkan oleh orang-orang lain itu. Itu artinya dirinya sendiri tidak bersalah, karena dia tidak pernah bersalah.

Lho, kok orang Papua yang tidak kaya, kok orang Jawa yang salah?

Lho kok orang di Tanah Papua yang belum maju kok Jakarta yang salah?

Salahnya apa? Salahnya di mana?

Hentikan kebisaan mematikan membanding-bandingkan diri Anda dengan mereka yang datang dari luar Tanah Papua. Stop menyalahkan orang lain. Mulai berpacu, dari nol, mulai dari jual sayur keliling, sapu-sapu, jual-jual pinang di pinggir jalan, dan terus menanjak.

Yang ketiga, OAP tidak percaya bahwa dia berhak dan sanggup menjadi orang kaya-raya seperti Yusuf KAlla, Aburizal Bakrie, Chaerul Tanjung, Sandiaga Uno, dan sebagainya. OAP memvonis dirinya bahwa OAP secara kodrati tidak akan pernah menjadi kaya, dan oleh karena itu berjuang untuk menjadi kaya juga percuma.

Mentalitas ini memvonis diri OAP, sehingga walaupun mereka berbisnis ke sana-kemari, mereka di bawah alam sadar tahu bahwa mereka toh akhirnya tidak akan menjadi kaya. Tentu saja, selain ada kesalahan di otak OAP, ada dasar-dasar sosial-budaya juga yang mendasari pemikiran seperti ini.

Yang terakhir, yaitu bahwa pengusaha OAP merasa puas, merasa jenuh, tidak bergairah lagi, sudah merasa di situlah batasnya dia menjadi kaya, batas kesanggupan dia, dan karena itu tidak perlu muluk-muluk, tidak perlu beramisi tinggi, apa yang ada sudah cukup untuk makan-minum, jadi tidak usah berlebihan, tidak usah terlalu banting-tulang, tidak usah terlalu pusing kerja, tetapi lakukan secara santai, apa yang ada nimati saja, jangan terlalu berambisi.

Akibatnya semua peluang yang disediakan menjadi sia-sia, dan sebaliknya tidak menjadi berkat.

Ada juga yang merasa diri mentok bukan karena puas, tetapi karena tidak punya akal lagi, merasa bahwa “Ya, saya hanya mampu sampai di sini, selanjutnya nanti anak-anak yang teruskan”. Jadi tidak punya ambisi besar, OAP punya ambisi pas-pasan, itupun pas-pasan berkekurangan, pas-pasan mentok-mentokan, pas-pasan yang merugikan.

Semoga bermanfaat!

“Fear Factor”: Mentalitas Budak, Pertanda Orang Tidak Tahu Diri

“Fear Factor” adalah judul sebuah permainan di Televisi, yang menguji nyali para peserta dalam permainan. Saya tidak bermaksud itu.

Yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah hubungan antara manusia bermentalitas budak dan “rasa takut” atau faktor ketakutan biasanya berhubungan erat. Dengan kata lain, manusia di dunia memiliki rasa takut, takut apa saja, adalah pertanda dia memiliki bibit-bibit mental budak.

Katakanlah takut api, takut gelap, takut naik pesawat, takut lihat tentara, takut lihat polisi, takut bicara kebenaran, takut mengungkapkan apa adanya, takut bicara. Semua rasa takut ini saya sebut sebagai “faktor ketakutan” yang merupakan pertanda orang tidak tahu diri. Orang tidak tahu diri karena dia tidak punya identitas, karena identitas dia ditentukan oleh tuan-nya, dia hanyalah seorang hamba, seorang budak yang tidak punya identifikasi dan identitas diri sendiri.

Di dunia modern, rasa takut bisa dikategorikan ke dalam “phobia” dan “trauma”. Dan pendekatan yang digunakan ialah lewat analisis dan terapi psikologis, hipno-terapis, psiko-terapis, psikologi transformasional, dan banyak cabang ilmu psikologi yang dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi yang dikembangkan di Eropa.

Intinya mereka katakan apa saja yang kita rasakan hari ini bisa berasal dari segala hal yang kita alami pada masa-masa ini:

  1. Diwariskan dalam DNA dari ayah-buda, dan dari nenek-moyang kita, sehingga kondisi psikologis kita adalah warisan orang tua dan nenek-moyang, terekam dan tercatat dalam DNA kita.
  2. Kita warisi dalam hidup kita sendiri, dari apa yang pernah kita lakukan sebelum kita lahir. Ada lagi yang percaya teori inkarnasi, sehingga mereka katakan apa yang ada hari ini adalah warisan dari apa yang kita miliki sebelum kita berinkarnasi sebagai “self” hari ini.
  3. Kita warisi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak di dalam kandungan, dan terutama di waktu kita dilahirkan di Rumah Sakit. Di Rumah Sakit kita lahir ke Bumi. Saya sudah sebutkan dalam artikel dalam blog lain “Breathwork dan Trauma Saat Kelahiran di Tumah Bersalin (Rumah Sakit)
  4. Apa yang kita alami sepanjang kita hidup juga bisa menjadi penyebab kita menjadi penakut, rakut lahir, takut hidup, takut mati, takut dalam banyak hal dalam hidup ini.

Fear Factor dan OAP

Saya secara khusus tertarik  bicara kita orang Papua karena “rasa takut” ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Papua.

  1. Pertama, semua orang Papua, siapa saja, kapan saja, di mana saja, pokoknya semua orang Papua memiliki “rasa takut tanpa alasan terhadap orang Amberi“, yang dalam bahasa politik disebut orang pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT yang meraja-lela di Tanah Papua. Saya pernah bertanya kepada diri sendiri, “Apa alasan rasa takut ini?” Seara logika sebenarnya tidak ada alasan, tidak dapat saya sebutkan dengan mudah. Saya bisa sebutkan interpretasi apa artinya rasa takut itu, tetapi secara serta-merta saya tidak sanggup menyebutkan penyebab rasa takut itu. Saya harus mengaku, rasa takut itu baru hilang pada tahun 2017 lalu.

    Saya harus terus-terang kasih tahu, siapa-pun kita orang Papua, kita Gubernur, Bupati, Anggota atau Ketua Dewan, Anggota TNI atau Polri, apapun pekerjaan kita, kita orang Barisan Merah Putih atau Barisan Bintang Kejora, pengusaha atau petani atau berburu di hutan, guru atau Pendeta, Haji, Kristen, Islam, kita semua sebagai orang Papua, pasti memiliki “rasa takut tanpa alasan” ini terhadap orang Pendatang.

  2. Kedua, semua orang Papua memiliki rasa takut terhadap TNI dan Poliri. Walaupun kita sendiri tentara, kita sendiri anggota Polri, atau mungkin komandan di dalam satu pleton sekalipun, entah kita pejabat yang selalu mendapatkan pengawalan siang-malam, atau kita yang hidup tanpa sentuhan TNI/Polri di hutan-hutan dan kampung-kampung, “rasa takut terhadap TNI dan Poliri selalu hadir dan ada“Semua orang Papua tahu, mendengar cerita dari berita maupun dari teman, tetangga dan kerabat sendiri, bahkan banyak yang mengalami sendiri, di mana anggota TNI dan Polri pernah membentak, memaki, menakut-nakuti, menangkap semena-mena, memukul, memenjarakan, bahkan membunuh sesama orang Papua. Sampai hari ini berita-berita itu terus tersiar dan dibaca, didengar oleh orang Papua. Memang ada bervariasi kadar dan frekuensinya, tetapi “rasa takut terhadap aparat TNI/Polri itu tetap ada, pasti ada, dan dia ada di semua lapisan masyarakat orang Papua. Bahkan anggota TNI/Polri orang Papua-pun pasti punya rasa takut ini.
  3. Semua manusia punya rasa takut karena rasa takut adalah emosi yang normal. Malahan kita harus mempertanyakan manusia yang tidak punya rasa takut sebagai manusia abnormal, di luar kebiasaan manusia. Orang tidak takut kita bisa sebut dengan mudah sebagai “orang gila”.Akan tetapi, ada orang yang tidak punya rasa takut, bukan karena mereka gila, tetapi mereka abnormal secara positif, yang orang yang telah menghadapi dan mengalahkan “rasa takut” itu sendiri.

Langkah Saya untuk Mengalahkan “Fear Factor”

Saya tidak bicara atas dasar imaginasi atau harapan atau setelah membaca buku psikologi tentang rasa takut dan membeli obat pil untuk menghilangkan rasa takut, tetapi saya bicara dari pengalaman saya pribadi, sepanjang setengah abad hidup saya, bahwa “rasa takut” dapat dihilangkan, atau lebih tepat “dapat dikalahkan”. Dan kedua bahwa menghilangkan rasa takut tidak berarti menjadi gila, tetapi menjadi tercerahkan dan terbarukan.

  1. Langkah pertama, seperti anda sudah bayangkan, adalah “mengakui secara jujur” bahwa saya benar-benar memiliki “rasa takut” dalam diri saya sendiri. Dan bahwa “rasa takut” saya itu tidak rasional, karena itu saya tidak dapat memetakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya rasakan dan mengapa saya merasakannya, apalagi bagaimana menyelesaikannya.
  2. Langkah kedua, mengambil sikap dan keputusan untuk berupaya dan memastikan harus mengalahkan rasa takut dimaksud. Banyak orang mengakui atau menyadari atau merasakan ada rasa takut di dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mamu mengakui, apalagi tidak punya sikap untuk mengalahkannya, dan karena itu tidak ada usaha untuk mengalahkannya.
  3. Ketiga, ada sejumlah usaha yang dapat kita lakukan, yang harus kita pilih untuk membawa diri keluar dari kandang atau penjara atau kurungan “rasa takut”.
    1. Pengalaman saya adalah pertama-tama saya melakukan “Inner Smile” secara teratur membawa banyak sekali perubahan dalam hidup saya. Bukti pertama dan utama yang saya alami ialah rasa takut untuk terbang dengan pesawat, langsung serta-merta hilang total. Sudah banyak tiket penerbangan dengan total biaya ratusan juta saya rugi karena sering membatalkan penerbangan. Sekarang penerbangan sampai ke bulan-pun saya siap.
    2. Pengalaman kedua saya ialah melakukan meditasi dan doa-doa. Saya beragama Kristen secara keturunan sejak ayah-ibu saya, jadi saya berdoa menurut agama Kristen. Kita berdoa tidak sekedar sebagai seorang hamba memohon dan meminta, tetapi menjadikan Tuhan sebagai kerabat, sahabat dan pelindung yang siap membantu. Bukan menjadikan Dia sebagai pembantu tetapi sebagai pelindung dan penolong yang sejati. Pergi ke geraja dan pulang, menghadiri ibadah secara ritual biasa tidak sama dengan memandang Tuhan sebagai pelindung dan teman sejati.

      Dalam meditasi dan doa, ada banyak hal terjadi. Contohnya menurut  Muktananda dalam bukunya “Play of Consciousness” by Swami Muktananda, b.1908, South India mengatakan dunia ini hanyalah sebuah ilusi, sebuah gambaran dari apa yang ada sesungguhnya di dalam tubuh, di dalma badan kita. Oleh karena itu, kita harus bermeditasi sampai ke dalam sum-sum dan unsur-unsur kehidupan kita, sampai kepada titik “maut”. Sama dengan Yesus disalibkan dan mati, lalu bangkit dari antara orang mati, demikianlah seharusnya kita bermeditasi dan akhirnya mematikan semua yang bersifat duniawi, dan bangkit mengalahkan maut. Dengan demikian kita menjadi “merdeka”, dan dengan demikian rasa takut “lenyap”.

    3. Yang ketiga ialah menghadiri dan mempratekkan Breathwork. Perihal breathwork ini sudah banyak saya kisahkan dalam www.kisah.us (Kisah ku-Kisah mu, Kisah Kita Semua).
    4. Kalau Anda punya uang, tentu saja saya tidak, maka saya sarankan Anda mengikuti terapi psikologis, terutama Transformational Psychology secara rutin untuk keluar dari rasa takut. Pendekatan lain yang malah mengurangi pengeluaran uang ialah banyak berdoa dan berpuasa karena berdoa dan berpuasa sudah terbukti di seluruh dunia dalam sejarah semua manusia bahwa doa-puasa memiliki kekuatan pembebasan yang sangat besar.

Catatan Penutup: Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Membantu Kita Bebas dari “Rasa Takut”

Sebanarnya saya harus katakan, bukan dari “rasa takut” saja, tetapi dari semua emosi-emosi negatif yang ada dalam tubuh kita dapat kita hilangkan, dan menjadi sehat.

Saya sudah belajar selama beberapa lama dengan GrandMaster Mantak Chia dan sekarang saya adalah Associate Instructor dari Universal Healing Tao System  yang saat ini berada di Indonesia dan Melanesia. Saya dapat memberikan workshop untuk kelompok Tahanan Politik, Polisi, Tentara, Pejabat Pemerintah, Mahasiswa, Ibu dan Anak, Lelaki, Perempuan, Tua, mua, di manapun Anda berada di seluruh Indonesia dan Melanesia.

Saya juga adalah Fasilitator dari Breath of Bliss setelah menyelesaikan pendidikan untuk fasilitator. Saya bisa memfasilitasi kegiatan Breathwork di mana saja.

Breathwork yang saya kembangkan didasarkan atas tarian adat dan ritual bangsa Papua dikombinasi dengan musik tradisional, popular Papua dan musik modern lainnya.

Info lebih lanjut: info@healingjourney.love

Hukum Rohani Potensi Murni 1: Diam Diri, Tidak Egois, Tidak Menghakimi

Dalam dua artikel sebelumnya, saya Jhon Yonathan Kwano bersaksi tentang apa yang saya dengar dari Nelson Mandela, salah satu manusia hebat yang pernah hadir di muka Bumi berbicara tentang “kerandahan hati” sebagai tanda kebesaran seorang pemimpin dunia. Saya juga sudah menyampaikan isi hati tentang betapa orang Papua berharap kepada Jakarta untuk berbuat banyak hal, sementara orang Papua itu sendiri duduk murung, selalu mencaritahu kesalahan dan mengeluh Jakarta tidak buat ini dan Jakarta tidak buat itu.

Adalah Deepak Chopra, seorang yang berbicara dalam bukunya “Seven Spiritual Laws of Success: A Practial Guide to the Fulfillment of Your Dreams” (Amber-Alen Publishing, 1994) bahwa hukum pertama yang harus diperhatikan ialah hukum tentang “ego”. Huku pertama ialah “Pure Potentiality” (Potensialitas Murni), yaitu bahwa

  • sumber penciptaan semuanya adalah kemurnian
  • kesadaraan… ialah murni
  • ekspresi dari yang tidak termanifestasi ke manifestasi adalah murni
  • ketika ita menyadari bahwa kebenaran eksistensi kita adalah satu” potensialitas, lalu dihubungkan dengan potensialitas jagatraya

maka inilah yang dimaksud dengan “potensialitas murni”.

Pertama, kami hadir ke bumi sebagai seorang insan manusia, kita sadar kita ada, kita hadir ke dalam diri kita, keluarga kita, marga, suku, bangsa kita, sebagai manusia, sebagai orang terpelajar, sebagai pejabat, sebagai petani, sebagai orang beragama, sebagai orang adat, apapun juga yang dapat kita sadari saat ini. Kesadar ini, kesadaran tentang kehadiran dan ketidak-hadiran, keadaan dan ketidak-adaan ini merupakan sebuah intisari kerohanian kita.

Itulah kehidupan yang bersahaja, sederhana dan bahagia.

Dengan kesadaran-kesaradan atas fakta absolut ini, maka seorang manusia menjadi manusia sejati, manusia tanpa embel-embel, manusia tanpa asosiasi, manusia murni, murni sebagai manusia, hanya sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kita menyadari diri kita murni seorang manusia, maka dengan demikian kita menjadi manusia murni. Nelson Mandela menyebutnya manusia yang “rendah hati”, yang menyadari dirinya sesungguh-nya hanyalah manusia, lahir, hidup, besar, tua, mati. Tidak lebih dari itu.

Inilah kesadaran “Self”, kesadaran akan diri sendiri (self-referal). Ada kesadaran lain, yang saya sebut di atas sebagai kesadaran dengan embel-embel: (1) sosial, (2) budaya, (3) pendidikan, (4) jabatan, (5) pangkat, (6) status ekonomi dan kekayaan, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini disebut “self-referal” oleh Deepak Chopra (ibid.14)

Self-referral means that our internal reference point to our own spirit, and not the objects of our experience. The opposite of self-referral is object-referral. In the object-referral, we are always influenced by objects outside the Self. Our thinking and our behaviour are always in anticipation of a response, it is therefore, fear-based.

[Terjemahan: “Self-referral berarti bahwa referensi internal kita ditujukan kepada roh kita, dan tidak kepada obyek lain dari pengalaman kita. Lawannya daripada self-referral adalah “object-referral”. Dalam “object-referral”, kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut]
  • Apakah anda pernah merasa bahwa tanpa Anda dunia ini akan runtuh berantakan?
  • Apakah Anda pernah merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha yang selama ini Anda bangun akan rugi besar?
  • Pernahkan Anda temukan diri bahwa tanpa Anda semuanya tidak pernah akan terjadi seperti yang sudah terjadi?
  • Pernahkan Anda merasa bahwa tanpa Anda usaha-usaha apapun yang dilakukan orang lain tidak akan berhasil?
  • Pernahkan Anda lakukan sesuatu karena rasa takut pesaing Anda akan menang, karena orang lain sedang melakukan sesuatu yang bisa merugikan usaha Anda, karena Anda menonton atau mendengar laporan tentang apa yang dilakukan orang lain?

Perhatikanlah, ini cara berpikir “object-referral” yang didasarkan pada “rasa-takut” (fear-based).

Menurut Deepak Chopra, “Your true Self, which is your spirit, your soul, is completely free of these things” (ibid.) [Terjemahan: Diri Anda yang sesungguhnya, yaitu roh, jiwa Anda sesungguhnya bebas dari semuanya ini]

Bebas dari semuanya ini artinya terlepas, tidak ada hubungannya, dan oleh karena itu, tidak usah dihubung-hubungkan dengan semuanya ini. Baik kesuksesan, baik kegagalan, semuanya haruslah dihbungkan dengan “Self”, bukan “Object” (atau apa yang ada dan terjadi di luar).

Deepak Chopra menyarankan tiga cara untuk membantu kita berdiri kepada prinsip “Self”, dan terlepas dari hidup berdasarkan rasa takut.

  1. Pertama: Ambil-lah waktu setiap hari, pagi dan malam, selama waktu tertentu, untuk melakukan meditasi, mengambil waktu untuk berdiam diri dengan diri sendiri, tanpa suara, tanpa pikiran, dan bila perlu tanpa cahaya. Sekitar 30 menit pagi dan 30 menit malam sudah dapat dikatakan awal yang baik untuk bermeditasi.
  2. Kedua, katakan kepada diri sendiri untuk mengambil waktu setiap hari selama beberapa menit, atau jam berkomunikasi dengan alam, yaitu kehidupan yang punya inteligensia yang ada di alam-semesta: bunyi, warna, bentuk, bau, ukuran, rasa, apa saja yang ada di alam. Alami-lah, nikmatilah.
  3. Ketiga, praktekkanlah “non-judgement”, yaitu katakan kepada diri sendiri, “Pada detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun ini, saya tidak akan menghakimi apapun yang terjadi di hadapanku!

Dengan bermeditasi diri kita akan mengenal dirinya sendiri dan memposisikan diri sebagai seorang manusia, tidak lebih, tidak kurang. Dengan bersahabat dengan alam, kita akan berkuminikasi dengan makhluk selain manusia. Dengan tidak menghakimi, kita membawa energi positif yang  membangun dan menghidupkan.

Dengan berdiam diri, dengan bersahabat dengan alam dan dengan tidak menghakimi, kita menjadi manusia sejati sebagai manusia. Kita melapaskan diri dari embel-embel sosial, budaya, ekonomi yang melekat.

Inilah kemurnian, kehidupan sebagaimana adanya. Tidak berlebihan.

Pernahkan anda temukan orang Papua yang selama ini bangga-banggakan diri dan bertepuk dada memuji apa yang telah mereka lakukan untuk Tanah Papua dan orang Papua?

Apalagi dengan musim Pilkada saat ini, semua politisi muncul dengan memunculkan apa yang mereka telah lakukan lebih daripada yang dilakukan orang lain. Ada yang menjanjikan untuk melakukan lebih daripada yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.

Yang mereka lakukan ini ialah “fear-based”, yaitu TAKUT KALAH dalam Pilkada.

Tidak hanya dalma Pilkada, dalam urusan Papua Merdeka juga para pejuang Papua Merdeka hari ini muncul menuntut yang lain, membela diri, menyalahkan yang lain.

Praktek menyalahlah yang lain adalah cara kerja manusia yang tidak tahu diri, yang Chapra sebut “Self”. Orang Papua yang selalu berusaha membela diri dengan cara menyalahkan orang lain harus bertobat dan mengaku, bahwa apa yang dia lakukan selama ini ialah tanda kelemahan, bukti perilaku manusia yang “fear-based” yang selalu berfikir berdasarkan apa yang ada, terjadi, dilakukan dan dikatakan di luar dirinya.

Mari kita mengenal diri, merendahkan diri, mengakui diri dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati. Kerendahan hati dalam artikel ini artinya (1) belajar dan tekun bermeditasi; (2) belajar dan terus-menerus belajar dari alam-sekitar; dan (3) secara terus-menerus memaksa dan mendisiplin diri pribadi untuk TIDAK MENGHAKIMI siapapun.

Itulah kekuatan yang sesungguhnya. Nelson Mandela katakan “kerendahan hati” ialah kekuatan yang sesungguhnya. Chopra katakan inilah hukum rohani pertama untuk menuju keberhasilan. Saya, Jhon Kwano menegaskan bahwa kerendahan hati tidak berarti kehinaan, tetapi sebaliknya adalah kekuatan yang menyerupai kekuatan ilahi.

Revolusi Mental Pengusaha Papua: Seluruh Dunia Tahu Papua Kaya, tetapi….

Tetapi orang Papua tidak tahu kalau dia dianggap dunia “kaya”. Dilema besar buat saya saat saya melhat banyak orang Papua merasa diri miskin, menganggap diri tidak berdaya, dan selalu berpikir untuk orang luar membantu-nya. Ini yang selalu saya sebut sebagai mentalitas budak, dan Pdt. Dr. Benny Giay bahwa orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah. Alasannya jelas, orang Papua sendiri tidak percaya diri, tidak pernah sadar, dan tidak mau sadar, bahwa dia sudah kaya, dan yang harus dia lakukan adalah menyambut pengakuan itu dan menjadikannya bagian dan pengalaman dalam hidupnya.

Padahal dalam kita suci maupun dalam berbagai pernyataan tokoh, ilmuwan dan motivator kita sering sadar betul bahwa “Dunia ini diciptakan oleh Firman, karena Firman itu ada bersama-sama dengan Allah”. Firman itu ialah kata-kata, apa yang Tuhan katakan, apa yang dunia katakan, apa yang sesama katakan. Kalau Firman Tuhan berdaya-cipta, maka perkataan dari kita manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah memiliki kata-kata yang berdaya-cipta pula.

Untuk menikmati pengakuan dunia itu, maka orang Papua harus-lah pertama-tama turut mengiyakan, lalu kedua meyakini, dan ketiga, menjalani kehidupan sebagai orang kaya, berpikir sebagai orang kaya, berkata-kata sebagai orang kaya, dan berperilaku sebagai orang kaya.

Kalau itu yang terjadi, saya yakin, tanah Papua yang kaya-raya ini juga akan mendukung kita dalam upaya mewujudkan perkataan orang di dunia itu.

Setelah mengakui realitas dan perkataan orang, menjadikannya bagian dalam hidup, maka kita berjuang sekuat-tenaga untuk menjadi kaya.

Tidak ada cerita di mana-manapun, orang yang kaya menjadi kaya karena tinggal di negeri kaya-raya. Yang ada ialah, mereka yang berjuang dan mengeluarkan keringat-lah yang pernah menjadi kaya. Karena sudah banyak diceritakan, ada juga tikus-tikus mati di lumbung padi. Nasib bangsa Papua sama dengan itu. Walaupun sudah diakui dunia, walaupun sudah diberikan banyak uang lewat Otsus, walaupun ada tindakan afirmatif dalam kebijakan demi Orang Asli Papua (OAP), selalu saja menganggap semua ini cukup, maka kita akan menjadi bagian dari bangsa-bangsa termiskin di dunia, hidup di salah satu negeri terkaya di dunia.

Salah siapa?

Kalau Manusia Lain Bisa, Manusia Papua Juga Bisa! Cuma….

Kalau manusia lain, seperti orang China, orang Makassar, orang Jawa bisa menjadi kaya-raya, walaupun bukan di tanah-leluhur mereka sendiri, walaupun mereka hidup merantau, berarti saya juga bisa. Itu prinsip dasar pemikiran yang harus kita camkan.

Saya menolak istilah, sikap dan keyakinan tentang “kodrat” dalam kaitannya dengan bisnis dan hubungannya dengan kaya-miskin. Kita menjadi kaya atau miskin saya anggap itu BUKAN KODRAT. Itu karena kita sendiri tidak berjuang, kita tidak merubah pola pikir, kita tidak berakar, kita tidak bekerja sesuai petunjuk Tuhan. Kaya-miskin juga bukan karena agama, tidak ada hubungannya dengan kepercayaan atau ilmu-ilmu gaib.

Kaya-miskin lebih disebabkan oleh saya sendiri. Pertama, saya sendiri tidak memiliki mentalitas dan hati, persepsi dan pikiran tidak berakar secara mendalam ke dalam diri saya sendiri. Ini faktor utama dan pertama yang sedang saya soroti dalam beberapa artikel pertama dalam blog ini. Itulah sebabnya saya menghabhiskan beberapa artikel khusus untuk berbicara tentang pohon, akar-akarnya, daun yang lebat dan berbuah dan daun yang lebat tetapi tidak berbuah, pohon yang tidak sehat tapi berbuah dan pohon yang tidak sehat ditambah tidak berbuah pula, apa alasannya dan apa nasib mereka.

Judul tulisan ini,

“Kalau manusialain bisa, manusia Papua juga bisa” di sini tidak berarti sama dengan prinsip seperti “Kalau laki-laki bisa kawin dua, perempuan juga bisa kawin dua. Kalau perempuan masak, laki-laki juga masak. Ini menyangkut kodrat. Saya orang Papua, Anda orang Jawa, itu kodrat. Kodrat sebagai manusia, tetapi juga sebagai suku-bangsa yang berbeda,”

Yang dimaksudkan dengan judul ini lebih dalam dari itu, pada tingkatan dan hakiki mereka dan kita sebagai manusia, yang dilahirkan sebagai pembuahan dari seorang ayah dan ibu, dari kandungan seorang mama, dibesarkan, dan menjadi kaya-miskin, lalu mati. Jadi, kita sama-sama manusia.

Yang membedakan kita, selain embel-embel kerja-keras, tekad bulat, dukungan keluarga dan sebagainya, pertama dan terutama ialah sikap dan mentalitas saya sendiri sebagai seorang manusia. Apakah saya menerima keadaan saya apa adanya sebagai “kodrat”? Ataukah saya berdoa kepada Tuhan, mengundang Dia turun campur-tangan dalam merubah nasib saya, untuk menjadi kaya-raya?

Ada “cuma..”, dalam judul tulisan kali ini.

Maksud saya bukan terlalu sulit. Cuma orang Papua selalu meng-kambing-hitam-kan pihak lain atas apa saja yang menimpa dirinya, tidak pernah mengambil tanggung-jawab di tangan sendiri atas apa yang sedang terjadi dalam hidup ini. Itu pertama. Lalu kedua, karena sering mencari kesalahan orang lain, akibatnya diri sendiri tidak punya sikap yang jelas, teguh dan ditopang oleh pernyataan sikap dan langkah-langkah yang jelas, yaitu berkorban untuk menjadi kaya-raya di negeri leluhur yang dikenal di seluruh dunia sebagai Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi!

Orang Papua menjadikan “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu sebagai negara besar yang timbul dari bawah. Cuma itu saja yang harus kita rombak. SETUJU?

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]

Belajar dari Pohon: Yang ada di dalam Tanah Menentukan yang Ada di Atas Tanah

Belajar dari pohon ini bermaksud menjawab pertanyaan tertinggal dari tulisan sebelumnya yang bertanya,

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?

Ada banyak caranya berakar ke dalam, tergantung tujuan hidup kita. Apakah kita seorang mahasiswa, seorang pengajar, seorang politisi, pejabat publik, pengacara, dokter, dan pengusaha. Apa-pun pekerjaan dan passion kita, yang tampak dalam pekerjaan kita sehari-hari, yang kelihatan dalam pembawaan kita seharian, ialah hasil dari apa yang ada di dalam hati, jiwa/ roh, mental, dan otak kita. Kita mahasiswa berprestasi, guru yang rajin dan ramah, dokter yang cepat membantu dan sentuhan tangannya menyembuhkan banyak pasien, kita pengusaha yang menarik banyak konsumen, semuanya tergantung kepada sedalam apa kita berakar ke dalam dunia yang kita geluti.

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu kita setuju bersama, yaitu

  1. Pertama, pohon yang subur, pohon yang kering, pohon yang berbuah lebat, pohon yang berbuh sedikit, dan pohon yang tidak berbuah, semuanya ditentukan oleh “apa yang ada di dalam tanah”? Apa yang dikerjakan, dan apa yang didapatkan oleh akar pohon itulah yang menentukan pohon itu, bukan sebaliknya.
  2. Kedua, pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan buah disebabkan karena tidak terjadi pembuahan atau perkawinan, yaitu aspek yang ada di luar tanah.
  3. Ketiga, apapun yang terjadi pada diri saya, bukan disebabkan oleh dia yang lain, mereka yang lain, tetapi itu terjadi supaya saya membaca situasi dan bergerak mengambil langkah, melanjutkan perjuangan hidup ini. Dengan kata lain, jangan melihat masalah sebagai rintangan, tetapi perlakukanlah itu sebagai peluang untuk berbuat lebih banyak dalam apa saja yang kita geluti dan perjuangkan.

Tidak mungkin sebuah pokoh akan subur kalau ia bertumbuh di atas batu. Tidak mungkin pohon akan rindang dan menghasilkan buah kalau ia tumbuh di padang gurun yang tandus.

Tidak mungkin orang Papua terus mengeluh kalau dia tahu bagaimana caranya mencari tempat pertumbuhan jiwa dan rohaninya di pinggir sungai. Tidaklah mungkin orang Papua selalu menyalahkan orang Jawa dan Jakarta kalau ia tahu prinsip pohon yang subur dan berbuah-lebat disebabkan oleh akar pohon dan apa yang diisah oleh akar itu di dalam tanah. Ia akan berjuang mencari tempat di pinggir sungai, dan berusaha mencari air sedalam-dalamnya, sampai ia menemukan air.

Caranya kita berakar ke dalam sebagai seorang entrepreneur ialah pertama-tama dengan mengatakan kepada diri sendiri.

  • saya orang Papua, saya hidup di tanah leluhur yang kaya-raya, dan karena itu saya harus hidup sebagai orang kaya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan karena keslahan orang lain, bukan karena perbuatan orang lain, bukan karena nasib buruk, tetapi itu karena saya belum serius menerima berkat-berkat yang tersedia buat saya dan mengolahnya untuk mendatangkan kekayaan kepada saya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan berarti karena orang Jawa membuat saya, membatasi saya, memasang jerat, berbuat yang tidak-tidak untuk memiskinkan saya, tetapi memang itu karena saya sendiri tidak memenuhi syarat untuk menjadi kaya-raya di atas negeriku yang kaya-raya.
  • Saya menyatakan kepada diri saya saat ini,

“Saya, nama saya……., pada hari …………., tanggal……… tahun 20… di tempat ………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…., dengan ini menyatakan kepada diri saya, bahwa saya mau menjadi kaya-raya di tanah leluhur saya, Tanah Papua yang dikenal dan dijuluki kaya-raya. Tuhan dengarkanlah doaku, nenek-moyang, saksikanlah pernyataanku ini. Tanah leluhur, maklumkanlan pernyataan ini. …….Saya mau jadi kaya-raya, karena saya mau menjadi kaya-raya, dan saya layak menjadi kaya-raya, bantulah saya agar saya berjuang untuk mewujudkannya.

(Lalu ucapkan misalnya Dalam Nama Yesus untuk orang Kristen, dan Bismillah, atau lainnya, menurut agama dan kepercayaan masing-masing)

Perumpamaan tentang Pohon yang Subur Berbuah Lebat dan Mentalitas Orang Papua

Semua kita tahu pohon subur, atau tanaman subur. Kita juga sudah tahu tanaman yang menghasilkan banyak dan tanaman yang subur tetapi tidak menghasilkan buah yang banyak, hanya subur saja, tanpa hasil. Kita juga sudah tahu tanaman yang tidak subur dan menghasilkan buah yang tidak subur pula. Dan juga pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa. Jadi ada empat macam tanaman di sini.

Pertama, pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa adalah pohon yang memenuhi syarat untuk ditebang, tidak ada gunannya sama sekali. Harus diganti dengan pohon lain.

Kedua, pohon yang tidak subur dan menghasilkan yang tidak subur. Dalam kondisi ini kalau si pemilik tanaman terdesak, atau dalam kondisi produksi yang lain tidak ada sama sekali, maka hasil yang tidak subur ini masih bisa dimanfaatkan. Ada pepatah “Tidak ada rotan, akar-pun berguna”. Akan tetapi kita tidak bisa mengharapkan pohon yang tidak subur dengan hasil tidak subur ini terus menghasilan dari waktu ke waktu. Kalau kita punya pohon yang lebih subur dengan buah yang lebih bagus, pasti kita tidak akan menghiraukannya. Bisa dibiarkan tanpa dimanfaatkan.

Yang ketiga, pohon yang subur, daunnya lebat, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Yang dibutuhkan si penanam pohon bukan kesuburan. Kesuburan ialah prakondisi untuk hasil akhir, yaitu buah. Kalau sebuah pohon yang subur tidak menghasilkan apa-apa, maka kalau dibandingkan lebih bagus pohon yang tidak subur yang menghasilkan buah tidak subur tadi daripada pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Yang terakhir, ialah pohon yang subur dan yang menghasilkan banyak buah.

Nah, secara psikologis dan mentalits kita, sekarang orang Papua termasuk dalam kategori mana?

  • Subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa?
  • Kering tidak subur dan tidak menghasilkan?
  • Subur dan menghasilkan banyak?, atau
  • Kering, dan tidak subur tetapi masih dapat menghasilkan?

Orang Papua hidup di Tanah Papua, di tanah yang katanya “Surga Kecil Jatuh Ke Bumi!”, di mana ada banyak misteri di gunung dan di lembah, di mana sungai-sungainya mengalirkan emas, samuderanya penuh misteri pula.

  • Lantas, manusianya penuh dengan apa?

Apakah seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya:

  • penuh dengan keluh-kesah ?
  • penuh dengan kambing-hitam ?
  • penuh penyesalan dan sungutan ?
  • yang tidak pernah ambil tanggung-jawab sendiri atas apa yang dialaminya sendiri?

Menurut analisis saya terhadap diri saya sendiri sebelum saya berubah, mentalitas orang Papua tidak masuk dalam keempat kategori di atas. Semuanya tidak.

Orang Papua memang hidup di tanah yang subur luarbiasa, menjadi incaran dan rebutan dunia.

Akan tetapi orang Papua mau dikatakan subur juga tidak, kering juga tidak, tidak berbuah juga tidak, berbuah juga tidak.

Dengan kata lain, orang Papua itu tidak panas, tidak dingin, ia hanya suam-suam kuku.

Apa kata Kita Suci Alkitab untuk air yang suam-suam kuku?

Lebih baik dibuang saja. Itulah gambaran nasib dan riwayat orang Papua.


 

Tetapi jangan berkecil hati dulu, sabar, tunggu, sebentar.

Jalan keluar selalu ada. Dalam banyak kasus di Indonesia selalu diucapkan seperti ini, “Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap penyakit pasit ada obatnya!

Yang harus kita lakukan bukannya berhenti, bukannya bertanya-tanya, bukannya kaget dan protes, tetapi kita harus menggunakan prinsip hidup masyarakat jelata di pulau Jawa terutama, yaitu “Kita harus ngalir saja!

Kita “harus ngalir saja” artinya tidak merasa tersentak, tidak kaget, tidak memprotes, apalagi jangan berusaha melawan. Yang harus kita lakukan ialah “kita ngalir”, sama seperti air. Kita harus banyak belajar dari “ilmu air”, yaitu ilmu dari air, “Airologi”.

Menurut airologi, kalau ada tembok, jangan putar balik arah aliran, tetapi tetap saja mengalir, sampai aliran melebihi tembok. Kalau ada gunung, jangan berputar-berputa balik, tetapi mengalirlah terus, sampai menemukan bagian gunung yang terendah, dan melangirlah terus lewat nya. Jangan berhenti mengalir, jangan berputar balik arah.

Mentalitas kita orang Papua sebagai entrepreneur haruslah lebih kuat, lebih gigih, lebih canggih daripada mentalitas para politisi dan praktisi lainnya. Mentalitas entrepreneur berhubungan dengan nilai, naluri, dan rasa dari para konsumen yang tidak punya kontrak jual-beli dengan kami sebagai padangan. Mereka berdiri bebas, memilih bebas, hidup bebas. Yang kami lakukan adalah sekedar memasang jerat, bukan hukum agar mereka datang berbelanja di tempat kami.

Kita harus menjadi pohon subur, yang menghasikan buah yang subur dan lebat, yang menjadi rebutan burung-burung berbagai jenis, dari berbagai tempat mereka berasal.

TIPS: Berakarlah ke dalam, berbuahlah lebat. Sampai di situ. Dengan tidak berharap, dengan tidak menanti, dengan tidak menyalahkan dan mengeluh. Hanya tinggal, berakar ke dalam dan berbuah banyak.

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?
  • Apa buah-buah dimaksud?
[bersambung]