Najwa Shihab: “Jadilah pekerja kreatif, wiraswasta, profesi pekerjaan bebas”

by. NAJWA SHIHAB sumber: https://www.facebook.com/

Adik-adik remaja sekalian, jika kalian masih bercita-cita jadi PNS, biar besok-besok hidup terjamin sampai tua, maka itu cita-cita generasi luama sekali, orang tua kita dulu, SMA angkatan 70-80 mungkin masih begitu.

Jika kalian bercita-cita jadi karyawan BUMN, biar gaji bagus, pensiun ada, besar pula, maka itu juga generasi lama, paman-paman, tante-tante kita dulu, SMA angkatan 90-an, itu cita-citanya.

Jika kalian bercita-cita jadi karyawan multi nasional company, perusahaan swasta besar, biar bisa tugas di luar negeri, tunjangan dollar, itu juga cita-cita kakak-kakak kita dulu, yang SMA angkatan 2000-an.

Kalian adalah generasi berbeda..Kalian adalah yang SMP, SMA, atau kuliah di tahun 2010 ke atas. Seharusnya kalian tidak bercita-cita seperti itu lagi. Kalian adalah warga negara dunia, tersambung dengan seluruh sudut dunia.
Apa cita-cita kalian?

Jadilah pekerja kreatif, wiraswasta, profesi pekerjaan bebas, dan pekerjaan-pekerjaan yang menakjubkan lainnya. Kalian menonton film seperti Iron Man, Avengers, Minion, maka besok-besok giliran film kalian yang ditonton orang.

Kalian jadi konsumen Burger King, KFC, dll, maka besok-besok giliran orang lain yang jadi konsumen franchise milik kalian. Hari ini kalian memakai baju, pakaian buatan orang lain, besok-besok giliran orang lain yang pakai baju kalian.

Hari ini kalian berobat ke rumah sakit, besok-besok giliran orang yang berobat di klinik dengan sistem dan cara berbeda milik kalian.

Itulah dunia kalian. Masa depan

Jangan mau hanya jadi pengikut, follower, tapi berdiri di depan, giliran orang lain yang mengikuti dan mendengarkan trend yg kita buat. Maka bila saat itu tiba, kita bisa benar-benar bilang : Merdeka!!

Ayolah, lupakan sejenak bekerja jadi PNS, karyawan BUMN, atau karyawan swasta, masuk pagi, pulang malam. 30-40 tahun bekerja, pensiun. Itu sudah terlalu banyak orang yang melakukannya, masa’ kita akan ikut jalan serupa, saatnya kalian memulai jalan berbeda.

Jangan takut dengan kegagalan, jangan takut dengan tidak punya pekerjaan, menganggur, dll, dll. Sepanjang kita memang sungguh-sungguh, tahan banting, kita bisa menjadi yang terbaik di bidang yang kita geluti.

Setinggi apapun jabatan kalian, jika masih PNS, karyawan BUMN, karyawan swasta, maka sejatinya tetap saja suruhan orang lain. Punya atasan, dan hidup kita laksana siklus dari bulan ke bulan, gajian ke gajian.

Asyik duduk di belakang meja, lamat-lamat menatap media sosial, komen ini, komen itu, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi tetap saja begitu-begitu saja hidup kita.

Tidak, adik-adik sekalian, hidup kalian bisa lebih berwarna. Kalian bisa jadi apa saja.

Jangan buat sempit cita-cita, mimpi-mimpi kalian. Generasi kalian seharusnya tidak terikat waktu, tidak korupsi waktu, sebaliknya, kalian bebas dan fleksibel menentukan jam kerja sendiri.

Yakinlah, besok lusa, karya kalian akan menaklukkan kota-kota jauh, bahkan negara-negara jauh. Besok lusa, profesi kalian akan memiliki reputasi hingga pulau-pulau seberang, benua-benua luar.

Kalian bukan lagi generasi yang bahkan naik pesawat saja mahal dan susah. Atau mau berkirim kabar harus memakai telegram dan pager. Sambutlah masa depan kalian yang gemilang.

Jadilah pekerja kreatif, wiraswasta, profesi-profesi penuh passion dan suka-cita. Itulah panggilan generasi kalian. Dan saat kalian bisa menggapainya, kalian bisa berteriak sekencang mungkin: Merdeka! Karena hidup kalian sungguh sudah merdeka.

Mulailah dari sekarang, remaja. Cari hobi dan aktivitas bermanfaat. Tekuni. Besok-besok kalian menjadi master di bidang tersebut.

Maka kita tidak lagi bicara tentang besok pagi-pagi berangkat kerja, sore-sore pulang nanti macet, aduh, besok sudah Senin lagi, melainkan bicara: besok saya akan menginspirasi siapa, nanti sore saya akan mengubah apa, dan besok Senin saya akan meluncurkan karya apa lagi.
———————
Kita yg sudah terlanjur PNS ini kira-kira harus Bagaimana ?

4 Faktor Penghambat Enterpreneurship Orang Asli Papua

Setelah hampir 5 tahun saya bertugas sebagai bagian dari pengembangan bisnis Orang Asli Papua (OAP) dengna tugas pokok mempromosikan dan menjual Kopi Papua di luar Tanah Papua, saya bolak-balik Tanah Papua, terutama ke Koperasi Serba Usaha Baliem Arabica (KASU BaliemArabica.com) dan saya temukan empat faktor utama yang menghambat enterpreneurship di Tanah Papua: mentalitas budak, dan siang-malam memperhatikan dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain, ketiga menghakimi diri tidak bisa sama dengan mereka yang lain dan keempat, cepat puas dan mentok dengan apa yang telah diraih.

Pertama mentalitas budak, artinya mentalitas yang percaya bahwa dari dalam diri sendiri tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah impian-impian belaka, dan mimpi-mimpi itu bisa terwujud hanya kalau “tuan” atau “sang majikan” menyetujuinya, dan tanpa itu tidak mungkin tercapai. Dan kalau impian itu tidak tercapai, maka yang salah ialah majikan, bukan saya sebagai budak, karena saya sebagai budak-kan hidup sepenuhnya di tangan majikan.

Ada orang Papua menderita, sakit, kena musibah, tidak bisa menjadi pengusaha, yang disalahkan adalah pemerintah,maka yang selalu disalahkan ialah Jakarta, yang disalahkan ialah orang pendatang. OAP sendiri tinggal pangku kaki, lipat tangan,, tiap saat duduk pikir dan hitungkesalahan dan kesalahan orang lain, tanpa pernah melihat kesalhaannya sendiri, kekurangannya sendiri, keterbelakangannya sendiri.

Mentalitas budak ini sangat menghambat enterpreneurship OAP di Tanah Papua karena dia merasa bahwa keberhasilan dia hanya dapat terwujud kalau orang lain: pendatang, pemerintah, orang luar (1) memberikan sumbangan; (2) memberikan hibah/ bantuan; (3) memberikan pinjaman. Tanpa itu dia percaya dia tidak akan pernah bisa menjadi kaya. Jelas ini konyol.

Kedua, ialah orang Papua hidup dari bangun tidur sampai tidur kembali memperhatikan orang-orang lain: kemajuan orang lain, permasalahan orang lain, perkembangan di daerah lain. Dengan perbandingan-perbandingan itu, dia mengeluhkan bahwa kondisi dirinya sendiri, daerahnya sendiri tidak maju-maju, dan itu disebabkan oleh orang-orang lain itu. Itu artinya dirinya sendiri tidak bersalah, karena dia tidak pernah bersalah.

Lho, kok orang Papua yang tidak kaya, kok orang Jawa yang salah?

Lho kok orang di Tanah Papua yang belum maju kok Jakarta yang salah?

Salahnya apa? Salahnya di mana?

Hentikan kebisaan mematikan membanding-bandingkan diri Anda dengan mereka yang datang dari luar Tanah Papua. Stop menyalahkan orang lain. Mulai berpacu, dari nol, mulai dari jual sayur keliling, sapu-sapu, jual-jual pinang di pinggir jalan, dan terus menanjak.

Yang ketiga, OAP tidak percaya bahwa dia berhak dan sanggup menjadi orang kaya-raya seperti Yusuf KAlla, Aburizal Bakrie, Chaerul Tanjung, Sandiaga Uno, dan sebagainya. OAP memvonis dirinya bahwa OAP secara kodrati tidak akan pernah menjadi kaya, dan oleh karena itu berjuang untuk menjadi kaya juga percuma.

Mentalitas ini memvonis diri OAP, sehingga walaupun mereka berbisnis ke sana-kemari, mereka di bawah alam sadar tahu bahwa mereka toh akhirnya tidak akan menjadi kaya. Tentu saja, selain ada kesalahan di otak OAP, ada dasar-dasar sosial-budaya juga yang mendasari pemikiran seperti ini.

Yang terakhir, yaitu bahwa pengusaha OAP merasa puas, merasa jenuh, tidak bergairah lagi, sudah merasa di situlah batasnya dia menjadi kaya, batas kesanggupan dia, dan karena itu tidak perlu muluk-muluk, tidak perlu beramisi tinggi, apa yang ada sudah cukup untuk makan-minum, jadi tidak usah berlebihan, tidak usah terlalu banting-tulang, tidak usah terlalu pusing kerja, tetapi lakukan secara santai, apa yang ada nimati saja, jangan terlalu berambisi.

Akibatnya semua peluang yang disediakan menjadi sia-sia, dan sebaliknya tidak menjadi berkat.

Ada juga yang merasa diri mentok bukan karena puas, tetapi karena tidak punya akal lagi, merasa bahwa “Ya, saya hanya mampu sampai di sini, selanjutnya nanti anak-anak yang teruskan”. Jadi tidak punya ambisi besar, OAP punya ambisi pas-pasan, itupun pas-pasan berkekurangan, pas-pasan mentok-mentokan, pas-pasan yang merugikan.

Semoga bermanfaat!

3 Worst Business To Start In Jakarta

Starting a business is one of the biggest wish of many Indonesians. With your own business, you can earn additional income, you can decide your own paycheck, you decide your own work hours too.

After all, who will still work in the same company, with the same pay, for 30 years?

However, many people also failed when they start a business. Most of the time, they failed not because they are inexperienced, or lack of capital. Most fail because they do the wrong business.

Here are 3 worst business to start in Jakarta.

Opening A Cafe

Opening a cafe seems to be the trend in the past few years. On the surface, it seems profitable to sell a cappuccino at RP.30,000, truffle fries at RP.45,000, eggs benedict toast at RP.75,000. However, no one sees the REAL Killer of opening a cafe – High Rental and Employee Cost.

The high rental can go up to RP.120,000,000 a month. Not to mention, you need pay at least 6 month to 12 month upfront to the landlord to secure the space. This means you need to pay RP.720,000,000 to the landlord, even before you sell your first coffee.

We have yet to add in renovation costs, and employee wages. You do your own maths. All these huge costs are reasons why more and more cafes are closing down.

>>Check Out This Business Which Don’t Need Huge Rental Costs<<

MLM or Multi Level Marketing

MLM is also one of the most popular businesses out there, but also one of the hardest to do (But your upline or the friend who recruit you will say otherwise).

When you do MLM, yes, your startup capital is low with few hundreds or thousands only, unlike opening a cafe. But the most difficult part? Finding customers to buy your MLM products. Your upline will tell you to sell to your friends or family members. If you’ve done MLM before, or have friends who done MLM before, you will know what I mean (and how many friends start to avoid you).

No one likes to sell to friends and family. Worse, what if your friends and family don’t buy from you, who can you sell to? Doing roadshows at shopping malls?

Selling is not suitable for everyone, and that’s why many people fail in MLM business.

>>Discover This Business Which Don’t Need You To Sell To Your Friends<<

3. Website Design

Another business most people tried is Website Design. This is usually done by people with some IT technical skills. A website project can earn you RP.,8000,000 to RP.12,000,000 per website. You don’t need to pay high rental too, as you can work from home.

This may get you thinking… “Wow, In this case, I can just do 1 website per month, and I can easily earn RP.12,000,000! I can also work from home!” This is what most website designers first thought also.

What they don’t know, is that handling customers can be a big headache. Customers have tons of changes to their website, and your most websites cannot complete in 1 month, but after 6 months to even 1 year!

Furthermore, customers will call you at night or weird hours to demand quick changes.

Most people give up their web design business, rather than dealing with endless customer support.

>>Discover This Business That Don’t Need You To Do Customer Support<<

Is It Still Possible To Build A Business, Without Huge Rental, WithoutFinding Customers Or Selling To Friends And Family, And Without Doing Customer Support?

Yes. It is possible.

And it is also what I called the best business model for ordinary Indonesians who don’t like to sell, don’t like to do customer support, don’t need huge rental… and still can make 6 figures in USD like this.

Just like you, we are ordinary Indonesians who want to start businesses so we can earn more, and also have more freedom in our lives. And the business which allow us to achieve all that, is to build an Amazon eCommerce business.

With Amazon, we have made 6 to 7 figures in USD, and

  • No need to create any websites
  • No need to handle inventory
  • No need to deliver products to your customers’ doorstep
  • No need to find customers yourself
  • No need to do customer support
  • No need to hire employees

Do you want to learn how?

Here’s the good news.

We will be conducting a Free “5-Star Seller Academy” Seminar to show ordinary Indonesians how they can make an additional 6 figures USD income, without handling websites, doing customer support, or even selling.

Seats are limited, as each class is only limited to 30 people.

Nelson Mandela: “Kerendahan Hati” ialah Kunci Pemimpin sebuah Bangsa

Nelso Mandela
Nelso Mandela

Hari ini (tanggal 02 Februari 2018) saya menonton sebuah wawancara di YouTube. Oprah Winfrey mewawancarai Nelson Mandela. Menjawab pertanyaan Winfrey, “Siapa tokoh atau pemimpin dunia yang Anda banggakan? Apakah Muhammad Ali dari Amerika Serikat, Kol. Khadafi dari Libya, Jasser Arafat dari Palestina, atau Fidel Castro dari Cuba?” Beliau menjawab dengan tegas bahwa semua pemimpin yang disebutkan dikaguminya dan dibanggakannya berdasarkan sumbangan yang mereka berikan di bidang pekerjaan masing-masing. Mereka pejuang yang kokoh dan berani berdiri berdasarkan apa yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran, dengan segala kerendahan hati. Jadi, menurutnya “syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang besar ialah kerendahan hati”.

Kerendahan hati bukan berarti sebuah kelemahan atau kehinaan tetapi sebaliknya sebuah kekuatan dan keagungan; kerendahan hati artinya tidak sombong dan kerendahan hati ialah tidak egois. Yang pertama, pemimpin yang rendah hatinya bukan berarti pemimpin itu lemah dan hina. Pemimpin yang rendah hati tidak menghina harga dirinya, tetapi ia pemimpin yang mengenal baik siapa dirinya, siapa yang dia pimpin dan apa tanggung-jawabnya. Yang paling mendasar ia sadar diri sebagai seorang makhluk manusia di muka Bumi yang punya plot waktu untuk hidup dan berkarya di dunia. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menyadari diri sebagai seorang manusia membantu kita mengakui betapa kita terbatas dalam banyak hal karena kita hanyalah manusia. Kita terbatas dalam hal waktu dan ruang, terbatas dalam akal dan pikiran, terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan. Kita dibatasi oleh hal-hal di sekitar kita, yang membentuk dan membesarkan kita. Kita dilahirkan pada suatu waktu, bertumbuh menjadi dewasa, berkiprah dan menjadi tua dalam batasan waktu dan tempat kita. Dan akhirnya kita meninggalkan dunia fisik ini pada suatu waktu di suatu tempat. Kita harus menyadari betapa terbatas dan tidak berarti diri kita sebagai seorang manusia. Itulah kerendahan hati yang dimaksud Mandela.

Kedua, pemimpin yang besar tidak sombong. Mentalitas, sikap dan perilaku tidak sombong artinya tidak membangga-banggakan dirinya dengan alasan apapun.

“Satu definisi tentang kesombongan adalah harga diri yang berlebihan. Kesombongan demikian membuat seseorang secara tidak patut merasa dirinya paling penting dan paling unggul, barangkali karena kecantikan, ras, status sosial, bakat, atau kekayaan. (Yakobus 4:13-16)” < https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102007086>

Atau juga karena apa yang pernah ia lakukan dalam kehidupan dia, atau apa yang dicapai oleh dirinya, keluarganya, marganya, sukunya, bangsanya.

Perhatikan teladan Yesus. Sebelum datang ke bumi, ia adalah makhluk roh yang perkasa di surga. Dan sewaktu di bumi, ia sempurna, tanpa dosa. (Yohanes 17:5; 1 Petrus 2:21, 22) Ia memiliki kesanggupan, kecerdasan, dan pengetahuan yang tak tertandingi. Sekalipun demikian, ia tak pernah pamer tetapi tetap rendah hati. (Filipi 2:6) Ia bahkan mencuci kaki para rasul pada suatu peristiwa; dan ia memperlihatkan minat yang tulus kepada anak-anak kecil. (Lukas 18:15, 16; Yohanes 13:4, 5) Bahkan, sambil menempatkan seorang anak di sampingnya, Yesus berkata, ”Barang siapa merendahkan dirinya seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga.” (Matius 18:2-4) Ya, di mata Yesus—dan juga Bapaknya​—kebesaran sejati berasal dari kerendahan hati, bukan kesombongan.​—Yakobus 4:10. <Ibid.>

Ciri rendah hati yang ketiga ialah “tidak egois”, tidak egois secara individu maupun secara kelompok. Tidak egois artinya tidak mementingkan diri, status, kepentingan sendiri demi kepentingan orang orang lain atau kepentingan bersama. Ia punya kemampuan untuk “mengalahkan dirinya sendiri” dari ambisinya, hasratnya, niatnya dan bahkan kecanduan yang ada pada dirinya demi kepentingan bersama.

Kata “aku” (ego) tidak ada dalam kamus otaknya maupun kamus tutur-katanya. Kata “kami” juga hampir tidak ada. Yang ada ialah “kita” atau “kita sekalian”, secara bersama-sama, secara utuh, secara keseluruhan. Kalau jatuh kita bersama-sama, kalau bangun, juga kita secara bersama. Kalau gagal ataupun sukses, juga kita bersama-sama. Tidak perlu mencari kambing-hitam, tidak berusaha membenarkan dan menyalahkan satu sama-lain.

Yesus sebagai Sang Pencipta, Raja di atas Segala Raja, menanggalkan ke-Tuhanan-Nya, turun ke Bumi, menjadi seorang manusia, lahir sebagai seorang bayi, di kandang binatang, dibesarkan dalam keluarga tukang-kayu, dan untuk meletakkan kepala saja tidak punya tempat. Sang Pencipta langit dan Bumi menjadi terlantar, terhina, terbunuh di kayu salib. Ini penyangkalan diri yang total, teladan terbaik bagi setiap orang di manapun kita berada, yang mengaku diri bekerja untuk kepentingan umum, kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan sebagainya.

Manusia yang tidak egois akan merangkul semua pihak dan bersahabat dengan semua orang. Ia nyaris tidak punya musuh, selain egois itu sendiri sebagai musuh utamanya. Orang yang tidak egois sering menjadi “pemadam kebakaran” saat kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain saling bersentuhan dan terjadi interaksi tolak-menolak atau timbang-menimbang. Manusia yang tidak egois tidak akan pernah mencari-cari kesalahan-kesalahan dari orang lain, dari sesama pejuang, dari sesama umat manusia. Ia selalu menggali dan berusaha memupuk kesamaan-kesamaan dalam usaha mempuk kebersamaan.

Tiga ciri kerendahan hati ini terkait dengan “emosi” seseorang, secara emosional mengenal diri sebagai seorang manusia, tidak membangga-banggakan diri, dan menyangkal diri dengan berbagai asosiasinya. Ini semua terkait dengan sebuah “mental construct”, bangunan pikiran yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Nelson  Mandela memberikan saran yang jelas tentang dilema yang dialaminya saat dia berada di penjara, “Apakah harus mengikuti emosinya membenci dan memusuhi penguasa kulit putih dan menolak untuk berbicara dengan mereka, ataukah mengikuti pemikiran rasionalnya berbicara dengan mereka untuk menyelesaikan masalah yang  menimpa tanah leluhurnya?”

Dilema ini ia selesaikan dengan cara “merendahkan diri” dan memfokuskan diri kepada solusi yang tepat untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Dia keluar sebagai pemenang, walaupun ada berbagai pihak yang menganggapnya dia melakukan kompromi dengan penguasa tidak manusiawi.

Sesungguhnya  kekuatan seorang pemimpin ada pada kerendahan hatinya. Dengan kerendahan hati ia akan sanggup mengalahkan semua yang dianggap sulit dan tidak akan pernah terselesaikan. Dosa dan maut dikalahkan di kayu salib oleh kerendahan Yesus. Apartheid dikalahkah oleh penyangkalan diri Mandela. Siapa menyusul?

Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan

Adalah John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-36 yang dikenal dengan ungkapannya: “ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diperbuat oleh negara untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat anda kerjakan untuk negerimu). Hari ini saya Jhon Yonathan Kwano menyodorkan pernyataan ini: “Tanyakan apa yang harus saya lakukan saat Ini, di sini, bukan mengkritisi apa yang mereka belum lakukan atau tidak lakukan!”

Sejak orang Papua didatangi oleh bangsa-bangsa lain, orang Papua sudah mulai menjadi korban terutama karena waktu interaksi budaya asing dengan budaya Papua itu terjadi dengan begitu cepat, tak terantisipasi. Terjadilah sebuah “culture shock” yang cukup mengguncang eksistensi dan interaksi orang Papua dengan dirinya dan dengan dunianya, serta dengan sesamanya. Guncangan demi guncangan itu menjadi semakin dahsyat begitu diwarnai oleh pemikiran dan retorika politik modern.

Sebab kedua karena orang Papua sejak awal mulai belajar untuk mencari-tahu apa yang salah dan siapa yang salah kalau ada sesuatu terjadi terhadap dirinya secara pribadi maupun kolektif. Terutama sekali sejarah Belanda dan Indonesia masuk ke tanah Papua menjadi seperti sebuah virus mematikan logika sehat dan mentalitas membangun dari orang Papua. Hampir semua orang Papua tahu dan katakan seolah-olah Belanda sebagai sebuah negara penjajah adalah lebih baik daripada pemerintahan NKRI, yang dilihat sebagai penjajah neo-kolonial.

Dengan pandangan ini, orang Papua menjadi ahli menceritakan kebaikan-kebaikan Belanda, dan pakar juga dalam  menceritakan kejahatan, keburukan dan kekurangan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua. Kalau kita berpapasan, apalagi bertanya kepada orang Papua dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat Anda tentang keberadaan orang Indonesia di Tanah Papua?” maka Anda tidak akan kehilangan bahan dan akal. Anda akan mendapatkan jawaban panjang-lebar, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun tidak akan kehabisan diceritakan tentang apa yang salah dengan NKRI dan aparatnya di Tanah Papua, mulai dari sejarah, Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi, TNI, pemerintah, Polri, semuanya punya kesalahan di Tanah Papua, terhadap orang Papua dan tanah Papua.

Masalahnya bukan karena kesalahan-kesalahan itu tidak ada. Memang apa yang dikritik itu benar adanya, dan berulang-ulang terjadi sampai hari ini tanggal 29 Januari 2018. Masalahnya ialah bahwa lama-kelamaan, begitu makan tahun, setelah setengah abad kemudian perilaku ini menjadi semacam budaya Orang Asli Papua (OAP): yaitu budaya sering mengeluh dan sering menyalahkan. Yang dikeluhkan ialah sejarah West Papua masuk ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah sejarah Contract of Work (CoW) antara Freeport McMoran Copper & Gold Inc. dengan Suharto (bukan dengan NKRI). Yang disalahkan ialah Soekarno yang mencaplok Nederlandsch Niuew Guinea ke dalam NKRI. Yang disalahkan ialah kekejaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menyebabkan semua OAP pasti punya salah satu anggota keluarga yang sudah dibunuh NKRI. Yang disalahkan ialah penculikan dan pembunuhan Theys Eluay (Ketua PDP) atas perintah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden NKRI yang dieksekusi oleh Komando Pasukan Khusus 9Kopassus) NKRI. Yang disalahkan ialah implementasi UU Otsus No.  21/2001 yang jauh dari harapan dan tujuan sebagaimana termaktub di dalam undang-undang Otsus dan aturan-aturan turunannya.

Semua yang dikeluhkan dan pihak-pihak yang disalahkan tak terbantahkan. Semuanya benar. Tetapi persoalannya ialah “Mengapa kok orang Papua senangnya mencari-tahu dan menunjukkan jari siapa yang bersalah atas tanah leluhurnya dan atas bangsanya.” Masalahnya ialah “Mengapa orang Papua selalu bermuka dan bernada suara kesal atas realitas kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di Tanah Papua?

Lalu kita bertanya, “Apa seharusnya kita lakukan agar kondisi ini tidak merusak dan memusnahkan bangsa Papua?

Jawabannya ialah “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan“. Jangan bicara banyak tentang apa yang salah dengan NKRI, apa yang benar dengan Belanda, apa yang salah dengan TNI/Polri, apa yang salah dengan Lukas Enembe, apa yang salah dengan Bupati ini dan itu, apa yang salah terkait dengan kondisi di Tanah Papua. Hentikan! Stop! Akhiri!

Mari kita tanyakan kepada diri sendiri, kepada saya, kepada aku, kepada ego ini, “Apa yang harus saya lakukan saat ini?” Bukan apa yang saya gagal lakukan! Bukan juga apa yang saya harap bisa lakukan! Akan tetapi, apa yang dapat saya lakukan saat ini, di sini, saya sendiri.

Mengetahui dan membahas masalah bukan sebuah dosa. Itu sesuatu yang masuk akal. Tetapi mengharapkan orang yang bersalah untuk “bertobat” dan “mengaku dosa”, lalu “memperbaikinya” ialah sebuah kesalahan fatal. Ditambah lagi, mengeluh dan menceritakannya berulang-ulang di mana-mana ialah sebuah kebodohan yang mematikan diri kita sendiri.

Walaupun kelihatannys sederhana dan tidak ada artinya. Misalnya hanya berdoa saja di kamar tanpa orang melihat atau mendengar-mu sudah-lah cukup. Kalau itu yang dapat anda lakukan saat ini d sini, lakukanlah itu, daripada mengeluh dan menceritakan kesalahan-kesalahan orang lain. Kalau anda bisa memberikan sumbangan, berikanlah sumbangan untuk merubah kondisi yang ada di Tanah Papua.

Jangan berharap untuk menjadi gubernur, bupati, anggota parlemen baru melakukan hal-hal baik untuk tanah dan bangsamu. Jangan selalu mengharapkan orang lain berbuat sesuatu tetapi diri-mu sendiri menyangkal untuk berbuat dengan alasan tak punya jabatan, tak punya kuasa, dan sejenisnya.

Untuk merubah nasib bangsa dan tanah Papua tidak butuh gubernur, bupati, anggota dewan. Dia butuh Anda dan saya, orang-orang biasa, yang selalu berpikir dan bertanya, “Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini untuk tanah dan bangsaku?

 

 

Realitas Menciptakan Persepsi, dan Persepsi dapat Menciptakan Realitas

Realitas menciptakan persepsi artinya apa yang kita hadapi, entah itu secara pribadi kita alami, diceritakan orang lain secara lisan ataupun tertulis, kalau realitas itu terjadi berulang-ulang, maka lama-kelamaan ia menjadi persepsi. Persepsi membentuk emosi dan pikiran kita terhadap realitas dimaksud.

Sama halnya dengan itu, persepsi juga dapat menciptakan realitas, kalau persepsi itu secara berulang-kali kita alami dan persepsikan, maka lama-kelamaan ia menjadi realitas.

Kita singgung dalam tulisan sebelumnya terkait topik yang sama, yaitu emosi (emotion), pikiran (thought) dan api neuro (neuro fire) dan kimia tubuh (body chemical). Kita ceritakan contoh kasus polisi lewat dengan mobil patroli sewaktu masyarakat kampung minum kopi dan minum bir, reaksi dari pencuri dan ketua RT/RW terhadap mobil patroli yang lewat berbeda. Kita juga telah singgung ada demonstrasi orang dengan santai berjalan-jalan dan merokok di atas nyala api yang membakar dengan besear.

Yang membedakan kita bukanlah realitas dan kondisi yang ada dalam kehidupan kita ini, akan tetapi bagamana dan apa tanggapan kita terhadap realitas kehidupan-lah yang membedakan kita masing-masing.

Kalau saya melihat api menyala-nyala dan menganggap itu berbahaya karena dapat membakar saya, maka pasti api itu membakar saya. Kalau saya menganggap nyala api itu sama dengan kain merah-orange yang digantung di tembok, dan saya dapat bersantai di sana, maka saya dapat melakukannya juga.

Dan kalau saya menganggap dan memperlakukan api seperti ini secara berulang kali, maka “programming” ini akan masuk ke dalam alam bawah sadar, dan dari alam bawah sadar ini akan keluar reaksi spontan kita terhadap kondisi-kondisi yang ada.

Ada orang biasanya kalau ditegur atas permasalahan, atau disebutkan permasalahan yang ada, dia dengan cepat-cepat mencari alasan dan selalu berusaha menyalahkan pihak-pihak yang dirasanya bersalah dan menyebabkannya seperti itu. Ada juga orang yang akan meminta maaf dan mengaku akan memperbaikinya, walaupun dia sdar dia sendiri tidak melakukannya. Kalau masalah atau kendala muncul dalam bisnis, maka “apa reaksi kita?”, atau “apa persepsi kita” terhadap realitas yang kita hadapi? Akan kita cari kesalahan siapa ini? Ataukah akan bertanya kepada diri sendiri,

“Apa yang harus saya lakukan untuk tidak terulang kesalahan yang sama?”

Ya, benar eskali. Realitas itu membentuk persepsi kita. Dan sama dengan itu, persepsi kita juga dapat membentuk realitas. Ini sesuai dengan hukum alam, yaitu hukum keseimbangan, antara siang dan malam, kiri dan kanan, dan seterusnya.

Tips untuk Mengolah Realitas Menjadi Persepsi dan Persepsi menjadi realitas

Kita memiliki daya-cipta yang cukup untuk mengubah persepsi kita terhadap realitas kehidupan. Kita dapat mengolah persepsi kita menjadi realitas. Untuk itu, tips pertama masih sama dengan tips sebelumnya, yaitu selalu memandang semua permasalahan dari sisi peluang, dan selanjutnya apa keuntungan dari peluang yang tersedia.

Dengan memandang realitas seperti ini, maka lama-kelamaan, kita menjadi terbiasa memanfaatkan, bahkan tanpa kita sadari-pun, akan kita nikmati kehidupan yang bersahaja dan bahagia.

Tips kedua, kita harus tekun melakukannya, yaitu secara berulang-ulang, sampai kebiasaan ini menjadi bagian dari alam bawah sadar. Kalau ada kecemasan, kegelisaan, dan berusaha mencari-cari siapa yang salah, tanpa bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang harus saya lakukan unutk mendapatkan keuntungan dari realitas ini?”, maka saya harus secara berulang-ulang mempratekkan cara berpikir seperti ini, sampai cara perpikir ini menjadi kebiasaan sehari-hari.

Kalau realitas sudah menjadi persepsi, maka persepsi itu sendiri akan menciptakan realitas bagi kita, yaitu realitas menjadi kaya-raya di atas tanah leluhur yang kaya-raya ini.

Emosi (Perasaan) dan Pikiran Menyalakan Api Neuro yang Menghasilkan Kimia Tubuh

Emosi (perasaan) dan pikiran yang ada pada kita sama seperti busi motor

Busi motor menyalakan api neuro, di mana busi dan api ini menghasilkan daya “kimia tubuh”, atau sering kita sebut sebagai energi, atau dalam juga dapat disebut “suasana”.

Energi/ suasana inilah yang kemudian disebut sebagai “body experience” atau pengalaman dari tubuh kita.

Nah, pengalaman-pengalaman inilah, yang lama-ke lamanaan menjadi sebuah program, sama seperti program komputer, program website, aplikasi apa saja, yang dapat kita operasikan. Pada saat “icon” atau “menu” dari program ini ditekan, maka program itu akan jalan, sama seperti program komputer, akan memunculkan isi dari program itu.

Contoh lain. ada sepuluh orang duduk minum kopi, lalu satu mobil patroli polisi lewat di jalan, dan melihat-lihat di kampung di mana para pemuda yang minum kopi tinggal.

Reaksi, atau emosi, atau pikiran yang akan muncul bermacam-macam di antara ke-10 orang yang sedang minum kopi. Kalau di antara mereka ada yang baru saja mencuri, kemungkinan besar dia akan lari bersembunyi. Kalau di kampung itu banyak pencuri yang menjadi keprihatinan warga, atau tepat hari itu ada perkelahian antar warg, maka kedatangan polisi justru disambut dengan gembira. Bisa juga ditawari kopi untuk minum.

Lain lagi reaksi dari seorang pemuda yang baru saja keluar dari penjara. Belum juga reaksi dari seorang pemuda karang taruna kampung atau hansip kampung.

Di hari lain, ada lagi 5 orang pemuda sedang minum bir di pinggir jalan, dan sementara mereka minum, mobil patroli polisi yang sama juga lewat.

Reaksi yang berbeda pula yang akan muncul dalam peristiwa ini. Kemungkinan besar mereka semua akan melarikan diri/ bersembunyi. Kalau ada yang tertangkap, mereka akan pura-pura tidak mabuk.

“Pikiran dan perasaan merupakan suatu memori dari masa lalu, atau pengalaman, atau ingatan berdasarkan cerita/ ajaran”.

Pikiran saya, perasaan saya tentang polisi menentukan sikap saya, reaksi saya. Dan reaksi atau sikap saya inilah yang menghasilkan api neuro, yang menghasilkan kimia tubuh (energi).

Saya pernah berulang-ulang merasakan saya tidak di-inginkan hadir di suatu tempat, ditolak, atau bahaya kalau ada di suatu tempat. Saya juga merasa tertekan berada di tempat yang lain. Ada juga tempat yang saya rasakan tidak mau meninggalkannya, mau tinggal di sana sepanjang hayatku. Ini semua reaksi saya terhadap “kimia tubuh” yang diproduksi oleh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.

Anda pasti pernah merasakan dan bertanya,

“Ada yang tidak beres di sini! Saya tidak diterima di sini! Rasanya ada yang marah sama saya di sini!, Rasanya  ada yang barusan cerita yang tidak-tidak tentang saya baru saya tiba.

Reaksi ini muncul karena aura tubuh kita membaca energi (kimia tubuh) yang dihasilkan yang ada di sekitar kita.

Saya pernah menyaksikan di Hong Kong, ada seorang ditikam pakai pisau, tetapi pisau tidak menembus tangan. Ada juga yang jalan-jalan dengan santai, duduk-duduk santai di atas nya api yang begitu besar.

Yang terjadi di sini ialah “kontrol” atas pikiran kita terhadap apa yang kita hadapi, atau alami, atau lihat, atau dengar, atau rasakan. Ada lima indera (senses): see, hear, taste, touch, smell (lihat, dengar, rasa, sentuh, cium/ bau, aroma), dan kita dapat mengontrol senses kita, dengan memprogramkannya.

Ada orang bisa berjalan-jalan dengan santai di tengah nyala api. Ada pencuri tiba-tiba bergabung dengan polisi mengejar pencuri. Ada koruptor dengan santainya membahas dan mendoakan koruptor lain yang sudah menjadi tersangka dan menjalani persidangan. Yang dilakukan lain, kondisi yang ada di sekeliling tidak mempengaruhi emosi, pikiran, perasaan mereka.

Aplikasinya dalam dunia olah psikologi dan mentalitas untuk Entrepreneurship di Tanah Papua

Untuk menyalakan motor kita perlu api dari busi, untuk menjalankan bisnis kita butuh emosi dan pikiran yang membantu kita melihat apa yang terjadi di sekitar kita sebagai kesemptan bagi kita untuk menjadi kaya-raya.

Banyak tantangan, rintangan dan persoalan menghadang para pengusaha di Tanah Papua. Pertama, kondisi dan pemberitaan hal-hal politik, menyangkut Pilkada, Korupsi, Papua Merdeka, pembunuhan orang Papua oleh Polri dan TNI, dan Dana Otsus mewarnai kehidupan orang Papua.

Di dunia bisnis, kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan oleh orang-orang non-Papua, atau kita biasa sebut sebagai orang Amberi juga memancing reaksi kita pengusaha Orang Asli Papua (OAP).

Aplikasinya adalah bahwa apapun yang terjadi di sekeliling kita, entah opini publik menganggpnya itu baik atau tidak baik, enak atau tidak enak, dapat diterima atau ditolak, kita sebagai entrepreneur Papua pertama-tama harus pandai dalam mengolah emosi dan pikiran kita.

3 Tips Mengolah “Emos/ Pemikiran” terhadap Stimulus

Pertama, kita harus menerima apapun yang terjadi di sekeliling kita sebagai peluang-peluang bagi kita untuk melangkah terus, sampai cita-cita untuk menjadi kaya-raya di tanah leluhur yang kaya-raya tetap menjadi fokus kebanggaan dan dasar perilaku bisnis kita.

Kita “jangan sekali-kali” menyebut hal-hal ini sebagai “MASALAH”, tetapi menyebutnya sebagai “tantangan” (challenges). Itu artinya, sebuah kesempatan buat kita untuk berpikir bagaimana caranya untuk melewatinya.

Banyak sekali diucapkan dan terdengar dalam TV di Indonesia kalimat ini, “Setiap masalah pasti ada solusinya, setiap penyakit pasti ada obatnya”. Oleh karena itu matikan anggapan “masalah’ dan jadikan itu sebagai “tantangan”.

Lebih mantap lagi kalau kita tidak hanya menganggapnya sebagai “tantangan”, tetapi lebih dari itu, sebagai “PELUANG”, untuk terus berpacu dalam memajukan bisnis kita.

Kedua, kita harus mempelajari dan mengaplikasikan cara-cara untuk memanfaatkan kondisi sekeliling dan emosi/ pikiran kita menjadi bermanfaat untuk kehidupan pribadi kita dan untuk kondisi usaha-usaha kita.

Ada banyak cara. Menurut ajaran Universal Healing Tao System (UHTS) sebagaimana secara khusus saya sajikan dalam situs web tersendiri www.universal-tao-indonesia.com Cara yang paling terkenal dan paling mudah menurut UHTS ialah dengan mempraktekkan “Inner Smile” (Senyum Kedalam0 dan membunyikan “Six Healing Sounds” (Tiga Bunyi Menyembuhkan).

Ketiga, kita memprogramkan emosi dan pikiran kita terhadap realitas kehidupan yang mengemuka. Kita harus memprogramkan dalam ingatan kita, secara berulang-ulang, sehingga dia menjadi sebuah reaksi secara tak sadar, untuk melihat persoalan-persoalan sebagai tantangan-tantangan yang pasti akan berbuahkan peluang-peluang untuk membawa keberhasilan dalam usaha, dan akhirnya membawa kita kekayaan sebagaimana kita impikan dan perjuangkan.

Dengan demikian tanggapan kita, dalam bentuk pikiran dan perasaan ini akan memercikkan api di benak / nadi kita, yang kemudian menghadirkan energi/ kimia tubuh kita.

Hubungannya dengan Akar, Pohon dan Buahnya

Kita masih bicara tentang akar pohon, pohon itu sendiri dengan batang dan daunnya, dan buahnya. Apa yang ada di dalam akar, entah itu air, tanah kerung, batu-batuan, akan menghasilkan apa yang ada di atas tanah, subur, kering, kurus, berbuah, tidak berbuah.

Dalam tulisan ini kita belajar bagaimana caranya mengubah batu dan tanah kering tandus menjadi tanah subur di pinggir air. Jadi, kita tidak bicara tentang bagaimana memindahkan tanaman ke tempat yang ada air, tetapi bagaiman menghadirkan air di tempat mana ada tanaman kita.

Dengan tiga tips di atas, saya, Jhon Yonathan Kwano, berdoa, kiranya Tuhan turun tangan dalam mengajarkan dan mempraktekkan ajaran-ajaran ini. Karena pada akhirnya, hasil dari semua pekerjaan ini, akan membawa kemuliaan dan hormat bagi nama-Nya.

Kalau Manusia Lain Bisa, Manusia Papua Juga Bisa! Cuma….

Kalau manusia lain, seperti orang China, orang Makassar, orang Jawa bisa menjadi kaya-raya, walaupun bukan di tanah-leluhur mereka sendiri, walaupun mereka hidup merantau, berarti saya juga bisa. Itu prinsip dasar pemikiran yang harus kita camkan.

Saya menolak istilah, sikap dan keyakinan tentang “kodrat” dalam kaitannya dengan bisnis dan hubungannya dengan kaya-miskin. Kita menjadi kaya atau miskin saya anggap itu BUKAN KODRAT. Itu karena kita sendiri tidak berjuang, kita tidak merubah pola pikir, kita tidak berakar, kita tidak bekerja sesuai petunjuk Tuhan. Kaya-miskin juga bukan karena agama, tidak ada hubungannya dengan kepercayaan atau ilmu-ilmu gaib.

Kaya-miskin lebih disebabkan oleh saya sendiri. Pertama, saya sendiri tidak memiliki mentalitas dan hati, persepsi dan pikiran tidak berakar secara mendalam ke dalam diri saya sendiri. Ini faktor utama dan pertama yang sedang saya soroti dalam beberapa artikel pertama dalam blog ini. Itulah sebabnya saya menghabhiskan beberapa artikel khusus untuk berbicara tentang pohon, akar-akarnya, daun yang lebat dan berbuah dan daun yang lebat tetapi tidak berbuah, pohon yang tidak sehat tapi berbuah dan pohon yang tidak sehat ditambah tidak berbuah pula, apa alasannya dan apa nasib mereka.

Judul tulisan ini,

“Kalau manusialain bisa, manusia Papua juga bisa” di sini tidak berarti sama dengan prinsip seperti “Kalau laki-laki bisa kawin dua, perempuan juga bisa kawin dua. Kalau perempuan masak, laki-laki juga masak. Ini menyangkut kodrat. Saya orang Papua, Anda orang Jawa, itu kodrat. Kodrat sebagai manusia, tetapi juga sebagai suku-bangsa yang berbeda,”

Yang dimaksudkan dengan judul ini lebih dalam dari itu, pada tingkatan dan hakiki mereka dan kita sebagai manusia, yang dilahirkan sebagai pembuahan dari seorang ayah dan ibu, dari kandungan seorang mama, dibesarkan, dan menjadi kaya-miskin, lalu mati. Jadi, kita sama-sama manusia.

Yang membedakan kita, selain embel-embel kerja-keras, tekad bulat, dukungan keluarga dan sebagainya, pertama dan terutama ialah sikap dan mentalitas saya sendiri sebagai seorang manusia. Apakah saya menerima keadaan saya apa adanya sebagai “kodrat”? Ataukah saya berdoa kepada Tuhan, mengundang Dia turun campur-tangan dalam merubah nasib saya, untuk menjadi kaya-raya?

Ada “cuma..”, dalam judul tulisan kali ini.

Maksud saya bukan terlalu sulit. Cuma orang Papua selalu meng-kambing-hitam-kan pihak lain atas apa saja yang menimpa dirinya, tidak pernah mengambil tanggung-jawab di tangan sendiri atas apa yang sedang terjadi dalam hidup ini. Itu pertama. Lalu kedua, karena sering mencari kesalahan orang lain, akibatnya diri sendiri tidak punya sikap yang jelas, teguh dan ditopang oleh pernyataan sikap dan langkah-langkah yang jelas, yaitu berkorban untuk menjadi kaya-raya di negeri leluhur yang dikenal di seluruh dunia sebagai Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi!

Orang Papua menjadikan “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu sebagai negara besar yang timbul dari bawah. Cuma itu saja yang harus kita rombak. SETUJU?

Pohon yang Lebat Daunnya dan Berbuah Banyak Pasti Punya Banyak Supply Air

Pohon yang lebat daunnya dan berbuah banyak secara ilmu biologi maupun secara awam dipastikan bertumbuh di pinggir aliran air, entah dalam bentuk kolam, danau, kali, sungai. Kecuali pohon jambu monyet dan beberapa pohon yang berani tumbuh di atas tanah yang nyaris tidak berair, secara rata-rata semua orang tahu bahwa kalau ada tumbuhan subur, di situ pasti ada air.

Sudah saya sebutkan sebelumnya, memang ada masalah juga karena tidak semua pohon yang subur juga otomatis berbuah lebat, karena ada unsur pembuahan yang terjadi pada pohon dimaksud, yaitu ada aspek di luar tanah yang mempengaruhi juga. Tetapi yang pokok ialah pohon itu subur.

Memang ada kemungkinan orang Papua menjadi kaya dan miskin itu bisa ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, akan tetapi yang terutama ialah apakah kita berakar ke dalam dan hidup dengan air yang mengalir di sekitar kita atau tidak.

Kalau orang Papua mayoritas beragama Kristen, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran agama kita dengan sepenuhnya, jangan asal-asalan beragama dan beriman. Kalau orang Papua bekerja di Kantor pemerintah atau mengajar di sekolah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Jangan setengah-setengah. Kalau kita mau jadi kaya, maka kita harus merombak sejumlah penghambat yang menggagalkan kita menjadi kaya.

Hambatan-hambatan itu sudah disebutkan sebelumnya seperti

  1. selalu tidak percaya diri
  2. selalu menyalahkan Indonesia dan Jawa kalau ada yang salah
  3. selalu mengeluh dengan “adooo..”
  4. selalu menyesali apa yang telah terjadi

Kalau orang Papua itu rasnya Melanesia, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran budaya orang Melanesia. Jangan lupakan ritual-ritual adat, walaupun kita punya agama Kristen, Islam dan sebagainya, kita juga tidak boleh serta-merta melupakan apa yang dengan jerih-payah dan kerja-keras ditanam, dipelihara dan diwariskan oleh nenek-moyang kita.

Kalau tidak percaya, pergi saja ke seluruh dunia, dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Semua orang miskin dan melarat pasti orang-orang tradisional, suku-suku yang sudah kehilangan adat dan budayanya.

Kita sebagai masyarakat adat sudah salah mengira bahwa menjadi orang Kristen berarti membenci dan memerangi adat dan budaya. Salah fatal.

Padahal para misionaris, para pembawa agama Kristen ataupun Islam dan agama-agama lain, mereka membawa agama mereka ke tempat-tempat kita sangat kental dengan warna-warni dan cita-rasa budaya di mana ajaran agama itu dirurunkan. Mengapa kita berusah menjadi seperti orang Yahudi, karena kita percaya agama Kristen lahir di tengah-tengah bangsa Israel? Mengapa kita menjadi ke Arab-Arab-an karena Islam lahir dalam budaya Arab?

Ini kesalahan fatal. Melupakan budaya sama saja dengan mencabut pohon tapna akar-akarnya, memindahkan satu pohon dari tempat di mana air mengalir, ke tempat baru yang belum dikenal pohon itu sendiri.

Di dalam adat dan budaya kita terdapat nilai-nilai orang Papua, ethos kerja yang asli, prinsip hdiup yang mengakar ke dalam Bumi kita berpijak.

Selain itu, kita juga harus berakar ke dalam prnsip-prinsip dan cara berpikir sebagai orang kaya. Kalau kita berpikir seperti orang miskin dan melarat,maka memang kita orang miskin dan melarat. Kalau kita orang kaya, atau kita mau menjadi orang kaya, maka kita haruslah berpikir sebagai orang kaya, bukan “seperti orang kaya”.

Dengan cara berpikir “sebagai” orang kaya, maka kita akan mewujudkan kekayaan itu dalam hidup kita.


 

Kita bicara tentang akar pohon, air, pohon yang lebat dan buah yang banyak. Ini semuaya tergantung kepada air ada air atau tidak. Air yang mengalir, danau atau kolam atau sumur yang mensuplai air sangat menentukan subur-tidaknya sebuah pohon.

  • “Air” untuk seorang entrepreneur Papua itu apa?

Sudah disebutkan di atas, pertama, berakar dalam adat, budaya, dan ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kita tentang berpikir dan bersikap terhadap apa-pun yang terjadi dalam hidup ini, dan apa yang kita mau terjadi dalam hidup kita.

Kita bicara tentang hidup kita, bukan hidup orang lain, hidup pribadi kita. Oleh karena itu, tanggungjawab sepenuhnya atas apa yang akan terjadi terhadap hidup kita satu demi satu ialah kita sendiri secara pribadi.

Kita menajdi kaya atau miskin ditentukan oleh pribadi kita sendiri.

Mari kita terus mengatakan kepada diri kita,

Ya, saya mau jadi kaya-raya di atas tanah leluhur saya, Tanah Papua! Semua unsur, pihak dan aspek kehidupan ini, mari dukunglah saya, mari kita bersama-sama menjadi kaya-raya di negeri leluhur Tanah papua.

Apapun yang terjadi, entah itu perasaan

  • bingung,
  • ragu-ragu,
  • heran,
  • lucu,
  • mendua-hati,
  • sedih
  • kasihan
  • blank sekalipun atau apa saja

katakan selalu, yakinkan selalu, ulangi selalu, jadikanlah menjadi nafas dan hafalan. Itulah air itu, itulah sungai itu, danau, kolam, yang mengalirkan air ke akar-akar kehidupan, yang akan menghasilkan pohon yang subur dan akan berbuah lebat, yaitu menjadi kaya-raya di negeri leluhur sendiri.

Itulah supply air itu sendiri!

Lalu ingat, semakin banyak supply airnya, semakin lebat pula pohonnya dan semakin banyak pula buahnya

Dan sebaliknya.

Belajar dari Pohon: Yang ada di dalam Tanah Menentukan yang Ada di Atas Tanah

Belajar dari pohon ini bermaksud menjawab pertanyaan tertinggal dari tulisan sebelumnya yang bertanya,

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?

Ada banyak caranya berakar ke dalam, tergantung tujuan hidup kita. Apakah kita seorang mahasiswa, seorang pengajar, seorang politisi, pejabat publik, pengacara, dokter, dan pengusaha. Apa-pun pekerjaan dan passion kita, yang tampak dalam pekerjaan kita sehari-hari, yang kelihatan dalam pembawaan kita seharian, ialah hasil dari apa yang ada di dalam hati, jiwa/ roh, mental, dan otak kita. Kita mahasiswa berprestasi, guru yang rajin dan ramah, dokter yang cepat membantu dan sentuhan tangannya menyembuhkan banyak pasien, kita pengusaha yang menarik banyak konsumen, semuanya tergantung kepada sedalam apa kita berakar ke dalam dunia yang kita geluti.

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu kita setuju bersama, yaitu

  1. Pertama, pohon yang subur, pohon yang kering, pohon yang berbuah lebat, pohon yang berbuh sedikit, dan pohon yang tidak berbuah, semuanya ditentukan oleh “apa yang ada di dalam tanah”? Apa yang dikerjakan, dan apa yang didapatkan oleh akar pohon itulah yang menentukan pohon itu, bukan sebaliknya.
  2. Kedua, pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan buah disebabkan karena tidak terjadi pembuahan atau perkawinan, yaitu aspek yang ada di luar tanah.
  3. Ketiga, apapun yang terjadi pada diri saya, bukan disebabkan oleh dia yang lain, mereka yang lain, tetapi itu terjadi supaya saya membaca situasi dan bergerak mengambil langkah, melanjutkan perjuangan hidup ini. Dengan kata lain, jangan melihat masalah sebagai rintangan, tetapi perlakukanlah itu sebagai peluang untuk berbuat lebih banyak dalam apa saja yang kita geluti dan perjuangkan.

Tidak mungkin sebuah pokoh akan subur kalau ia bertumbuh di atas batu. Tidak mungkin pohon akan rindang dan menghasilkan buah kalau ia tumbuh di padang gurun yang tandus.

Tidak mungkin orang Papua terus mengeluh kalau dia tahu bagaimana caranya mencari tempat pertumbuhan jiwa dan rohaninya di pinggir sungai. Tidaklah mungkin orang Papua selalu menyalahkan orang Jawa dan Jakarta kalau ia tahu prinsip pohon yang subur dan berbuah-lebat disebabkan oleh akar pohon dan apa yang diisah oleh akar itu di dalam tanah. Ia akan berjuang mencari tempat di pinggir sungai, dan berusaha mencari air sedalam-dalamnya, sampai ia menemukan air.

Caranya kita berakar ke dalam sebagai seorang entrepreneur ialah pertama-tama dengan mengatakan kepada diri sendiri.

  • saya orang Papua, saya hidup di tanah leluhur yang kaya-raya, dan karena itu saya harus hidup sebagai orang kaya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan karena keslahan orang lain, bukan karena perbuatan orang lain, bukan karena nasib buruk, tetapi itu karena saya belum serius menerima berkat-berkat yang tersedia buat saya dan mengolahnya untuk mendatangkan kekayaan kepada saya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan berarti karena orang Jawa membuat saya, membatasi saya, memasang jerat, berbuat yang tidak-tidak untuk memiskinkan saya, tetapi memang itu karena saya sendiri tidak memenuhi syarat untuk menjadi kaya-raya di atas negeriku yang kaya-raya.
  • Saya menyatakan kepada diri saya saat ini,

“Saya, nama saya……., pada hari …………., tanggal……… tahun 20… di tempat ………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…., dengan ini menyatakan kepada diri saya, bahwa saya mau menjadi kaya-raya di tanah leluhur saya, Tanah Papua yang dikenal dan dijuluki kaya-raya. Tuhan dengarkanlah doaku, nenek-moyang, saksikanlah pernyataanku ini. Tanah leluhur, maklumkanlan pernyataan ini. …….Saya mau jadi kaya-raya, karena saya mau menjadi kaya-raya, dan saya layak menjadi kaya-raya, bantulah saya agar saya berjuang untuk mewujudkannya.

(Lalu ucapkan misalnya Dalam Nama Yesus untuk orang Kristen, dan Bismillah, atau lainnya, menurut agama dan kepercayaan masing-masing)