Bagaimana Cara Mengendalikan Ego yang Tinggi?

Ditinjau oleh: dr. Yusra Firdaus – Dokter Umum | Ditulis oleh: Widya Citra Andini

Banyak orang yang mengeluhkan bahwa orang terdekatnya punya ego tinggi. Atau, justru Anda sendirilah yang punya ego setinggi langit?

Memang, apa, sih, ego itu?

Kenapa punya ego tinggi selalu dikaitkan dengan karakter yang negatif?

Apakah ego Anda tinggi?

Cara termudah untuk menentukan apakah ego Anda sedang bermain adalah mengajukan salah satu dari dua pertanyaan berikut:

  • Apakah saya merasa lebih unggul dari orang lain?
  • Apakah saya merasa minder terhadap orang lain?

Jika Anda menjawab ya untuk salah satu dari pertanyaan di atas, maka kemungkinan ego Anda sedang mengambil alih pikiran Anda.

Ego adalah bagian dari kepribadian Anda
Sigmun Freud, seorang psikolog kenamaan, pernah mengatakan bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Sederhananya, ego adalah bagian dari identitas yang kita bangun sendiri.

Semua keyakinan yang Anda pegang teguh seputar prinsip, aspek kepribadian, bakat, hingga keterampilan dan/atau kemampuan Anda, turut membangun ego. Itu sebabnya ego seringkali dikaitkan dengan rasa percaya diri atau harga diri. Ego adalah bagian diri yang bertujuan untuk mencari persetujuan dari orang sekitar.

Pada akhirnya, ego membantu Anda membentuk citra diri sendiri. Citra diri dibentuk ketika kita memiliki gagasan tentang suatu aspek diri yang juga kita setujui. Misalnya saja, “Saya tidak pandai matematika,” atau “Saya pintar,” atau “Tidak ada yang menyukaiku,” atau “Aku lebih baik daripada kamu.”

Dengan mempercayai hal-hal ini, Anda juga lambat laun mencerminkan gagasan tersebut dalam segala tindak-tanduk sehari-hari sehingga Anda memang tampak tidak pandai matematika, misalnya — padahal pada kenyataannya, mungkin tidak demikian.

Ego bisa dikatakan sebagai kulit lapisan perlindungan terluar yang Anda bangun selama ini. Ego selalu fokus pada kepentingan mengutamakan diri sendiri dan tidak peduli pada realita yang dimiliki orang lain. Ego juga yang bermain dalam pikiran Anda, bahwa ketika terjadi suatu masalah, orang lainlah yang harus disalahkan, sedangkan Anda selalu dalam posisi yang benar.

Itu sebabnya kadang ego menjadi pertanda karakter yang kurang terpuji.

Berbagai cara mengendalikan ego yang tinggi
Pada dasarnya ego tidak selalu negatif. Ego bisa menjadi suatu hal yang positif jika Anda tahu cara mengendalikannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak menempatkan ego di atas segalanya adalah orang yang paling bahagia.

  1. Memahami bahwa hidup adalah proses
    Ego tidak peduli dengan proses. Asalkan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dan jauh mengungguli yang lain, ego sudah bisa terpuaskan. Sayangnya, mengikuti ego tinggi membuat Anda tidak bisa menikmati hidup.

Ego akan selalu membuat Anda merasa seperti pecundang, jika tidak berhasil mencapai sesuatu. Untuk itu, atasi ego Anda dengan menikmati setiap proses dalam hidup dan berusaha dengan sebaik-baiknya.

Ketika Anda menanamkan dalam pikiran bahwa hidup adalah perjalanan bukan tujuan, maka Anda akan menyadari bahwa proses itulah yang jauh lebih penting ketimbang hasil. Dalam proses kita melewati berbagai fase dari mulai senang, sedih, marah, dan hal lainnya yang dapat membuat hidup jauh lebih bermakna. Anda pun jadi bisa belajar dari asam garam pengalaman lalu.

  1. Jangan menyiksa diri dengan berandai “bagaimana jika” atas sesuatu yang telah terjadi
    Anda harus mengakui bahwa dalam hidup, tidak semua hal berjalan sesuai kehendak. Ada kalanya, sesuatu berjalan berkebalikan dengan yang Anda harapkan dan itulah jalan terbaiknya yang seharusnya terjadi.

Menyesali hal-hal yang telah terjadi dan memikirkannya terlalu dalam tidak akan mengubah apapun. Ego Anda akan mengarahkan pada pemikiran negatif lainnya jika Anda tidak mengendalikannya. Perlu diingat bahwa apa yang Anda inginkan tidak selalu apa yang Anda butuhkan.

  1. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain
    Ego adalah hasrat dalam diri untuk selalu membandingkan kelayakan Anda dengan orang lain. Jika pencapaian Anda dirasa tidak sesukses dengan teman sebelah, ego akan menghukum Anda dan membuat Anda merasa rendah dan tidak berguna.

Jika Anda tidak bisa mengendalikannya, maka sama saja Anda tidak menghargai diri sendiri. Sebaliknya, jika dalam suatu prestasi Anda berhasil dan mengalahkan orang lain, ego akan membuat Anda percaya bahwa Anda lebih unggul dan tak terkalahkan.

Pada dasarnya membandingkan diri dengan orang lain boleh saja, selama dalam konteks yang positif. Namun Anda tetap harus bisa menilai diri secara subjektif. Setiap manusia adalah individu yang unik dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Dengan tidak berusaha membandingkan diri dengan orang lain, Anda akan lebih fokus untuk belajar menghargai diri sendiri.

  1. Ketahui motivasi Anda
    Dalam mengerjakan segala sesuatu, Anda harus tahu apa yang mendorong Anda melakukan hal tersebut. Ego akan memaksa Anda untuk termotivasi oleh apa yang akan dicapai dan dikuasai, sedangkan diri Anda biasanya berkata sebaliknya.

Anda ingin melakukan suatu hal karena merasa akan mendapatkan pembelajaran berharga yang penting untuk bekal hidup. Perlu diingat, Anda selalu bisa belajar dari sebuah proses meskipun tidak berhasil.

  1. Berlatih untuk memaafkan dan ikhlas
    Cara yang paling ampuh untuk belajar melepaskan ego adalah menjadi pribadi yang pemaaf. Anda harus belajar memaafkan orang-orang yang menyakiti Anda dan yang terpenting belajar untuk memaafkan diri sendiri. Mengikhlaskan segala sesuatu yang tidak dapat Anda kendalikan menjadi cara sederhana untuk mengendalikan ego.

Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan. Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.

“Ego” is the Enemy, and “the Enemy” is Inside YOU!

“Wherever you are, whatever you’re doing, your worst enemy already lives inside you: your ego.”

[Terjemahan: Di manapun Anda berada, apapun yang sedang Anda lakukan, musuh Anda yang paling buruk bertempat tinggal di dalam Anda sendiri” ego anda.”]

Buku Ryan Holiday EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent (Profile Books, 2016) seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah buku yang paling menantang dan menggugah buat saya. Saya beli dan baca buku ini dengan tujuan untuk membedah apa “ego” itu sendiri. Kita sudah bahas tentang “Self”, yaitu kehadiran yang murni, keberadaan sebagai seorang manusia sebagaimana adanya, tanpa embel-embel sosial, politik, budaya, ekonomi, militer, dan sebagainya.

Pertama dia menantang saya karena sejak beberapa tahun lalu saya sudah mulai melakukan sejumlah perubahan dalam hidup saya sendiri. Ada sejumlah kebiasaan yang sudah saya lupakan. Tetapi ada beberapa kebiasaan yang masih terus datang dan terulang. Walaupun saya sesali, masih saja terulang.

Kata saya waktu itu, “Kalau saya percaya bahwa saya sanggup menjadi kaya-raya seperti orang kaya lain di dunia, maka saya harus sanggup hidup hemat!” karena saya ingat pepatah “Hemat pangkal kaya!” Sampai detik saya tulis artikel ini, saya masih belum puas dengan kehidupan “berhemat” saya.

Ada banyak sekali kebiasaan yang sudah saya hentikan. Saya katakan kepada diri sendiri, “You Stop!” dan memang dia stop minta, mengharapkan, mengeluh, menghakimi, mencari-kesalahan, mengkambing-hitamkan, dan sebagainya.

Setelah itu saya sudah mulai memaksa diri saya untuk selalu berprasangka-baik, berpikir hal-hal yang baik, menolak rasa curiga dan mengkambing-hitamkan, dan selalu optimis dalma segala hal.

Ia menantang saya karena ternyata menurut Holiday “ego” tidak harus dikalahkan, tetapi perlu “dikelola” sehingga “ego” menjadi bermanfaat buat kehidupan saya dan bagi sesama. Holiday katakan “Ego can be managed and directed”, jadi ego bukan sesuatu yang liar tak terkendali, kejam dan mematikan. Ia ada dalam diri kita sebagai sebuah “modal dasar” yang dapat kita gunakan untuk mendatangkan manfaat bagi diri kita dan bagi sesama.

Persoalan “ego” menjadi menantang karena kita harus temukan cara yang tepat untuk mengelola “ego” sehingga menjadi bermanfaat, bukan merugikan, bahkan mengalahkan kita. Holiday katakan “Ego is an unhealthy belief in our own importance.”, jadi ego itu merupakan kepercayaan kita terhadap diri kita yang tidak sehat, hal-hal yang kita anggap diri penting yang sebenarnya tidak sehat.

Saya mulai berperang melawan “ego” saya sejak mengikuti berbagai pelatihan dan praktek Universal Healing Tao System (UHTS) seperti saya sudah jelaskan dalam UHTS Indonesia dan UHTS Melanesia. Saya juga terbantukan oleh praktek-praktek Breathwork seperti saya ceritakan dalam Kisah.us

Tujuan utama saya melawan “ego” ialah menemukan “Self” itu sebenarnya siapa, apa dan di mana! Itu pertanyaan inti saya. Saya membawa “Self” yang ada dalam diri saya ini keluar dari Papua, keluar dari Mamta, keluar dari Lani, keluar dari La-Pago, keluar dari New Guinea. Dari sisi suku, marga, hubungan keluarga, asal-usul, agama, semuanya saya keluarkan, semuanya saya lepaskan, dan saya tinggalkan “Self” yang ada dalam tubuh biologis ini sendirian. Tanpa nama, tanpa marga, tanpa agama, tanpa asal-usul. Itulah “Self” yang tanpa ego

Banyak orang berpikir dan berjuang untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagia “lawan” atau “musuh”, atau “pesaing”. Dengan mengalahkan atau mengungguli si lawan atau pesaing, maka mereka merasa diri keluar sebagai “pemenang”. Tetapi minta maaf, Ryan Holiday katakan terus-terang sebagia judul bukunya, musuh pertama dan utama yang menentukan “Self” sebagaimana disebut Deepak Chopra sebagai pemenang ialah “Ego Saya Sendiri” sebagai “self-referal” seperti saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, sebagai lawan dari “object-referral”.  “Self” itu menjadi “ego” pada saat ia menjadi “object-referral”.

Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, “object-referral” artinya

kita selalu dipengaruhi oleh obyek di luar diri kita sendiri. Pikiran dan perbuatan kita selalu dilakukan sebagai antisipasi dari sebuah tanggapan, oleh karena itu, didasarkan atas rasa takut

Memang pada saat kita menjadi egois, kita menjadi “self-centered” sehingga kita merasa dunia akan runtuh tnapa kita, semua usaha akan hancur kalau kita tidak ikut campur, semua hal bisa kacau tanpa kita, dan sejenisnya. Ditambah pula, segala keberhasilan selalu dilihat terjadi karena sumbangan kita, kehadiran kita, campur-tangan kita. Dan sebaliknya berbagai kegagalan dinilai sebagai kesalahan orang lain, ada alasan lain di luar kita.

“Self-centered ambition” (ambisi yang berpusat pada diri sendiri) adalah “ego” yang harus kita kendalikan, karena saya temukan bahwa saya sendiri harus menarik diri dari semua yang melekat pada saya, yang bergantung pada saya, yang berhubungan dengan saya.

Deepak Chopra mengajarkan rumus rohani pertama untuk sukses, yaitu supaya kita kembali kepada jatidiri kita sesungguhnya, yaitu “Self” sebagai seorang manusia biasa, yang lahir, hidup dan akhirnya mati. Saya hanyalah manifestasi dari sebuah pergerakan jagat-raya, yang muncul di sini, saat ini, dengan tujuan tertentu, dengan tugas tertentu, dengan alasan tertentu. Tujuan, maksud, alasan itu harus saya usahakan untuk memahaminya. Dan cara untuk memahaminya pertama-tama harus “mematikan ego”, dan menjadi “self-referred”, bukan “object-referred”; saya harus melepaskan diri dari “rasa takut”, saya harus menerima semua hal sebagaimana adanya, menerima diri saya sendiri sebagaimana adanya saya.

Dengan cara inilah saya dapat mengendalikan musuh saya bernama “Ego saya”.

Hanya setelah itulah, saya merasa yakin dan teguh untuk muncul di depan siapapun di muka bumi, makhluk manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda, makhluk roh, dan mengatakan, “Saya sudah menang!”

Dalam agama Kristen kita sudah berulang-ulang mendengar cerita Yesus Kristus, yang datang dari surga, lahir sebagai seorang bayi di kandang binatang, di dalam keluarga seorang tukang kayu, hidup di kampung, tempat tinggal-Nya tidak menentu, bahkan untuk meletakkan kepala-Nya pun tidak ada, bahkan sampai bersedia disalibkan dan mati, tanpa berbuat salah apapun, selain mengaku diri sebagai “Jalan dan Kebenaran dan Hidup!” dan bahwa tanpa dirinya tidak seorangpun sampai kepada Bapa.

Tindakan menyangkal diri, menjadi manusia, dan rela mati, adalah tindakan “mengendalikan ego”, yaitu musuh yang ada di dalam diri kita masing-masing. Yesus sanggup dan sukses mengalahkan “musuh yang ada di dalam diri-Nya”. Itulah sebabnya Dia dikatakan telah “menang”.

Mengalahkan “ego” sendiri tidak begitu sulit, tetapi yang paling sulit ialah mengaku secara jujur bahwa ego saya adalah musuh saya, dan musuh saya itu ada di dalam diri saya sendiri, dan karena itu saya harus mengendalikannya.

“Aspire and Act Small!” NOT “Talk, Talk, Talk!”

Ego Is the Enemy, Ryan Holiday
Ego Is the Enemy, Ryan Holiday

Ada dua macam manusia yang dijelaskan oleh  Ryan Holiday dalam bukunya “EGO Is The Enemy: The FIght to Master Our Greaest Opponent” (Profile Books, 2016). Yang pertama ialah orang yang “Aspire! and Act Small!” dan kedua ialah orang yang “Talk, Talk, Talk!” Dua perilaku ini ada dengan dua macam mentalitas yang berbeda. Yang pertama punya “aspirasi” dan dengan dasar aspirasi itu, ia tidak muluk-muluk, ia tidak bermimpi siang bolong, ia tidak banyak berkhotbah, tetapi ia “melangkah dari apa yang dia bisa lakukan, dari tempatnya, dengan apa yang dia miliki.

Sementara yang satunya, punya cita-cita juga, tetapi kerjanya “bicara, bicara dan bicara”, bicara tentang apa yang dia cita-citakan, bicara tentang apa yang dia lakukan, dan mungkin juga bicara tentang apa yang dia tidak lakukan dan malahan ada juga bicara tentang apa yang tidak dilakukan orang lain.

Sangat tepat waktu, hari ini 28 Maret 2018, minggu di mana di Tanah Papua sedang berlangsung kampanye-kampanye politik untuk pemilihan sejumlah Bupati dan Gubernur Provinsi Papua. Banyak kampaye berisi janji dan laporan atas apa yang sudah dilakukan disampaikan dalam kampanye politik. Dalam dunia politik dikenal dengan istilah “social-contract”, yaitu janji-janji yang disampaikan para politisi untuk mempengaruhi opini calon pemilih agar memilih mereka. Juga berisi hal-hal yang sudah dilakukan dan akan ditingkatkan kalau dipilih kembali. Di sini ada “Talk! Talk! Talk!”

Iklan di koran, media online, TV dan radio, baliho, banner, leaflet, sampai orasi-orasi disampaikan, semuuanya berisi “talk, talk, talk”.

Ryan Holiday mengutip satu hal yang menarik buat saya, dan patut saya catat sebagai orang yang selalu bersuara di media online:

Those who know do not speak;
Those who speak do not know.

LAO TZU (ibid.:20)

[Terjemahan: Mereka yang tidak tahu berbicara; Mereka yang bicara tidak tahu.], yang dalam terjemahan pepatah Indonesia disebut “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Dalam ulasannya Holiday menyebutkan, di blog, di facebook, di twitter, di semua media saat ini selalu saja ada kolom, ada undangan, ada pertanyaan, ada ulasan yang mengundang pembaca untuk memberikan reaksi. Seolah dunia ini memaksa Anda harus berkata, harus berpendapat, harus bertutur.

Di facebook ada status dengan pertanyaan “What on your mind?”, di artikel blog diakhiri dengan “Comment”, di setiap Twitter dan Facebook ada tombol “Comment”, ada tombol “Like” “Love”, “Favorite”, yang mengundang kita tidak harus pasif tetapi menjadi aktif.

Artikel saya sebelumnya saya beri judul “Tanyakan Apa yang Harus saya Lakukan Saat Ini, Di sini, bukan mengkritisi Apa yang Mereka Belum Lakukan” Beberapa bulan kemudian saya temukan buku ini yang ditulis oleh Holiday yang menuntut saya untuk bertanya kepada diri sendiri apa yang sudah saya lakukan daripada berkata-kata apa yang saya mau lakukan, daripada berjanji tentang apa yang akan saya lakukan kalau dipilih.

Dalam suasana kampanye politik ini, saya berdoa agar bagi mereka yang berkampanye tidak berbicara, berbicara dan berbicara tentang apa yang mereka akan lakukan. Saya lebih berharap agar mereka BERBICARA TIDAK tentang apa yang tidak dilakukan oleh lawan politik mereka. Mereka TIDAK BICARA TENTANG apa yang mereka akan lakukan, tetapi tentang “Apa yang mereka sudah lakukan dan yang mereka sedang lakukan”.

Bagi kita yang tidak berpolitik juga terlebih penting untuk tidak mengkritik para politisi. Ingat, saya sudah kutip apa yang ditulis Doopak Chopra, yaitu bahwa “Self” ini harus kita disiplinkan sehingga dia harus menjalani hidup ini “non-judgmental”, tidak menghakimi apapun, siapapun selama beberapa detik, menit, hari, minggu, tahun, dan bila perlu seumur hidup.

Judul tulisan ini saya bermaksud agar kita “bercita-cita itu penting”, tetapi selain kita bercita-cita, kita haruslah melangkah/ bertindak melakukan apa yang kita inginkan, sehingga kontribusi kecil kita dalam jangka panjang dapat mewujudkan apa yang kita aspirasikan. Jangan pernah menuntut sebuah aspirasi untuk terwujud hari ini. Jangan membiasakan diri membicarakan aspirasi, agar kita tidak banyak bicara tanpa berbuat apa-apa. Jangan mengkritik orang lain! Jangan mencari kambing-hitam.

Soekarno punya kata mutiara “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Itulah aspirasi! Tetapi cita-cita di langit dan mimpi yang melangit tidak harus disertai banyak bicara. Kalau banyak bicara siapa yang mengerjakannya? Kalau mengharapkan orang lain mengerjakannya siapa yang harus mengerjakannya. Kalau menunggu, kapan baru dimulai? “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Klalau bukan saya/ kita, siapa lagi?” (Prabowo Subianto)

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, oleh karena itu, cita-cita yang setinggi langit, pasti bisa dicapai dengan langkah kita sendiri seorang diri yang kita lakukan sedikit demi sedikit, karena lama-lama akan mencapai langit.

Nelson Mandela: “Kerendahan Hati” ialah Kunci Pemimpin sebuah Bangsa

Nelso Mandela
Nelso Mandela

Hari ini (tanggal 02 Februari 2018) saya menonton sebuah wawancara di YouTube. Oprah Winfrey mewawancarai Nelson Mandela. Menjawab pertanyaan Winfrey, “Siapa tokoh atau pemimpin dunia yang Anda banggakan? Apakah Muhammad Ali dari Amerika Serikat, Kol. Khadafi dari Libya, Jasser Arafat dari Palestina, atau Fidel Castro dari Cuba?” Beliau menjawab dengan tegas bahwa semua pemimpin yang disebutkan dikaguminya dan dibanggakannya berdasarkan sumbangan yang mereka berikan di bidang pekerjaan masing-masing. Mereka pejuang yang kokoh dan berani berdiri berdasarkan apa yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran, dengan segala kerendahan hati. Jadi, menurutnya “syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin yang besar ialah kerendahan hati”.

Kerendahan hati bukan berarti sebuah kelemahan atau kehinaan tetapi sebaliknya sebuah kekuatan dan keagungan; kerendahan hati artinya tidak sombong dan kerendahan hati ialah tidak egois. Yang pertama, pemimpin yang rendah hatinya bukan berarti pemimpin itu lemah dan hina. Pemimpin yang rendah hati tidak menghina harga dirinya, tetapi ia pemimpin yang mengenal baik siapa dirinya, siapa yang dia pimpin dan apa tanggung-jawabnya. Yang paling mendasar ia sadar diri sebagai seorang makhluk manusia di muka Bumi yang punya plot waktu untuk hidup dan berkarya di dunia. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menyadari diri sebagai seorang manusia membantu kita mengakui betapa kita terbatas dalam banyak hal karena kita hanyalah manusia. Kita terbatas dalam hal waktu dan ruang, terbatas dalam akal dan pikiran, terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan. Kita dibatasi oleh hal-hal di sekitar kita, yang membentuk dan membesarkan kita. Kita dilahirkan pada suatu waktu, bertumbuh menjadi dewasa, berkiprah dan menjadi tua dalam batasan waktu dan tempat kita. Dan akhirnya kita meninggalkan dunia fisik ini pada suatu waktu di suatu tempat. Kita harus menyadari betapa terbatas dan tidak berarti diri kita sebagai seorang manusia. Itulah kerendahan hati yang dimaksud Mandela.

Kedua, pemimpin yang besar tidak sombong. Mentalitas, sikap dan perilaku tidak sombong artinya tidak membangga-banggakan dirinya dengan alasan apapun.

“Satu definisi tentang kesombongan adalah harga diri yang berlebihan. Kesombongan demikian membuat seseorang secara tidak patut merasa dirinya paling penting dan paling unggul, barangkali karena kecantikan, ras, status sosial, bakat, atau kekayaan. (Yakobus 4:13-16)” < https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102007086>

Atau juga karena apa yang pernah ia lakukan dalam kehidupan dia, atau apa yang dicapai oleh dirinya, keluarganya, marganya, sukunya, bangsanya.

Perhatikan teladan Yesus. Sebelum datang ke bumi, ia adalah makhluk roh yang perkasa di surga. Dan sewaktu di bumi, ia sempurna, tanpa dosa. (Yohanes 17:5; 1 Petrus 2:21, 22) Ia memiliki kesanggupan, kecerdasan, dan pengetahuan yang tak tertandingi. Sekalipun demikian, ia tak pernah pamer tetapi tetap rendah hati. (Filipi 2:6) Ia bahkan mencuci kaki para rasul pada suatu peristiwa; dan ia memperlihatkan minat yang tulus kepada anak-anak kecil. (Lukas 18:15, 16; Yohanes 13:4, 5) Bahkan, sambil menempatkan seorang anak di sampingnya, Yesus berkata, ”Barang siapa merendahkan dirinya seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam kerajaan surga.” (Matius 18:2-4) Ya, di mata Yesus—dan juga Bapaknya​—kebesaran sejati berasal dari kerendahan hati, bukan kesombongan.​—Yakobus 4:10. <Ibid.>

Ciri rendah hati yang ketiga ialah “tidak egois”, tidak egois secara individu maupun secara kelompok. Tidak egois artinya tidak mementingkan diri, status, kepentingan sendiri demi kepentingan orang orang lain atau kepentingan bersama. Ia punya kemampuan untuk “mengalahkan dirinya sendiri” dari ambisinya, hasratnya, niatnya dan bahkan kecanduan yang ada pada dirinya demi kepentingan bersama.

Kata “aku” (ego) tidak ada dalam kamus otaknya maupun kamus tutur-katanya. Kata “kami” juga hampir tidak ada. Yang ada ialah “kita” atau “kita sekalian”, secara bersama-sama, secara utuh, secara keseluruhan. Kalau jatuh kita bersama-sama, kalau bangun, juga kita secara bersama. Kalau gagal ataupun sukses, juga kita bersama-sama. Tidak perlu mencari kambing-hitam, tidak berusaha membenarkan dan menyalahkan satu sama-lain.

Yesus sebagai Sang Pencipta, Raja di atas Segala Raja, menanggalkan ke-Tuhanan-Nya, turun ke Bumi, menjadi seorang manusia, lahir sebagai seorang bayi, di kandang binatang, dibesarkan dalam keluarga tukang-kayu, dan untuk meletakkan kepala saja tidak punya tempat. Sang Pencipta langit dan Bumi menjadi terlantar, terhina, terbunuh di kayu salib. Ini penyangkalan diri yang total, teladan terbaik bagi setiap orang di manapun kita berada, yang mengaku diri bekerja untuk kepentingan umum, kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan negara, dan sebagainya.

Manusia yang tidak egois akan merangkul semua pihak dan bersahabat dengan semua orang. Ia nyaris tidak punya musuh, selain egois itu sendiri sebagai musuh utamanya. Orang yang tidak egois sering menjadi “pemadam kebakaran” saat kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain saling bersentuhan dan terjadi interaksi tolak-menolak atau timbang-menimbang. Manusia yang tidak egois tidak akan pernah mencari-cari kesalahan-kesalahan dari orang lain, dari sesama pejuang, dari sesama umat manusia. Ia selalu menggali dan berusaha memupuk kesamaan-kesamaan dalam usaha mempuk kebersamaan.

Tiga ciri kerendahan hati ini terkait dengan “emosi” seseorang, secara emosional mengenal diri sebagai seorang manusia, tidak membangga-banggakan diri, dan menyangkal diri dengan berbagai asosiasinya. Ini semua terkait dengan sebuah “mental construct”, bangunan pikiran yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.

Nelson  Mandela memberikan saran yang jelas tentang dilema yang dialaminya saat dia berada di penjara, “Apakah harus mengikuti emosinya membenci dan memusuhi penguasa kulit putih dan menolak untuk berbicara dengan mereka, ataukah mengikuti pemikiran rasionalnya berbicara dengan mereka untuk menyelesaikan masalah yang  menimpa tanah leluhurnya?”

Dilema ini ia selesaikan dengan cara “merendahkan diri” dan memfokuskan diri kepada solusi yang tepat untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan. Dia keluar sebagai pemenang, walaupun ada berbagai pihak yang menganggapnya dia melakukan kompromi dengan penguasa tidak manusiawi.

Sesungguhnya  kekuatan seorang pemimpin ada pada kerendahan hatinya. Dengan kerendahan hati ia akan sanggup mengalahkan semua yang dianggap sulit dan tidak akan pernah terselesaikan. Dosa dan maut dikalahkan di kayu salib oleh kerendahan Yesus. Apartheid dikalahkah oleh penyangkalan diri Mandela. Siapa menyusul?