Senang Tampilkan Foto vs Senang Tulis-Tulis di Media Sosial

Pembuka

Ada dua kelompok manusia saat ini hadir di media sosial. Yang pertama, silakan ke Facebook.com, dan perhatikan dengan mudah saja anda akan temukan ada saja orang Papua yang selalu berganti foto setiap hari, bahkan foto profil-pun digonta-ganti. Setiap apapun yang dilakukannya, pasti difoto dan ditampilkan di Facebook atau Instagram atau Twitter.

Kelompok kedua ialah orang-orang yang selalu berkomentar, memberikan catatan dan menyatakan pendapat terhadap berbagai hal dalam kehidupan. Akan tetapi, lebih cenderung ialah menyoroti berbagai persoalan yang muncul secara hukum, sosial dan politik. Walaupun di Melanesia belum nampak, banyak juga yang berbicara tentang agama, iman dan moralitas.

Fokus Pikiran

Kelompok pertama memfokuskan diri kepada diri sendiri. Apa yang ada di dalam dirinya, yang ada di luar dirinya, di sekitarnya, dan bahkan di luar di dunia maya sana menjadi perhatian dia. Saya baru saja menanyakan salah satu orang yang selalu mengeluarkan foto-foto setiap hari ini halaman facebook.com nya, “Apa dasar yang mendorong di dalam hati, sehingga semacam terdesak menaikkan foto-foto diri sendiri?” Menarik, ia menjawab, “Saya mau orang melihat saya cantik, saya menarik, saya masih bisa diandalkan”. Dalam hal ini perempuan yang menyatakan hal ini, sehingga, dengan mudah kita mengatakan dengan singkat, “Ia sedang mencari perhatian!” Dan dalam hal ini perhatian dari lawan jenis. Tujuan dari mencari perhatian bisa bermacam-macam, dari yang paling sederhana, hanya supaya orang bangga melihat dirinya sampai merasa tertarik dengannya.

Sedangkan kelompok kedua memfokuskan dirinya kepada hal-hal yang dilihat salah atau keliru di pihak orang lain di luar sana. Contoh yang paling mudah, ialah orang Papua melihat NKRI salah, orang Indonesia salah, PBB salah, Papua New Guinea salah, pemerintah salah. Dengan dasar pemikiran ini, sama seperti saya sendiri, karena saya sendiri masuk dalam kelompok ini, maka tuilsan-tulisan yang kami sampaikan ialah untuk paling tidak menegur, dan kalau untuk merubah pola pikir dan kemudian perilaku orang-orang yang kita lihat dan anggap keliru atau bersalah.

Jadi, kelompok pertama dan kelompok kedua sebenarnya didorong oleh sesuatu yang sama, yaitu bahwa ada sesuatu yang dianggap belum ada di dalam dirinya, sehingga ia sedang mencari perhatian dari pihak lain di luar sana, terutama di dunia maya. Tujuannya agar pihak lain yang diharapkan itu dapat menanggapinya. Tanggapan untuk kelompok pertama ialah menyukai gambar-gambar yang dikeluarkan, dan bila perlu “jatuh hati”, dan selanjutnya berpikir untuk menjalin hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara tanggapan yang diharapkan oleh para penulis di dinding facebook.com ialah perubahan pemikiran dan kemudian diwujudkan dengan perubahan perilaku. Akan tetapi tujaun jarak-dekat ialah untuk membuat si pembicara atau pelaku yang disorot supaya merasa malu.

Contohnya saya tulis catatan singkat ini, agar supaya kedua belah pihak merasa sadar, dan menyatakan, “Ah, begini e!” adoh, kalau bagitu bagaimana?”

Simpulan

Yang jelas tujuan saya menulis catatan ini bukan untuk memperbaiki siapa-siapa, akan tetapi supaya kita berdialog dengan diri kita sendiri sebelum kita menulis dan sebelum kita mengupload video, audio atau gambar, sehingga tantara tujuan kita dan apa yang kita lakukan tepat, sehingga orang lain tidak salah sangka, dan supaya kita sendiri tidak salah langkah.

Tidak ada yang salah dan benar, tidak ada yang dosa dan kudus. Yang disoroti di sini ialah agar kita semua sadar akan apa yang sedang kita lakukan, dan juga bisa mengukur sejauh mana tujuan kita tercapai dengan apa yang kita lakukan selama ini.

Paling tidak ada perubahan, dari waktu ke waktu segala sesuatu berubah… dan oleh karena itu perilaku media sosial kita juga perlu disesuaikan dengan kondisi bathin dan mental kita, disesuaikan dengan tujuan hidup, tujuan tindakan kita dalam bentuk foto-foto, video, audio dan tulisan.

[Salam waras…..!]

 

Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (2)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

Selalu Berharap kepada pihak lain (berlanjut…)

Selalu menyalahkan pihak lain (lanjutan…)

Berlanjut dari ciri sebelumnya, yang kedua, orang Papua yang memenuhi syarat dijajah ialah orang Papua yang selalu menyalahkan pihak lain atas segala-sesuatu yang menimpa dirinya, kelompoknya, pribadinya, suku-bangsanya, kampungnya, kabupatennya, provinsinya, pulaunya, rasnya.

  • Kalau Pepera 1969 Gagal, orang Indonesia, Belanda, Amerika Serikat yang salah, PBB yang salah
  • Kalau orang Papua mati, maka Jawa yang salah
  • Kalau orang Papua miskin, maka Indonesia yang salah
  • Kalau Otsus gagal, NKRI yang salah,
  • Kalau PNG tidak mendukung, Perdana Menteri yang salah
  • Kalau tidak ada negara di dunia yang mendukung, itu karena MSG dan PIF yang tidak cukup bicara untuk bangsa Papua

LALU PERTANYAAN-nya

  • APAKAH ORANG PAPUA TIDAK PERNAH BERSALAH?
  • Masalah ini soal bangsa mana? Lalu salah ini salah siapa?

Pribadi lepas pribadi, bangsa demi bangsa yang tidak pernah mengaku bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi pada dirinya oleh karena dirinya sendiri yang harus berubah adalah bangsa yang layak dijajah, karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, karena dia hanya melihat pertolongan datang dari luar, dan karena itu kalau ada kesalahan-pun itu karena kesalahan pihak lain pula.

Maka tanggapanya, memang ini orang layak dijajah.

Selain tidak percaya diri, dia juga tidak bertanggung-jawab menerima realitas dan mengakui diri sebagai subyek dari realitas kehidupan yang dijalani dan tidak selalu berada sebagai obyek passive.

Oleh karena tidak bertanggung-jawab atas apa yang menimpa dirinya, maka solusinya-pun dicarinya dengan mengharapkan pihak lain pula yang berubah, pihak lain yang bersikap, pihak lain yang bersmpati dan berempati, pihak lain yang mengambil langkah.

Mentalitas pengemis seperti ini menunjukkan bangsa itu memenuhi syarat untuk dijajah. Sebuah bangsa yang selalu berharap kepada bangsa lain, dan selalu menuduh bangsa lain memenuhi syarat 100% untuk dijajah. Oleh karena itu, kalau bangsa seperti ini memperjuangkan kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai sampai bangsa ini, pejuang yang ada di dalamnya berubah dan percaya bahwa yang bertanggung-jawab atas dirinya sendiri dan atas bangsanya, entah untuk kebaikan atau atas masalah, adalah diri sendiri, bangsa sendiri, pihak sendiri.

Sampai titik itu, maka kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, karena pribadi atau bangsa itu masih memenuhi syarat untuk dijajah.

 

 

 

Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (1)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

 

Selalu Berharap kepada pihak lain

Ada dua contoh perlu ditunjukkan di sini, yang pertama, orang Papua yang selalu berharap kepada Jakarta dan orang Indonesia. Kedua orang Papua yang selalu berharap kepada orang barat, dan orang MSG (negara-negara MSG).

Yang pertama, orang Papua dan hubungannya dengan orang Indonesia

Untuk membangun Papua, untuk memajukan Papua, untuk merubah Papua, kebanyakan orang Papua selalu menaruh harapan kepada Jakarta, orang Indonesia sebagai jalan satu-satunya. Tanpa kehadiran mereka, orang Papua tidak bisa maju, tanpa kehadiran mereka, tanah Papua tidak akan pernah maju.

Harapan kepada orang Indonesia ini bergeser satu generasi lalu. Pada generasi lalu hampir semua urusan kepentingan bangsa Papua tergantung kepada misionaris, orang asing. Orang Papua yang berharap kepada misionaris didahului oleh orang Papua yang tidak pernah berharap kepada siapa-siapa, orang Papua yang bahkan tidak tahu kalau ada orang lain di luar sana. Orang Papua yang punya cerita tentan “Kabar” baik dalam versi sendiri, tanpa pernah mengharapkan siapapun dari luar.

Begitu misionaris masuk dengan “Kabar Baik” maka keseluruhan harapan digantungkan kepada misionaris, dengan menggantungkan harapan keselamatan kepada Yesus Kritus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Begitu generasi berganti, dan NKRI mulai menujukkan eksistensinya atas bangsa Papua, ditambah lagi dengan pengusiran semua misionaris dari Tanah Papua, maka generasi sekarang lebih berharap kepada orang Indonesia dan NKRI untuk mendatangkan kebaikan.

Makanya kita lihat banyak pernyataan dibuat dan banyak upaya dilakukan dalam rangka mendorong Indonesia membangun tanah Papua dan bangsa Papua.

Orang Papua sekarang berharap NKRI membagi-bagi tanah Papua menjadi banyak kabupaten, kota dan provinsi, distrik dan desa di seluruh Tanah Papua. Banyak orang Papua sekarang mengirim anak-anak mereka ke Indonesia dengan harapan anak-anak menjadi pintar di Indonesia dan pulang untuk memajuan Tanah Papua.

Sebagai variasi dari orang Papua bermental budak yang tidak percaya kepada diri sendiri, orang Papua yang layak dijajah selalu mengharapkan orang lain untuk merubah nasibnya. Ia jarang bahkan tidak pernah melihat hal-hal yang ada pada dirinya yang dapat didaya-gunakan untuk merubah nasib, memajukan, mengembangkan dirinya sendiri. Semua yang dimilikinya dianggap tidak berguna. Semua yang ada pada orang Indonesia dianggap lebih berguna dan semua yang ada pada orang Papua dianggap merugikan.

Kita pindah ke fenomena ini di kalangan pejuang Papua Merdeka.

Sebagaimana kita ketahui biar ada orang Papua menyebut diri sebagai pejuang Papua Merdeka, tetapi mereka tetap menunjukkan mental “berharap kepada orang lain”, yaitu kepada MSG (Melanesian Spearhead Group) dan lembaga internasional lain dan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).

Selain itu, orang Papua Merdeka ini juga berharap kepada NKRI untuk memberikan sebuah referendum untuk Papua Merdeka. Makanya tuntutan referendum selalu keluar dalam semua kampanye Papua Merdeka. Jadi begini, ada perjuangan untuk membebaskan diri dan tanah Papua. Ada juga perjuangan mengemis kepada penjajah, karena kita berharap kepada Indonesia untuk memberikan opsi referendum, karena kita berharap kepada PBB untuk mendesakn Indonesia memberikan pilihan untuk menentukan nasib sendiri.

Jelas, tuntutan referendum adalah permintaan seorang budak, yang dari mentalnya mudah disebut layak dijajah. Karena menuntut referendum mengandung arti orang lain harus memberikan opsi dimaksud, tidak bersumber dan bertumpu pada diri sendiri, tetapi berasal dan bertumpu pada PBB dan Indonesia.

Yang kedua, nada-nada kampanye selalu menunjukkan “cengengesan”, atinya berisi kalimat-kalimat belas-kasihan, terbaca bahwa apa yang kita ucapkan itu mengharapkan tindakan orang lain, tindakan didasarkan kepada kemanusiaan, rasa iba, rasa kasihan dan lainnya dari pihak lain kepada bangsa Papua.

Selalu menyalahkan pihak lain (berlanjut…)

 

2 Ciri Manusia Papua Bermental Budak

Komentar Pembuka

Kalau dibilang manusia bermental budak telah banyak tulisan di luar sana, akan tetapi saya mau tulis sebutkan secara khusus dua ciri mentalitas Papua saat ini yang menunjukkan bahwa kita bangsa Papua sebenarnya bermental budak.

Walaupund alam sejarah perbudakan kolonial kami tidak pernah mengalami perbuadakan. Yang mengalami pertama-tama teman-teman kami di Afrika, sebagian teman di Eropa dan Amerika Selatan, sebagian kecil di Melanesia juga pernah mengalaminya. Akan tetapi hampir tidak terdengar cerita perbudakan atas bangsa Papua di era kolonial.

Akan tetapi anehnya, mentalitas budak itu ada pada orang Papua. Berikut dua di antaranya.

 

(1) Mentalitas Tidak Percaya Diri

Karena tidak percaya kepada dirinya, pernah ada orang Papua ke Australia, saya tidak usaha menyebutkan namanya karena orangnya masih hidup saat ini, dia bertanya kepada salah satu anggota parlemen Inggris dengan pertanyaan ini, “Apakah Papua bisa merdeka dari Indonesia?” Saat pembicaraan ini terjadi, ada anak Papua yang tinggal di Australia menjadi jurubahasa untuk pemimpin West Papua ke Australia. Saat pertanyaan ini diajukan, sang penerjemah merasa malu harus menerjemahkan pertanyaan tidak pantas ini, akan tetapi demi kejujuran menjalankan tugasnya, ia-pun menerjemahkan sesuai pertanyaan pemimpin bangsa Papua ini.

Ini mental budak yang paling parah, karena yang pertama dia tidak percaya diri, dan kedua, dan paling menggemaskan, dia malah menanyakan ini kepada orang asing, orang yang dia berhadapan untuk memintakan dukungan untuk Papua Merdeka.

Itu contoh ekstrim.

Contoh lain kita temui di Tanah Papua. Banyak gubernur, bupati dan pejabat di Tanah Papua selalu bertanya-tanya kepada orang Indonesia tentang apa saja yang mereka mau lakukan di tanah Papua, menghadapi berbagai perkembangan di Tanah Papua. Banyak tenaga ahli yang mereka tempatkan adalah para preman jalanan dari Jakarta. Banyak bendahara, jurubayar dan jurumudi yang mereka tempatkan juga anak-anak pengangguran dari Indonesia, yang mengaku diri lulusan perguruan tinggi dengan pakat dan gelarnya. Para pejabat Papua tidak pernah mengecek, mereka tidak pernah menguji, karena sama-sama tidak percaya diri.

Apa saja yang dikatakan orang-orang sekeliling para pejabat ini, mereka taati. Akibatnya, apa pun yang dikatakan orang Papua yang berilmu dan berpengetahuan dipandang sebagai salah atau tidak tepat atau bertentangan.

Saya harus terus-terang, hampir 100% Bupati, Anggota Dewan dan pejabat di Provinsi di Tanah Papua pernah pergi kepada dukun-dukun di Indonesia, pernah mandi kembang, pernah disuruh mengawini roh, dan pernah melakukan ritual-ritual adat orang ala Melayu-Indonesia.

Ini sebagian tanda bahwa orang-orang Papua ini tidak percaya diri

  1. Tidak percaya dirinya orang Kristen, dan dirinya memiliki Kristus, yang ada Raja di atas segala raja;
  2. Tidak percaya dirinya orang Kristen, Roh Kudus yang berkuasa atas setan apapun ada di dalam dirinya.
  3. Tidak percaya dirinya orang Papua Kristen, yang memiliki roh moyang lebih besar, lebih banyak daripada roh-roh dari Indonesia.

Ada dalam kasus Papua Merdeka hari ini. Saat ini sedang berlangsung pertemuan-pertemuan berseri para pejuang Papua Merdeka. Mereka selalu bersidang, tanpa menghasilkan keputusan yang berarti bagi tanah dan bangsa ini. Mereka berputar-putar, membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti siapa presiden, siapa menteri, undang-undang mana yang harus dipakai dan sebagainya. Selain itu, mereka selalu tergiring emosi, mengedepankan perasaan daripapada rasional, mereka tidak strategis dalam mengajukan konsep dan pembahasan tidak berbobot karena hanya berputar-putar di wilayah gosip, spekulasi dan perkiraan dukungan asing dan reaksi NKRI.

Argumen yang dikemukakan selalu sentimentil dan sangat sempit kepada karir atau kepribadian para individu, tidak ada rasionalisasi, wacana dan argumen yang membangun, menantang dan membuka cakrawala. Ini mental budak, mental tidak percaya diri. Karena dia budak maka dia tidak percaya diri. Dan karena dia budak, maka dia harus merujuk kepada pihak lain sebagai alasan wacana dan tindakannya.

Mentalitas tidak percaya bangsa Papua yang berjuang untuk merdeka juga terlihat dari foto-foto yang dinaikkan di Facebook setelah mereka tiba di Geneva, Swiss, New York Amerika Serikat,. Mereka berfoto dan bergaya mengatakan bahwa PBB yang akan bantu Papua Merdeka, Uni Eropa yang akan membantu, Amerika Serikat yang akan berbicara untuk Papua Merdeka. Oleh karena itu, hehadiran mereka di tempat-tempat ini penting bagibangsa Papua dan perjuangan kemerdekaan yang ada di tanah Papua.

Kemarin setelah Joe Biden menang Pilpres Amerika Serikat, ada pejuang Papua Merdeka yang bicara-bicara katanya Joe Biden akan bicara banyak untuk West Papua. Ia langsung menghubungkan kemenangan Biden dengan dukungan untuk West Papua. Ini mental budak, mental tidak percaya diri. Karena dia budak maka dia tidak percaya diri. Kalau kita bertanya kepadanya, Äpa hubungan sikap dan mental seperti ini dengan Papua Merdeka?”maka jawabannya tentu saja hubungannya orang Papua bermental budak.

Pernahkan Anda menyaksikan mental budak itu dari Jakarta? Perhatikan setiap pemipin Indonesia dilantik, setiap ada masalah di Tanah Papua, Presidn Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia, Menteri Pertahanan Indonesia, pasti ke New York, pasti ke London, pasti ke Canberra, tida ibukota negara itu. Dalam rangka apa? Pertanyaan yang mereka ajukan ialah, “Apakah Anda mendukung Papua Merdeka? Bukankah Anda mendukung Indonesia menjajah West Papua?”

Mengapa mereka harus bertanya?

Jawabannya karena mereka negara merdeka yang masih bermental budak.

Mereka tidak percaya diri karena mereka tidak sanggup mengambil hati orang Papua, jadi mereka harus bertahan di Tanah Papua dengan memintakan dan mendapatkan dukungan dari negara barat.

 

(2) Mentalitas Curiga-Mencurigai

Manusia yang selalu curiga-mencurigai ada di negara-negara bangsa yang pernah dijajah, dan di masyarakat di mana masyarakatnya layak dijajah karena masih bermental budak. (AT)

Silakan anda keliling ke seluruh dunia. Silakan tinggal, makan, tidur dan bercakap dengan beberapa suku-bangsa ini:

  1. Indonesia
  2. Malaysia
  3. Thailand
  4. Philipina
  5. Hong Kong
  6. Inggris,
  7. Irlandia
  8. Ethiopia
  9. Afrika Selatan
  10. Papua New Guinea
  11. West Papua
  12. Vanuatu

Silakan bertemu, bercakap atau tinggal bersama-sama. Ada kesan umum yang akan Anda dapatkan di antara orang-orang seperti orang Indonesia, orang West Papua, orang Irlandia dan orang Afrika Selatan. Ini negara kelompok pertama yang bila anda bertemu akan anda temukan di tengah-tengah kesederhanaan atau kerumitan hidup mereka, terpancar rasa, warna, atau suasana “curiga” dan “tidak percaya” satu sama-lain, baik di dalam kalangan sendiri atau di dalam masyarakat pada umumnya.

“Curiga” menjadi tema penting, dan tema umum. Di Indonesia dikenal sebuah ungkapan,

“Kalau di Indonesia ma, malaikat-pun patut dicurigai kalau dia mengaku malaikat dari Indonesia”

Dalam masyarakat seperti ini hampir tidak ada pihak yang dapat dipercaya. Dalam masyarakat yang serba saling mencurigai “rasa takut”mendominasi segala pola pikir, wacana dan tindakan.

Kontrasnya kalau Anda ke Thailand dan Inggris, suasananya sangat berbeda. “Curiga” sama sekali tidak ada, tetapi mereka selalu memperlakukan semuanya secara logis dan terbuka. Kalau mereka tidak senang, atau kalau mereka senang, maka mereka akan mengatakannya secara up-front.

Sekarang dalam kalangan orang atau organisasi perjuangan Papua Merdeka sangat parah, lebih parah dari kondisi mentalitas budak Indonesia. Di kalangan orang Papua Merdeka antara Benny Wenda dan Oktovianus Motte seperti anjing dan kucing. Topik pembicaraan utama Benny Wenda ialah tentang Motte. Topik Motte ialah tentang Wenda.

Belum lagi antek-antek mereka, clique mereka di bawah, terbelah dua sampai tiga, terbagi, terkotak-kotak. Ada pendukung ULMWP, ada pendukung TPN/OPM, ada pendukung NRFPB, ada pendukung TPN PB OPM, ada pendukung NRFPB, ada pendukung WPNCL.

Baca halaman facebook, status para pejuang Papua Merdeka menebarkan kecurigaan, cerita-cerita yang saling menjelekkan sampai saling mengancam dikeluarkan. Satu pihak menuduh pihak lain adalah agen dan antek penjajah Indonesia dan mengkleim diri yang paling benar di dunia ini dalam hal perjuangan Papua Merdeka.

Tidak hanya itu, di dalam ULMWP sendiri, saling mencurigai begitu subur dan sangat berbau busuk, tidak sanggup kita bernafas kalau sudah masuk ke dalam ruang-ruang sidang ULMWP. Dampaknya banyak proses politik tidak berjalan seperti yang diharapkan.

 

Komentar Penutup

Saya percaya Anda-pun punya tambahan catatan tentang ciri manusia Papua bermental budak. Saya mintakan dikirimkan ke info@epapua.com

Mari kita benahi dan menghapus mentalitas budak dengan percaya kepada diri sendiri, percaya kepada apa yang ada pada diri sendiri, apa yang bisa dilakukan diri sendiri, dan terus melangkah.

  • Kalau orang Papua mau dirikan negara kampungan, ayo dirikanlah negara kampungan, tidak perlu kuatir, tidak usah bingung. Kesempurnaan itu milik Tuhan, vonis adalah otoritas Allah. Tugas kita berjuang dan mengambil sikap semampu kita, apa adanya.
  • Kalau orang Papua mau tinggal di dalam NKRI, ayo tinggallah di dalam NKRI, jangan berpura-pura mau merdeka padahal mau tambahan  jatah uang Otsus.
  • Kalau orang Papua bingung, juga tidak usah kuatir, semua orang punya kekurangan punya kelebihan, oleh karena itu katakanlah demikian seadanya.

Yang terpenting ialah kita jangan masuk ke dalam kategori orang Papua bermental budak dengan menghapus dua buah kebiasaan, mental, pola pikir di atas.

Kita harus berani keluar seadanya, sebagaimana adanya, yang aktual dan yang real.

Kita juga harus berani menghapus “curiga”dari otak kita, dari hati kita, dari pikiran kita, dari perasaan kita. Kita harus berjuang, dan berjuang untuk saling percaya. Kita harus temukan satu titik kesamaan yang sama dan satu, dan dari situ kita memandang ke depan, ke satu titik yang sama dan satu. Maka kita akan temukan, bahwa rasa curiga hanya muncul dari “rasa takut”, dan itu bukan timbul karena kepintaran kita membaca situasi, tetapi justru karena kebutaan kita memahami hakekat kehidupan dan hakekat perjuangan ini.

Curiga memicu rasa takut! Percaya diri melahirkan keberanian. Curiga timbul karena tidak percaya diri. Keberanian lahir dari percaya kepada diri sendiri, dan percaya kepada sesama. Berani karena percaya, takut karena bingung.

Orang Papua, kita semua harus merdeka dari rasa tidak percaya diri dan rasa curiga, baru kita melangkah ke tahapan lanjut: berjuang untuk kepentingan bersama.

Semoga bermanfaat!

Bagaimana Cara Mengendalikan Ego yang Tinggi?

Ditinjau oleh: dr. Yusra Firdaus – Dokter Umum | Ditulis oleh: Widya Citra Andini

Banyak orang yang mengeluhkan bahwa orang terdekatnya punya ego tinggi. Atau, justru Anda sendirilah yang punya ego setinggi langit?

Memang, apa, sih, ego itu?

Kenapa punya ego tinggi selalu dikaitkan dengan karakter yang negatif?

Apakah ego Anda tinggi?

Cara termudah untuk menentukan apakah ego Anda sedang bermain adalah mengajukan salah satu dari dua pertanyaan berikut:

  • Apakah saya merasa lebih unggul dari orang lain?
  • Apakah saya merasa minder terhadap orang lain?

Jika Anda menjawab ya untuk salah satu dari pertanyaan di atas, maka kemungkinan ego Anda sedang mengambil alih pikiran Anda.

Ego adalah bagian dari kepribadian Anda
Sigmun Freud, seorang psikolog kenamaan, pernah mengatakan bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Sederhananya, ego adalah bagian dari identitas yang kita bangun sendiri.

Semua keyakinan yang Anda pegang teguh seputar prinsip, aspek kepribadian, bakat, hingga keterampilan dan/atau kemampuan Anda, turut membangun ego. Itu sebabnya ego seringkali dikaitkan dengan rasa percaya diri atau harga diri. Ego adalah bagian diri yang bertujuan untuk mencari persetujuan dari orang sekitar.

Pada akhirnya, ego membantu Anda membentuk citra diri sendiri. Citra diri dibentuk ketika kita memiliki gagasan tentang suatu aspek diri yang juga kita setujui. Misalnya saja, “Saya tidak pandai matematika,” atau “Saya pintar,” atau “Tidak ada yang menyukaiku,” atau “Aku lebih baik daripada kamu.”

Dengan mempercayai hal-hal ini, Anda juga lambat laun mencerminkan gagasan tersebut dalam segala tindak-tanduk sehari-hari sehingga Anda memang tampak tidak pandai matematika, misalnya — padahal pada kenyataannya, mungkin tidak demikian.

Ego bisa dikatakan sebagai kulit lapisan perlindungan terluar yang Anda bangun selama ini. Ego selalu fokus pada kepentingan mengutamakan diri sendiri dan tidak peduli pada realita yang dimiliki orang lain. Ego juga yang bermain dalam pikiran Anda, bahwa ketika terjadi suatu masalah, orang lainlah yang harus disalahkan, sedangkan Anda selalu dalam posisi yang benar.

Itu sebabnya kadang ego menjadi pertanda karakter yang kurang terpuji.

Berbagai cara mengendalikan ego yang tinggi
Pada dasarnya ego tidak selalu negatif. Ego bisa menjadi suatu hal yang positif jika Anda tahu cara mengendalikannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak menempatkan ego di atas segalanya adalah orang yang paling bahagia.

  1. Memahami bahwa hidup adalah proses
    Ego tidak peduli dengan proses. Asalkan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dan jauh mengungguli yang lain, ego sudah bisa terpuaskan. Sayangnya, mengikuti ego tinggi membuat Anda tidak bisa menikmati hidup.

Ego akan selalu membuat Anda merasa seperti pecundang, jika tidak berhasil mencapai sesuatu. Untuk itu, atasi ego Anda dengan menikmati setiap proses dalam hidup dan berusaha dengan sebaik-baiknya.

Ketika Anda menanamkan dalam pikiran bahwa hidup adalah perjalanan bukan tujuan, maka Anda akan menyadari bahwa proses itulah yang jauh lebih penting ketimbang hasil. Dalam proses kita melewati berbagai fase dari mulai senang, sedih, marah, dan hal lainnya yang dapat membuat hidup jauh lebih bermakna. Anda pun jadi bisa belajar dari asam garam pengalaman lalu.

  1. Jangan menyiksa diri dengan berandai “bagaimana jika” atas sesuatu yang telah terjadi
    Anda harus mengakui bahwa dalam hidup, tidak semua hal berjalan sesuai kehendak. Ada kalanya, sesuatu berjalan berkebalikan dengan yang Anda harapkan dan itulah jalan terbaiknya yang seharusnya terjadi.

Menyesali hal-hal yang telah terjadi dan memikirkannya terlalu dalam tidak akan mengubah apapun. Ego Anda akan mengarahkan pada pemikiran negatif lainnya jika Anda tidak mengendalikannya. Perlu diingat bahwa apa yang Anda inginkan tidak selalu apa yang Anda butuhkan.

  1. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain
    Ego adalah hasrat dalam diri untuk selalu membandingkan kelayakan Anda dengan orang lain. Jika pencapaian Anda dirasa tidak sesukses dengan teman sebelah, ego akan menghukum Anda dan membuat Anda merasa rendah dan tidak berguna.

Jika Anda tidak bisa mengendalikannya, maka sama saja Anda tidak menghargai diri sendiri. Sebaliknya, jika dalam suatu prestasi Anda berhasil dan mengalahkan orang lain, ego akan membuat Anda percaya bahwa Anda lebih unggul dan tak terkalahkan.

Pada dasarnya membandingkan diri dengan orang lain boleh saja, selama dalam konteks yang positif. Namun Anda tetap harus bisa menilai diri secara subjektif. Setiap manusia adalah individu yang unik dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Dengan tidak berusaha membandingkan diri dengan orang lain, Anda akan lebih fokus untuk belajar menghargai diri sendiri.

  1. Ketahui motivasi Anda
    Dalam mengerjakan segala sesuatu, Anda harus tahu apa yang mendorong Anda melakukan hal tersebut. Ego akan memaksa Anda untuk termotivasi oleh apa yang akan dicapai dan dikuasai, sedangkan diri Anda biasanya berkata sebaliknya.

Anda ingin melakukan suatu hal karena merasa akan mendapatkan pembelajaran berharga yang penting untuk bekal hidup. Perlu diingat, Anda selalu bisa belajar dari sebuah proses meskipun tidak berhasil.

  1. Berlatih untuk memaafkan dan ikhlas
    Cara yang paling ampuh untuk belajar melepaskan ego adalah menjadi pribadi yang pemaaf. Anda harus belajar memaafkan orang-orang yang menyakiti Anda dan yang terpenting belajar untuk memaafkan diri sendiri. Mengikhlaskan segala sesuatu yang tidak dapat Anda kendalikan menjadi cara sederhana untuk mengendalikan ego.

Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan. Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.

Kesempurnaan Tidak akan Pernah Ada

Kesempurnaan Tidak akan Pernah Ada!
(tidak ada kesempurnaan) yang pernah ada dalam kehidupan di alam semesta (dunia) ini.

Alasan sederhananya adalah karena “kesempurnaan” hanya ada ketika hidup menjadi “tidak ada” – atau hidup adalah lawan dari kesempurnaan.

Kita berpikir untuk memperbaiki semuanya untuk mencapai yang namanya (kesempurnaan), tetapi sesungguhnya itu sama seperti kita hanya berusaha untuk “menangkap angin” – yang artinya kita mencoba memperbaiki sesuatu yang tidak hanya saya tidak bisa, tetapi lebih banyak sesuatu yang tidak akan pernah kita perbaiki.

Terlebih lagi, adalah masalah fakta bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memperbaiki apa pun menjadi sempurna, sebab hukumnya adalah (segala sesuatu dalam hidup ini tidak sempurna).


Merendahkan diri untuk menyadari bahwa sebenarnya kita adalah tidak ada dan kita bukan siapa-siapa dan kita tidak akan menjadi siapa pun (setiap kita adalah kita).

Kesadaran ini penting bahwa, mulai sekarang, kita harus menghindari untuk berpikir dan menggunakan kata-kata yang mengandung unsur keadaan atau materi “terdefinisi” atau “disempurnakan”.


Hukumnya adalah (segala sesuatu dalam hidup ini tidak sempurna).

Source: https://www.facebook.com/

This is What I have Found: “Perfection” Never Existed

I have spent more than a half century of my life to find “perfection” in this life. However, so far I have found “no perfection” ever existed in this life, in this living, in this universe.

The simple reason is because “perfection” only exists when life becomes “non-existent”, or life is the opposite of perfection.

I found out that the best word for my understanding of ” perfection ” is “accepting things as they are“, not as I want.

Eleborate….

If I want to fix everything into perfection, then I found myself I am just trying to “catch the wind”, meaning I am trying to fix something that not only I cannot, but more something that I will never fix. Moreover, it is a matter of fact that there is nobody in this world that can fix anything into perfection. Everything in this life is imperfect.

For so long, I have said to myself and to people, “this is the best way, if not they only way to …..”, but some years later, I found out and humbled myself to realise that actually I was nobody and I am nobody and I will be nobody.

Now I realise that from now on, I should avoid to think and use words that contain the element of “defined” or “perfected” state of reality or matter.

Today we have many Melanesians, particularly in West Papua coming up with various discourses and comments on how to

  1. develop strategies and techniques to build West Papua to become more modern;
  2. develop strategies and techniques to free West Papua from Indonesian occupation
  3. develop strategies and techniques to free West Papua from terror, intimidation, land-grabbing, deforestation, extraction industries, and murder in West Papua

Yes, I know these issues are not only applicable for West Papua and Melanesians but they also apply to almost all indigenous peoples around the world.

Indigenous Peoples’ Hope for Perfection and the Reality

We indigenous peoples of the world have a big gap in reality between “what we want to achieve” and “what we have today”; between “what we know about the life before foreigners came and the life today after they came.” We start our story of “imperfect” life by going back to colonial history, slavery, decolonization, neocolonialism and liberation and nationalism.

This is what we think we can do

We think that if we had our own nation-stated called “The Republic of West Papua” then we will live in peace and harmony with each other and among all communities of beings.

We think that when Indonesia is out from West Papua we will have total freedom to express our will, wish and aspiration. Just by looking at East Timor, Papua New Guinea and Indonesia, I can quickly deny that this is a bad dream, because this is not realistic and will not become a reality in a free and independent Republic of West Papua.

For simple reason, the story of modern nation-states imposing bans, restrictions on freedom of assembly and freedom of expression are very common. Many restrictions are imposed on Indonesian people today to express the peoples’ will. Not only that, we know more Indonesians killed by Indonesian armed forces and police within 74 years compared to the number of Indonesians killed by the Dutch Colonial Government for 350 years. Yes, an independent state of Indonesia has killed more Indonesian citizens than the amount that foreign colonial power have ever killed.

We know more than 500,000 Melanesians in West Papua were killed by Indonesian police and army who at first place ever claimed freeing Melanesians in West Papua from the Dutch colonial power. In fact NONE ever been killed by the Dutch colonial power who occupied West Papua since 1811 – 1960.

This is What I have Found: “Perfection” Never Existed

We think it is only indigenous peoples that have the big gap between hope and reality. But in fact, “all humans” and it is better to say, “all life” are in fact inherently “imperfect”. There are many very rich people who suffer from various mental diseases, emotional problems, spiritual instability. These make them realize that having a lot of material goods is not the solution for life.

Some people say that modern people are better off compared to tribal people, but the matter of fact today, I can confidently declare that this is not true, totally untrue.

Many people say that the more you have material goods, the more you are happy. This is truly untrue.

Many people say that I will get married only after West Papua gains its independence from Indonesia. This is a statement of “self-punishment”.

Many people say that

This is what I am doing after this “enlightenment”

  1. I am accepting things as they are without complaint, without comment.
  2. I am thankful with what I have, no matter less, no matter more.
  3. I tell myself, “enough is enough!” and welcome and embrace anything that comes and goes, with joy, with thankfulness, and with no comment

This life is not perfect, that lives before and after this are not perfect either. Perfection only arrives at the terminal called “compromise” and “accept” what is possible, and then “thankful” for it.

That does not mean

That does not mean that you cannot tell me about your reality of “perfection”, because I do not want to say about “perfection” by not giving you to disagree or to agree.

Suami-suami di Papua diminta stop Miras

Jayapura, Jubi – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPP) dan Keluarga Berencana Provinsi Papua, meminta para suami untuk meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi Miras yang hanya memberikan dampak buruk bagi kehidupan keluarga.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) dan Keluarga Berencana Provinsi Papua, Anike Rawar mengatakan Miras menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, sehingga pihaknya tak akan berhenti mengingatkan seluruh warga, khususnya kaum laki-laki untuk stop Miras.

“Kami tetap memerjuangkan perempuan dan anak supaya merasa tenang dan aman di lingkungan keluarganya. Jadi para suami jangan lagi mengkonsumsi Miras, melainkan menyayangi istri dan anak yang merupakan generasi penerus bangsa,” kata Rawar, di Jayapura pekan kemarin.

Menurut ia, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua, sudah mulai mengalami penurunan di 2018 lalu.

“Menurunnya jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak ini menyusul masyarakat dinilai telah sadar terhadap dampak buruk miras yang menjadi pemicu utama terjadinya kasus kekerasan,” ucapnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyatakan perempuan dan anak di Papua masih mengalami diskriminasi, peminggiran serta kemiskinan (marjinalisasi), pelabelan (stereotype), dan menjadi kelompok yang paling rentan mengalami dampak berlipat dari kekerasan di Papua.

Untuk itu, dirinya meminta isu perlindungan perempuan dan anak di Papua harus terus dilakukan, dan membutuhkan sinergitas seluruh pemangku kepentingan yang ada di Bumi Cenderawasih.

“Memangun kesadaran pentingnya perlindungan perempuan dan anak menjadi tugas semua pihak,” kata Yembise.

Apalagi kata ia, pihaknya mencatat sepanjang 2018 terjadi 10.078 kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis, maupun kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia. Sementara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat sepanjang 2017 terjadi 2.227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia, bertambah dari jumlah 1.799 kasus pada tahun sebelumnya.

“Kami selama tiga tahun terakhir menggencarkan perlindungan perempuan dan anak, antara lain dengan melibatkan partisipasi laki-laki untuk mengarus-utamakan isu itu serta melakukan kampanye “Three Ends” sebagai kunci memberdayakan perempuan dan melindungi anak,” ujarnya. (*)

Editor: Syam Terrajana

Bagaimana Kata-Kata dapat Merubah Otak dan Kehidupan Anda

By M.Farouk Radwan, MSc., Terjemahan Jhon Kwano

Kekuatan kata-kata

Bagaimana kata-kata dapat merubah kondisi mental dan mempengaruhi perilaku anda. Dalam eksperimen yang dilakukan oleh seorang psikologi seorang mahasiswa diminta menyusun kata-kata acak untuk menciptakan kata-kata yang berarti. Kata-kata yang dimintakan ini mirip dengan kata-kata berikut:

  • tua, Ketua, duduk, di, orang itu
  • air, Minum, menurunkan, kusut
  • cepat, lewat, Waktu

Setelah mahasiswa tadi menyusun kata-kata ini dia keluar dari ruangan langkah kakinya lebih pelan daripada kecepatan langkah biasa. Apakah anda tahu apa yang telah terjadi? Kata-kata yang dia susun tadi membuat pikirannya memvisualisasi kondisi pikiran sebagai orang tua dan akibatnya cara berjalan dia menjadi mirip dengan orang tua beberapa menit setelah menyelesaikan ujian ini.

Dalam eksperimen lainnya mahasiswa dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok yang pertama dimintakan untuk memikirkan bagaimana rasanya kalau anda menjadi profesor, sementara kelompok lainnya dimintakan untuk memikirkan bagaimana rasanya bila anda pendukung tim sepak bola.

Setelah 5 menit berlalu kedua kelompok diberikan sejumlah pertanyaan sains untuk dijawab dan kelompok pertama menjawab lebih banyak benar daripada kelompok kedua. Kedua kelompok punya pengetahuan yang sama dan tingkat intelijen yang sama tetapi kondisi pikiran dari kelompok pertama menunjukkan pikiran mereka tentang kata-kata tadi melayang di pikiran mereka dan dalam pikiran ini mereka menjawab pertanyaan dengan benar.

Kekuatan kata-kata

Pikiran anda sama dengan kota besar dengan jutaan jalannya. Begitu anda mulai tentukan titik mulainya, maka pikiran anda akan membawamu ke jalan yang dituju secara otomatis. Dalam eksperimen sebelumnya kata-kata digunakan untuk menempatkan orang pada jalan-jalan tertentu dan akibatnya hasil dari pikiran bawah sadar terus melakukan tugasnya dan menibakan mereka ke jalan akhir.

Bila anda terpapar kepada kata-kata positif selama beberapa detik anda paling-paling berpikir yang positif beberapa menit kemudian. Eksperimen lainnya telah menunjukkan bahwa orang yang terpapar dengan kata-kata kebajikan akan lebih berbaik-hati kepada orang lain di menit-menit selanjutnya menyusul paparan dimaksud.

Nah, apakah anda paham apa artinya?

Anda sesungguhnya dapat menempatkan pikiran orang di berbagai tempat menggunakan kata-kata saja. Biarpun anda sedang membicarakan topik yang tidak terkait dengan emosi, kata-kata yang dipilih sesungguhnya dapat mempengaruhi “mood” dan “perilaku” mereka.

Gunakanlah kata-kata yang kuat, kekuatan, power, kekekalan, puncak sementara berbicara dan anda akan memperkuat orang lain menjadi lebih kuat walaupun hal yang mereka bicarakan adalah tentang bagaimana memasak makanan.

Jenis pesan apa saja yang dapat menyinggung?

Kalau kata-kata dapat mempengaruhi emosi dan perilaku orang dengan berarti, membayangkan (memvisualisasi) sesuatu dapat berdampak lebih besar. Menonton satu film bisa punya dampak lebih besar.

  • Jenis film apa saja yang anda tonton?
  • Jenis musik apa saja yang anda dengarkan ratusan kali per minggu?
  • Jenis pesan apa yang sedang anda baca dan menyuguhkan kepada otak anda?
  • Apakah anda mengajar dirimu sendiri menjadi lemah tanpa memperhatikannya?
  • Apakah anda sedang mencuri kekuatanmu sendiri dengan menaruh perhatian kepada apa yang sedang terjadi dengan otak anda?

Dalam buku saya “Bagaimana mengatasi seseorang dalam beberapa hari” saya katakan bahwa salah satu alasan utama yang menghindarkan orang dari pemulihan setelah perceraian secara cepat adalah kata-kata yang mereka dapatkan saat mereka mendengarkan musik-musik romantik yang sedih (musik cinta cengeng).

Rasa percaya diri yang kurang dapat dihasilkan oleh kata-kata negatif yang ada di otak anda dalam waktu lama. Ketidak-sanggupan untuk “fight-back”, ketidak-berdayaan dan kekurang-motivasi bisa saja berasal dari kata-kata yang terpapar sepanjang hari kepada anda.

Kini anda sudah paham kekuatan kata-kata. Pasikan anda menjaga kata-kata setiap kali dia terpapar agar tidak mempengaruhi. Fokus supaya terpapar dengan media posotif saja dan abaikan apa saja yang bisa menurunkan derajat, kekuatan, percaya diri, kepribadian Anda. Sampahkan lagu-lagu negatif dan gantikan dengan lagu-lagu yang lebih positif. (lihat juga Bagaimana musik mempengaruhi emosi)

Bisa jadi anda adalah produk dari kata-kata yang sekian lama terakulumasi di otak anda. Pilihlah kata-kata, dan dengan demikian anda memilih nasib anda sendiri.