Ditambah 2 Ciri Lagi: Manusia Papua Yang Layak Dijajah (1)

Komentar Pembuka

Manusia Papua yang bermental budak sebelumnya mengemukakan dua ciri, yaitu ciri tidak percaya diri dan ciri selalu curiga sebagai pertanda bahwa seseorang bermental budak.

Tidak percaya diri dan selalu mencurigai satu-sama lain timbul dari “rasa takut”. Karena takut maka ada rasa tidak percaya diri. Karena takut maka kita saling mencurigai. Jadi, kita rumuskan anatominya, bahwa dua mental orang Papua, tidak percaya diri dan selalu mencurigai dilahirkan oleh satu penyakit, yaitu rasa takut.

Bandingkan juga dengan racun-racun yang dikemukakan oleh blog-blog orang Papua bahwa ada racun, ada penyakit dan ada buah dari penyakit dimaksud yang mempengaruhi keseluruhan perilaku dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari di antara orang Papua dan dalam interaksinya dengan manusia lain.

Manusia yang bermental budak pasti layak dijajah. Dan manusia yang layak dijajah pasti juga menunjukkan dua ciri berikut.

 

Selalu Berharap kepada pihak lain

Ada dua contoh perlu ditunjukkan di sini, yang pertama, orang Papua yang selalu berharap kepada Jakarta dan orang Indonesia. Kedua orang Papua yang selalu berharap kepada orang barat, dan orang MSG (negara-negara MSG).

Yang pertama, orang Papua dan hubungannya dengan orang Indonesia

Untuk membangun Papua, untuk memajukan Papua, untuk merubah Papua, kebanyakan orang Papua selalu menaruh harapan kepada Jakarta, orang Indonesia sebagai jalan satu-satunya. Tanpa kehadiran mereka, orang Papua tidak bisa maju, tanpa kehadiran mereka, tanah Papua tidak akan pernah maju.

Harapan kepada orang Indonesia ini bergeser satu generasi lalu. Pada generasi lalu hampir semua urusan kepentingan bangsa Papua tergantung kepada misionaris, orang asing. Orang Papua yang berharap kepada misionaris didahului oleh orang Papua yang tidak pernah berharap kepada siapa-siapa, orang Papua yang bahkan tidak tahu kalau ada orang lain di luar sana. Orang Papua yang punya cerita tentan “Kabar” baik dalam versi sendiri, tanpa pernah mengharapkan siapapun dari luar.

Begitu misionaris masuk dengan “Kabar Baik” maka keseluruhan harapan digantungkan kepada misionaris, dengan menggantungkan harapan keselamatan kepada Yesus Kritus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Begitu generasi berganti, dan NKRI mulai menujukkan eksistensinya atas bangsa Papua, ditambah lagi dengan pengusiran semua misionaris dari Tanah Papua, maka generasi sekarang lebih berharap kepada orang Indonesia dan NKRI untuk mendatangkan kebaikan.

Makanya kita lihat banyak pernyataan dibuat dan banyak upaya dilakukan dalam rangka mendorong Indonesia membangun tanah Papua dan bangsa Papua.

Orang Papua sekarang berharap NKRI membagi-bagi tanah Papua menjadi banyak kabupaten, kota dan provinsi, distrik dan desa di seluruh Tanah Papua. Banyak orang Papua sekarang mengirim anak-anak mereka ke Indonesia dengan harapan anak-anak menjadi pintar di Indonesia dan pulang untuk memajuan Tanah Papua.

Sebagai variasi dari orang Papua bermental budak yang tidak percaya kepada diri sendiri, orang Papua yang layak dijajah selalu mengharapkan orang lain untuk merubah nasibnya. Ia jarang bahkan tidak pernah melihat hal-hal yang ada pada dirinya yang dapat didaya-gunakan untuk merubah nasib, memajukan, mengembangkan dirinya sendiri. Semua yang dimilikinya dianggap tidak berguna. Semua yang ada pada orang Indonesia dianggap lebih berguna dan semua yang ada pada orang Papua dianggap merugikan.

Kita pindah ke fenomena ini di kalangan pejuang Papua Merdeka.

Sebagaimana kita ketahui biar ada orang Papua menyebut diri sebagai pejuang Papua Merdeka, tetapi mereka tetap menunjukkan mental “berharap kepada orang lain”, yaitu kepada MSG (Melanesian Spearhead Group) dan lembaga internasional lain dan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).

Selain itu, orang Papua Merdeka ini juga berharap kepada NKRI untuk memberikan sebuah referendum untuk Papua Merdeka. Makanya tuntutan referendum selalu keluar dalam semua kampanye Papua Merdeka. Jadi begini, ada perjuangan untuk membebaskan diri dan tanah Papua. Ada juga perjuangan mengemis kepada penjajah, karena kita berharap kepada Indonesia untuk memberikan opsi referendum, karena kita berharap kepada PBB untuk mendesakn Indonesia memberikan pilihan untuk menentukan nasib sendiri.

Jelas, tuntutan referendum adalah permintaan seorang budak, yang dari mentalnya mudah disebut layak dijajah. Karena menuntut referendum mengandung arti orang lain harus memberikan opsi dimaksud, tidak bersumber dan bertumpu pada diri sendiri, tetapi berasal dan bertumpu pada PBB dan Indonesia.

Yang kedua, nada-nada kampanye selalu menunjukkan “cengengesan”, atinya berisi kalimat-kalimat belas-kasihan, terbaca bahwa apa yang kita ucapkan itu mengharapkan tindakan orang lain, tindakan didasarkan kepada kemanusiaan, rasa iba, rasa kasihan dan lainnya dari pihak lain kepada bangsa Papua.

Selalu menyalahkan pihak lain (berlanjut…)

 

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.