Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]

Pohon yang Lebat Daunnya dan Berbuah Banyak Pasti Punya Banyak Supply Air

Pohon yang lebat daunnya dan berbuah banyak secara ilmu biologi maupun secara awam dipastikan bertumbuh di pinggir aliran air, entah dalam bentuk kolam, danau, kali, sungai. Kecuali pohon jambu monyet dan beberapa pohon yang berani tumbuh di atas tanah yang nyaris tidak berair, secara rata-rata semua orang tahu bahwa kalau ada tumbuhan subur, di situ pasti ada air.

Sudah saya sebutkan sebelumnya, memang ada masalah juga karena tidak semua pohon yang subur juga otomatis berbuah lebat, karena ada unsur pembuahan yang terjadi pada pohon dimaksud, yaitu ada aspek di luar tanah yang mempengaruhi juga. Tetapi yang pokok ialah pohon itu subur.

Memang ada kemungkinan orang Papua menjadi kaya dan miskin itu bisa ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, akan tetapi yang terutama ialah apakah kita berakar ke dalam dan hidup dengan air yang mengalir di sekitar kita atau tidak.

Kalau orang Papua mayoritas beragama Kristen, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran agama kita dengan sepenuhnya, jangan asal-asalan beragama dan beriman. Kalau orang Papua bekerja di Kantor pemerintah atau mengajar di sekolah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Jangan setengah-setengah. Kalau kita mau jadi kaya, maka kita harus merombak sejumlah penghambat yang menggagalkan kita menjadi kaya.

Hambatan-hambatan itu sudah disebutkan sebelumnya seperti

  1. selalu tidak percaya diri
  2. selalu menyalahkan Indonesia dan Jawa kalau ada yang salah
  3. selalu mengeluh dengan “adooo..”
  4. selalu menyesali apa yang telah terjadi

Kalau orang Papua itu rasnya Melanesia, maka kita harus berakar ke dalam ajaran-ajaran budaya orang Melanesia. Jangan lupakan ritual-ritual adat, walaupun kita punya agama Kristen, Islam dan sebagainya, kita juga tidak boleh serta-merta melupakan apa yang dengan jerih-payah dan kerja-keras ditanam, dipelihara dan diwariskan oleh nenek-moyang kita.

Kalau tidak percaya, pergi saja ke seluruh dunia, dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Semua orang miskin dan melarat pasti orang-orang tradisional, suku-suku yang sudah kehilangan adat dan budayanya.

Kita sebagai masyarakat adat sudah salah mengira bahwa menjadi orang Kristen berarti membenci dan memerangi adat dan budaya. Salah fatal.

Padahal para misionaris, para pembawa agama Kristen ataupun Islam dan agama-agama lain, mereka membawa agama mereka ke tempat-tempat kita sangat kental dengan warna-warni dan cita-rasa budaya di mana ajaran agama itu dirurunkan. Mengapa kita berusah menjadi seperti orang Yahudi, karena kita percaya agama Kristen lahir di tengah-tengah bangsa Israel? Mengapa kita menjadi ke Arab-Arab-an karena Islam lahir dalam budaya Arab?

Ini kesalahan fatal. Melupakan budaya sama saja dengan mencabut pohon tapna akar-akarnya, memindahkan satu pohon dari tempat di mana air mengalir, ke tempat baru yang belum dikenal pohon itu sendiri.

Di dalam adat dan budaya kita terdapat nilai-nilai orang Papua, ethos kerja yang asli, prinsip hdiup yang mengakar ke dalam Bumi kita berpijak.

Selain itu, kita juga harus berakar ke dalam prnsip-prinsip dan cara berpikir sebagai orang kaya. Kalau kita berpikir seperti orang miskin dan melarat,maka memang kita orang miskin dan melarat. Kalau kita orang kaya, atau kita mau menjadi orang kaya, maka kita haruslah berpikir sebagai orang kaya, bukan “seperti orang kaya”.

Dengan cara berpikir “sebagai” orang kaya, maka kita akan mewujudkan kekayaan itu dalam hidup kita.


 

Kita bicara tentang akar pohon, air, pohon yang lebat dan buah yang banyak. Ini semuaya tergantung kepada air ada air atau tidak. Air yang mengalir, danau atau kolam atau sumur yang mensuplai air sangat menentukan subur-tidaknya sebuah pohon.

  • “Air” untuk seorang entrepreneur Papua itu apa?

Sudah disebutkan di atas, pertama, berakar dalam adat, budaya, dan ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kita tentang berpikir dan bersikap terhadap apa-pun yang terjadi dalam hidup ini, dan apa yang kita mau terjadi dalam hidup kita.

Kita bicara tentang hidup kita, bukan hidup orang lain, hidup pribadi kita. Oleh karena itu, tanggungjawab sepenuhnya atas apa yang akan terjadi terhadap hidup kita satu demi satu ialah kita sendiri secara pribadi.

Kita menajdi kaya atau miskin ditentukan oleh pribadi kita sendiri.

Mari kita terus mengatakan kepada diri kita,

Ya, saya mau jadi kaya-raya di atas tanah leluhur saya, Tanah Papua! Semua unsur, pihak dan aspek kehidupan ini, mari dukunglah saya, mari kita bersama-sama menjadi kaya-raya di negeri leluhur Tanah papua.

Apapun yang terjadi, entah itu perasaan

  • bingung,
  • ragu-ragu,
  • heran,
  • lucu,
  • mendua-hati,
  • sedih
  • kasihan
  • blank sekalipun atau apa saja

katakan selalu, yakinkan selalu, ulangi selalu, jadikanlah menjadi nafas dan hafalan. Itulah air itu, itulah sungai itu, danau, kolam, yang mengalirkan air ke akar-akar kehidupan, yang akan menghasilkan pohon yang subur dan akan berbuah lebat, yaitu menjadi kaya-raya di negeri leluhur sendiri.

Itulah supply air itu sendiri!

Lalu ingat, semakin banyak supply airnya, semakin lebat pula pohonnya dan semakin banyak pula buahnya

Dan sebaliknya.

Belajar dari Pohon: Yang ada di dalam Tanah Menentukan yang Ada di Atas Tanah

Belajar dari pohon ini bermaksud menjawab pertanyaan tertinggal dari tulisan sebelumnya yang bertanya,

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?

Ada banyak caranya berakar ke dalam, tergantung tujuan hidup kita. Apakah kita seorang mahasiswa, seorang pengajar, seorang politisi, pejabat publik, pengacara, dokter, dan pengusaha. Apa-pun pekerjaan dan passion kita, yang tampak dalam pekerjaan kita sehari-hari, yang kelihatan dalam pembawaan kita seharian, ialah hasil dari apa yang ada di dalam hati, jiwa/ roh, mental, dan otak kita. Kita mahasiswa berprestasi, guru yang rajin dan ramah, dokter yang cepat membantu dan sentuhan tangannya menyembuhkan banyak pasien, kita pengusaha yang menarik banyak konsumen, semuanya tergantung kepada sedalam apa kita berakar ke dalam dunia yang kita geluti.

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu kita setuju bersama, yaitu

  1. Pertama, pohon yang subur, pohon yang kering, pohon yang berbuah lebat, pohon yang berbuh sedikit, dan pohon yang tidak berbuah, semuanya ditentukan oleh “apa yang ada di dalam tanah”? Apa yang dikerjakan, dan apa yang didapatkan oleh akar pohon itulah yang menentukan pohon itu, bukan sebaliknya.
  2. Kedua, pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan buah disebabkan karena tidak terjadi pembuahan atau perkawinan, yaitu aspek yang ada di luar tanah.
  3. Ketiga, apapun yang terjadi pada diri saya, bukan disebabkan oleh dia yang lain, mereka yang lain, tetapi itu terjadi supaya saya membaca situasi dan bergerak mengambil langkah, melanjutkan perjuangan hidup ini. Dengan kata lain, jangan melihat masalah sebagai rintangan, tetapi perlakukanlah itu sebagai peluang untuk berbuat lebih banyak dalam apa saja yang kita geluti dan perjuangkan.

Tidak mungkin sebuah pokoh akan subur kalau ia bertumbuh di atas batu. Tidak mungkin pohon akan rindang dan menghasilkan buah kalau ia tumbuh di padang gurun yang tandus.

Tidak mungkin orang Papua terus mengeluh kalau dia tahu bagaimana caranya mencari tempat pertumbuhan jiwa dan rohaninya di pinggir sungai. Tidaklah mungkin orang Papua selalu menyalahkan orang Jawa dan Jakarta kalau ia tahu prinsip pohon yang subur dan berbuah-lebat disebabkan oleh akar pohon dan apa yang diisah oleh akar itu di dalam tanah. Ia akan berjuang mencari tempat di pinggir sungai, dan berusaha mencari air sedalam-dalamnya, sampai ia menemukan air.

Caranya kita berakar ke dalam sebagai seorang entrepreneur ialah pertama-tama dengan mengatakan kepada diri sendiri.

  • saya orang Papua, saya hidup di tanah leluhur yang kaya-raya, dan karena itu saya harus hidup sebagai orang kaya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan karena keslahan orang lain, bukan karena perbuatan orang lain, bukan karena nasib buruk, tetapi itu karena saya belum serius menerima berkat-berkat yang tersedia buat saya dan mengolahnya untuk mendatangkan kekayaan kepada saya.
  • kalau saat ini saya belum kaya, itu bukan berarti karena orang Jawa membuat saya, membatasi saya, memasang jerat, berbuat yang tidak-tidak untuk memiskinkan saya, tetapi memang itu karena saya sendiri tidak memenuhi syarat untuk menjadi kaya-raya di atas negeriku yang kaya-raya.
  • Saya menyatakan kepada diri saya saat ini,

“Saya, nama saya……., pada hari …………., tanggal……… tahun 20… di tempat ………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…., dengan ini menyatakan kepada diri saya, bahwa saya mau menjadi kaya-raya di tanah leluhur saya, Tanah Papua yang dikenal dan dijuluki kaya-raya. Tuhan dengarkanlah doaku, nenek-moyang, saksikanlah pernyataanku ini. Tanah leluhur, maklumkanlan pernyataan ini. …….Saya mau jadi kaya-raya, karena saya mau menjadi kaya-raya, dan saya layak menjadi kaya-raya, bantulah saya agar saya berjuang untuk mewujudkannya.

(Lalu ucapkan misalnya Dalam Nama Yesus untuk orang Kristen, dan Bismillah, atau lainnya, menurut agama dan kepercayaan masing-masing)

Perumpamaan tentang Pohon yang Subur Berbuah Lebat dan Mentalitas Orang Papua

Semua kita tahu pohon subur, atau tanaman subur. Kita juga sudah tahu tanaman yang menghasilkan banyak dan tanaman yang subur tetapi tidak menghasilkan buah yang banyak, hanya subur saja, tanpa hasil. Kita juga sudah tahu tanaman yang tidak subur dan menghasilkan buah yang tidak subur pula. Dan juga pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa. Jadi ada empat macam tanaman di sini.

Pertama, pohon yang tidak subur dan tidak menghasilkan apa-apa adalah pohon yang memenuhi syarat untuk ditebang, tidak ada gunannya sama sekali. Harus diganti dengan pohon lain.

Kedua, pohon yang tidak subur dan menghasilkan yang tidak subur. Dalam kondisi ini kalau si pemilik tanaman terdesak, atau dalam kondisi produksi yang lain tidak ada sama sekali, maka hasil yang tidak subur ini masih bisa dimanfaatkan. Ada pepatah “Tidak ada rotan, akar-pun berguna”. Akan tetapi kita tidak bisa mengharapkan pohon yang tidak subur dengan hasil tidak subur ini terus menghasilan dari waktu ke waktu. Kalau kita punya pohon yang lebih subur dengan buah yang lebih bagus, pasti kita tidak akan menghiraukannya. Bisa dibiarkan tanpa dimanfaatkan.

Yang ketiga, pohon yang subur, daunnya lebat, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Yang dibutuhkan si penanam pohon bukan kesuburan. Kesuburan ialah prakondisi untuk hasil akhir, yaitu buah. Kalau sebuah pohon yang subur tidak menghasilkan apa-apa, maka kalau dibandingkan lebih bagus pohon yang tidak subur yang menghasilkan buah tidak subur tadi daripada pohon yang subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Yang terakhir, ialah pohon yang subur dan yang menghasilkan banyak buah.

Nah, secara psikologis dan mentalits kita, sekarang orang Papua termasuk dalam kategori mana?

  • Subur tetapi tidak menghasilkan apa-apa?
  • Kering tidak subur dan tidak menghasilkan?
  • Subur dan menghasilkan banyak?, atau
  • Kering, dan tidak subur tetapi masih dapat menghasilkan?

Orang Papua hidup di Tanah Papua, di tanah yang katanya “Surga Kecil Jatuh Ke Bumi!”, di mana ada banyak misteri di gunung dan di lembah, di mana sungai-sungainya mengalirkan emas, samuderanya penuh misteri pula.

  • Lantas, manusianya penuh dengan apa?

Apakah seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya:

  • penuh dengan keluh-kesah ?
  • penuh dengan kambing-hitam ?
  • penuh penyesalan dan sungutan ?
  • yang tidak pernah ambil tanggung-jawab sendiri atas apa yang dialaminya sendiri?

Menurut analisis saya terhadap diri saya sendiri sebelum saya berubah, mentalitas orang Papua tidak masuk dalam keempat kategori di atas. Semuanya tidak.

Orang Papua memang hidup di tanah yang subur luarbiasa, menjadi incaran dan rebutan dunia.

Akan tetapi orang Papua mau dikatakan subur juga tidak, kering juga tidak, tidak berbuah juga tidak, berbuah juga tidak.

Dengan kata lain, orang Papua itu tidak panas, tidak dingin, ia hanya suam-suam kuku.

Apa kata Kita Suci Alkitab untuk air yang suam-suam kuku?

Lebih baik dibuang saja. Itulah gambaran nasib dan riwayat orang Papua.


 

Tetapi jangan berkecil hati dulu, sabar, tunggu, sebentar.

Jalan keluar selalu ada. Dalam banyak kasus di Indonesia selalu diucapkan seperti ini, “Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap penyakit pasit ada obatnya!

Yang harus kita lakukan bukannya berhenti, bukannya bertanya-tanya, bukannya kaget dan protes, tetapi kita harus menggunakan prinsip hidup masyarakat jelata di pulau Jawa terutama, yaitu “Kita harus ngalir saja!

Kita “harus ngalir saja” artinya tidak merasa tersentak, tidak kaget, tidak memprotes, apalagi jangan berusaha melawan. Yang harus kita lakukan ialah “kita ngalir”, sama seperti air. Kita harus banyak belajar dari “ilmu air”, yaitu ilmu dari air, “Airologi”.

Menurut airologi, kalau ada tembok, jangan putar balik arah aliran, tetapi tetap saja mengalir, sampai aliran melebihi tembok. Kalau ada gunung, jangan berputar-berputa balik, tetapi mengalirlah terus, sampai menemukan bagian gunung yang terendah, dan melangirlah terus lewat nya. Jangan berhenti mengalir, jangan berputar balik arah.

Mentalitas kita orang Papua sebagai entrepreneur haruslah lebih kuat, lebih gigih, lebih canggih daripada mentalitas para politisi dan praktisi lainnya. Mentalitas entrepreneur berhubungan dengan nilai, naluri, dan rasa dari para konsumen yang tidak punya kontrak jual-beli dengan kami sebagai padangan. Mereka berdiri bebas, memilih bebas, hidup bebas. Yang kami lakukan adalah sekedar memasang jerat, bukan hukum agar mereka datang berbelanja di tempat kami.

Kita harus menjadi pohon subur, yang menghasikan buah yang subur dan lebat, yang menjadi rebutan burung-burung berbagai jenis, dari berbagai tempat mereka berasal.

TIPS: Berakarlah ke dalam, berbuahlah lebat. Sampai di situ. Dengan tidak berharap, dengan tidak menanti, dengan tidak menyalahkan dan mengeluh. Hanya tinggal, berakar ke dalam dan berbuah banyak.

  • Bagaimana caranya berakar ke dalam?
  • Apa buah-buah dimaksud?
[bersambung]

Hello world! Buang Mentalitas Budak dan Psikologi Orang Miskin!

Hello Dunia! Entrepreneur Papua (epapua.com) membutuhkan blog seperti ini dalam rangka membangun kebersamaan, berbasiskan kekerabatan dan kekeluargaan yang telah kita warisi sejak nenek-moyang di Tanah Papua.

Saya, Jhon Yonathan Kwano, yang merintis netpreneurship di tanah Papua sejak tahun 2013, kini hadir dengan blog ini, yaitu blog Entrepreneur Papua (ePAPUA) dengan tujuan utama menyamakan persepsi dan pemikiran untuk menyeragamkan langkah dan mendayung bersama, menyeberang samudera Pasifik, menaiki gungun-gunung terjal yang penuh misteri, menuruni lembah-lembah terjal yang penuh rahasia, menyeberangi sungai-sungai yang mengalirkan emas, hingga kita sampai ke tujuan akhir: Orang Asli Papua yang Kayaraya, sama dengan Tanah Papua yang kayaraya.

Orang Papua saat ini hidup bertentangan dengan realitas alamiah dan kodratnya sebagai manusia penghuni alam yang kayaraya. Manusia di seluruh dunia mendengar “Papua” atau “orang Papua” mereka secara lansgung menghubungkannya dengan cepat “kaya”.

Tetapi apa pikiran orang Papua?

Pikiran orang Papua pertama-tama dimulai dengan kata ini

  • Adoooooooooooooooooo
  • Ado, saya ini, …
  • Ado, di sini, …
  • Ado, mereka ini, …
  • Ado, dia ini, dia itu…
  • Ado, dan adooooooo ….

Yang keluar, yang terasa, yang terlihat, yang terdengar dari orang Papua sendiri malahan bertentangan 180% dengan persepsi umum di dunia tentang kata “Papua”.

Di sini kita bicara tentang mentalitas, yaitu mentalitas budak dengan mentalitas orang merdeka, psikologi orang miskin dengan psikologi orang kaya.

Di sini kita menyinggung soal kesalahan fatal orang Papua yang menyebabkan kondisi hidup orang Papua seperti yang ada sekarang.

Selain mengeluh dengan kata “Adooooo…”, orang Papua juga dilahirkan ke dalam cara berpikir manusia picik, selalu berusaha menyalahkan orang lain, pihak lain, bangsa lain kalau ada masalah melekat pada dirinya.

  • Ini gara-gara Indonesia,…
  • Ini penyebabnya orang Jawa
  • Itu karena pendatang dorang…
  • Sebabnya jelas, amber dorang yang…

Lalu apakah orang Papua sendiri selalu benar?????

Kalau orang lain yang salah, mengapa orang lain yang bersalah itu yang terkena masalah. Mengapa orang lain salah tetapi Papua yang usil dan menyalahkan? Mengapa mentalitas orang Papua selalu mencari-tahu kambing-hitam dan berusaha menyalahkan orang lain, bangsa lain, suku lain, agama lain pada saat sesuatu hal menimpa dirinya?

  • Dana Otsus belum turun, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus tidak cukup, Jakarta yang salah
  • Dana Otsus salah dipakai, Jakarta yang salah, karena tidak mengatur sistem administrasi pemerintahan yang baik
  • Dana Otsus dikorupsi, Jakarta yang salah karena tidak memasang sistem pengawasan yang baik
  • Pesawat jatuh, Jakarta yang salah
  • Busung lapar di Yahukimo, Jakarta yang salah
  • Konflik Pilkada di Intan Jaya dan Puncak Jaya, Jakarta yang salah
  • Masalah Freeport, Jakarta yang salah

Lalu kapan orang Papua pernah bertanya,

  • “Apa kesalahan orang Papua, apa kesalahan saya pribadi, keluarga saya, marga saya, suku saya, bangsa saya terkait dengan semua ini?”

Kalau tidak, mari kita bertanya, menanyakan diri sendiri dulu, tanya dulu, jawab dulu, periksa honai dulu, periksa halaman sendiri dulu, periksa kampung sendiri dulu, baru keluar dan salahkan orang lain.

Buang mentalitas budak, merdekakan pikiran-mu, bertanya kepada diri sendiri, ambil tanggung-jawab ke dalam tangan sendiri, katakan kepada diri sendiri, “saya/ kami bertanggungjawab!”. Jangan lempar-lempar ke suku-bangsa lain. Ini tanah leluhur bangsa Papua, ini soal bangsa Papua, ini riwayat bangsa Papua. Apa saja yang terjadi di atas negeri leluhur ini adalah tanggungjawab kira orang Papua, kesalahan kita orang Papua, dan karena itu tugas kita orang Papua untuk mencarikan jalan keluar sendiri, tanpa harus menunggu, tanpa harus menuntut, apalagi mengeluh dan menyalahkan.

Jalan keluar pertama dan terutama ialah dengan memerdekakan pemikiran kita, keluar dari cara berpikir manusia budak ke bangunan pemikiran-pemikiran orang-orang merdeka.

Untuk itu, trik pertama yang harus kita lakukan, dalam membaca, menyelidiki, mengomentari apapun yang terjadi atas diri kita, keluarga kita, marga kita, suku kita, bangsa kita, tanah-leluhur kita ialah

  • Apa yang harus saya lakukan ?
  • Apa yang keluarga saya harus lakukan ?
  • Apa yang marga saya harus lakukan ?
  • Apa yang suku saya harus lakukan ?
  • Apa yang bangsa saya harus lakukan ?

menghadapi, menanggapi, menindak-lanjuti apa saja yang terjadi saat ini.

INGAT: Kita tidak bicara tentang “Ini siapa yang salah!”, dan kita tidak katakan “Adoooo…”

[bersambung]